• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS (11)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS (11)"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRASI TASAWUF DAN SAINS

TRI MUKTI HARYONO

FakultasSains Dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan

e-mail :trimuktiharyono134@gmail.com

PENDAHULUAN

Artikel ini akan mengkaji tentang integrasi tasawuf dan sains. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui integrasi dalam sejarah Islam, integrasi dalam ranah ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Artikel ini menggunakan metode deskrisptif analisis.

PEMBAHASAN

A. Integrasi dalm Sejarah Islam

Dalam sejarah intelektual Islam klasik, budaya integrasi keilmuan telah dikenal dan dikembangkan dengan canggih. Dalam sejarah Islam, ditemukan ahli astronomi, ahli biologi, ahli matemaik, dan ahli arsitektur yang mumpuni dalam bidang ilmu-lmu keislaman seperti tauhid, fiqih, tafsir, hadis, dan tasawuf.

Para filsuf dai mahzab Paripatetik merupakan pemikir muslim yang berhasil mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran Islam yang bersumberkan Alquran dan hadis, karena tema-tema filsafat Yunani diislamisasikan dan disesuaikan dengan paradigma Islam. Mereka juga mampu menguasai disiplin ilmu yang terdiri atas ilmu-ilmu rasional dan ilmu-ilmu-ilmu-ilmu kewahyuan, sehingga integrasi menjadi sangat mudah dilakukan. Salah satu ilmuan muslim dari mahzab ini adalah Ibn Sina yang menguasai filsafat, kedokteran, astronomi, kimia, geografi, geologi, logika, psikologi, matematika, fisika, dan puisi. Secara keilmuan, meraka menguasai banyak disiplin ilmu, dan secara personal mereka berperan sebagai seorang saintis muslim yang berpola hidup religius dan sufistik.

Kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu religius adalah dampak dari keyakinan bahwa ilmu-ilmu religius merupakan ilmu-ilmu fardh al-‘ain yang wajib dikuasai dan diamalkan setiap muslim apapun profesi mereka. Sedangkan kemampuan mereka menguasai ilmu-ilmu rasional dan empirik adalah bahwa semua ilmu-ilmu tersebut dikategorikan sebagai ilmu fardh al-kifayah yang diwajibkan bagi sebagian muslim, atau kemungkinan tidak lebih dari sekadar profesi dan minat mereka untuk menguasai dan mengembangkannya atas dasar perintah agama.

(2)

Sejarah Islam juga menyebutkan keberadaan filsuf dari mahzab Isyraqiyah dan mahzab Hikmah al-Muta’aliyah yang sukses mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional dengan ilmu-ilmu kewahyuan. Salah satunya adalah Suhrawardi yang dikenal ahli filsafat, tasawuf, zoroastrianisme, dan platonisme.

Dengan demikian, integrasi ilmu dalam Islam bukan hal yang baru karena telah dikerjakan oleh para ilmuwan muslim sepanjang masa keemasan Islam. Mereka mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional dan ilmu-ilmu kewahyuan, dan keduanya saling mendukung kegiatan akademik mereka. Meskipun mereka seorang filsuf dan saintis, perilaku hidup mereka mereupakan realisasi terhadap teori mereka mengenai filsafat dan tasawuf.

B. Integrasi dalam Ranah Ontologi

Istilah ontologi berasal dari bahasa Yunani, ont berarti keberadaan, dan logos berarti teori, dan dalam bahasa Latin disebut ontologia, sehingga ontologi bermakna teori keberadaan sebagaimana keberadaan tersebut. Ontologi merupakan bagian dari metafisika yan merupakan bagian dari filsafat, dan membahas teori tentang keberadaan seperti makna keberadaan dan karakteristik esensial keberadaan.

Belakangan para sufi awal meluaskan objek kajian tasawuf sampai kepada persoalan wujud, selain tasawuf juga mulai bersinggungan dengan filsafat, sehingga mereka tidak saja membahas dan menyibak hakikat wujud-Nya, tetapi juga wujud alam dan manusia. Tasawuf bukan hanya membahas tentang bagaimana mendekatkan diri kepada Allah Swt atau hakikat wujud-Nya, tetapi juga memberikan perspektif tasawuf mengenai hakikat alam dan manusia, sebagaiman sains juga hendak mengkaji dan menelaah fenomena fenomena alam, terutama berbagai persoalan tentang mineral, tumbuhan, hewan, dan manusia.

