• Tidak ada hasil yang ditemukan

Composting of Palm Oil Midrib leaf with Different Biodecomposter and used as Ameliorant

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Composting of Palm Oil Midrib leaf with Different Biodecomposter and used as Ameliorant"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

PENGOMPOSAN PELEPAH DAUN KELAPA SAWIT

DENGAN BIODEKOMPOSER BERBEDA SERTA

PEMANFAATANNYA SEBAGAI AMELIORAN

SRI YUNIATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengomposan Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Biodekomposer Berbeda serta Pemanfaatannya sebagai Amelioran adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Sri Yuniati

(4)

RINGKASAN

SRI YUNIATI. Pengomposan Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Biodekomposer Berbeda serta Pemanfaatannya sebagai Amelioran. Dibimbing oleh HARIYADI, PURWONO dan RAHAYU WIDYASTUTI.

Jumlah limbah pelepah daun kelapa sawit yang dihasilkan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan produksi kelapa sawit. Adanya penumpukan pelepah di sela-sela tanaman kelapa sawit khususnya di gawangan mati beberapa perkebunan kelapa sawit berpotensi menjadi sarang / inang bagi hama dan penyakit. Pelepah daun kelapa sawit mengandung lignin dan selulosa tinggi sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama agar bisa terurai sempurna. Upaya mempercepat dan memaksimalkan pengomposan limbah pelepah daun sawit dengan penggunaan biodekomposer diharapkan bisa meminimalkan material organik yang terangkut dari lahan pada saat panen. Pangkasan daun bahkan bisa dikembalikan lagi ke lahan tersebut dalam bentuk bahan siap pakai untuk menjaga stabilitas bahan organik tanah setelah melalui proses dekomposisi .

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi isolat mikroba indigenous, membandingkan laju pengomposan dan mengkaji pengaruh penggunaan kompos terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman caisin (Brassica rapa). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (ITSL) dan Kebun Percobaan Cikabayan University Farm IPB Darmaga Bogor. Identifikasi mikroba dilakukan di IPB Culture Collection

(IPBCC). Analisis hara tanah dan bahan kompos dilakukan di Laboratorium Kesuburan Tanah Departemen ITSL. Analisis klorofil di Laboratorium Molecular Marker Spectrophotometry dan pengamatan stomata di Laboratorium Mikroteknik Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH). Tahapan penelitian ini berlangsung sejak bulan Oktober 2012 sampai dengan Agustus 2013.

Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan. Percobaan pertama yaitu eksplorasi mikroba yang akan digunakan sebagai biodekomposer. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa biodekomposer indigenous menghasilkan jumlah koloni dua kali lebih banyak dibandingkan biodekomposer komersil. Berdasarkan hasil identifikasi, mikroba indigenous yang berasal dari pelapukan alami dalam perkebunan kelapa sawit adalah jenis fungi Trichoderma asperellum.

(5)

Pada percobaan ketiga yaitu penggunaan kompos yang dihasilkan sebagai amelioran tanaman caisin organik. Terdapat 4 perlakuan media yaitu M0 (media tanah tanpa kompos) ; M1 (media tanah + kompos B0 (tanpa biodekomposer)); M2 (media tanah + kompos B1 (dengan biodekomposer indigenous)); dan M3 (media tanah + kompos B2 (dengan biodekomposer komersil)). Kompos berasal dari limbah pelepah daun sawit yang sudah dikomposkan dengan menggunakan biodekomposer berbeda yaitu biodekomposer indigenous dan biodekomposer komersil (konsorsia Trichoderma harzianum DT 39 + T. Pseudokoningii DT 39,

Aspergillus sp. dan fungi pelapuk putih). Media yang menggunakan kompos sebagai amelioran ditambahkan 50 g kompos per 5 kg tanah / ember. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan empat perlakuan dan tiga ulangan. Penggunaan kompos dengan biodekomposer indigenous memberi hasil yang lebih baik dibanding biodekomposer komersil pada peubah luas daun, sementara jumlah daun, bobot basah tajuk dan bobot kering tajuk tanaman caisin pada 5 minggu setelah tanam tidak berbeda nyata sehingga penggunaan biodekomposer indigenous bisa menggantikan biodekomposer komersil.

(6)

SUMMARY

SRI YUNIATI. Composting of Palm Oil Midrib-leaf with Different Biodecomposter and used as Ameliorant. Supervised by HARIYADI, PURWONO and RAHAYU WIDYASTUTI.

The number of palm oil midrib-leaf wastes generated is increasing in line with the growth of palm oil production. Midrib buildup on the sidelines of palm oil plantations, especially in side off lines on several palm oil estates has the potential to become a den / host for pests and diseases. Palm oil midrib-leaf contains high lignin and cellulose that requires a long time to be able to decompose completely. Efforts to speed up and maximize the composting palm oil midrib-leaf waste with using biodecomposter expected to minimize organic matter transported from the field at harvest time. Trimming leaves can even be returned to the field in the form of materials ready used to maintain the stability of soil organic matter after going through the process of decomposition.

The objective of study were to identify indigenous microbe isolates, to compare the rate of composting and to identify influence of using compost toward growth and caisin yield (Brassica rapa). This experiment was done in Laboratory of Soil Biotechnology, Department of Soil Science and Land Resources and Cikabayan Teaching Farm in IPB Dramaga Bogor. Microbe identification was held in IPB Culture Collection (IPBCC). Analysis of soil nutrients and compost materials were conducted at the Laboratory of Soil Fertility, Soil Science and Land Resources Department. Chlorophyll analysis was done in the Laboratory of Molecular Marker Spectrophotometry and stomatal observation was carried out at the Microtechnic Laboratory of Agronomy and Horticulture Department (AGH). Stages of the study were lasted from October 2012 to August 2013.

This study consisted of three experiments. The first, microbe exploration was used as biodecomposter. The results obtained show that indigenous biodecomposter produce the number of colonies twice more than commercial biodecomposter. According to identification result, indigenous microbe derived from the natural weathering of oil palm estate is a type of fungi Trichoderma asperellum.

The second, composting of palm oil midrib-leaf. Treatment 1 (B0) shredded palm oil midrib-leaf + cow manure by 10%; treatment 2 (B1) shredded palm oil midrib-leaf + cow manure by 10% + commercial biodecomposter; treatment 3 (B2) shredded palm oil midrib-leaf + cow manure by 10% + indigenous biodecomposter. The experimental design used was one factor Randomized Block Design (RBD) with 3 treatment levels. Based on the variables observed like temperature, the ratio C / N, the degree of acidity (pH), volume shrinkage, the physical condition of the compost materials and compost nutrient analysis show that the rate of composting of indigenous biodecomposter is higher than commercial biodecomposter up to 8 weeks after application of biodecomposter. This indicates that the treatment of indigenous biodecomposter is more effective than commercial biodecomposter, because cellulose destroyer microbial isolates which is in it comes from the same environment with the composted material.

(7)

compost); M1 (soil media + compost B0 without biodecomposter); M2 (soil media + compost B1 with indigenous biodecomposter); M3 (soil media + compost B2 with commercial biodecomposter). Composts derived from palm oil midrib-leaf waste which had been composted with using different biodecomposter were indigenous biodecomposter and commercial biodecomposter (consortia of DT 39

Trichoderma harzianum + DT 39 T.pseudokoningii, Aspergillus sp. and white rot fungi). Media using compost as ameliorant was added 50 g of compost per 5 kg soil / bucket. The experimental design used was a Randomized Block Design (RBD) with four treatments and three replications. The use of compost with indigenous biodecomposter gives better result than the commercial biodecomposter in leaf area size variable. While the number of leaves, wet and dry weight of the caisin canopy to control during 5 weeks after planting (WAP) are not significantly different. So that, the use of indigenous biodecomposter can replace the use of commercial biodecomposter.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

PENGOMPOSAN PELEPAH DAUN KELAPA SAWIT

DENGAN BIODEKOMPOSER BERBEDA SERTA

PEMANFAATANNYA SEBAGAI AMELIORAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

Judul Tesis : Pengomposan Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Biodekomposer Berbeda serta Pemanfaatannya sebagai Amelioran

Nama : Sri Yuniati NIM : A252110101

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Hariyadi, MS Ketua

Dr Ir Purwono, MS Anggota

Dr Rahayu Widyastuti, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(12)
(13)
(14)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 ini ialah pengelolaan limbah pertanian, dengan judul “Pengomposan Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Biodekomposer Berbeda serta Pemanfaatannya sebagai Amelioran”. Penelitian ini didasari untuk percepatan proses pengomposan limbah pelepah daun kelapa sawit yang selama ini hanya mengharapkan proses pelapukan itu terjadi dengan sendirinya dan membutuhkan waktu yang sangat lama.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Hariyadi, MS, Bapak Dr Ir Purwono, MS dan Ibu Dr Rahayu Widyastuti, MSc selaku pembimbing, yang telah banyak memberi saran, bimbingan dan masukan selama penelitian dan penulisan tesis ini. Penghargaan dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Dayanu Ikhsanuddin Baubau, Dekan Fakultas Pertanian dan Ketua Program Studi Agroteknologi atas kesempatan dan dukungan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program Magister Sains di Sekolah Pascasarjana IPB. Tak lupa pula kepada Bapak dan Ibu laboran, pekerja lapang di Kebun Percobaan Cikabayan serta rekan-rekan Mayor Agronomi dan Hortikultura khususnya Angkatan 2011, yang telah membantu selama penelitian.

