C. Hasil Analisis Tematik/Interpretatif Psychological Well-Being
2. Penguasaan Lingkungan
Sebelum terbuka kepada keluarga bahwa dirinya lesbian, informan tahu bagaimana menempatkan diri sebagai anak sehingga hubungan masih berjalan dengan nyaman. Informan merasa nyaman terhadap lingkungan dan menyesuaikan diri tanpa kehilangan nilai dirinya,
Baik-baik aja sih, kalau pas aku dirumah kan nggak membawa atribut apa-apa, maksudnya aku bukan seorang heteroseksual atau homoseksual tapi aku seorang anak (S.A.107-109)
Informan A tetap dapat berinteraksi dengan baik dan nyaman dengan komunitas maupun di luar komunitas meskipun mereka tahu bahwa informan seorang lesbian. Selain itu informan juga merasa mendapat dukungan karena beberapa teman dapat menerima dirinya dengan orientasi seksualnya,
Ya biasa juga, kalau beberapa teman-teman sih udah ada yang tau ya, cuma kalau temen-temen diluar komunitas itu lebih diem gitu kalau misal tau, nggak ada yang nanya macem-macem sih enggak, mungkin cuma dalam hati aja mereka ngrasani. Tapi ya how care gitu kan (S.A.113-117)
Informan A memiliki hubungan yang baik dengan siapapun sebelum terbuka dengan orang lain mengenai orientasi seksualnya. Bahkan setelah informan membuka diri pun informan masih merasa nyaman dengan lingkungannya,
Nggak ada yang salah aku ngrasa kayak biasa aja itu lho, yang sama kayak misalnya seseorang perempuan suka sama laki-laki atau laki- laki suka sama perempuan (S.A.146-148)
Berbeda dengan informan B yang awalnya sulit menguasai lingkungan karena hubungan yang kurang harmonis dengan orang tuanya. Selain itu kemarahan dalam diri informan diawal muncul pada orang-orang yang mendiskriminasi LGBT. Hubungan informan B dengan orang tua pada awalnya tidaklah baik. Pada awalnya, informan merasa tidak nyaman dan memiliki hubungan yang buruk dengan orang tuanya. Hal tersebut dikarenakan banyak tuntutan dari orang tua terkait posisinya sebagai perempuan Jawa dan anak sulung, sementara informan memiliki ketertarikan dengan sesama perempuan.
Satu, tanaman-tanaman nilai di diriku sebagai perempuan, Jawa, sulung, lesbian. Empat identitas. Paling tidak aku merasa bahwa aku akan menghindari konflik ketika aku merasa powerku itu cukup lemah. Aku akan membuat jarak yang aman sehingga aku sendiri tidak terlukai. Aku tidak peduli orang lain, tapi aku sendiri tidak terlukai. Yang kedua, aku merasa kayak bentuk perlawanan juga nggak sih. Tapi pokoknya itu deh, karena aku nggak mau terlalu berkonflik (S.B.344-351).
Orang tuanya masih menganut budaya Jawa yang sangat kental seperti akan ada hal buruk jika seorang adik menikah lebih dulu dibanding kakaknya. Sehingga orang tua berinisiatif menjodohkan, namun ditunda karena informan tidak merespon karenya rasa ketidaknyamanannya dengan perjodohan.
Bagi keluarga Jawa itu kan suatu persoalan ya ketika anak sulung itu perempuan dan adiknya menikah duluan itu akan membawa bad luck kira-kira. Maka, ada upaya-upaya dari orangtuaku misalnya menjodohkan dengan anak temennya. Karena aku tidak merespon dan orangtuaku tidak membuka ruang pembicaraan, maka itu pun berlalu dan perjodohannya pun ditunda tanpa disepakati. Artinya karena tidak dibicarakan, ya sudah akhirnya ilang saja (S.B.279-286)
Adanya konflik dengan orang tua membuat informan menjauh dengan alasan ingin hidup mandiri (S.B.338-340).