Para filsuf muslim dan sufi berpendapat bahwa ada hubungan erat antara alam dan Allah Swt. Ibn Sina, Mulla Shadra, Suhrawardi memberikan penjelasan bahwa alam material tidak mandiri, melainkan disebabkan oleh wujud Allah Swt, dan selalu berada dalam pengawasan dan pengaturan-Nya.

Saintis muslim sebagai peneliti alam empirik (terutama dunia mineral, hewan, tumbuhan, dan manusia) harus menyadari bahwa alam merupakan ciptaan dan manifestasi Allah Swt; dan ajaran Islam mengajarkan bahwa alam merupakan tanda-tanda keberadaan dan kekuasan-Nya, sehingga penelitian terhadap alam diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh keimanan terhadap-Nya, bukan menjauhkan manusia dari-Nya sebagaimana ditemukan dalam banyak teori ilmuwan-ilmuwan barat sekuler.

C. Integrasi dalam Ranah Epistemologi

Istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti ilmu atau teori, sehingga epistemologi bermakna teori pengetahuan. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas pengetahuan dan pembenaran, dan kajian pokok epistemologi adalah makna pengetauan, dan hal-hal yang dapat diketahui. Epistemologi adalah ilmu tentang cara mendapatkan ilmu.

Kajian ilmu-ilmu alam dengan metode observasi dan eksperimen yang disebut dalam epistemologi Islam sebagai metode tajribi, sedangkan kajian tasawuf mengandalkan metode ‘irfani yang biasa disebut metode tazkiyah al-nafs. Sebagian sufi memanfaatkan metode ‘irfani untuk mendapatkan pemahaman mendalam mengenai

(3)

dunia metafisik dan dunia fisik. Saintis muslim memanfaatkan praktik-praktik ibadah yang kerap dilakukan oleh kaum sufi seperti zikir dan salat untuk mendapatkan ilmu mengenai banyak hal, terutama pemahaman terhadap dunia fisik dan non-fisik. Hal itu merupakan wujud ketundukan mereka terhadap Allah Swt sebagai pemilik dan pemberi ilmu kepada manusia, dan harapan terhadap kasih sayang-Nya agar diberikan pemahaman terhadap berbagai persoalan rumit yang dihadapi dalam kegiatan akademiknya.

Meskipun saintis muslim lebih banyak mengedepankan metode tajribi (eksperimen dan observasi) dalam mengembangkan ilmu-ilmu alam, tetap perlu mengambil metode tasawuf dalam menemukan ilmu dan kebenaran, dimana kaum sufi mengutamakan metode tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) dengan melaksanakan berbagai ritual ibadah termasuk zikir, serta melkukan praktik riyadhah dan mujahadah. Dalam perspektif Islam, kesucian jiwa manusia menjadi syarat utama untuk memperoleh ilmu secara langsung dari sumber asalnya, yaitu Allah Swt.

D. Integrasi dalam Ranah Aksiologi

Istilah aksiologi berasal dari bahasa Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios berarti nilai, logos berarti teori atau ilmu. Aksiologi bermakna teori nilai, investigasi terhadap asal, kriteria, dan status metafisik dari nilai tersebut. Aksiologi membahas tentang nilai kegunaan ilmu, tujuan pencarian dan pengembangan ilmu, kaitan antara penggunaan dan pengembangan ilmu dengan kaedah moral, serta tanggungjawab sosial ilmuan. Kajian aksiologi lebih ditujukan kepada pembahasan manfaat dan kegunaan ilmu, dan etika akademik ilmuwan.

Dari aspek etika akademik, nilai-nilai luhur tasawuf dapat menjadi landasan etis seorang ilmuwan dalam pengembangan sains dan teknologi. Konsep maqamat dan al-ahwal dapat menjadi semacam etika profesi seorang saintis sebagai ilmuwan muslim.

− Seorang saintis muslim harus zuhud dan fakir dalam arti bahwa ia menampilkan

hidup sederhana meskipun memiliki banyak harta; dan dermawan.

− Seorang saintis muslim harus memiliki sikap sabar (sabar dalam beribadah

[termauk kegiatan riset yang didasari oleh etika religius], sabar dalam menghadapi musibah, dan sabar dari godaan untuk melakukan dosa dan maksiat).

− Seorang saintis muslim harus tawakal, artinya menyerahkan hasil kegiatan

akademik dan sosialnya hanya kepada Allah Swt, setelah berbagai usaha yang dilandasi syariat telah dilakukan secara maksimal.

