• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan jarak di lapang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3. Jarak dan Suhu Hasil Koreks

4.5.2. Perbandingan jarak di lapang

Jarak MOTIWALI sebelum dan sesudah dikoreksi dibandingkan untuk melihat perbedaan pada peningkatan nilai jarak pada jarak setelah dikoreksi. Gambar 17 merupakan grafik perbandingan kedua nilai jarak, dimana jarak MOTIWALI ditunjukkan dengan garis warna merah dan jarak koreksi ditunjukkan denagn garis warna biru.

Berdasarkan Gambar 17, setelah jarak ditapis dan dikoreksi, jarak menjadi semakin halus dan mengalami peningkatan nilai sebesar 1,1 cm. Jarak yang didapat MOTIWALI memiliki nilai tertinggi sebesar 108,6 cm dan terendah sebesar 50,9 cm. Selang (range) data dari kedua jarak tersebut juga berbeda. Jarak MOTIWALI memiliki selang data sebesar 57,7 cm, sedangkan jarak koreksi memiliki selang data sebesar 54,2 cm. Dari selang data ini diketahui bahwa amplitudo jarak koreksi menjadi menjadi lebih kecil dibandingkan dengan amplitudo jarak MOTIWALI (Tabel 7).

Tabel 7. Deskriptif Statistik Perbandingan Jarak di Lapang

Parameter Jarak (cm) MOTIWALI Koreksi Minimal 50,9 54,3 Maksimal 108,6 108,5 Mean 83,5 84,6 Median 86,0 87,2 Modus 58,7 80,1 Standar Deviasi 12,6 12,6 Range 57,7 54,2 4.5.3. Pasang surut

Pengukuran lapang pasang surut dilakukan di perairan Pulau Pramuka yang termasuk dalam wilayah Laut Jawa. Laut Jawa merupakan perairan dangkal dengan kedalaman meningkat dari 20 m hingga lebih dari 60 m (Koropitan dan Ikeda, 2008). Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan dua alat ukur, yaitu MOTIWALI (automatic recording) dan Mistar Pasut (manual recording).

Pengukuran manual dilakukan untuk dibandingkan dengan pengukuran menggunakan MOTIWALI. Grafik tinggi muka air (sea level) berdasarkan pengukuran manual (menggunakan mistar pasut) ditunjukkan dengan garis warna

merah, sedangkan pengukuran menggunakan MOTIWALI ditunjukkan dengan garis warna biru (Gambar 18).

Gambar 18. Grafik pengukuran pasang surut

Grafik pasang surut pada Gambar 18 dibagi berdasarkan hari yang diberi keterangan pada bagian atas gambar tersebut. Hari ke-1 memiliki nilai tertinggi sebesar untuk MOTIWALI dan Manual, masing-masing 11,2 cm dan 13,4 cm, sedangkan nilai minimumnya sebesar -24 cm dan -21,6 cm untuk MOTIWALI dan Manual. Hari ke-2 memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan pada Hari ke-1 yaitu sebesar 30,2 cm untuk MOTIWALI dan 30,9 cm untuk Manual. Nilai terendah dari MOTIWALI dan Manual pada Hari ke-2 sebesar -15,7 cm dan -16,6 cm. Untuk lebih jelas, nilai-nilai tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Penyebab terjadinya perbedaan nilai dari hasil kedua pengukuran tersebut adalah

kekurangakuratan pada saat pengukuran menggunakan mistar pasut diakibatkan karena terjadi paralaks mata. Selain itu, skala yang digunakan kurang teliti yaitu hanya sebesar 1 cm. Namun demikian, dengan perbedaan yang kecil ini, dapat dikatakan bahwa MOTIWALI sudah baik untuk mengukur pasang surut air laut.

Tabel 8. Deskriptif Statistik Pengukuran Pasang Surut Parameter

Sea Level (cm)

MOTIWALI Mistar Pasut

Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-1 Hari ke-2

Minimal -24,0 -15,7 -21,6 -16,6

Maksimal 11,2 30,2 13,4 30,9

Berdasarkan Gambar 18 dapat dilihat bahwa pengukuran pasang surut menggunakan MOTIWALI memiliki pola yang serupa dengan pengukuran pasang surut menggunakan mistar pasut. Pengukuran pasang surut menggunakan

MOTIWALI dan mistar pasut memiliki perbedaan yang terlihat dari grafik MOTIWALI lebih halus dibandingkan dengan pengukuran Manual. Perbedaan ini terjadi karena MOTIWALI memiliki sampling rate yang tinggi yaitu setiap 5 menit, sedangkan pengukuran Manual dilakukan setiap 15 menit. Jika melihat grafik pasang surut pada Hari ke-1, terlihat bahwa pasang tertinggi terjadi pada waktu malam hari mendekati waktu pergantian hari antara pukul 18:00:00 WIB sampai pukul 00:00:00 WIB. Selanjutnya diikuti dengan dua kali surut dan satu kali pasang yang tidak terlalu tinggi pada selang waktu antara pukul 06:00:00 WIB sampai pukul 18:00:00 WIB.