Akhirnya dengan segala rasa hormat penulis persembahkan kepada suami, ayah (almarhum), ibu, mertua, dan anak-anakku serta seluruh keluarga yang selalu setia dan sabar memberikan dukungan dan doa untuk penulis hingga dapat menyelesaikan pendidikan dengan baik.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Bogor, Maret 2014

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

TINJAUAN PUSTAKA 4

Taksonomi dan Morfologi Daun Kelapa Sawit 4

Organisme Perombak Bahan Organik 4

Biodekomposisi Bahan Organik 6

Penggunaan Bahan Organik sebagai Amelioran 7

Pupuk Kandang Cair (Urine Kelinci) 8

METODE 8

Tempat dan Waktu 8

Bahan dan Alat 9

Metode Percobaan 9

Percobaan 1 : Eksplorasi mikroba untuk pembuatan isolat 9 Percobaan 2 : Pengomposan pelepah daun kelapa sawit 10 Percobaan 3 : Penggunaan kompos sebagai amelioran tanaman caisin 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Percobaan 1 : Eksplorasi mikroba untuk pembuatan isolat 14 Percobaan 2 : Pengomposan pelepah daun kelapa sawit 15 Percobaan 3 : Penggunaan kompos sebagai amelioran tanaman caisin 21

PEMBAHASAN UMUM 25

SIMPULAN DAN SARAN 27

Simpulan 27

Saran 28

DAFTAR PUSTAKA 28

LAMPIRAN 33

(16)

DAFTAR TABEL

1 Jumlah koloni mikroba perombak selulosa yang diisolasi dari pelepah daun sawit yang sedang melapuk menggunakan media CMC 14 2 Jumlah koloni mikroba perombak selulotik dari biodekomposer

indigenous dan biodekomposer komersil 15

3 Penurunan nisbah C/N formula kompos pelepah daun sawit 17 4 Total penyusutan volume kompos pelepah daun sawit 18

5 Kondisi fisik bahan kompos akhir pengomposan 19

6 Rata-rata pH formula kompos pelepah daun sawit 20 7 Analisis hara kompos pelepah daun sawit 8 MSA 21 8 Tinggi tanaman, jumlah daun, dan luas daun tanaman caisin pada 5

minggu setelah tanam 22

9 Kandungan klorofil, jumlah stomata dan kerapatan stomata daun 23 10 Bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, bobot basah akar, bobot kering

akar dan panjang akar tanaman caisin umur 5 minggu setelah tanam 24

DAFTAR GAMBAR

1 Tumpukan pelepah daun kelapa sawit PTPN VIII di kebun Cimulang, Bogor (A) pelepah daun kelapa sawit yang sedang melapuk (B) 9 2 Proses pencacahan dan pengomposan pelepah daun kelapa sawit 11 3 Perubahan rata-rata suhu harian formula kompos pelepah daun

kelapa sawit pada penggunaan tanpa biodekomposer (■),

biodekomposer komersil (▲) dan biodekomposer indigenous (●) 16

4 Sisa volume kompos pelepah daun kelapa sawit selama masa

pengomposan (%) 18

5 Perubahan struktur dan warna yang terjadi dan hadirnya organisme lain (A) hifa dari jenis fungi, (B) dan (C) cacing pada formula bahan

kompos dengan biodekomposer indigenous 20

6 Kandungan klorofil yang terdapat pada daun caisin untuk

masing-masing perlakuan 23

DAFTAR LAMPIRAN

1 Identifikasi molekuler 33

2 Rekapitulasi hasil sidik ragam pengomposan pelepah daun kelapa sawit pada perlakuan biodekomposer Error! Bookmark not defined.35 3 Rekapitulasi hasil sidik ragam pertumbuhan dan hasil tanaman caisin

(17)
(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack) adalah tanaman penghasil minyak yang paling populer di Indonesia. Pertumbuhannya yang cepat dan prospeknya yang cerah karena kontribusi yang signifikan dan pengembangan minyak nabati ke pasar dunia. Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit saat ini mencakup area seluas lebih dari 9.2 juta hektar (Ditjenbun 2013).

Jumlah limbah yang dihasilkan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan produksi kelapa sawit. Limbah pertanian meliputi semua hasil dari proses pertanian yang tidak termanfaatkan atau belum memiliki nilai ekonomis. Salah satu limbah dari perkebunan kelapa sawit adalah pelepah daun. Populasi kelapa sawit berkisar 138 – 143 pohon/hektar. Kelapa sawit dalam setahun bisa menghasilkan sekitar 12 janjang buah/pohon. Masing-masing janjang disangga 1 – 2 pelepah dengan bobot rata-rata 10 kg/pelepah. Kandungan bahan kering mencapai 35% bobot pelepah. Jika setiap panen menghasilkan 24 pelepah ditambah dengan hasil pruning sekitar 8 pelepah, maka dalam setahun limbah pelepah yang dihasilkan bisa mencapai 32 pelepah/pohon/tahun. Hal ini menyebabkan limbah pelepah daun yang dihasilkan bisa mencapai 15 456 – 16 016 kg kandungan bahan kering pelepah/tahun/hektar (Devendra 1990).

Apabila limbah pelepah daun sawit ini tidak dimanfaatkan dapat menjadi masalah lingkungan di sekitar perkebunan. Adanya penumpukan pelepah di sela-sela tanaman kelapa sawit khususnya di gawangan mati beberapa perkebunan kelapa sawit berpotensi menjadi sarang / inang bagi hama dan penyakit seperti beberapa jenis hama ulat dan kumbang pemakan daun, tikus, bahkan ular. Jenis-jenis penyakit utama kelapa sawit disebabkan oleh Ganoderma, Pythium dan Rhizoctonia (Risza 2010).

Salah satu cara untuk memanfaatkan pelepah daun kelapa sawit sebagai sumber unsur hara tanaman adalah dalam bentuk kompos. Kompos yang dihasilkan merupakan pupuk organik yang diharapkan bisa mengembalikan kesuburan tanah-tanah perkebunan atau dapat juga digunakan sebagai bahan pembenah tanah-tanah pada tanaman hortikultura dan tanaman pangan.

(19)

2

sebagai proses biokonversi substrat sampah organik menjadi stabil pada produk akhir organik.

Pengomposan adalah suatu proses dekomposisi yang dilakukan oleh agen dekomposer (bakteria, actinomycetes, fungi, dan organisme tanah) terhadap buangan organik yang biodegradable (Indriani 2003). Proses pengomposan alami oleh agen dekomposer memakan waktu lama (enam bulan hingga lebih setahun). Pengomposan pelepah daun kelapa sawit saat ini pun belum banyak yang lakukan karena membutuhkan proses yang cukup lama dan bahannya yang keras mengakibatkan sulit terdekomposisi secara cepat. Oleh sebab itu, kini telah banyak dikembangkan produk agen dekomposer yang diproduksi secara komersil untuk meningkatkan kecepatan dekomposisi, meningkatkan penguraian materi organik, dan dapat meningkatkan kualitas produk akhir. Produk tersebut antara lain biodekomposer, yaitu beberapa spesies mikroorganisme pengurai materi organik yang telah diisolasi dan dioptimasi, dikemas dalam berbagai bentuk dan terdapat pada keadaan inaktif.

Setelah pelepah kelapa sawit terdekomposisi sempurna menjadi kompos, selanjutnya dapat digunakan sebagai media tumbuh tanaman baik di persemaian maupun di lapangan. Salah satu indikasinya dapat ditunjukan dari kematangan kompos yang meliputi karakteristik fisik (bau, warna, dan tekstur yang telah menyerupai tanah, penyusutan berat mencapai 60 %, pH netral, suhu stabil), perubahan kandungan hara (nisbah C/N kurang dari 30), dan tingkat fitotoksisitas rendah (Lubis 2008).

Adapun tanaman yang dijadikan indikator dalam pemanfaatan kompos pelepah daun kelapa sawit sebagai bahan campuran media tanam adalah caisin (Brassica rapa var. parachinensis). Tanaman ini dipilih karena berumur genjah, dapat ditanam di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah dengan pH antara 6 – 7 dengan kondisi tanah yang gembur dan subur (Nurshanti 2009). Adanya perbaikan komposisi hara dalam media tanam dengan penambahan bahan organik berupa kompos dalam budidaya caisin, diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil serta mengurangi penggunaan bahan kimia dari pupuk anorganik.

Sampai saat ini penelitian yang memanfaatkan pelepah daun kelapa sawit sebagai kompos masih terbatas sehingga permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana mempercepat proses dekomposisi pelepah daun kelapa sawit dengan menggunakan biodekomposer sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan sebagai amelioran pada tanaman caisin (Brassica rapa var. parachinensis).

Tujuan Penelitian

1. Mengidentifikasi isolat mikroba indigenous yang dieksplorasi dari pelapukan

alami limbah pelepah daun kelapa sawit.

