• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan data laboratorium

DAFTAR LAMPIRAN

3. METODE PENELITIAN

3.3. Pengolahan Data

3.3.1. Pengolahan data laboratorium

Pengolahan data hasil pengukuran di laboratorium ditunjukkan pada

Gambar 8 di bawah ini. Proses pengumpulan data di laboratorium menggunakan tiga alat utama yaitu MOTIWALI, termometer dan meteran.

Gambar 8. Diagram alir pengolahan data MOTIWALI di Workshop Akustik dan Instrumentasi Kealautan, Departemen ITK, FPIK, IPB

Berdasarkan Gambar 8, MOTIWALI merekam data suhu udara dan jarak. Selanjutnya, data yang terkumpul ditapis (filter) menggunakan metode moving average filtering setiap lima deret data agar data yang dihasilkan menjadi lebih halus (smooth). Pemilihan perata-rataan setiap lima deret data didasari pada mean absolute percentage error (MAPE) yang paling kecil, dengan nilai sebesar

0,087313, dibandingkan dengan perata-rataan setiap tiga maupun sepuluh data, dengan nilai MAPE masing-maasing sebesar 0,088861 dan 0,087431.Kemudian, suhu udara yang dihasilkan oleh MOTIWALI dikoreksi dengan suhu udara manual hasil pegukuran menggunakan termometer. Dari hasil koreksi ini, menggunakan metode fitting linear least square, didapat persamaan suhu dalam bentuk Y = aX+b (Persamaan 1), dimana Y adalah suhu udara manual dan X adalah suhu udara MOTIWALI, serta a dan b adalah konstanta. Selanjutnya, suhu udara dari MOTIWALI dimasukkan kedalam persamaan tersebut sehingga

menghasilkan suhu yang sudah terkoreksi.

Untuk melihat pengaruh suhu terhadap kecepatan suara, sesuai dengan teori bahwa kecepatan suara akan meningkat dengan meningkatnya suhu (Maher, 2007), maka suhu udara terkoreksi dimasukkan ke dalam persamaan C = 331,5 + 0,6θ (Persamaan (2)), dimana C merupakan kecepatan suara dalam satuan m/s dan θ adalah suhu udara dalam satuan ºC, sehingga menghasilkan kecepatan suara terkoreksi. Sebagai catatan bahwa Persamaan (2) di gunakan untuk

mempermudah perhitungan (sengpielaudio.com, 2011). Dengan melihat Persamaan (2), dapat disimpulkan bahwa perubahan suhu sebesar 1 ºC akan menyebabkan penambahan kecepatan suara sebesar kurang lebih 0,6 m/s. Setelah mendapatkan kecepatan suara yang telah terkoreksi, maka diperlukan waktu

tempuh yang dibutuhkan suara untuk terdeteksi oleh sensor untuk mengetahui jarak terkoreksi.

Sebelumnya, harus diketahui dulu waktu tempuh dari refleksi gelombang suara dengan pembagian antara jarak yang didapat MOTIWALI dengan kecepatan suara konstan berdasarkan teori. Kecepatan suara berdasarkan teori yang

digunakan adalah kecepatan suara yang diukur oleh Laplace (1816) in

Weir (2001) sebesar 343 m/s. Kecepatan suara ini berada pada suhu 20ºC dan pada tekanan udara 1 atm (untuk kecepatan suara pada suhu yang berbeda dapat dilihat pada Lampiran 3). Jarak yang sudah terkoreksi dapat diperoleh dengan mengalikan kecepatan suara terkoreksi di udara Persamaan (2) dengan waktu yang didapat dari Persamaan (3). Persamaan (2) merupakan turunan dari hubungan antara densitas, tekanan dan kecepatan suara di udara (Lampiran 4). Untuk lebih jelas, persamaan-persamaan yang digunakan sebagai berikut:

= + ……….…. (1) � = 331.5 + 0.6� ……….. (2) = � � � ……….. (3) �=�× ……….. (4) Keterangan:

Y = Suhu udara pengukuran termometer (ºC) X = Suhu udara pengukuran MOTIWALI (ºC) a = Konstanta (0,9985)

b = Konstanta (3,539)

C = Kecepatan suara terkoreksi (m/s) θ = Suhu udara terkoreksi (ºC)