Hari ke-2 terjadi dua kali pasang dan satu kali surut, surut pertama terjadi antara pukul 12:00:00 WIB sampai pukul 18:00:00 WIB. Selang waktu antara pukul 18:00:00 WIB sampai pukul 06:00:00 WIB terjadi pasang yang lebih tinggi dibandingkan Hari ke-1 dengan puncak mendekati pukul 00:00:00 WIB. Surut kedua terjadi pada selang waktu antara pukul 06:00:00 WIB sampai pukul 12:00:00 WIB. Menurut Suyarso (1987), karakteristik pasang surut di perairan dangkal memiliki waktu dari surut ke pasang yang lebih kecil dibandingkan

dengan dari pasang ke surut. Hal ini dapat dilihat pada garis hitam (surut ke pasang) dan garis hijau putus-putus (pasang ke surut) pada Gambar 18.

Tabel 9 menggambarkan nilai Tidal Range (tunggang pasut) antara setiap pasang dan surut yang terjadi. Tidal Range adalah selisih antara pasang tertinggi dan surut terendah. Pasang 1-1 menjelaskan pasang pertama yang terjadi pada Hari ke-1, sedangkan Pasang 2-1 menjelaskan pasang pertama yang terjadi pada Hari ke-2. Begitu juga dengan surut, Surut 1-1 menjelaskan surut pertama yang terjadi pada Hari ke-1, Surut 2-1 adalah surut pertama pada Hari ke-2.

Tabel 9. Nilai Tunggang Pasut

Tidal Range Nilai (cm) Keterangan MOTIWALI Mistar Pasut (Manua l) Pasang 1-1 dengan Surut 1-1 23,1 25,0 Hari ke-1 Pasang 1-2 dengan Surut 1-1 13,8 15,0 Pasang 2-1 dengan Surut 2-1 45,9 47,5 Hari ke-2 Pasang 2-1 dengan Surut 2-2 41,6 42,5

Jika melihat pola pasang surut yang terjadi dalam satu hari secara visual, maka pola pasang surut yang terbentuk di perairan Pulau Pramuka masuk ke dalam tipe pasang surut campuran dominansi tunggal. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Pariwono (1987), perairan Laut Jawa didominasi oleh tipe pasang surut harian tunggal, khusus di perairan Kepulauan Seribu tipe pasang surutnya

adalah campuran cenderung tunggal. Menurut Wyrtki (1961), Pasang surut campuran condong harian tunggal merupakan pasut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu.

Pasang 1-1 ke Surut 1-1 memiliki tunggang pasut sebesar 23,1 cm dan 25 cm untuk MOTIWALI dan Manual, sedangkan dari Pasang 1-2 ke Surut 1-1 memiliki tunggang pasut sebesar 13,8 cm dan 15 cm. Hari ke-2 memiliki nilai tunggang pasut lebih besar dibandingkan dengan Hari ke-1. Hal ini disebabkan karena pada saat pengukuran terjadi gelombang yang cukup besar disekitar

perairan Pulau Pramuka, sehingga menyebabkan permukaan air laut menjadi lebih tinggi. Nilai tunggang pasut dari Pasang 2-1 ke surut 2-1 sebesar 45,9 cm dan 47,5 cm untuk MOTIWALI dan Manual, sedangkan dari Pasang 2-1 ke Surut 2-2 sebesar 41,6 cm dan 42,5 cm.

Wyrtki (1961) in Koropitan dan Ikeda (2008) mengatakan bahwa tipe pasang surut campuran cenderung tunggal (predominantly diurnal) berhubungan pada sifat dari perambatan pasang surut dari laut perbatasan. Pasut semi-diurnal yang memasuki Laut Jawa lemah karena efek dari pembelokan gelombang pasut yang menuju ke utara dari Samudera Hindia di Laut Flores. Selain itu, bagian terkecil dari gelombang yang dibelokkan merambat jauh sampa ke Selat Makasar dan bertemu dengan gelombang yang berasal dari Samudera Pasifik. Dilain sisi, gelombang pasut diurnal yang lebih kuat dari Samudera Pasifik mampu masuk sampai ke Laut Flores dan bertemu gelombang dari Samudera Hindia melewati Kepulauan Paparan Sunda dan Laut Timor.

42

Dokumen terkait