2. Membandingkan laju pengomposan oleh biodekomposer indigenous dengan

biodekomposer komersil.

3. Mengkaji pengaruh penggunaan kompos pelepah daun sawit dengan

(20)

3

Hipotesis

1. Biodekomposer indigenous lebih cepat mendekomposisi limbah pelepah daun kelapa sawit dibanding biodekomposer komersil.

2. Laju pengomposan dari biodekomposer indigenous lebih tinggi dibanding biodekomposer komersil.

3. Kompos dengan biodekomposer indigenous yang digunakan sebagai amelioran pada tanaman caisin memberikan pertumbuhan dan hasil yang lebih baik dibanding kompos dengan biodekomposer komersil.

Manfaat Penelitian

Pengelolaan limbah pelepah daun kelapa sawit selain dapat menciptakan sanitasi lingkungan perkebunan yang baik, juga dapat memanfaatkan sumber hara bahan organik. Sanitasi lingkungan yang buruk dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit sebagai akibat dari tumpukan limbah pelepah daun di perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi hasil dekomposisi dapat digunakan kembali sebagai bahan pembenah tanah baik secara fisik, kimia dan biologi.

Penggunaan mikroba sebagai biodekomposer pengomposan dapat lebih mengefektifkan penyerapan hara tanah oleh tanaman. Pertumbuhan dan produktivitas secara berkesinambungan dapat tercipta dengan sistem pertanian yang ramah lingkungan. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemilik perkebunan, pemerintah daerah dan masyarakat petani setempat sebagai pengelola sumber daya alam dan lingkungan serta pihak-pihak yang berkaitan dengan permasalahan di atas.

Ruang Lingkup Penelitian

(21)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Morfologi Daun Kelapa Sawit Taksonomi tanaman kelapa sawit diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi : Embryophyta Siphonagama

Kelas : Angiospermae

Ordo : Monocotyledonae

Famili : Arecaceae

Sub Famili : Cocoideae

Genus : Elaeis

Spesies : E. guineensis Jack, E. Oleifera (HBK) Cortes, E.odora (Pahan 2008). Daun kelapa sawit merupakan daun majemuk, berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya sangat mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam Pelepah kelapa sawit meliputi helai daun, setiap helainya mengandung lamina (helaian) dan midrib (tulang anak daun), rachis (ruas tengah), petiole (tangkai daun) dan kelopak pelepah (seludang). Helai daun berukuran 55 cm hingga 65 cm dan mencakup dengan lebar 2,5 cm hingga 4 cm. Setiap pelepah mempunyai lebih kurang 100 pasang helai daun. Titik tumbuh aktif secara terus menerus menghasilkan primordia (bakal) daun setiap sekitar 2 minggu (pada tanaman dewasa). Daun memerlukan waktu 2 tahun untuk berkembang dari proses inisiasi sampai menjadi daun dewasa pada pusat tajuk dan dapat berfotosintesis secara aktif sampai 2 tahun lagi. Proses inisiasi daun sampai layu (senescence) sekitar 4 tahun. Jumlah pelepah yang dihasilkan meningkat 30 – 40 batang ketika berumur 3 – 4 tahun dan menurun (declines) sampai 18 pelepah untuk tanaman tua (Hakim 2007; Pahan 2008; Risza 2010).

Berdasarkan aspek kondisi lahan, kondisi tanaman, dan usia tanaman rata–rata di kebun, diperkirakan pertumbuhan dan perkembangan pelepah tanaman kelapa sawit berkisar 16 – 18 pelepah setahun dalam satu pohon. Hal ini berarti bahwa dalam sebulan terdapat 1.4 – 1.5 pelepah per pohon (Pahan 2008).

Organisme Perombak Bahan Organik

Organisme perombak bahan organik atau biodekomposer adalah organisme pengurai nitrogen dan karbon dari bahan organik (sisa-sisa organik dari jaringan tumbuhan atau hewan yang telah mati) yaitu bakteri, fungi, dan aktinomycetes. Proses penguraian tersebut menghasilkan unsur-unsur yang dikembalikan ke dalam tanah (seperti N, P, K, Ca, Mg) dan ke atmosfer (CH4 atau CO2). Unsur-unsur ini

(22)

5

Adanya aktivitas organisme perombak bahan organik seperti mikroba dan mesofauna (hewan invertebrata) juga makrofauna, saling mendukung keberlangsungan proses siklus hara dalam tanah. Organisme perombak bahan organik juga digunakan sebagai cara untuk mempercepat proses dekomposisi sisa-sisa tanaman yang mengandung lignin dan selulosa. Selain untuk meningkatkan biomassa dan aktivitas mikroba tanah, juga dapat mengurangi penyakit, larva insek, biji gulma, volume bahan buangan. Oleh sebab itu pemanfaatannya dapat meningkatkan kesuburan dan kesehatan tanah sehingga kandungan bahan organik dalam tanah ikut meningkat. Aktivitas fauna tanah juga memudahkan organisme perombak bahan organik untuk memanfaatkan bahan organik sehingga proses mineralisasi berjalan lebih cepat dan penyediaan hara bagi tanaman lebih baik (Saraswati et al. 2006).

Menurut Eriksson et al. (1990), umumnya kelompok fungi menunjukkan aktivitas biodekomposisi paling signifikan. Fungi dapat segera menjadikan bahan organik terurai menjadi senyawa organik sederhana yang berfungsi sebagai penukar ion dasar yang menyimpan dan melepaskan nutrien di sekitar tanaman.

Umumnya siklus kehidupan mikroba di alam, baik fungi maupun bakteri tergantung dari formula bahan yang akan dirombak Adakalanya degradasi atau perombakan diawali oleh mikroba golongan fungi. Setelah terjadi proses degradasi dalam kurun waktu tertentu, fungi akan mati dan tersimpan dalam bentuk spora untuk selanjutnya degradasi tersebut dilanjutkan oleh bakteri. Bisa pula terjadi sebaliknya yaitu degradasi diawali oleh bakteri untuk selanjutnya diteruskan oleh fungi. Bakteri dalam hal ini hanya berfungsi sebagai pembusuk, sementara fungi berfungsi sebagai pengurai / dekomposer. Oleh sebab itu fokus pencarian mikroba adalah mikroba yang berfungsi sebagai pengurai (Higuchi 1985).

Telah diketahui bahwa mikroba yang efektif sebagai pengurai pada bahan berkayu (yang mengandung lignin) adalah fungi yang termasuk ke dalam kelas

Basidiomycetes, atau lebih terkenal dengan white rot fungi atau fungi pelapuk putih / FPP (Blanchette et al. 1988). Fungi ini termasuk fungi tingkat tinggi dan mudah dikenal apabila ditemukan tubuh buahnya. Pada bagian bawah tubuh buah biasanya terdapat spora sebagai alat untuk perbanyak diri. Beberapa peneliti mengemukakan bahwa hampir tidak pernah menemukan tubuh buah dari fungi ini. Bahkan telah berulang kali mencoba berusaha menumbuhkan tubuh buah dari fungi ini, tetapi hingga sekarang belum berhasil. Oleh sebab itu fungi yang termasuk FPP ini bukan mikroba yang menjadi target pencarian karena tidak dapat digunakan sebagai bahan utama untuk dikemas sebagai aktivator. Hal ini disebabkan karena sulit menemukan sporanya. Sehingga yang menjadi target pencarian adalah fungi tingkat rendah (Away dan Goenadi 1995).

(23)

6

waktu yang relatif lama dengan biaya yang tinggi. (Kirk dan Shimada 1984; Away dan Goenadi 1995).

Jika hasil yang diperoleh sudah dapat diyakini, maka selanjutnya baru dilakukan pencarian spesies. Pengujian selanjutnya hanya dilakukan terhadap isolat fungi, karena isolat inilah yang menunjukkan aktivitas pengurai. Isolat bakteri yang diperoleh hanya bersifat pembusuk, sehingga untuk sementara tidak dilakukan pengujian lanjutan tetapi akan disimpan dalam kultur pada kondisi yang sesuai. Bila dibutuhkan, bahan tersedia untuk dipelajari (Handrech dan Black 1984).

Hasil pengamatan Away dan Goenadi (1995) menunjukkan bahwa, hampir semua isolat fungi positif mempunyai kemampuan menguraikan selulosa dengan kecepatan sedang hingga cepat. Hal ini ditandai dengan penampakan luas cincin yang lebih besar dari 5 cm pada suhu 28 oC dan 37 oC. Isolat fungi tersebut umumnya melepaskan Reamazol Brilliant Blue (RBB), menghilangkan RBB, dan sekaligus menghilangkan dan melepaskan RBB. Menurut Basuki (1994), penggunaan senyawa RBB dilakukan karena molekul pewarna tersebut akan membentuk ikatan kovalen dengan unit molekul glukosa dari beberapa jenis polisakharida termasuk diantaranya selulosa.

