• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengolahan data spasial dari citra satelit

Citra satelit yang digunakan adalah Citra Landsat 7/ETM+path/row 122/066 akuisisi 27 Oktober 2006. Penulis menggunakan data citra tersebut karena selain harganya terjangkau, resolusi spasialnya cukup tinggi yaitu 30x30 m, sehingga bisa mewakili pemetaan resiko tsunami untuk skala satu kabupaten. Perbandingan citra satelit sebelum dan sesudah tsunami 1992 tidak dapat dilakukan karena tidak tersedianya data citra pra tsunami 1992.

Data citra yang diperoleh dalam penelitian ini sudah terkoreksi baik secara radiometrik maupun geometrik. Akan tetapi, untuk mendapatkan data dan hasil yang lebih akurat, dilakukan pengkoreksian ulang secara radiometrik dan geometrik.

Koreksi radiometrik citra dilakukan untuk mengurangi pengaruh hamburan atmosfer yang mempengaruhi nilai spektral citra. Metode yang digunakan dalam koreksi ini adalah metode penyesuaian histogram (histogram adjustment). Metode ini dipilih karena dapat dilakukan dengan mudah, tidak menggunakan algoritma yang rumit serta memberikan hasil yang baik (Susilo dan Lumban Gaol, 2008).

Pada metode ini nilai respon terendah dari setiap band adalah nol, sehingga dilakukan pengurangan nilai digital setiap piksel pada semua band, sehingga nilai minimumnya sama yaitu nol. Pada waktu pengolahan data citra 2006,

keseluruhan band sudah memiliki nilai spektral minimum nol dan nilai spektral maksimum 255, sehingga pengolahan langsung dilanjutkan dengan koreksi geometrik.

Koreksi geometrik citra dilakukan dengan metode rektifikasi (image to image rectification) dengan acuan citra akuisisi tanggal 27 September 2001 path/row

yang sama. Metode rektifikasinya adalahpolynomial dan tipe resampling citra adalah nearest neighbour dengan mengambil beberapa titik kontrol bumi (Ground Control Point). GCPyang diambil adalah sebanyak 30 titik yang menyebar merata pada permukaan objek daratan pada citra. Kualitas pada GCPyang digunakan cukup baik dengan nilai root mean square error (RMSE) yang kecil yaitu 0.3 (Lampiran 4). Ini berarti simpangan kesalahan yang dapat ditoleransi adalah 9 m (didapatkan dari perkalian RMSE dengan piksel Citra Landsat).

RMSE merupakan sebuah standar pengukuran statistika yang menjelaskan perbedaan antara lokasi titik yang sebenarnya di alam (actual point location) dan lokasi titik yang diestimasi secara matematik (mathematically estimated point location) (Earth Resource Mapping Ltd., 2008). Nilai RMSE sebaiknya kurang dari satu. Hal ini berarti bahwa rata-rata kesalahan di titik lokasi (X, Y) kurang dari satu sel citra.

4.1.2 Ekstraksi data citra

Data yang diekstrak dari Citra Landsat 7/ETM+ adalah data ekosistem pesisir yang meliputi ekosistem terumbu karang, lamun, dan mangrove. Ekosistem pesisir merupakan ekosistem penting yang berperan sebagai peredam energi gelombang tsunami, sehingga bisa meminimalkan dampak resiko tsunami. Pada penelitian ini, ekosistem pesisir termasuk ke dalam parameter pendukung sehingga tidak dikelaskan dalam matriks resiko tsunami.

Pendugaan awal ekosistem pesisir dilakukan dengan penajaman citra. Penajaman citra untuk terumbu karang adalah komposit 421 dan untuk mangrove adalah komposit 453. Penajaman tersebut akan memberikan

gambaran yang interpretatif tentang kenampakan atau keberadaan ekosistem di wilayah pesisir.

Untuk mendapatkan data ekosistem mangrove, setelah dilakukantraining area, akan didapatkan data kelas mangrove. Berdasarkan pengolahan data citra, diketahui bahwa ekosistem mangrove umumnya terdapat di bagian pesisir utara Kabupaten Sikka, sedangkan di bagian selatan tidak ditemukan adanya ekosistem mangrove. Hal ini diduga karena wilayah pesisir selatan Sikka merupakan daerah bertebing dan berarus cukup besar, sehingga mangrove sulit tumbuh dan berkembang biak. Mangrove merupakan vegetasi pesisir pantai yang hidup pada daerah yang terlindung seperti muara sungai.