3.3.2.Pengolahan data lapang

Pada pengolahan data hasil pengukuran lapang terdapat perbedaan untuk suhu pengukuran MOTIWALI. Suhu tersebut tidak dicocokkan (fitting) dengan suhu manual karena sudah ada persamaan untuk mengetahui suhu udara

sebenarnya yang didapat dari pengukuran di laboratorium. Proses pengolahan data hasil pengukuran lapang dapat di lihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram alir pengolahan data MOTIWALI di lapang Data yang didapat dari pengukuran menggunakan MOTIWALI, baik jarak maupun suhu, ditapis (filter) menggunakan metode moving average filtering. Selanjutnya, pengolahan data lapang dilakukan seperti langkah pengolahan data laboratorium. Akan tetapi, untuk data lapang tidak perlu lagi pencocokan data

suhu karena pada pengolahan data laboratorium sebelumnya telah didapat Persamaan (1), sehingga suhu hasil pengukuran MOTIWALI menjadi suhu terkoreksi setelah dimasukkan kedalam Persamaan (1). Setelah itu, suhu terkoreksi digunakan untuk mencari kecepatan suara terkoreksi dengan

menggunakan Persamaan (2). Data jarak yang didapat MOTIWALI digunakan untuk mencari waktu tempuh perambatannya dengan pembagian jarak tersebut terhadap kecepatan suara berdasarkan teori (lihat Persamaan (3)). Dari proses ini dapat diketahui jarak terkoreksi dengan menggunakan Persamaan (4). Jarak terkoreksi bisa diolah lagi menjadi data kedalaman dengan menggunakan Persamaan (5) di bawah.

ℎ = − ... (5) Keterangan:

c = Jarak yang terukur oleh MOTIWALI (cm)

b = Jarak dari dasar perairan ke permukaan sensor MOTIWALI (cm) 3.4. Analisis data

Analisis data dibagi menjadi dua yaitu analisis data untuk koreksi suhu dan analisis data untuk menentukan faktor koreksi suhu.

3.4.1.Analisis data koreksi suhu

Analisis data dilakukan untuk mengoreksi suhu yang didapat MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya yang diukur menggunakan termometer (suhu manual) dengan cara analisis regresi linear menggunakan curve fitting tool yang ada pada software MATLAB. Hasil akhir dari analisis ini berupa persamaan regresi linear. Analisis ini dilakukan dengan memplotkan nilai kedua suhu

tersebut pada sumbu X dan sumbu Y dengan menggunakan MATLAB, dimana X adalah suhu MOTIWALI dan Y adalah suhu manual.

3.4.2.Analisis data faktor koreksi suhu

Analisis data untuk menentukan faktor koreksi suhu dilakukan dengan mencari nilai rata-rata dari selisih antara jarak acuan dan jarak koreksi suhu (Persamaan (6)). � �= �( � − �) ... (6) Keterangan: i = Data pertama k = Data ke-k n = Jumlah data

3.5. Metode Penempatan Alat

Penempatan alat dilakukan di tempat yang tidak terkena pengaruh gelombang secara langsung, yaitu di darmaga pelabuhan kapal. Mistar pasut ditempatkan dengan cara diikatkan ke badan darmaga secara tegak lurus. Untuk alat MOTIWALI ditempatkan di darat dengan sensor menjorok ke laut dan mengarah ke permukaan air laut (Gambar 10). Sensor transduser yang dimiliki MOTIWALI menghasilkan gelombang akustik yang berfungsi mengukur jarak dari sensor ke permukaan air laut.

27

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Koreksi Suhu

Koreksi suhu udara antara data MOTIWALI dengan suhu udara sebenarnya (suhu manual) dianalisis menggunakan analisis regresi linear. Dari analisis tersebut dihasilkan persamaan yang menghubungkan kedua parameter yang dianalisis dengan persamaan Y = 0,9985X + 3,539 pada selang kepercayaan 95%, dimana X adalah suhu udara yang terukur oleh MOTIWALI dan Y adalah suhu manual. Gambar 11 merupakan grafik koreksi kedua suhu tersebut.

