• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi psychological well-being pada lesbian.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deskripsi psychological well-being pada lesbian."

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA LESBIAN

Studi Kualitatif Naratif di Yogyakarta Agatha Kharisma Ratnadewi

ABSTRAK

Orang yang memiliki orientasi seksual lesbian, mereka memiliki banyak sumber stres. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa lesbian memiliki beban psikologis karena orientasi seksual yang mereka miliki. Proses untuk menerima diri sudah cukup sulit, ditambah dengan prasangka, stigma dan penolakan yang ada di masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan Psychological Well Being pada lesbian melalui metode kualitatif studi naratif. Peneliti mewawancarai 2 orang yang memiliki orientasi seksual lesbian untuk mengumpulkan data. Setiap informan yang diwawancarai menceritakan suatu aspek penting atau peristiwa tertentu yang pernah mereka alami. Data akan dianalisis menggunakan analisis tematik. Hasil penelitian ini adalah informan yang memiliki Psychological Well Being baik memiliki narasi kehidupan progresif/optimistik. Faktor yang mendukung Psychological Well Being adalah dukungan sosial, pemahaman diri, perasaan diterima, harapan kepada orang lain, perasaan kecewa karena harapan yang tidak terpenuhi, penilaian terhadap situasi yang dihadapi, dan keterbukaan terhadap pengalaman baru. Hasil deskripsi penelitian menunjukkan bahwa penerimaan diri sejak awal dan dukungan sosial dapat membantu proses Psychological Well Being informan menjadi lebih cepat. Setelah menerima diri, barulah informan nyaman untuk menampilkan diri sebagai lesbian dan cenderung dapat mempersiapkan diri terhadap reaksi lingkungan. Pada akhirnya, informan akan merasa semakin nyaman, dapat menerima dan berdamai dengan diri serta lebih siap terhadap pandangan lingkungan.

(2)

THE DESCRIPTION OF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ON LESBIAN

Narrative Qualitative Study in Yogyakarta Agatha Kharisma Ratnadewi

ABSTRACT

People who have a lesbian sexual orientation, they have many sources of stress. This research is motivated by the belief that lesbians have a psychological burden because of their sexual orientation. The process to accept yourself is hard enough, coupled with the prejudice, stigma and denial that exist in society. The purpose of this study is to describe the Psychological Well Being on lesbian narrative studies through qualitative methods. Researchers interviewed two people who have a lesbian sexual orientation to collect data. Each informant was interviewed tells an important aspect or a particular event they have ever experienced. Data will be analyzed using thematic analysis. The results of this study are informants who had Psychological Well Being both have a progressive life narrative / optimistic. Factors that support the Psychological Well Being is social support, self-understanding, a feeling of acceptance, hope to others, feelings of disappointment because expectations were not met, an assessment of the situation at hand, and openness to new experiences. The description of the research shows that since the beginning of self-acceptance and social support can help the process of Psychological Well Being of informants to be faster. After receiving himself, the informants convenient to present themselves as lesbian, and tend to be prepared for the reaction environment. In the end, informant will feel more comfortable, able to receive and make peace with themselves and better prepared against environmental point of view.

(3)

DESKRIPSI PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

PADA LESBIAN

Studi Kualitatif Naratif di Yogyakarta

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Agatha Kharisma Ratnadewi

109114153

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Pandanglah burung-burung dilangit, yang tidak menabur dan tidak menuai

dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh

Bapamu yang di surga.

Bukanlah kamu jauh melebihi burung-burung itu?

(Matius, 6 : 26)

Ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake,

Sekti tanpo aji-aji, sugih tanpo bondho.

Ikhlas, menikmati apapun yang terjadi bersama semesta,

dan semua akan baik-baik saja

(7)

v

Karya ini kupersembahkan kepada:

Orang tuaku yang sangat luarbiasa

Thomas Harsono dan Retna Praseyaningrum “Uye”,

Kesayanganku Bethouven Van Cui dan Gilbertus

Bollu,

Segenap keluarga dan para sahabatku,

Sekaligus orang-orang yang selalu menopangku,

Terimakasih atas segala dukungan, doa, dan

pelajaran hidup yang kalian berikan

Terimakasih pula sarung ajaib yang selalu memberi

kenyamanan.

