HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan 2 Pengomposan pelepah daun kelapa sawit Suhu
Hasil pengukuran suhu pada timbunan bahan kompos menunjukkan bahwa proses pengomposan berlangsung pada suhu mesofilik atau tahap penghangatan saja (Gambar 3).. Menurut Hirrel dan Rilley (2002) peningkatan suhu pada timbunan bahan kompos dapat terjadi dengan cepat yang berkisar antara 30 – 60 oC yang merupakan suhu optimum dalam pengomposan. Namun pada penelitian pengomposan pelepah daun kelapa sawit ini, kisaran suhu hanya mencapai 34 oC (Gambar 3). Hal ini menyebabkan proses pengomposan tidak mengalami fase thermofilik yang suhunya berkisar antara 45 – 75 oC.
16
...
Gambar 3 Perubahan rata-rata suhu harian formula kompos pelepah daun kelapa sawit pada penggunaan tanpa biodekomposer (■), biodekomposer
komersil (▲) dan biodekomposer indigenous(●)
Belum tercapainya suhu thermofilik ini diduga karena rendahnya aktivitas mikroba yang terdapat didalam campuran bahan kompos sehingga suhu yang dihasilkan juga kurang panas. Rendahnya suhu ini menandakan bahwa komposisi bahan kompos belum sesuai dengan kebutuhan mikroba untuk mempercepat proses pengomposan. Hasil penelitian Setiawan (2009) menunjukkan, suhu optimum yang diperoleh pada pengomposan berbagai macam limbah yaitu eceng gondok, limbah pasar dan abaca dengan menambahkan cacing, EM4 dan pupuk kandang sebagai campuran bahan kompos hanya mencapai suhu 33.67 di minggu pertama pengomposan. Rendahnya suhu optimal yang dicapai diduga disebabkan juga oleh kurangnya volume bahan kompos serta tingkat curah hujan yang tinggi sehingga mempengaruhi kelembaban, difusi oksigen ke dalam kompos, suhu di luar kompos rendah yang merupakan faktor pembatas dalam proses pengomposan (Asyerem, 2011). Pada Gambar 3 juga menunjukkan bahwa penurunan aktivitas mikroba secara bertahap diikuti juga dengan penurunan suhu mencapai 28 oC kurang lebih seperti suhu awal sebelum pengomposan.
Nisbah C/N
Nisbah C/N yang dihasilkan mengalami penurunan selama masa pengomposan. Pada formula kompos yang menggunakan biodekomposer indigenous memiliki nisbah C/N paling rendah dibanding perlakuan lain namun tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 3).
25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39 42 S u h u oC
17
Nisbah C/N suatu bahan organik memberikan gambaran tentang mudah tidaknya bahan tersebut didegradasi, tingkat kematangan dan mobilisasi nitrogen yang dikandungnya. Nisbah C/N nyata dipengaruhi oleh waktu dekomposisi, nisbah C/N menurun dengan semakin lamanya waktu dekomposisi. Penurunan C/N ini biasanya sejalan dengan proses perubahan suhu timbunan kompos. Oleh karena suhu pengomposan tidak mencapai tahap thermofilik, maka penurunan nisbah C/N juga berjalan lambat (Tabel 3).
Tabel 3 Penurunan nisbah C/N formula kompos pelepah daun sawit Perlakuan Minggu ke – 2 4 6 8 (%) B0 (tanpa biodekomposer) 49.92 41.50 35.88 32.29 B1 (biodekomposer komersil) 49.54 42.57 35.30 32.72 B2 (biodekomposer indigenous) 50.21 42.51 35.93 28.01
Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan berbagai biodekomposer tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap kontrol pada kadar C kompos, karena di dalam ketiga formula bahan kompos mengandung mikroba pengurai yang kemungkinan hampir sama dalam cara kerjanya. Salah satunya adalah mikroba selulotik yang mengeluarkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi selobiosa lalu dihidrolisis lagi menjadi D-Glukosa dan difermentasikan menjadi asam laktat, etanol, CO2 dan amonia (Indriani 2003). Meskipun
biodekomposer indigenous dapat menurunkan nisbah C/N lebih rendah dibanding perlakuan lainnya, namun tidak berbeda nyata antar perlakuan. Biodekomposer indigenous yang digunakan lebih efektif karena berasal dari biakan mikroba yang berasal dari pelapukan secara alami pelepah daun kelapa sawit itu sendiri.
Laju penyusutan volume kompos
Persentase total penyusutan volume kompos pelepah daun sawit yang terjadi selama pengomposan memperlihatkan hasil yang berbeda nyata antara formula bahan kompos yang menggunakan biodekomposer baik komersil maupun indigenous terhadap kontrol (Tabel 4). Selama proses pengomposan pelepah daun sawit, terjadi perbedaan laju penyusutan antara masing-masing formula bahan kompos. Hal ini dikarenakan perlakuan biodekomposer yang berbeda pula.