Fungi yang mempunyai kemampuan selulolitik apabila dikulturkan pada selulosa yang diberi pewarna RBB akan menghidrolisis selulosa dan melepas glukosa. Warna biru pada media disebabkan oleh pewarna RBB yang berwarna biru berikatan dengan molekul-molekul glukosa. Fenomena yang mungkin terjadi dalam pengujian ini antara lain: (a) isolat mendegradasi selulosa dari selopan sehingga pada media terjadi pelepasan warna biru, dan media akan berwarna biru, atau (b) isolat merombak pewarna RBB pada selopan sehingga warna biru dari selopan hilang dan selopan menjadi berwarna putih, atau (c) isolat mendegradasi selulosa dari selopan dan juga merombak pewarna RBB (Gusmailina 2005).

Biodekomposisi Bahan Organik

(24)

7

kehilangan N karena menguap selama proses perombakan berlangsung. Kompos yang dihasilkan dengan fermentasi menggunakan teknologi mikrobia efektif dikenal dengan nama bokashi. Cara ini menyebabkan proses pembuatan kompos dapat berlangsung lebih singkat dibandingkan cara konvensional (Setyorini et al.

2006). (4) Derajat kemasaman (6) Kadang‐kadang untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas kompos, timbunan diberi pupuk yang mengandung hara terutama P. Perkembangan mikrobia yang cepat memerlukan hara lain termasuk P. Sebetulnya P disediakan untuk mikrobia sehingga perkembangannya dan kegiatannya menjadi lebih cepat. Pemberian hara ini juga meningkatkan kualitas kompos yang dihasilkan karena kadar P dalam kompos lebih tinggi dari biasa, karena residu P sukar tercuci dan tidak menguap (Sulistyawati 2008).

Keunggulan kompos dari pelepah daun kelapa sawit meliputi : kandungan kalium yang tinggi, menggunakan biodekomposer yang berasal dari hasil isolasi mikroba yang terdapat di bawah tumpukan pelepah sawit di lapangan, memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah, dan mampu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi. Selain itu kompos memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain: (1) memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan; (2) membantu kelarutan unsur-unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman; (3) bersifat homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman; (4) merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah dan (5) dapat diaplikasikan pada sembarang musim (Mukhlis 1990).

Penggunaan Bahan Organik sebagai Amelioran

Amelioran adalah bahan yang ditambahkan sebagai pembenah tanah baik organik maupun anorganik pada media tanam yang dapat meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan kondisi fisik dan kimia. Salah satu jenis amelioran yang dapat digunakan adalah kompos dengan fungsi utama dapat membantu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik, kompos dapat menggemburkan tanah karena dapat meningkatkan jumlah rongga. Sifat kimia tanah yang mampu dibenahi dengan aplikasi kompos adalah meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan daya simpan air (water holding capacity). Perbaikan sifat biologi oleh kompos melalui peningkatan populasi mikroorganisme dalam tanah (Simamora dan Salundik 2006).

(25)

8

memperbaiki sifat-sifat tanah serta memperbaiki kesuburan tanah (Swift dan Sanchez 1984).

Pemanfaatan bahan organik dan mikroorganisme yang berguna perlu dikembangkan dalam usaha menekan input bahan kimia anorganik (Pangaribuan dan Pujisiswanto 2008). Pendekatan yang telah dilakukan antara lain mengintroduksi mikroorganisme tanah potensial yang dikenal sebagai pupuk hayati (Elhassan et al. 2010).

Simanungkalit (2001) mengemukakan bahwa pupuk hayati menjadi satu kontrol input produksi dalam budidaya tanaman, khususnya kegiatan yang menyangkut pemupukan. Pupuk hayati didefenisikan sebagai sebuah komponen yang mengandung mikroba untuk meningkatkan ketersediaan kandungan unsur hara bagi tumbuhan.

Aplikasi pupuk hayati menjadi pelengkap yang sangat baik karena selain meningkatkan kesuburan tanah juga memacu pertumbuhan tanaman. Pupuk hayati merupakan substansi yang mengandung mikroorganisme hidup, bila diaplikasikan pada benih, permukaan tanaman atau tanah maka dapat memacu pertumbuhan tanaman tersebut (Vessey 2003).

Pupuk Kandang Cair (Urine kelinci)

Pupuk kandang cair (urine) dipilih karena selain dapat bekerja cepat, juga mengandung hormon tertentu yang ternyata dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Pupuk kandang dianggap sebagai pupuk lengkap karena selain menimbulkan tersedianya unsur – unsur hara bagi tanaman, juga mengembangkan kehidupan mikroorganisme di dalam tanah yang sangat penting bagi kesuburan tanah (Sutedjo 2008).

Lusiana (2005) dalam Prasaja (2011) mengungkapkan bahwa kotoran dan urine kelinci memiliki kandungan unsur N, P, K yang lebih tinggi (2.72%, 1.1%, dan 0,5%) dibandingkan dengan kotoran dan urine ternak lainnya seperti kuda, kerbau, sapi, domba, babi dan ayam. Jadi, jika air kelinci ini dipadukan dengan kotoran kelinci dan dijadikan pupuk maka pupuk ini akan memiliki kandungan kandungan 2,20% Nitrogen, 87% Fosfor , 2,30% Potassium, 36 Sulfur%, 1,26% Kalsium, 40% Magnesium (hasil penelitian Badan Penelitian Ternak / Balitnak).

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan (ITSL) dan Kebun Percobaan Cikabayan

(26)

9

Molecular Marker Spectrophotometry UV–VIS dan pengamatan stomata di Laboratorium Mikroteknik Departemen Agronomi dan Hortikultura (AGH). Tahapan penelitian ini berlangsung sejak bulan Oktober 2012 sampai dengan Agustus 2013.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah pelepah daun kelapa sawit, kotoran sapi, 1 jenis biodekomposer komersil, media CMC (Carboxy Methyl Cellulose), media TSM (Trichoderma Selective/Specific Agar Media), media PDA (Potato Dectrose Agar), aquades dan urine kelinci. Alat-alat yang digunakan terdiri atas cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer, mikroskop, autoklaf, laminar flow, thermometer, thermolyne, jarum ose, lampu bunsen, timbangan, bak pengomposan berupa kotak kayu berventilasi berukuran 0.5m x 0.5m x 1m dan plastik hitam.

Metode Percobaan

Penelitian ini terdiri atas tiga percobaan. Percobaan pertama yaitu eksplorasi mikroba yang akan digunakan sebagai biodekomposer. Percobaan kedua pengomposan pelepah daun kelapa sawit. Percobaan ketiga penggunaan kompos yang dihasilkan sebagai amelioran tanaman caisin organik.

Percobaan 1 : Eksplorasi mikroba untuk pembuatan isolat

Isolat mikroba perombak selulosa diperoleh dari sampel pelepah daun kelapa sawit yang sedang melapuk di perkebunan sawit Cimulang (Gambar 1 poin B).

Gambar 1. Tumpukan pelepah daun kelapa sawit PTPN VIII di kebun Cimulang, Bogor (A) pelepah daun kelapa sawit yang sedang melapuk (B)

Sampel pelepah daun kelapa sawit tersebut diencerkan dengan cara sebagai berikut : bahan sampel ditimbang sebanyak 10 g kemudian dilarutkan dalam 90 ml larutan fisiologis menggunakan erlenmeyer. Larutan bahan sampel dikocok menggunakan

shaker 170 RPM (Rotary Per Minute) selama ± 30 menit. Pengenceran yang dihasilkan disebut pengenceran 10-1. Larutan yang diencerkan selanjutnya

(27)

10

disentrifuge menggunakan thermolyne. Hasil pengenceran 10-1 ini diambil 1 ml dan dilarutkan lagi dalam larutan fisiologis 9 ml menggunakan tabung reaksi untuk menghasilkan pengenceran 10-2. Tahap pengenceran dilakukan hingga pengenceran10-4. Hasil pengenceran 10-3 dan 10-4 diambil 1 ml dan disimpan dalam cawan petri yang sudah disterilisasi. Masing-masing hasil pengenceran tersebut dicampur dengan larutan media CMC dan media TSM sebagai medium seleksi. Pembuatan isolat dilakukan dalam 2 ulangan dari 10 sampel yang digunakan sehingga diperoleh 20 unit cawan media CMC dan 20 unit cawan media TSM.

Pemurnian dilakukan dengan cara mengambil bakteri yang menunjukkan gejala perombakan selulose yaitu terbentuknya lingkaran bening di sekeliling bakteri. Bakteri dipindahkan ke cawan petri media CMC dengan menggunakan jarum ose. Pemurnian fungi jenis Trichoderma ditandai dengan warnanya yang kehijauan menggunakan media TSM. Kedua media ini menggunakan metode titik yang dilakukan secara steril dalam laminar flow. Pengamatan pertumbuhan dilakukan setelah 3 hari. Pemurnian diulang sekali lagi dengan cara yang sama. Setelah pemurnian berhasil dan tidak ada kontaminasi, maka isolat disimpan dalam bentuk media agar miring sebagai stok pada suhu 5oC. Isolat dalam bentuk agar miring ini digunakan juga dalam proses identifikasi yang dilakukan secara molekuler. Isolat diinokulasi pada media PDA untuk mempercepat pertumbuhannya. Inokulum diperbanyak dengan menggunakan media jagung sebagai starter biodekomposer indigenous pada saat pelaksanaan percobaan pengomposan pelepah daun kelapa sawit (Gambar 2 poin C) .