Tak lupa, aku juga berterimakasih kepadamu,

alam semesta.

(8)
(9)

vii

DESKRIPSI PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA LESBIAN

Studi Kualitatif Naratif di Yogyakarta Agatha Kharisma Ratnadewi

ABSTRAK

Orang yang memiliki orientasi seksual lesbian, mereka memiliki banyak sumber stres. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa lesbian memiliki beban psikologis karena orientasi seksual yang mereka miliki. Proses untuk menerima diri sudah cukup sulit, ditambah dengan prasangka, stigma dan penolakan yang ada di masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan Psychological Well Being pada lesbian melalui metode kualitatif studi naratif. Peneliti mewawancarai 2 orang yang memiliki orientasi seksual lesbian untuk mengumpulkan data. Setiap informan yang diwawancarai menceritakan suatu aspek penting atau peristiwa tertentu yang pernah mereka alami. Data akan dianalisis menggunakan analisis tematik. Hasil penelitian ini adalah informan yang memiliki Psychological Well Being baik memiliki narasi kehidupan progresif/optimistik. Faktor yang mendukung Psychological Well Being adalah dukungan sosial, pemahaman diri, perasaan diterima, harapan kepada orang lain, perasaan kecewa karena harapan yang tidak terpenuhi, penilaian terhadap situasi yang dihadapi, dan keterbukaan terhadap pengalaman baru. Hasil deskripsi penelitian menunjukkan bahwa penerimaan diri sejak awal dan dukungan sosial dapat membantu proses Psychological Well Being informan menjadi lebih cepat. Setelah menerima diri, barulah informan nyaman untuk menampilkan diri sebagai lesbian dan cenderung dapat mempersiapkan diri terhadap reaksi lingkungan. Pada akhirnya, informan akan merasa semakin nyaman, dapat menerima dan berdamai dengan diri serta lebih siap terhadap pandangan lingkungan.

(10)

viii

THE DESCRIPTION OF PSYCHOLOGICAL WELL-BEING ON LESBIAN

Narrative Qualitative Study in Yogyakarta Agatha Kharisma Ratnadewi

ABSTRACT

People who have a lesbian sexual orientation, they have many sources of stress. This research is motivated by the belief that lesbians have a psychological burden because of their sexual orientation. The process to accept yourself is hard enough, coupled with the prejudice, stigma and denial that exist in society. The purpose of this study is to describe the Psychological Well Being on lesbian narrative studies through qualitative methods. Researchers interviewed two people who have a lesbian sexual orientation to collect data. Each informant was interviewed tells an important aspect or a particular event they have ever experienced. Data will be analyzed using thematic analysis. The results of this study are informants who had Psychological Well Being both have a progressive life narrative / optimistic. Factors that support the Psychological Well Being is social support, self-understanding, a feeling of acceptance, hope to others, feelings of disappointment because expectations were not met, an assessment of the situation at hand, and openness to new experiences. The description of the research shows that since the beginning of self-acceptance and social support can help the process of Psychological Well Being of informants to be faster. After receiving himself, the informants convenient to present themselves as lesbian, and tend to be prepared for the reaction environment. In the end, informant will feel more comfortable, able to receive and make peace with themselves and better prepared against environmental point of view.

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti haturkan kepada Tuhan Yesus, atas berkat dan penyertaanya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan lancar. Peneliti menyadari bahwa tanpa benih semangat, peristiwa, dan setiap perjumpaan yang merupakan rencana-Nya, peneliti tidak akan dapat segera menyelesaikan skripsi ini.

Peneliti berharap agar skripsi ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi seseorang yang memiliki orientasi seksual Lesbian dan pihak-pihak terkait sehingga stigma dan diskriminasi terhadap Lesbian dapat diturunkan. Semoga penelitian ini dapat merangsang kemunculan penelitian lain mengenai psychological well-being pada Lesbian mengingat dampaknya yang sangat baik bagi kesejahteraan psikologis.