Gambar 11. Grafik koreksi suhu

Jumlah data yang digunakan dalam melakukan koreksi sebanyak 25 data, baik MOTIWALI maupun manual. Hal ini disebabkan karena keterbatasan dari data suhu manual yang ada, sehingga suhu MOTIWALI disesuaikan dengan suhu manual. Oleh karena suhu manual dan MOTIWALI tidak memiliki waktu

pengukuran yang tepat sama, sehingga pemilihan data MOTIWALI dilakukan dengan melihat waktu pengukuran yang terdekat dari waktu pengambilan data

suhu manual. Setelah mengevaluasi data menggunakan persamaan yang diperoleh, untuk suhu MOTIWALI sebesar 21,6 ºC di udara yang sebenarnya suhu memiliki nilai sebesar 25,1 ºC. Suhu MOTIWALI sebesar 23,6 ºC suhu udara sebenarnya memiliki nilai 27,1 ºC. Sehingga dapat diketahui bahwa antara suhu MOTIWALI dan suhu udara sebenarnya memiliki perbedaan sebesar 4,5 ºC.

Selain menghasilkan persamaan regresi linear, pencocokan (fitting) data menggunakan metode analisis regresi linear juga menghasilkan beberapa parameter fitting, diantaranya adalah (r-square) (r2)dan root mean square error (rmse). Nilai r-square (r2) atau dalam Walpole (1993) disebut koefisien

determinasi contoh dari hubungan antara suhu MOTIWALI dan suhu manual sebesar 0,6107 yang berarti 61,07% dari nilai-nilai suhu manual (sumbu-y) dapat dijelaskan oleh hubungan linear dengan nilai-nilai suhu MOTIWALI (sumbu-x). Mengacu pada acuan nilai r2, data-data tersebut memiliki kecenderungan sebesar 0,3893 atau 38,93% tidak dapat dijelaskan berdasarkan hubungan linearnya. Dari nilai r2 dapat diketahui koefisien korelasi (dilambangkan dengan r) sebesar 0,7814. Nilai root mean square error (rmse), semakin mendekati nilai nol maka persamaan fitting yang digunakan akan semakin baik. Nilai rmse dari hubungan suhu MOTIWALI dan manual adalah 0,4264. Berdasarkan nilai rmse yang diperoleh dapat dikatakan bahwa persamaan yang didapat masih belum baik. Untuk memperbaiki persamaan dapat dilakukan dengan memperbanyak data pengukuran.

4.2. Jarak dan Suhu MOTIWALI

Pengukuran dilakukan untuk mendapatkan faktor koreksi dengan

suhu (garis warna merah) dan jarak MOTIWALI (garis biru) serta jarak acuan (garis coklat).

Gambar 12. Grafik keluaran MOTIWALI

Berdasarkan Gambar 12, terlihat bahwa suhu dan jarak memiliki hubungan yang berkebalikan sesuai dengan teori Branconi (1740) in Bohn (1988), yang menyatakan peningkatan suhu di udara akan meningkatkan kecepatan suara di udara. Dengan demikian, pada jarak yang tetap (fix) akan ditempuh dalam waktu yang lebih singkat. Data jarak memiliki bentuk grafik yang sangat rapat karena waktu pengambilan data (sampling) yang singkat. Pada lingkaran warna hitam terdapat pencilan data yang diduga terjadi akibat kesalahan elektronik. Kesalahan ini terjadi bias disebabkan karena tegangan masukan yang tidak seimbang,

sehingga menyebabkan adanya delay berlebih pada saat penerimaan sinyal balik (echo) dari objek. Dugaan lain adalah terjadi efek Dopler yang menyebabkan nilai dari pantulan bertambah. Bertambahnya nilai pantulan ini karena ada lebih dari satu echo yang terdeteksi oleh sensor. Untuk mengurangi kesalahan data

akibat data pencilan ini, sebaiknya data tersebut dihilangkan atau di sortir terlebih dahulu. Keterangan statistik dari data yang diperoleh data dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI

Parameter MOTIWALI Suhu (ºC) Jarak (cm) Minimal 21,6 168,2 Maksimal 23,8 171,4 Mean 22,5 169,1 Median 22,3 169,2 Modus 22,3 169,2 Standar Deviasi 0,5 0,2 Range 2,2 3,2

Kisaran jarak selama pengukuran diperoleh nilai terbesar sebesar 171,4 cm dan terkecil sebesar 168,2 cm dan memiliki nilai rata-rata sebesar 169,1 cm, sedangkan suhu terbesar yaitu 23,8 ºC dan terkecil sebesar 21,6 ºC dengan rata- rata nilai suhu sebesar 22,5 ºC. Ketelitian data MOTIWALI untuk pengukuran jarak sebesar 169,1 ± 0,2 cm.