Percobaan 2 : Pengomposan pelepah daun kelapa sawit

Pelepah daun kelapa sawit yang digunakan terlebih dulu dicacah dengan menggunakan mesin chopper (Gambar 2 poin A). Hasil cacahan (Gambar 2 poin B) dimasukkan ke dalam bak pengomposan dengan menambahkan biodekomposer sesuai dengan perlakuan yaitu :

Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 9 unit satuan percobaan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor dengan 3 taraf perlakuan. Data yang diperoleh diuji dengan Uji F pada taraf 5 %. Apabila terdapat pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNJ. Variabel pengamatan yaitu : Suhu, nisbah C/N, derajat kemasaman (pH), penyusutan volume, kondisi fisik bahan kompos dan analisis hara kompos.

(28)

11

Bak pengomposan ditutup plastik untuk menghindari hujan yang berlebih dan sinar matahari langsung (Gambar 2 poin D). Pada sekeliling bak pengomposan dibuat parit agar tidak terjadi genangan pada bagian dasar tumpukan kompos. Suhu formula bahan kompos diukur tiap hari. Proses pembalikan bahan kompos dilakukan tiap minggu pada setiap perlakuan sambil dilakukan pengadukan untuk memperbaiki aerasi tumpukan dan diperoleh bahan kompos yang homogen (Gambar 2 poin F). Selama pengomposan kadar air tumpukan juga dipertahankan 60 % dengan cara penyiraman.

A = mesin pencacah pelepah daun sawit, B = hasil cacahan pelepah daun sawit, C = isolat mikroba indigenous yang diinokulasi ke jagung, D = wadah pengomposan yang ditutup plastik, E = susunan bahan kompos sebelum pembalikan, F = proses pembalikan bahan kompos.

Gambar 2. Proses pencacahan dan pengomposan pelepah daun kelapa sawit

A B

C D

(29)

12

Nisbah C/N dan derajat kemasaman (pH) dianalisis setiap 2 minggu dengan mengambil sampel bahan kompos secara komposit. Kondisi fisik bahan kompos diamati secara kualitatif berdasarkan warna, bau, perubahan kondisi fisik pada awal dan akhir pengomposan. Persentase penyusutan volume dihitung berdasarkan rumus :

Percobaan 3 : Penggunaan kompos sebagai amelioran tanaman caisin

Pemberian kompos sebagai amelioran sesuai perlakuan masing-masing. Terdapat 4 perlakuan media yaitu :

M0 : media tanah tanpa kompos

M1 : media tanah + kompos B0 (tanpa biodekomposer)

M2 : media tanah + kompos B1 (dengan biodekomposer indigenous) M3 : media tanah + kompos B2 (dengan biodekomposer komersil)

Kompos berasal dari limbah pelepah daun sawit yang sudah dikomposkan dengan menggunakan biodekomposer berbeda yaitu biodekomposer indigenous dan

biodekomposer komersil (konsorsia Trichoderma harzianum DT 39 +

T. Pseudokoningii DT 39, Aspergillus sp. dan fungi pelapuk putih). Media yang menggunakan kompos sebagai amelioran ditambahkan 50 g kompos per 5 kg tanah / ember.

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor dengan 4 taraf perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 digunakan oleh masing-masing perlakuan ditentukan dengan menghitung berat awal tanah yang sudah disiram air sampai mencapai kapasitas lapang. Pengurangan berat pada hari berikutnya diasumsikan sebagai evapotranspirasi yang terjadi pada masing-masing perlakuan. Perawatan dan penyiraman dilakukan setiap hari sesuai kebutuhan tanaman. Penelitian ini tidak menggunakan pupuk anorganik tetapi menggunakan pupuk cair organik yang berasal dari urine kelinci dengan perbandingan urine dan air adalah 1 : 5 yang diaplikasikan setiap minggu pada semua perlakuan.

Pengamatan mulai dilakukan pada saat bibit berumur 1 MST. Pengamatan yang dilakukan yaitu pertumbuhan (morfologi) yang meliputi :

1. Tinggi tanaman, diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun yang didirikan. 2. Luas daun, diukur secara gravimetri.

(30)

13

4. Panjang akar, diukur dari leher akar hingga ke ujung akar.

5. Bobot basah tajuk, ditimbang bagian atas tanaman (batang dan daun) pada saat panen.

6. Bobot kering tajuk, ditimbang bagian atas tanaman (batang dan daun) yang telah dioven pada suhu 80 oC selama 2 x 24 jam.

7. Bobot basah akar, ditimbang akar yang sudah dipisahkan dari tajuknya mulai dari leher akar hingga ke ujung akar.

8. Bobot kering akar, ditimbang akar yang yang sudah dipisahkan dari tajuknya mulai dari leher akar hingga ke ujung akar dan telah dioven pada suhu 80 oC selama 2 x 24 jam.

Respon fisiologi yang diamati yaitu :

1. Jumlah Stomata, pengamatan dilakukan dengan teknik pengeratan daun lapisan atas dengan menggunakan silet tajam hingga hanya tersisa lapisan lilin (epidermis) di permukaan bagian bawah daun. Jumlah stomata diamati dengan mikroskop pada perbesaran 40 kali. Penghitungan stomata didasarkan pada jumlah stomata yang dapat dihitung pada luas bidang pandang mikroskop.

2. Kerapatan stomata, pengamatan dengan menggunakan mikroskop pada pembesaran 10 x 40 dengan luas bidang pandang yang sudah diketahui yaitu 0.19625 mm2 (mikroskop merk olympus). Menggunakan rumus :

Kerapatan stomata = jumlah stomata

luas bidang pandang

3. Analisis kandungan klorofil dilakukan berdasarkan metode Sims, DA dan Gamon, JA (2002). Sampel daun ditimbang dengan berat ± 0,02 g. Daun tersebut dihaluskan dan ditambahkan asetris sebanyak 1 ml. Daun yang sudah halus dimasukkan ke dalam microtube 2 ml, mortar dibilas dengan asetris sampai

microtube penuh 2 ml. Setelah itu disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 RPM selama 10 detik. Supernatan diambil 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan asetris 3 ml ke dalam tabung reaksi dan tutup dengan kelereng kemudian divortex. Absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 470 nm, 537 nm, 647 nm dan 663 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

(31)

14

Pada pelepah daun kelapa sawit yang mengalami dekomposisi secara alami terdapat kandungan mikroba yang beragam jenis dan jumlah populasi yang terkandung didalamnya. Hal ini disebabkan oleh tingkat pelapukan yang berbeda-beda pula sesuai lama waktu yang diperlukan untuk bisa terdekomposisi sempurna. Semakin aktif kerja mikroba perombak selulosa menunjukkan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan mikroba seperti nisbah C/N, suhu, kelembaban, pH. Mikroba akan mati atau tersimpan dalam bentuk spora ketika lingkungan tidak sesuai dengan kebutuhannya.

Percobaan 1 : Eksplorasi mikroba perombak selulosa untuk pembuatan isolat Hasil eksplorasi mikroba perombak selulosa dari 10 titik pengambilan sampel menunjukkan jumlah populasi yang beragam. Isolat mikroba perombak selulosa pada media CMC dihitung berdasarkan metode cawan hitung setelah diinkubasi selama 3 hari disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Jumlah koloni mikroba perombak selulosa yang diisolasi dari pelepah daun sawit yang sedang melapuk menggunakan media CMC

No.

Adanya perbedaan jumlah kandungan mikroba yang terdapat di dalam masing-masing tumpukan pelepah yang melapuk alami di perkebunan kelapa sawit menunjukkan perbedaan tingkat penguraian dan lamanya proses pelapukan yang sudah terjadi. Tingginya populasi koloni mikroba diperkirakan proses penguraian masih berlangsung secara aktif.

(32)

15

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa Trichoderma

sp pada media PDA lebih cepat pertumbuhannya dibanding media TSM. Adapun media TSM digunakan untuk mendapatkan jenis Trichoderma yang lebih spesifik berasal dari pelapukan pelepah daun sawit. Isolat ini kemudian diinokulasikan dalam media jagung yang telah disterilkan dalam autoklaf (Gambar 2 poin C). Inokulum ini menginokulasi media jagung dengan baik sekitar 5 hari, selanjutnya dapat diaplikasikan setelah 10 hari diinkubasi. Serasah alang-alang atau jagung, bila diaplikasikan ke dalam tanah dapat meningkatkan populasi Trichoderma (Wahyuno

et al. 2003).

Biodekomposer indigenous berupa media jagung sebagai starter kompos dibandingkan dengan biodekomposer komersil. Hasil isolat fungi yang diperoleh dari media TSM menunjukkan bahwa jumlah koloni yang terdapat pada biodekomposer indigenous lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding biodekomposer komersil. Hal ini menunjukkan bahwa pada biodekomposer indigenous memiliki biakan mikroba yang lebih baik dibanding biodekomposer komersil (Tabel 2).