Tabel 4 menunjukkan bahwa formula kompos yang menggunakan biodekomposer mengalami penyusutan yang lebih besar dibanding kontrol (tanpa penggunaan biodekomposer). Namun antara biodekomposer indigenous dan biodekomposer komersil tidak memperlihatkan perbedaan nyata. Diduga bahwa dengan penambahan biodekomposer akan meningkatkan jumlah mikroba yang bertugas mendekomposisi formula bahan organik yang dikomposkan sehingga laju penyusutan bahan kompos pun meningkat.
18
Tabel 4 Total penyusutan volume kompos pelepah daun sawit Perlakuan
Minggu ke –
2 4 6 8
(%)
B0 (tanpa biodekomposer) 18.43b 27.43b 35.27b 38.40ba
B1 (biodekomposer komersil) 22.60a 32.93a 39.30a 45.07a B2 (biodekomposer indigenous) 24.07a 34.03a 40.53a 46.23a
a
) angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan Uji BNJ pada taraf uji 5 %
Laju penyusutan volume kompos pelepah daun sawit selama pengomposan memperlihatkan hasil penyusutan tertinggi terjadi pada awal pengomposan yaitu 2 minggu setelah aplikasi (Gambar 4).
MSA = minggu setelah aplikasi
Gambar 4 Sisa volume kompos pelepah daun kelapa sawit selama masa pengomposan (%)
Pada Gambar 4 menunjukkan bahwa penyusutan tertinggi terjadi pada 2 MSA karena aktivitas mikroba juga masih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengomposan berjalan aktif dan bahan organik mampu diuraikan dengan baik. Sebaliknya pada 8 MSA penyusutan semakin kecil dibanding penyusutan yang terjadi di minggu-minggu sebelumnya. Namun dari pengamatan hasil penyusutan bahan kompos menunjukkan, penggunaan biodekomposer indigenous dapat menggantikan fungsi biodekomposer komersil ditunjukan dari pencapaian total penyusutan volume kompos yang tidak berbeda nyata antara keduanya.
0 20 40 60 80 100 1 2 3 4 5 % V ol um e K om pos
Waktu Pengamatan (MSA)
Tanpa Biodekomposer Biodekomposer komersil Biodekomposer Indigenous
19
Seiring dengan lamanya waktu pengomposan yang dibutuhkan, maka tingkat penyusutan bahan kompos yang terjadi semakin kecil karena bahan organik yang bisa didekomposisi juga semakin berkurang. Hal ini juga berdampak pada suhu pengomposan yang semakin menurun menunjukkan aktivitas mikroba yang juga makin berkurang. Adanya korelasi antara suhu dengan penyusutan bahan kompos menyebabkan laju penyusutan bahan kompos yang cepat ketika mencapai suhu optimum. Demikian juga dengan nisbah C/N yang semakin menurun setiap minggu diikuti dengan penyusutan bahan kompos karena semakin banyak bahan C organik yang dirombak oleh mikroba.
Kondisi fisik bahan kompos
Hasil pengamatan kondisi fisik bahan kompos yang dilakukan secara visual menunjukkan perubahan warna dari coklat terang dengan tekstur kasar yang masih jelas berbentuk cacahan pelepah daun, berbau khas cacahan daun dan kotoran sapi, dipegang terasa hangat di awal pengomposan mengalami perubahan setelah mengalami proses dekomposisi setelah 8 MST (Tabel 5).
Tabel 5 Kondisi fisik bahan kompos akhir pengomposan
Perlakuan Kondisi fisik bahan kompos akhir pengomposan B0 (tanpa biodekomposer) Berbentuk cacahan sedikit kasar, berwarna coklat
tua, tidak berbau, dipegang terasa dingin menyerupai suhu tanah
B1 (biodekomposer komersil) Berbentuk cacahan lebih halus, berwarna coklat gelap, tidak berbau, dipegang terasa dingin menyerupai suhu tanah
B2 (biodekomposer indigenous) Berbentuk cacahan lebih halus dan remah, berwarna coklat kehitam-hitaman, tidak berbau, dipegang terasa dingin menyerupai suhu tanah Pada awal pengomposan tekstur bahan kompos terlihat masih berupa serasah yang kering berwarna coklat terang dengan tingkat kelembaban rendah karena mengalami penguapan yang cepat. Setelah mengalami pengadukan, berangsur- angsur tekstur bahan kompos berubah menjadi lebih remah karena sudah mulai terjadi proses dekomposisi dengan warna coklat gelap dan berangsur menjadi berwarna coklat kehitaman.