Terselesaikanya skripsi ini tidak akan terjadi tanpa kesempatan, semangat, dan masukkan dari beberapa pihak. Dalam kesempatan ini, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak.

1. Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

(13)

xi

4. C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. dan P. Henrietta P.D.D.S., M.A. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan sehingga penelitian ini memiliki kualitas yang lebih baik.

5. Ibu Passchedona Henrietta Puji Dwi Astuti Dian Sabbati, MA. selaku dosen pembimbing akademik, yang selalu memberikan dukungan kepada peneliti. 6. Jajaran dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang sudah

membantu setiap proses dalam kegiatan belajar mengajar. Terima kasih atas ilmu dan bimbingan selama peneliti menjadi mahasiswa.

7. Staf dan karyawan Fakultas Psikologi: Bu Nanik, Mas Gandung, Mas Muji, Pak Gik atas pelayanan baik dalam administrasi dan sarana perkuliahan. 8. Thomas Harsono dan Retno Prasetyaningrum (Uye) selaku Orangtua peneliti

yang luar biasa memberikan motivasi, tidak lelah untuk mendukung dan mendoakan peneliti sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.

9. Simbah Siti selaku nenek peneliti yang selalu mendukung, mendoakan dan merebuskan air panas untuk mandi di setiap harinya agar peneliti tetap sehat. 10.Dian Novita yang selalu memotivasi dan meluangkan waktunya untuk

mendampingi peneliti serta menyediakan diri untuk mendengar segala keluh kesah, curhatan dan kesabaran menghadapi naik turunnya emosi peneliti dalam proses penyelesaian skripsi ini.

(14)

xii

12.Echi Kiprit yang kadang menjengkelkan namun sering memotivasi mengucapkan “Ayo ibuk e Bollu cemangatt!”.

13.Benk-benk sahabat baik, selalu membantu sarana prasarana kepada peneliti. 14.Andang yang bersedia membantu dan membagikan pengalamannya dalam

penulisan skripsi ini.

15.Terimakasih untuk semua keluarga dan sahabat yang tidak ada hentinya mendoakan dan mendukung peneliti.

16.Tim IHAP Jogja ; mbak Mira, mas Maliq, Dian, mbak Nana, mbak Eni, Nuri dan Ari yang sering memberikan dukungan dengan candaan segar.

17.Para informan penelitian. Terimakasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan waktu kepercayaan dan keterbukaan kalian dalam menceritakan pengalamannya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.

18.Pihak-pihak lain yang telah memberikan dukungan. Sekali lagi peneliti mengucapkan terima kasih.

19.Alam semesta. Terimakasih alam semesta atas segala proses ini.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti bersedia membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang membangun demi kualitas karya ini.

Yogyakarta, 17 Juni 2016 Peneliti,

(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR SKEMA... xix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah... 15

C. Tujuan ... 15

(16)

xiv

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. LGBT …... 18

B. Persoalan yang dihadapi lesbian... 21

1. Diskriminasi ... 21

2. Stigma ... 23

3. Kekerasan ... 24

4. Bullying ... 25

5. Kontruksi nilai di masyarakat ... 27

C. Psychological Well-Being (PWB) ... 28

1. Eudaimonia Happinness ... 28

2. Dimensi Psychological Well Being... 30

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Well-Being ... 41

D. Kerangka Pikir Teori ... 47

E. Pertanyaan Penelitian ... 47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 48

B. Fokus Penelitian ... 50

C. Informan Penelitian ... 51

D. Teknik Pengumpulan Data ... 52

(17)

xv

1. Tahap Organisasi Data ... 55

2. Tahap Analisis Tematik ... 57

3. Tahap Interpretasi... 59

F. Keabsahan Data ... 60

1. Kredibilitas ... 61

2. Dependabilitas ... 63

3. Transferabilitas ... 64

4. Konfirmabilitas ... 65

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 66

1. Proses Pengumpulan Data ... 66

2. Identitas Informan ... 67

3. Proses Pengambilan Data ... 67

B. Hasil Analisis Narasi ... 68

1. Narasi Informan A ... 68

2. Narasi Informan B ... 78

3. Analisis Struktur Narasi ... 89

C. Hasil Analisis Tematik/Interpretatif Psychological Well-Being ... 96

1. Penerimaan Diri ... 96

2. Penguasaan Lingkungan... 98

(18)