Tabel 2 Jumlah koloni mikroba perombak selulotik dari biodekomposer indigenous dan biodekomposer komersil

Hasil identifikasi secara molekuler menunjukkan bahwa mikroba yang ditemukan dari hasil isolasi pelepah daun sawit ini adalah jenis fungi Trichoderma asperellum (Lampiran 1). Fungi ini dulu merupakan jenis T. viride tetapi setelah ditemukan beberapa ciri berbeda sehingga berubah menjadi spesies baru (Samuels et al. 1999; Rasu et al. 2012).

Percobaan 2 : Pengomposan pelepah daun kelapa sawit Suhu

(33)

16

...

Gambar 3 Perubahan rata-rata suhu harian formula kompos pelepah daun kelapa sawit pada penggunaan tanpa biodekomposer (■), biodekomposer

komersil (▲) dan biodekomposer indigenous(●)

Belum tercapainya suhu thermofilik ini diduga karena rendahnya aktivitas mikroba yang terdapat didalam campuran bahan kompos sehingga suhu yang dihasilkan juga kurang panas. Rendahnya suhu ini menandakan bahwa komposisi bahan kompos belum sesuai dengan kebutuhan mikroba untuk mempercepat proses pengomposan. Hasil penelitian Setiawan (2009) menunjukkan, suhu optimum yang diperoleh pada pengomposan berbagai macam limbah yaitu eceng gondok, limbah pasar dan abaca dengan menambahkan cacing, EM4 dan pupuk kandang sebagai campuran bahan kompos hanya mencapai suhu 33.67 di minggu pertama pengomposan. Rendahnya suhu optimal yang dicapai diduga disebabkan juga oleh kurangnya volume bahan kompos serta tingkat curah hujan yang tinggi sehingga mempengaruhi kelembaban, difusi oksigen ke dalam kompos, suhu di luar kompos rendah yang merupakan faktor pembatas dalam proses pengomposan (Asyerem, 2011). Pada Gambar 3 juga menunjukkan bahwa penurunan aktivitas mikroba secara bertahap diikuti juga dengan penurunan suhu mencapai 28 oC kurang lebih seperti suhu awal sebelum pengomposan.

Nisbah C/N

(34)

17

Nisbah C/N suatu bahan organik memberikan gambaran tentang mudah tidaknya bahan tersebut didegradasi, tingkat kematangan dan mobilisasi nitrogen yang dikandungnya. Nisbah C/N nyata dipengaruhi oleh waktu dekomposisi, nisbah C/N menurun dengan semakin lamanya waktu dekomposisi. Penurunan C/N ini biasanya sejalan dengan proses perubahan suhu timbunan kompos. Oleh karena suhu pengomposan tidak mencapai tahap thermofilik, maka penurunan nisbah C/N juga berjalan lambat (Tabel 3).

Tabel 3 Penurunan nisbah C/N formula kompos pelepah daun sawit Perlakuan

Minggu ke –

2 4 6 8

(%)

B0 (tanpa biodekomposer) 49.92 41.50 35.88 32.29 B1 (biodekomposer komersil) 49.54 42.57 35.30 32.72 B2 (biodekomposer indigenous) 50.21 42.51 35.93 28.01

Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penggunaan berbagai biodekomposer tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap kontrol pada kadar C kompos, karena di dalam ketiga formula bahan kompos mengandung mikroba pengurai yang kemungkinan hampir sama dalam cara kerjanya. Salah satunya adalah mikroba selulotik yang mengeluarkan enzim selulase yang dapat menghidrolisis selulosa menjadi selobiosa lalu dihidrolisis lagi menjadi D-Glukosa dan difermentasikan menjadi asam laktat, etanol, CO2 dan amonia (Indriani 2003). Meskipun

biodekomposer indigenous dapat menurunkan nisbah C/N lebih rendah dibanding perlakuan lainnya, namun tidak berbeda nyata antar perlakuan. Biodekomposer indigenous yang digunakan lebih efektif karena berasal dari biakan mikroba yang berasal dari pelapukan secara alami pelepah daun kelapa sawit itu sendiri.

Laju penyusutan volume kompos

Persentase total penyusutan volume kompos pelepah daun sawit yang terjadi selama pengomposan memperlihatkan hasil yang berbeda nyata antara formula bahan kompos yang menggunakan biodekomposer baik komersil maupun indigenous terhadap kontrol (Tabel 4). Selama proses pengomposan pelepah daun sawit, terjadi perbedaan laju penyusutan antara masing-masing formula bahan kompos. Hal ini dikarenakan perlakuan biodekomposer yang berbeda pula.

(35)

18

Tabel 4 Total penyusutan volume kompos pelepah daun sawit

Perlakuan

Minggu ke –

2 4 6 8

(%)

B0 (tanpa biodekomposer) 18.43b 27.43b 35.27b 38.40ba

B1 (biodekomposer komersil) 22.60a 32.93a 39.30a 45.07a B2 (biodekomposer indigenous) 24.07a 34.03a 40.53a 46.23a

a

) angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan Uji BNJ pada taraf uji 5 %

Laju penyusutan volume kompos pelepah daun sawit selama pengomposan memperlihatkan hasil penyusutan tertinggi terjadi pada awal pengomposan yaitu 2 minggu setelah aplikasi (Gambar 4).

MSA = minggu setelah aplikasi

Gambar 4 Sisa volume kompos pelepah daun kelapa sawit selama masa pengomposan (%)

Pada Gambar 4 menunjukkan bahwa penyusutan tertinggi terjadi pada 2 MSA karena aktivitas mikroba juga masih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengomposan berjalan aktif dan bahan organik mampu diuraikan dengan baik. Sebaliknya pada 8 MSA penyusutan semakin kecil dibanding penyusutan yang terjadi di minggu-minggu sebelumnya. Namun dari pengamatan hasil penyusutan bahan kompos menunjukkan, penggunaan biodekomposer indigenous dapat menggantikan fungsi biodekomposer komersil ditunjukan dari pencapaian total penyusutan volume kompos yang tidak berbeda nyata antara keduanya.

(36)

19

Seiring dengan lamanya waktu pengomposan yang dibutuhkan, maka tingkat penyusutan bahan kompos yang terjadi semakin kecil karena bahan organik yang bisa didekomposisi juga semakin berkurang. Hal ini juga berdampak pada suhu pengomposan yang semakin menurun menunjukkan aktivitas mikroba yang juga makin berkurang. Adanya korelasi antara suhu dengan penyusutan bahan kompos menyebabkan laju penyusutan bahan kompos yang cepat ketika mencapai suhu optimum. Demikian juga dengan nisbah C/N yang semakin menurun setiap minggu diikuti dengan penyusutan bahan kompos karena semakin banyak bahan C organik yang dirombak oleh mikroba.

Kondisi fisik bahan kompos

Hasil pengamatan kondisi fisik bahan kompos yang dilakukan secara visual menunjukkan perubahan warna dari coklat terang dengan tekstur kasar yang masih jelas berbentuk cacahan pelepah daun, berbau khas cacahan daun dan kotoran sapi, dipegang terasa hangat di awal pengomposan mengalami perubahan setelah mengalami proses dekomposisi setelah 8 MST (Tabel 5).

Tabel 5 Kondisi fisik bahan kompos akhir pengomposan

Perlakuan Kondisi fisik bahan kompos akhir pengomposan B0 (tanpa biodekomposer) Berbentuk cacahan sedikit kasar, berwarna coklat

tua, tidak berbau, dipegang terasa dingin menyerupai suhu tanah

B1 (biodekomposer komersil) Berbentuk cacahan lebih halus, berwarna coklat gelap, tidak berbau, dipegang terasa dingin menyerupai suhu tanah

B2 (biodekomposer indigenous) Berbentuk cacahan lebih halus dan remah, berwarna coklat kehitam-hitaman, tidak berbau, dipegang terasa dingin menyerupai suhu tanah Pada awal pengomposan tekstur bahan kompos terlihat masih berupa serasah yang kering berwarna coklat terang dengan tingkat kelembaban rendah karena mengalami penguapan yang cepat. Setelah mengalami pengadukan, berangsur-angsur tekstur bahan kompos berubah menjadi lebih remah karena sudah mulai terjadi proses dekomposisi dengan warna coklat gelap dan berangsur menjadi berwarna coklat kehitaman.

(37)

20

Pada campuran bahan kompos yang menggunakan biodekomposer indigenous menunjukkan adanya kehidupan organisme lain seperti ditunjukan dari adanya hifa berwarna putih dari jenis fungi dan cacing (Gambar 5).

Gambar 5 Perubahan struktur dan warna yang terjadi dan hadirnya organisme lain (A) hifa dari jenis fungi, (B) dan (C) cacing pada formula bahan kompos dengan biodekomposer indigenous

Derajat kemasaman (pH)

Derajat kemasaman (pH) formula bahan kompos hanya berbeda di minggu ke-2 setelah aplikasi pada biodekomposer komersil dan biodekomposer indigenous tetapi tidak berbeda nyata terhadap kontrol (Tabel 6).