Jadi 2009 aku memutuskan keluar dari rumah. Aku bicara sama mereka bahwa aku pengen menjalani hidup mandiri. Aku pengen hidup dengan gaji yang kumiliki. Dan mereka tidak ada soal. Tapi sebenernya itu modus aja karena aku hidup dengan pasanganku. Membuat jarak aja.
Selain itu, informan B juga merasa bahwa banyak hal termasuk kemarahan yang dirasakannya adalah karena orang-orang belum bisa menerima LGBT.
Di titik-titik ketika emosiku masih cukup tinggi setelah tau banyak hal. Aku akan cenderung bersikap memusuhi dalam tanda kutip pada orang-orang yang tidak sepakat pada isu LGBT. Jadi aku merasa semacam toa masjid, orang harus denger, orang harus patuh. Kalo mereka yang tidak oke terhadap isu LGBT, maka aku akan pasang garis tegas kamu bukan masuk cluster ke temenku (S.B.426-431).
Informan merasa bahwa konflik terbesarnya adalah perasaan marahnya pada pihak-pihak yang menyatkan bahwa lesbian itu berbeda dan tidak dapat diterima dimasyarakat,
Saat ini aku bisa mengidentifikasi bahwa mostly, perasaanku adalah kemarahan yang cukup besar kepada dunia dan seisinya. Marah karena dibedakan. Artinya, lesbian itu adalah berbeda, lesbian itu selalu ditolak di manapun (S.B.486-489)
Meskipun sudah menerima identitasnya, informan masih ada kemarahan ketika banyak pertanyaan yang mengganggunya,
Ada titik ketika aku menjadi cukup marah juga. Tapi maksudnya aku sampaikan bahwa fase setelah selesai menerima indentitasku, pertanyaannya berada di hal-hal yang berbeda, yang muncul kemarahan (S.B.496-499).
Informan B dapat menguasai lingkungan setelah masa down-nya berakhir. Sampai pada akhirnya informan menemukan cara untuk menjalani hidup sesuai fakta sehingga dapat berdamai dalam arti yang sesungguhnya dengan seluruh proses hidupnya.
Jadi kupikir aku lebih bisa legowo melihat banyak hal walaupun misalnya ada titik waktu ketika aku turun lagi, marah lagi. Ya wajar dalam konteks kehidupan ya (S.B.585-587).
Selain itu, Informan menyatakan bahwa tidak penting saat ini pengakuan dari berbagai pihak mengenai orientasi seksualnya. Karena
informan memandang bahwa hidup tidak hanya ego tapi berdamai dan menerima diri apapun keadaannya,
Tetapi berkenalan dengan cara pandang yang aku dapat di meditasi buddhist ini banyak membuka ruang berfikirku. Di mana letak ego kita? Bahwa banyak hal ternyata kita hidup dalam ego, dalam bayang-bayang ego misalnya. Kemudian berdamai dalam arti yang sesungguhnya dengan seluruh proses hidup kita (S.B.560-565).
Informan mulai dapat menerima kenyataan meskipun tidak sesuai dengan harapan tetapi lebih mencoba menerima fakta yang ada,
Jadi kupikir aku lebih bisa legowo melihat banyak hal walaupun misalnya ada titik waktu ketika aku turun lagi, marah lagi. Ya wajar dalam konteks kehidupan ya. Aku cukup terganggu dengan pola pikir banyak pihak yang menurutku kenapa semua orang seneng memaksakan cara pandangnya (S.B.585-589).
Informan memandang bahwa hidup itu biasa saja. Hidup itu hanya soal kemauan untuk menjalani sebagaimana adanya fakta (S.B. 633-634). Penerimaan informan B dengan berbagai kondisi di sekitarnya termasuk penolakan-penolakan terhadap diri dan komunitasnya membuatnya tetap nyaman terhadap lingkungan dan dapat menjalani kehidupan manusia seperti biasa.