4.3. Jarak dan Suhu Hasil Koreksi

Sebelum data diproses menggunakan Persamaan (2) sampai Persamaan (4), data tersebut ditapis menggunakan metode moving average filtering dengan rentang data setiap lima data dan data suhu dikoreksi menggunakan persamaan yang didapat dari koreksi suhu (Persamaan (1)). Pemilihan perata-rataan setiap lima data didasari pada mean absolute percentage error (MAPE) yang paling kecil, dengan nilai sebesar 0,087313, dibandingkan dengan perata-rataan setiap tiga maupun sepuluh data, dengan nilai MAPE masing-maasing sebesar 0,088861 dan 0,087431. Jarak hasil koreksi ini sudah meminimalisir pengaruh suhu udara terhadap jarak. Setelah meminimalisir pengaruh suhu, diharapkan jarak yang

didapat mendekati jarak sebenarnya atau jarak acuannya. Data suhu ditunjukkan oleh garis warna merah, dan jarak ditunjukkan dengan garis biru, sedangkan jarak acuan ditunjukkan oleh warna coklat (Gambar 13).

Gambar 13. Grafik suhu dan jarak terkoreksi

Berdasarkan Gambar 13, jarak hasil koreksi suhu lebih halus dibandingkan dengan jarak sebelum dikoreksi akibat proses smoothing. Terlihat bahwa secara umum pola garis yang dibentuk oleh jarak berlawanan dengan pola suhunya, artinya jarak akan sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu. Adanya pola garis jarak yang mengikuti pola garis suhu diduga karena faktor yang mempengaruhi kecepatan suara tidak hanya suhu (Bohn, 1988).

Nilai jarak tertinggi sebesar 171,7 cm dan jarak terendah sebesar 170,6 cm (Tabel 4). Apabila mengacu pada jarak tetap yang diketahui, yaitu 173 cm, maka akurasi MOTIWALI mengalami peningkatan sebesar 46,1%. Ketelitian dari jarak terkoreksi adalah 171,2 ± 0,1 cm. Data suhu yang telah dikoreksi memiliki nilai tertinggi sebesar 27,3 ºC dan terendah sebesar 25,1 ºC dengan nilai rata-rata

sebesar 26,0 ºC. Ketelitian dari nilai suhu setelah dikoreksi adalah 26,0 ± 0,5 ºC (Tabel 4).

Tabel 4. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI Terkoreksi

Parameter MOTIWALI Suhu (ºC) Jarak (cm) Minimal 25,1 170,6 Maksimal 27,3 171,7 Mean 26,0 171,2 Median 25,8 171,2 Modus 25,8 171,1 Standar Deviasi 0,5 0,1 Range 2,2 1,1 4.4. Perbandingan Jarak

Pada Gambar 14, ditunjukkan perbandingan nilai jarak yang didapat dari keluaran MOTIWALI (garis warna biru) dengan jarak yang sudah terkoreksi dengan suhu udara (garis warna merah) dan jarak acuan (garis warna coklat).

Gambar 14 . Grafik perbandingan jarak

Dengan nilai jarak acuan atau jarak tetap sebesar 173 cm, nilai jarak yang dihasilkan dari hasil koreksi memiliki nilai yang semakin mendekati jarak acuan

tersebut yaitu sebesar 171,7 cm. Apabila dibandingkan dengan jarak keluaran sebelum dilakukan pengkoreksian terhadap suhu udara yang memiliki nilai jarak sebesar 171,4 cm, maka jarak terkoreksi menjadi lebih akurat. Grafik jarak hasil koreksi, memiliki pola yang lebih halus dibandingkan dengan grafik jarak keluaran MOTIWALI dengan pola fluktuatif. Data yang ditandai dengan lingkaran warna hitam (awal dan akhir susunan data), menunjukkan bahwa pada suhu di atas 26,0 ºC (Gambar 13) diduga menyebabkan salah yang besar terhadap jarak (Gambar 14).