Sebaran mangrove tidak ditemukan pada semua wilayah kecamatan di Kabupaten Sikka. Mangrove dominan terdapat di sekitar pulau-pulau kecil, terutama di Pulau Besar. Selain itu, terdapat juga di Kecamatan Alok dan Talibura dan serta sedikit terdapat pada Kecamatan Magepanda dan Waigete. Luasan vegetasi mangrove yang diekstrak dari citra adalah 249,30 Ha.

Berdasarkan laporan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sikka diketahui bahwa luas vegetasi mangrove tahun 2007 adalah 219,74 Ha (dengan perincian mangrove yang baik adalah 73,88 Ha dan mangrove yang rusak adalah 145,76 Ha).

Hasil wawancara dengan penduduk pesisir, diketahui bahwa semakin banyak hutan mangrove yang rusak di Kabupaten Sikka. Hal ini disebabkan karena adanya kegiatan destruktif masyarakat yang mengganggu keberadaan ekosistem mangrove, seperti pembabatan liar.

Ekosistem mangrove yang dominan di Kabupaten Sikka adalah jenis

Rhizopora (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Sikka, 2007).

Rhizoporamerupakan jenis mangrove yang paling mampu meredam abrasi dan tinggi gelombang tsunami dibandingkan jenis lainnya. Hal ini disebabkan karena

Rhizoporamemiliki formasi akar, batang, ranting, dan daun yang lebih rapat (Whitten et al., 1987 inYuwono, 2005). Selain ekosistem mangrove, hampir di keseluruhan daerah pesisir Kabupaten Sikka terdapat vegetasi pantai lain yang berperan penting dalam meredam energi gelombang tsunami yaitu pohon kelapa, enau, dan lontar.

Selanjutnya untuk mendapatkan data ekosistem terumbu karang dilakukan dengan menggunakan Transformasi Lyzenga. Setelah penulis melakukan

training areadan mengekstrak nilai digital Band1 dan Band2 didapat nilai koofisien atenuasi perairan (ki/kj) sebesar 1,1527 (Lampiran 5) sehingga algoritma Lyzengayang digunakan adalah Y= ln (TM1) + 1,1527 + ln (TM2). Selanjutnya nilai spektral citra hasil transformasi tersebut diklasifikasikan dengan

metode supervised. Hasil pengolahan yang didapat adalah data ekosistem terumbu karang, karang mati, lamun dan pasir.

Terumbu karang jarang hidup pada kedalaman sampai 40-60 m. Oleh karena itu, pada pemetaan terumbu karang, data terumbu karang yang diambil hanya sampai pada kedalaman 25 m saja. Berdasarkan pemetaan ekosistem terumbu karang dan derivatnya (Gambar 14) terlihat bahwa terumbu karang hidup hampir menyebar di sepanjang utara Kabupaten Sikka, kecuali di daerah Kecamatan Kewapante. Sedangkan karang mati banyak tersebar di sepanjang pantai selatan Kabupaten Sikka dan terlihat juga pada pulau-pulau kecil. Hal ini diduga karena pengaruh gelombang yang cukup besar di daerah pantai selatan. Ekosistem lamun tersebar pada semua wilayah tapi dalam jumlah yang sangat sedikit.

Gambar 14. Peta ekosistem pesisir Kabupaten Sikka

Ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang yang sudah diekstrak tersebut kemudian digabung menjadi satu data spasial ekosistem pesisir Kabupaten Sikka dengan luasan seperti disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Luasan ekosistem pesisir Kabupaten Sikka dari citra satelit No Ekosistem Luasan (Ha)

1 Mangrove 249,3

2 Terumbu karang 1.125,18 3 Karang mati 2.453,4

4 Lamun 489,24

Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa ekosistem terumbu karang

merupakan ekosistem yang paling luas, akan tetapi didominasi oleh karang mati. Hal ini diduga karena pengaruh faktor lingkungan dan aktivitas masyarakat yang

menangkap ikan dengan cara-cara yang tidak ramah lingkungan, sehingga banyak karang yang mati.

Resiko tsunami umumnya paling parah menimpa daerah pesisir. Keberadaan ekosistem pesisir merupakan ekosistem penting sebagai penghalang pertama untuk meredam energi gelombang tsunami.

4.2 Analisis kerawanan tsunami di Kabupaten Sikka

Dokumen terkait