− Seorang saintis muslim harus memiliki sikap cinta, artinya ia hanya melaksanakan

seluruh aktivitas keilmuan dan sosialnya atas dasar kecintaan kepada Allah Swt, bukan demi meraih simpati dan apresiasi dari manusia.

− Seorang saintis muslim harus memilki sikap rida, artinya menerima dengan

tentram, tenang, dan bahagia atas segala capaian dan hasil dari kegiatan akademik dan sosialnya, meskipun capaian dan hasil tersebut tidak sesuai dengan rencana awal, sembari tetap meyakini bahwa keputudan tersebut berasal dari Allah Swt, dan harus diterima dengan lapang dada, serta meyakini bahwa keputusan-Nya adalah keputusan terbaik, untuk kemudian tetap berusaha untuk mencapai tujuan yang direncanakan sejak awal.

Dengan demikian saintis muslim dituntut untuk mengail kearifan dalam ajaran tasawuf, dan dapat menginternalisasikannya dalam kehidupan akademik dan sosialnya.

(4)

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa ajaran tasawuf berkaitan dengan sains. Integrasi dalam sejarah Islam bukan hal yang baru karena telah dikerjakan oleh para ilmuan muslim sepanjang masa keemasan Islam. Mereka mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional dan ilmu-ilmu kewahyuan, dan keduanya saling mendukung kegiatan akademik mereka. Meskipun mereka seorang filsuf dan saintis, perilaku hidup mereka mereupakan realisasi terhadap teori mereka mengenai filsafat dan tasawuf.

Integrasi dalam ranah ontologi, seorang saintis muslim harus menyadari bahwa alam merupakan ciptaan dan manifestasi Allah Swt; dan ajaran Islam mengajarkan bahwa alam merupakan tanda-tanda keberadaan dan kekuasan-Nya, sehingga penelitian terhadap alam diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh keimanan terhadap-Nya, bukan menjauhkan manusia dari-Nya sebagaimana ditemukan dalam banyak teori ilmuan-ilmuan barat sekuler.

Integrasi dalam ranah epistemologi, meskipun saintis muslim lebih banyak mengedepankan metode tajribi (eksperimen dan observasi) dalam mengembangkan ilmu-ilmu alam, tetap perlu mengambil metode tasawuf dalam menemukan ilmu dan kebenaran, dimana kaum sufi mengutamakan metode tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa) dengan melaksanakan berbagai ritual ibadah termasuk zikir, serta melkukan praktik riyadhah dan mujahadah. Dalam perspektif Islam, kesucian jiwa manusia menjadi syarat utama untuk memperoleh ilmu secara langsung dari sumber asalnya, yaitu Allah Swt.

Integrasi dalam ranah aksiologi, nilai-nilai luhur tasawuf dapat menjadi landasan etis seorang ilmuwan dalam pengembangan sains dan teknologi. Konsep al-maqamat dan al-ahwal dapat menjadi semacam etika profesi seorang saintis sebagai ilmuwan muslim. Seorang saintis harus memiliki sikap zuhud, fakir, sabar, tawakal, cinta dan rida dalam melaksanakan kegiatan akademik dan sosialnya.

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan  kompetensi  dan  profesionalitas aparatur  daerah  untuk  meningkatkan  kinerja dan  kapasitasnya  dalam  mengoptimalkan

WALL-FOLLOWING BEHAVIOR-BASED MOBILE ROBOT USING PARTICLE SWARM FUZZY CONTROLLER.. Andi Adriansyah 1 , and

Rencana strategi formal yang diinginkan dalam organisasi memiliki karakteristik berikut: Manajemen puncak yakni bahwa perencanaan strategis adalah

[r]

Hermantoro, “Palm Oil Production Based on Prediction of Soil Quality Using Ar- tificial Neural Model Network (ANN) ( Pred- iksi Produksi Kelapa Sawit Berdasarkan Ku- alitas

Tidak jarang sengketa perpajakan disebabkan oleh informasi dalam bentuk produk hukum yang terlambat sampai kepada wajib pajak, terlambatnya sosialisasi

Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa dari fraksi eter ekstrak metanol Temu kunci Boesenbergia pandurata (Roxb.) Schlecht dapat diisolasi senyawa flavonoid

Secondly, the comprehensive comparison between serial and parallel approach on bubble sort algorithm implementation on FPGA.. The remainder of this paper is organized as