Penentuan koefisien koreksi dibutuhkan untuk menambahkan nilai hasil pengukuran MOTIWALI agar mendekati nilai keadaan sebenarnya, digunakan Persamaan (6) dengan menentukan rata-rata dari selisih jarak tetap dikurangi dengan jarak koreksi. Keterangan statistik data jarak dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Deskriptif Statistik Data Perbandingan Jarak

Parameter Jarak (cm) MOTIWALI Koreksi Minimal 168,2 170,6 Maksimal 171,4 171,7 Mean 169,1 171,2 Median 169,2 171,2 Modus 169,2 171,1 Standar Deviasi 0,2 0,1 Range 3,2 1,1

Gambar 15 menunjukkan perbandingan grafik jarak tetap (garis coklat) dengan jarak terkoreksi (garis biru). Nilai jarak setelah dikoreksi memiliki standar deviasi sebesar 0,1 (Tabel 5). Apabila membandingkan ketelitian antara jarak keluaran MOTIWALI dan jarak koreksi didapat perbedaan yaitu jarak MOTIWALI memiliki rentang yang lebih besar, 3,2 cm, sedangkan jarak koreksi

sebesar 1,1 cm, sehingga ketelitiannya menjadi semakin tinggi setelah dikoreksi. Rata-rata dari selisih antara jarak tetap dikurangi dengan jarak terkoreksi suhu udara adalah sebesar 1,8 cm, sehingga dapat dikatakan bahwa rata-rata akurasi pengukuran adalah pada kisaran 1,8 cm.

Gambar 15. Grafik perbandingan jarak terkoreksi dan jarak tetap 4.5. Pengukuran Lapang Pasang Surut

Pengukuran lapang pasang surut dimaksudkan untuk menguji kinerja alat ketika digunakan pada pengukuran sebenarnya. Selain untuk menguji kinerja alat, pengukuran lapang pasang surut juga bertujuan untuk mengetahui secara visual pola pasang surut yang terbentuk selama pengukuran. Pengukuran pasang surut dengan menggunakan MOTIWALI dilakukan dengan metode yang sama dengan pengukuran di laboratorium. Namun demikian, pada pengukuran pasang surut di lapang dilakukan dengan jarak yang berubah-ubah mengikuti gerakan naik turunnya permukan air laut.

4.5.1.Jarak dan suhu koreksi di lapang

Gambar 16 merupakan grafik data keluaran MOTIWALI. Dari data tersebut dihubungkan data suhu MOTIWALI (garis merah) dan jarak MOTIWALI (garis biru).

Gambar 16. Grafik suhu dan jarak terkoreksi di lapang

Grafik jarak pada Gambar 16 adalah hasil pengukuran jarak dari permukaan sensor (transduser) ke permukaan muka air laut, sehingga pola dari grafiknya berkebalikan dengan pola gerakan naik turunnya muka air laut sebenarnya. Tanda panah dengan keterangan surut menggambarkan keadaan surut pada kondisi lapang sebenarnya, sedangkan tanda panah dengan keterangan pasang menggambarkan keadaan pasang pada keadaan yang sebenarnya.

Berdasarkan Tabel 6 dapat diketahui bahwa jarak tertinggi dan terendah yang didapat dari hasil pengukuran berturut-turut adalah 108,5 cm dan 54,3 cm, dengan jarak rata-rata sebesar 84,6 cm. Untuk suhu tertinggi sebesar 30,5 ºC dan terendah sebesar 24,5 ºC, dengan suhu rata-rata sebesar 26,7 ºC.

Tabel 6. Deskriptif Statistik Data MOTIWALI Terkoreksi di Lapang Parameter MOTIWALI Suhu (ºC) Jarak (cm) Minimal 24,5 54,3 Maksimal 30,5 108,5 Mean 26,7 84,6 Median 26,5 87,2 Modus 25,6 80,1 Standar Deviasi 1,3 12,6 Range 6,0 54,2

4.5.2.Perbandingan jarak di lapang

Jarak MOTIWALI sebelum dan sesudah dikoreksi dibandingkan untuk melihat perbedaan pada peningkatan nilai jarak pada jarak setelah dikoreksi. Gambar 17 merupakan grafik perbandingan kedua nilai jarak, dimana jarak MOTIWALI ditunjukkan dengan garis warna merah dan jarak koreksi ditunjukkan denagn garis warna biru.

Berdasarkan Gambar 17, setelah jarak ditapis dan dikoreksi, jarak menjadi semakin halus dan mengalami peningkatan nilai sebesar 1,1 cm. Jarak yang didapat MOTIWALI memiliki nilai tertinggi sebesar 108,6 cm dan terendah sebesar 50,9 cm. Selang (range) data dari kedua jarak tersebut juga berbeda. Jarak MOTIWALI memiliki selang data sebesar 57,7 cm, sedangkan jarak koreksi memiliki selang data sebesar 54,2 cm. Dari selang data ini diketahui bahwa amplitudo jarak koreksi menjadi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan amplitudo jarak MOTIWALI (Tabel 7).