xvi

4. Hubungan Positif dengan Orang Lain ... 105

5. Perkembangan Diri... 109

6. Tujuan Hidup ... 112

D. Ringkasan dan Integrasi ... 117

E. Pembahasan ... 121

1. Keterkaitan antara Faktor PWB dengan Dimensi PWB ... 121

2. Keterkaitan antara Faktor PWB dengan Narasi Subjek ... 126

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 130

B. Saran ... 132

1. Bagi Orang yang Memiliki Orientasi Seksual Lesbian ... 132

2. Bagi Kerabat dan Instansi Terkait ... 132

3. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 133

DAFTAR PUSTAKA ... 134

(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

A.ANALISIS TEMATIK

(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Daftar Panduan Pertanyaan ... 53

Tabel 2. Keterangan Koding ... 56

Tabel 3. Contoh Tabel Analisis Tematik ... 59

Tabel 4. Identitas Informan ... 67

Tabel 5. Jadwal Pengambilan Data ... 67

Tabel 6. Ringkasan Analisis Struktur Narasi ... 96

(21)

xix

DAFTAR SKEMA

Skema 1 : Kerangka Pikir Teori ...……… 47 Skema 2 : Proses Physchological well being pada informan A …...…..……. 91

(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam kehidupan ini jika seseorang ditanya apakah yang mereka inginkan kebanyakan dari mereka akan mengatakan ingin bahagia, keadaan dimana seseorang merasa senang, nyaman, dan gembira. Kebahagiaan akan menjadi suatu prioritas utama untuk dicapai di dalam kehidupan setiap orang. Kebahagiaan merupakan hal yang tidak dapat dibayar, karena kebahagiaan merupakan perasaan senang yang tidak dapat ditukar oleh apapun. Pada dasarnya kebahagiaan tersebut tidak dapat diukur dengan barometer apapun, setiap orang memiliki tolok ukur tersendiri terhadap hal yang menyenangkan bagi dirinya, yaitu kebahagiaan.

(23)

dirinya sendiri, dalam arti mengingkari seksualitas dan orientasi seksual mereka (Suara Perempuan, Senin 26 Agustus 2002).

Jumlah heteroseksual yang lebih dominan di dunia telah memunculkan asumsi bahwa semua orang adalah heteroseksual, dalam artian perempuan akan memilih laki-laki untuk menjadi pasangan hidupnya, begitupun sebaliknya. Nilai-nilai budaya heteronormatifitas menjadi salah satu akar asumsi bahwa jika ada anggota keluarga yang LGBT merupakan suatu aib sehingga tidak layak tinggal satu rumah dengan saudara yang mayoritas heteroseksual, pengalaman LGBT pergi dari rumah dan diusir merupakan kasus yang sering dijumpai. Disisi lain, budaya heteronormatifitas ditunjukkan oleh pemaksaan lesbian untuk menikah dengan orang yang tidak disukai atau selalu bertanya-tanya soal pernikahan. Hal ini memaksa seorang lesbian untuk berperilaku seolah-olah heteroseksual dengan membawa “Pasangan Palsu” demi membahagian orang tua dan keluarganya. Upaya lain dengan cara menghindari pulang atau bertemu orang tua agar tidak ditanya soal pernikahan dan dinasehati soal mempunyai keturunan (Menguak Stigma, Kekerasan & Diskriminasi pada LGBT di Indonesia. Arus Pelangi, 90; 2013).

(24)

akhirnya berdampak pada pemberian stigma negatif pada homoseksualitas terutama lesbian.