Tabel 6 Rata-rata pH formula kompos pelepah daun sawit

Perlakuan

Minggu ke –

2 4 6 8

B0 (tanpa biodekomposer) 6.77ab a

6.93 7.17 6.93

B1 (biodekomposer komersil) 6.70b 6.93 7.27 7.07 B2 (biodekomposer indigenous) 6.83a 7.03 7.33 7.07

a

) angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan Uji BNJ pada taraf uji 5 %

Perubahan nilai pH juga menunjukkan adanya aktivitas pengomposan (Tabel 6). Perubahan pH selama proses pengomposan menunjukkan bahwa di awal pengomposan yang dilakukan secara aerobik, pH lebih rendah karena masih dihasilkan asam-asam organik sederhana melalui proses nitrifikasi dari hasil penguraian bahan organik secara intensif yang dilakukan oleh mikroba seiring dengan peningkatan suhu (Nurisamunandar 1999; Asyerem 2011; Ningsih et al. 2013).

Nilai pH secara perlahan kembali meningkat seiring dengan penurunan nisbah C/N dan perubahan asam-asam organik sederhana lebih lanjut diubah menjadi CO2

(38)

21

dan bebasnya asam amoniak sebagai akibat dari proses mineralisasi yaitu mikroorganisme mulai melepaskan unsur hara. Namun perubahan pH ini tidak signifikan karena perubahan suhu yang mempunyai rentang yang sangat pendek menjadikan kisaran pH pengomposan masih berada dalam kisaran normal (Tabel 6). Nilai pH yang diperoleh pada akhir pengomposan pelepah daun kelapa sawit ini masih sesuai SNI kompos 19-7030-2004 yaitu 6.80 – 7.49 dimana cukup ideal dalam menunjang pertumbuhan tanaman caisin ketika diaplikasikan sebagai tambahan bahan organik pada media tanam.

Analisis hara kompos

Hasil analisis hara kompos yang dilakukan pada 8 minggu setelah aplikasi menunjukkan bahwa penggunaan biodekomposer indigenous pada pembuatan kompos pelepah daun kelapa sawit menghasilkan kompos yang mutunya lebih baik dibandingkan biodekomposer komersil dan tanpa biodekomposer (Tabel 7).

Tabel 7 Analisis hara kompos pelepah daun sawit 8 MSA

Kompos pelepah daun sawit C Keterangan : (~) tak terhingga, (*) lebih kecil dari minimum atau lebih besar dari maksimum, (a) Balai Besar litbang Sumberdaya Lahan Pertanian

Diduga unsur-unsur hara makro pada pupuk kandang yang ditambahkan dalam proses pengomposan hanya sebagian saja yang dipergunakan oleh bakteri pengurai. Sisa unsur makro yang tidak dimanfaatkan oleh bakteri tetap bercampur pada kompos yang dihasilkan, yang selanjutnya berfungsi juga sebagai penambah unsur hara makro dalam kompos yang dihasilkan.

(39)

22

biodekomposer komersil tidak menunjukkan perbedaan nyata. Sebaliknya pada peubah luas daun perlakuan kompos biodekomposer komersil hasilnya tidak berbeda nyata dengan kompos tanpa biodekomposer dan kontrol. Namun media kompos biodekomposer indigenous tetap menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan media kompos biodekomposer komersil dan media tanpa kompos (kontrol) seperti yang tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8 Tinggi tanaman, jumlah daun, dan luas daun tanaman caisin pada 5 minggu setelah tanam

Tanpa kompos (kontrol) 23.01 8.8c 59.39b

Kompos tanpa biodekomposer 24.09 9.9b 64.98ab

Kompos biodekomposer komersil 25.05 10.3ab 52.78b Kompos biodekomposer indigenous 32.38 10.8a 90.40a

a

) angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata dengan Uji BNJ pada taraf uji 5 %

Hasil pengamatan jumlah daun caisin menunjukkan bahwa penambahan kompos dengan biodekomposer indigenous dan biodekomposer komersil berbeda nyata dengan kontrol (tanpa kompos). Namun kontrol tidak berbeda nyata dengan kompos yang tanpa biodekomposer (Tabel 8). Hal ini diduga disebabkan oleh kondisi tanah dengan menggunakan kompos lebih mampu menyediakan air di daerah perakaran sedangkan pada perlakuan kontrol yang tidak menggunakan kompos air akan terus bergerak ke bawah mengisi pori-pori tanah sehingga hal ini menyebabkan perbedaan pertambahan jumlah daun caisin.

Luas daun 5 MST pada perlakuan kompos biodekomposer indigenous berbeda nyata dengan kompos biodekomposer komersil dan kontrol tetapi tidak berbeda nyata dengan kompos tanpa biodekomposer (Tabel 8). Permukaan daun caisin yang luas diharapkan proses fotosintesis tanaman juga lebih maksimal karena jumlah stomata daun yang juga lebih banyak (Gardner et al. 1991).

Adanya perbedaan nyata luas daun yang terdapat pada perlakuan kompos biodekomposer indigenous dengan kompos biodekomposer komersil 5 MST menunjukkan bahwa dengan penggunaan kompos biodekomposer indigenous mampu menggantikan dan memberikan hasil lebih baik dibanding kompos biodekomposer komersil. Hal ini disebabkan oleh hasil yang sama antara perlakuan kompos biodekomposer komersil dengan kontrol (Tabel 8). Kandungan klorofil daun yang merupakan faktor internal, turut mempengaruhi laju fotosintesis daun (Tabel 9).

(40)

23

masih tinggi mengakibatkan immobilisasi yaitu suatu proses dimana mikroorganisme pengurai bahan organik masih memanfaatkan unsur hara untuk aktivitas hidupnya.

Hasil analisis kandungan klorofil memperlihatkan hasil yang tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 9 dan Gambar 6). Demikian pula halnya hasil pengamatan jumlah stomata dan kerapatan stomata daun (Tabel 9).

Tabel 9 Kandungan klorofil, jumlah stomata dan kerapatan stomata daun Perlakuan

Kompos tanpa biodekomposer 1.77 102.00 519.75

Kompos biodekomposer komersil 2.00 106.67 543.52 Kompos biodekomposer indigenous 2.05 110.33 562.21

Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop pada pembesaran 10 x 40 dengan luas bidang pandang yang sudah diketahui yaitu 0.19625 mm2 menunjukkan bahwa jumlah dan kerapatan stomata yang diamati dari keempat perlakuan tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (uji BNJ). Begitu juga dengan kandungan klorofilnya (Tabel 9).

Gambar 6 Kandungan klorofil yang terdapat pada daun caisin untuk masing-masing perlakuan

Daun yang memiliki kandungan klorofil tinggi diharapkan lebih efisien dalam menangkap cahaya matahari untuk fotosintesis (Gardner et al. 1991, Sulistyaningsih

(41)

24

2005). Walaupun tidak memperlihatkan perbedaan nyata tetapi dari luas daun bisa menunjukkan total kandungan klorofil pada tanaman caisin antar perlakuan.

Pada Gambar 6 menunjukkan adanya perbedaan kandungan klrorofil yang lebih tinggi pada perlakuan kompos dengan biodekomposer indigenous dibandingkan dengan perlakuan lain. Walaupun secara sidik ragam tidak berbeda nyata dimungkinkan karena umur panen tanaman caisin yang cukup singkat. Diduga hal ini bisa memberi peran pada peningkatan kandungan klorofil pada tanaman yang masa panennya lebih lama dibanding caisin.

Bobot Tajuk, Bobot Akar dan Panjang Akar

Hasil pengamatan bobot tajuk menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara kompos yang menggunakan biodekomposer indigenous dan kompos tanpa biodekomposer terhadap kontrol pada pengamatan bobot basah tajuk. Pada pengamatan bobot kering tajuk, perbedaan nyata terjadi pada kompos yang menggunakan biodekomposer indigenous terhadap kontrol sedangkan terhadap perlakuan lainnya tidak berbeda nyata. Pada peubah bobot basah akar, bobot kering akar dan panjang akar tidak menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan (Tabel 10).

Tabel 10 Bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, bobot basah akar, bobot kering akar dan panjang akar tanaman caisin umur 5 minggu setelah tanam

Perlakuan

Kompos tanpa biodekomposer 18.65a 1.38ab 0.32 0.09 11.71 Kompos biodekomposer komersil 16.49ab 1.10ab 0.34 0.10 9.89 Kompos biodekomposer indigenous 19.80a 1.90a 0.35 0.12 13.04

a

) angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (Uji BNJ), MST = minggu setelah tanam

(42)

25

PEMBAHASAN UMUM

Upaya mempercepat dan memaksimalkan pengomposan limbah pelepah daun sawit bisa meminimalkan material organik yang terangkut dari lahan pada saat panen. Pangkasan daun bahkan bisa dikembalikan lagi ke lahan tersebut dalam bentuk bahan siap pakai untuk menjaga stabilitas bahan organik tanah setelah melalui proses dekomposisi oleh mikroba. Hal ini perlu diperhatikan agar produktivitas lahan dan produksi tanaman tetap terjaga secara berkesinambungan.