Tabel 7. Deskriptif Statistik Perbandingan Jarak di Lapang

Parameter Jarak (cm) MOTIWALI Koreksi Minimal 50,9 54,3 Maksimal 108,6 108,5 Mean 83,5 84,6 Median 86,0 87,2 Modus 58,7 80,1 Standar Deviasi 12,6 12,6 Range 57,7 54,2 4.5.3. Pasang surut

Pengukuran lapang pasang surut dilakukan di perairan Pulau Pramuka yang termasuk dalam wilayah Laut Jawa. Laut Jawa merupakan perairan dangkal dengan kedalaman meningkat dari 20 m hingga lebih dari 60 m (Koropitan dan Ikeda, 2008). Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan dua alat ukur, yaitu MOTIWALI (automatic recording) dan Mistar Pasut (manual recording).

Pengukuran manual dilakukan untuk dibandingkan dengan pengukuran menggunakan MOTIWALI. Grafik tinggi muka air (sea level) berdasarkan pengukuran manual (menggunakan mistar pasut) ditunjukkan dengan garis warna

merah, sedangkan pengukuran menggunakan MOTIWALI ditunjukkan dengan garis warna biru (Gambar 18).

Gambar 18. Grafik pengukuran pasang surut

Grafik pasang surut pada Gambar 18 dibagi berdasarkan hari yang diberi keterangan pada bagian atas gambar tersebut. Hari ke-1 memiliki nilai tertinggi sebesar untuk MOTIWALI dan Manual, masing-masing 11,2 cm dan 13,4 cm, sedangkan nilai minimumnya sebesar -24 cm dan -21,6 cm untuk MOTIWALI dan Manual. Hari ke-2 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada Hari ke-1 yaitu sebesar 30,2 cm untuk MOTIWALI dan 30,9 cm untuk Manual. Nilai terendah dari MOTIWALI dan Manual pada Hari ke-2 sebesar -15,7 cm dan -16,6 cm. Untuk lebih jelas, nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Penyebab terjadinya perbedaan nilai dari hasil kedua pengukuran tersebut adalah

kekurangakuratan pada saat pengukuran menggunakan mistar pasut diakibatkan karena terjadi paralaks mata. Selain itu, skala yang digunakan kurang teliti yaitu hanya sebesar 1 cm. Namun demikian, dengan perbedaan yang kecil ini, dapat dikatakan bahwa MOTIWALI sudah baik untuk mengukur pasang surut air laut.

Tabel 8. Deskriptif Statistik Pengukuran Pasang Surut Parameter

Sea Level (cm)

MOTIWALI Mistar Pasut

Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-1 Hari ke-2

Minimal -24,0 -15,7 -21,6 -16,6

Maksimal 11,2 30,2 13,4 30,9

Berdasarkan Gambar 18 dapat dilihat bahwa pengukuran pasang surut menggunakan MOTIWALI memiliki pola yang serupa dengan pengukuran pasang surut menggunakan mistar pasut. Pengukuran pasang surut menggunakan

MOTIWALI dan mistar pasut memiliki perbedaan yang terlihat dari grafik MOTIWALI lebih halus dibandingkan dengan pengukuran Manual. Perbedaan ini terjadi karena MOTIWALI memiliki sampling rate yang tinggi yaitu setiap 5 menit, sedangkan pengukuran Manual dilakukan setiap 15 menit. Jika melihat grafik pasang surut pada Hari ke-1, terlihat bahwa pasang tertinggi terjadi pada waktu malam hari mendekati waktu pergantian hari antara pukul 18:00:00 WIB sampai pukul 00:00:00 WIB. Selanjutnya diikuti dengan dua kali surut dan satu kali pasang yang tidak terlalu tinggi pada selang waktu antara pukul 06:00:00 WIB sampai pukul 18:00:00 WIB.