Senyawa polifenol yang dihasilkan pada proses pengomposan senyawa lignoselulosa menjadi kuinon. Kuinon selanjutnya bereaksi dengan senyawa amino membentuk asam fulvik yang berwarna gelap (hitam) (MAF 1998). Salah satu indikasi tingkat kematangan kompos adalah dengan perubahan warna menjadi coklat kehitaman menyerupai tanah. Hal ini disebabkan oleh terbentuknya senyawa humik pada proses pengomposan. Pernyataan Setyorini (2006) dan Asyerem (2011) bahwa kompos yang berwarna kehitaman mengandung senyawa humus seperti asam humik, asam fulvik dan hematomalanik yang lebih banyak. Perubahan tekstur bahan kompos menjadi lebih remah dan hancur juga mengakibatkan perubahan warna menjadi coklat kehitaman.
20
Pada campuran bahan kompos yang menggunakan biodekomposer indigenous menunjukkan adanya kehidupan organisme lain seperti ditunjukan dari adanya hifa berwarna putih dari jenis fungi dan cacing (Gambar 5).
Gambar 5 Perubahan struktur dan warna yang terjadi dan hadirnya organisme lain (A) hifa dari jenis fungi, (B) dan (C) cacing pada formula bahan kompos dengan biodekomposer indigenous
Derajat kemasaman (pH)
Derajat kemasaman (pH) formula bahan kompos hanya berbeda di minggu ke- 2 setelah aplikasi pada biodekomposer komersil dan biodekomposer indigenous tetapi tidak berbeda nyata terhadap kontrol (Tabel 6).
Tabel 6 Rata-rata pH formula kompos pelepah daun sawit
Perlakuan
Minggu ke –
2 4 6 8
B0 (tanpa biodekomposer) 6.77ab a
6.93 7.17 6.93
B1 (biodekomposer komersil) 6.70b 6.93 7.27 7.07 B2 (biodekomposer indigenous) 6.83a 7.03 7.33 7.07
a
) angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan Uji BNJ pada taraf uji 5 %
Perubahan nilai pH juga menunjukkan adanya aktivitas pengomposan (Tabel 6). Perubahan pH selama proses pengomposan menunjukkan bahwa di awal pengomposan yang dilakukan secara aerobik, pH lebih rendah karena masih dihasilkan asam-asam organik sederhana melalui proses nitrifikasi dari hasil penguraian bahan organik secara intensif yang dilakukan oleh mikroba seiring dengan peningkatan suhu (Nurisamunandar 1999; Asyerem 2011; Ningsih et al. 2013).
Nilai pH secara perlahan kembali meningkat seiring dengan penurunan nisbah C/N dan perubahan asam-asam organik sederhana lebih lanjut diubah menjadi CO2
21
dan bebasnya asam amoniak sebagai akibat dari proses mineralisasi yaitu mikroorganisme mulai melepaskan unsur hara. Namun perubahan pH ini tidak signifikan karena perubahan suhu yang mempunyai rentang yang sangat pendek menjadikan kisaran pH pengomposan masih berada dalam kisaran normal (Tabel 6). Nilai pH yang diperoleh pada akhir pengomposan pelepah daun kelapa sawit ini masih sesuai SNI kompos 19-7030-2004 yaitu 6.80 – 7.49 dimana cukup ideal dalam menunjang pertumbuhan tanaman caisin ketika diaplikasikan sebagai tambahan bahan organik pada media tanam.
Analisis hara kompos
Hasil analisis hara kompos yang dilakukan pada 8 minggu setelah aplikasi menunjukkan bahwa penggunaan biodekomposer indigenous pada pembuatan kompos pelepah daun kelapa sawit menghasilkan kompos yang mutunya lebih baik dibandingkan biodekomposer komersil dan tanpa biodekomposer (Tabel 7).
Tabel 7 Analisis hara kompos pelepah daun sawit 8 MSA Kompos pelepah daun sawit C
... N ... P ...(%)... K ... C/N ... pH B0 (tanpa biodekomposer) 40.46 1.27 0.17 0.23 32.29 6.97 B1 (biodekomposer komersil) 41.86 1.28 0.18 0.27 32.72 7.03 B2 (biodekomposer indigenous) 40.06 1.43 0.20 0.29 28.01 7.17 SNI kompos 19-7030-2004 Min : Max : 9.8 32 0.4 ~ 0.1 ~ 0.2 * 10 – 20 - 6.8 7.49 Suriadikarta dan Setyorini
(2006)a
≥12 ˂5 ˂5 20-25 6.8-7.9 Keterangan : (~) tak terhingga, (*) lebih kecil dari minimum atau lebih besar dari maksimum, (a) Balai Besar litbang Sumberdaya Lahan Pertanian
Diduga unsur-unsur hara makro pada pupuk kandang yang ditambahkan dalam proses pengomposan hanya sebagian saja yang dipergunakan oleh bakteri pengurai. Sisa unsur makro yang tidak dimanfaatkan oleh bakteri tetap bercampur pada kompos yang dihasilkan, yang selanjutnya berfungsi juga sebagai penambah unsur hara makro dalam kompos yang dihasilkan.
Percobaan 3 : Penggunaan kompos sebagai amelioran tanaman caisin