Eksplorasi mikroba bertujuan untuk mencari mikroba perombak selulosa yang akan digunakan kembali sebagai aktivator pada pengomposan pelepah daun sawit. Isolasi dilakukan berdasarkan intensitas pengenceran, bertujuan agar sel-sel mikroba lebih terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga lebih mudah untuk melakukan isolasi (Ruel dan Barnoud 1985; Away dan Goenadi 1995). Hasil yang diperoleh melalui cara pengenceran juga lebih akurat, terutama dalam hal kemurniannya (Gusmailina 2005). Mikroba dibiakan dalam media CMC (Carboxy Methyl Cellulose) untuk melihat adanya bakteri selulotik dan media TSM (Trichoderma Selective/Specific Agar Media) untuk mendapatkan jenis Trichoderma yang digunakan sebagai isolat biodekomposer indigenous.

Meskipun sebelumnya pada tahap awal pembuatan biodekomposer indigenous, telah diperoleh hasil biakan mikroba yang jumlah koloninya dua kali lipat lebih banyak dibanding dengan yang terkandung dalam biodekomposer komersil namun ternyata hasil yang diperoleh tidak berbeda nyata dengan proses pengomposan pada perlakuan biodekomposer komersil dan tanpa biodekomposer (kontrol). Hal ini diduga karena komposisi bahan kompos yang belum sesuai dengan kebutuhan mikroba yang terkandung di dalamnya. Isroi (2004) juga menyatakan bahwa membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses tersebut meliputi pembuatan campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.

Proses pengomposan bahan organik seperti pelepah daun sawit yang memiliki kandungan lignin yang tinggi, membutuhkan waktu yang lebih lama sampai bahan-bahan organik tersebut benar-benar tersedia bagi tanaman (Landau 2002). Bahan yang mengandung lignin menjadi penghalang akses enzim selulotik pada degradasi bahan organik yang berlignoselulosa dan dapat menghambat proses dekomposisi. Formulasi mikroba dalam bentuk starter yang tepat dimungkinkan akan lebih mempermudah proses dekomposisi ini. Terlebih lagi mikroba yang digunakan sebelumnya berada dalam kondisi inaktif.

(43)

26

2011). Masto et al. (2007) juga menyatakan bahwa tidak semua hara dapat tersedia bagi tanaman karena sebagian besar hara terikat pada proses-proses kimia di dalam tanah. Ketersediaan hara tertentu yang berlebihan juga akan mempengaruhi hara lainnya.

Trichoderma spp dapat membentuk simbiosis mutualisme dengan tanaman karena kemampuan strain Trichoderma untuk berkembang biak dan fungsinya dalam mengontrol patogen akar (Harman et al. 2004; Hohmann et al. 2011). Bio inokulan yang efektif tidak hanya pada patogen akar yang menyerang secara langsung tetapi juga bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman dan memberi kekuatan melalui berbagai mekanisme seperti mobilisasi hara dan menginduksi inang pertahanan (Vinale et al.

2008; Hohmann et al. 2011).

Kualitas tanah menjadi penentu kesuburan sehingga tanah lebih produktif dan selanjutnya memberi efek bagi ekosistem tanah, sementara kesuburan tanah tergantung pada kandungan bahan organik dan anorganik (Tisdale dan Nelson 1975). Diduga, unsur-unsur hara makro pada pupuk kandang yang ditambahkan dalam proses pengomposan, hanya sebagian saja yang dipergunakan oleh bakteri pengurai. Sisa unsur makro yang tidak dimanfaatkan oleh bakteri tetap bercampur pada kompos yang dihasilkan, yang selanjutnya berfungsi juga sebagai penambah unsur hara makro dalam kompos yang dihasilkan, sehingga pada hasil analisis kimia kompos yang telah matang, kandungan unsur makronya paling tinggi.

Kompos pelepah daun kelapa sawit dihasilkan melalui proses pengomposan secara aerobik yaitu menggunakan oksigen sehingga dalam pembuatannya memperhatikan sistem aerasi dalam bahan dan wadah kompos. Aerasi merupakan

Salah satu pendekatan untuk mengetahui jumlah klorofil daun adalah dengan mengukur tingkat kehijauan daun. Daun yang lebih hijau diduga memiliki kandungan klorofil yang tinggi. Daun merupakan organ utama tempat berlangsungnya fotosintesis. Kedudukan batang caisin pada poros utamanya menyebar secara merata. Oleh karena itu jumlah daun yang optimum memungkinkan distribusi (pembagian) cahaya antar daun lebih merata. Distribusi cahaya yang lebih merata antar daun mengurangi kejadian saling menaungi antar daun sehingga masing-masing daun dapat bekerja sebagaimana mestinya. Pada penelitian Sulistyaningsih et al. (2005) perlakuan penyungkupan dan warna sungkup tidak mempengaruhi tingkat kehijauan daun. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan hara yang terdapat pada media tanam bisa mempengaruhi kandungan klorofil tanaman dibandingkan dengan perlakuan penyungkupan.

(44)

27

tersedianya unsur nitrogen yang banyak, maka klorofil yang terbentuk akan semakin tinggi karena klorofil berfungsi penting dalam proses fotosintesis. Penambahan unsur hara media tanam dilakukan melalui pemberian urine kelinci setiap minggu. Air kencing kelinci merupakan cairan yang mampu memberikan suplai nitrogen yang cukup tinggi bagi tanaman, hal ini disebabkan oleh tingginya kadar nitrogen yang terdapat didalamnya. Urine kelinci mengandung unsur 0.14 % N, 0.50 % P, 3.50 % K, 0.02 % Ca, dan 0.35 % Mg (hasil analisis laboratorium Kesuburan Tanah Departemen ITSL IPB 2013).

Unsur nitrogen sangat penting bagi tanaman caisin karena merupakan sayuran daun yang dipanen sebelum fase generatif, sehingga pertumbuhan daun yang banyak dan berwarna hijau akan memberikan hasil yang lebih baik. Sejalan dengan pernyataan Sugito dan Tugeno (1999) adanya unsur nitrogen yang cukup, akan menambah pertumbuhan daun, jumlah unsur nitrogen yang tinggi mempercepat pengubahan karbohidrat menjadi protein yang kemudian diubah menjadi protoplasma. Hal ini sesuai dengan pendapat Rakhmiati et al. (2003) yang menyatakan bahwa nitrogen dibutuhkan oleh tanaman untuk membentuk protein, sehingga dengan tercukupinya kebutuhan nitrogen bagi tanaman jumlah protein yang terbentuk semakin banyak dan akan menambah jumlah protoplasma pada sel tanaman dan akhirnya akan menambah lebar daun yang kaya akan klorofil.

Pemberian bahan organik selain dapat memperbaiki sifat kimia tanah, juga dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah. Pemberian bahan organik memantapkan agregat tanah terhadap penghancuran oleh air, meningkatkan kemampuan tanah menahan air, meningkatkan permeabilitas tanah, meningkatkan kapasitas tukar kation, mengurangi pengaruh buruk Fe2+ dan Al3+, meningkatkan pH dan hasil dekomposisinya meningkatkan ketersediaan unsur hara N, P, K dalam tanah (Tisdale dan Nelson 1975; Haynes dan Mokolobate 2001; Saidy et al. 2003; Koesrini dan William 2006).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Hasil eksplorasi dari pelepah daun kelapa sawit lapuk diketahui bahwa mikroba yang digunakan sebagai biodekomposer indigenous teridentifikasi dari jenis fungi Trichoderma asperellum.

2. Laju pengomposan oleh biodekomposer indigenous lebih tinggi dibanding biodekomposer komersil sampai 8 MSA.

Gambar

Gambar 1.  Tumpukan pelepah daun kelapa sawit PTPN VIII di kebun Cimulang,
Gambar 2.  Proses pencacahan dan pengomposan pelepah daun kelapa sawit
Tabel 2 Jumlah koloni mikroba perombak selulotik dari biodekomposer indigenous
Tabel 3  Penurunan nisbah C/N formula kompos pelepah daun sawit
+6

Referensi

Dokumen terkait

careful reading, but they focus on diferent aspects of the writing and employ diferent techniques.... Tips for editing

N0 HARI TANGGAL JAM DOSEN PENGAMPU MATA UJIAN KLS TDF 10 KAMIS 29 Jan. Gambar Teknik h

3 Anda akan merasa sakit dan mual ketika meminum susu UHT sisa yang sudah disimpan dalam suhu kulkas lebih dari 4 hari. 4 Rasa pada susu UHT yang

Dari apa yang dikemukakan di atas, nampak bahwa ketentuan mengenai akses pasar ini mirip sekali dengan ketentuan mengenai Most Favoured Nation (MFN) sebagaimana telah

khususnya, adalah liga dimensi yang bedalian eral salu sama lain, anlara keliganya ini sudah semenjak tahun 1945 susul'menyusul adanya, dalam rangka mencari satu

And -- as demonstrated by Lacan in his Seminar on the Ethic of Psychoanalysis -- this Kantian notion of the Sublime is wholly compatible with the Freudian notion of sublimation:

“Kalimat Pertanyaan Bahasa Sunda: Sebuah Analisis Awal dari Perspektif Minimalism.” Linguistik Indonesia.. Introduction to Government and

Integrasi dalam ranah ontologi, seorang saintis muslim harus menyadari bahwa alam merupakan ciptaan dan manifestasi Allah Swt; dan ajaran Islam mengajarkan