Hari ke-2 terjadi dua kali pasang dan satu kali surut, surut pertama terjadi antara pukul 12:00:00 WIB sampai pukul 18:00:00 WIB. Selang waktu antara pukul 18:00:00 WIB sampai pukul 06:00:00 WIB terjadi pasang yang lebih tinggi dibandingkan Hari ke-1 dengan puncak mendekati pukul 00:00:00 WIB. Surut kedua terjadi pada selang waktu antara pukul 06:00:00 WIB sampai pukul 12:00:00 WIB. Menurut Suyarso (1987), karakteristik pasang surut di perairan dangkal memiliki waktu dari surut ke pasang yang lebih kecil dibandingkan

dengan dari pasang ke surut. Hal ini dapat dilihat pada garis hitam (surut ke pasang) dan garis hijau putus-putus (pasang ke surut) pada Gambar 18.

Tabel 9 menggambarkan nilai Tidal Range (tunggang pasut) antara setiap pasang dan surut yang terjadi. Tidal Range adalah selisih antara pasang tertinggi dan surut terendah. Pasang 1-1 menjelaskan pasang pertama yang terjadi pada Hari ke-1, sedangkan Pasang 2-1 menjelaskan pasang pertama yang terjadi pada Hari ke-2. Begitu juga dengan surut, Surut 1-1 menjelaskan surut pertama yang terjadi pada Hari ke-1, Surut 2-1 adalah surut pertama pada Hari ke-2.

Tabel 9. Nilai Tunggang Pasut

Tidal Range Nilai (cm) Keterangan MOTIWALI Mistar Pasut (Manua l) Pasang 1-1 dengan Surut 1-1 23,1 25,0 Hari ke-1 Pasang 1-2 dengan Surut 1-1 13,8 15,0 Pasang 2-1 dengan Surut 2-1 45,9 47,5 Hari ke-2 Pasang 2-1 dengan Surut 2-2 41,6 42,5

Jika melihat pola pasang surut yang terjadi dalam satu hari secara visual, maka pola pasang surut yang terbentuk di perairan Pulau Pramuka masuk ke dalam tipe pasang surut campuran dominansi tunggal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pariwono (1987), perairan Laut Jawa didominasi oleh tipe pasang surut harian tunggal, khusus di perairan Kepulauan Seribu tipe pasang surutnya

adalah campuran cenderung tunggal. Menurut Wyrtki (1961), Pasang surut campuran condong harian tunggal merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu.

Pasang 1-1 ke Surut 1-1 memiliki tunggang pasut sebesar 23,1 cm dan 25 cm untuk MOTIWALI dan Manual, sedangkan dari Pasang 1-2 ke Surut 1-1 memiliki tunggang pasut sebesar 13,8 cm dan 15 cm. Hari ke-2 memiliki nilai tunggang pasut lebih besar dibandingkan dengan Hari ke-1. Hal ini disebabkan karena pada saat pengukuran terjadi gelombang yang cukup besar disekitar

perairan Pulau Pramuka, sehingga menyebabkan permukaan air laut menjadi lebih tinggi. Nilai tunggang pasut dari Pasang 2-1 ke surut 2-1 sebesar 45,9 cm dan 47,5 cm untuk MOTIWALI dan Manual, sedangkan dari Pasang 2-1 ke Surut 2-2 sebesar 41,6 cm dan 42,5 cm.

Wyrtki (1961) in Koropitan dan Ikeda (2008) mengatakan bahwa tipe pasang surut campuran cenderung tunggal (predominantly diurnal) berhubungan pada sifat dari perambatan pasang surut dari laut perbatasan. Pasut semi-diurnal yang memasuki Laut Jawa lemah karena efek dari pembelokan gelombang pasut yang menuju ke utara dari Samudera Hindia di Laut Flores. Selain itu, bagian terkecil dari gelombang yang dibelokkan merambat jauh sampa ke Selat Makasar dan bertemu dengan gelombang yang berasal dari Samudera Pasifik. Dilain sisi, gelombang pasut diurnal yang lebih kuat dari Samudera Pasifik mampu masuk sampai ke Laut Flores dan bertemu gelombang dari Samudera Hindia melewati Kepulauan Paparan Sunda dan Laut Timor.

42

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu:

1. Setelah dilakukan uji coba dengan mengoreksi suhu udara, MOTIWALI menghasilkan peningkatan akurasi sebesar 46,1% dengan rata-rata akurasi pengukuran adalah pada kisaran 1,8 cm.

2. Faktor koreksi suhu menyebabkan bertambahnya nilai jarak dari MOTIWALI. Pada jarak tetap sebesar 173 cm, MOTIWALI memiliki

Dokumen terkait