Tidak dapat dipungkiri bahwa realita keberadaan lesbian, biseksual dan transgender (LBT) ini telah lama ada bahkan sudah ada sejak berabad-abad tahun yang lalu. Di Surakarta sendiri pada tahun 1824 telah ditemukan fenomena hubungan seksual antar perempuan. Demikian juga di lingkungan kraton dikenal dengan istilah “lingkaran relasi lesbian“ yang

terjadi antara selir-selir Sultan Pakubuwono V (Wieringa, Blackwood, 2009:6).

Ada anggapan bahwa seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian terjadi karena pergaulan bebas, broken home, frustasi terhadap laki-laki dan alasan-alasan lainnya yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Kemudian ada juga pendapat lain dari sebagian masyarakat yang menyatakan lesbian merupakan penyakit menular yang dapat disembuhkan. Sehingga pandangan ini menyebabkan homophobia di kalangan masyarakat.

(25)

negatif dari masyarakat, maka akan berujung pada diskriminasi dan kekerasan yang diterima oleh seorang lesbian. Bagaimana seorang lesbian dapat melewati masa-masa sulitnya. Perlu diingat kembali bahwa kebahagiaan adalah hak setiap orang.

Meskipun pada tahun 1973, American Psychiatric Association menyatakan bahwa homoseksualitas bukanlah gangguan mental dan karena itu homoseksualitas dikeluarkan dari daftar gangguan jiwa dalam DSM. Dua tahun kemudian, 1975, American Psychological Association menyetujui bahwa orientasi seksual sesama jenis tidak berdampak bagi kerusakan mental. Baru pada 1993, WHO mengeluarkan homoseksualitas dari daftar International Classification of Diseases atau ICD (Galliano, 2003). Namun ironisnya, ada penelitian yang menemukan bahwa 89,3% dari LGBT di Indonesia telah mengalami kekerasan, diantaranya; 79,1% kekerasan psikologis, 46,3% kekerasan fisik, 26,3% kekerasan ekonomi, 45,1% kekerasan seksual dan 63,3% kekerasan budaya (Arus Pelangi, KSM and PLUSH, 2013).

(26)

masih merasa sulit menerima homoseksualitas, dan keberadaan lesbian. Profesi sebagai psikolog tentunya akan berhubungan langsung dengan masyarakat luas dan tidak dapat dipungkiri jika suatu saat akan menangani kasus yang behubungan dengan kelompok minoritas, seperti lesbian. Kita perlu pikirkan kembali, bagaimana jika psikolog yang berperan sebagai helper tersebut memiliki klien yang berorientasi lesbian? Apakah psikolog tersebut akan dapat membantu kliennya, jika ada penolakan di dalam diri seorang helper terhadap orientasi yang dimiliki kliennya. Seorang psikolog yang hanya mendengar kata-kata "homo atau lesbian" meskipun tidak bertemu secara langsung sudah timbul perspektif negatif di dalam pikirannya, maka bisa saja akan berdampak pada proses konseling.

(27)

yang anarkis karena dianggap sebagai acara maksiat oleh para penggerak massa. Tidak hanya kasus ini saja, namun masih banyak lagi kasus yang dialami oleh kelompok LGBT yang berakhir pada penyiksaan dan kekerasan. Realita yang ada hingga saat ini adalah banyak kelompok LGBT yang dikucilkan dari lingkungan masyarakatnya. Namun sayangnya, tidak hanya masyarakat namun juga aparat berwajib seringkali melakukan tindakan kekerasan kepada LGBT. Mereka merasa tidak memiliki harga diri di mata aparat penegak hukum.

Tidak berhenti disitu, pada tahun 2008, kasus lesbian di Makassar yang sempat marak yaitu terjadi pemukulan mantan polisi terhadap lesbian. Kasus ini diawali dari pertemanan istri polisi dengan seorang lesbian yang bernama Linda dan Wilma, istri polisi tersebut datang ke tempat Linda dan Wilma untuk mengobrol. Suatu ketika polisi tersebut mengetahui istrinya berada di rumah Linda dan Wilma, polisi tersebut langsung memukul dan mengatai “Dasar kalian semua lesbian

anjing, sundal, iblis tidak tahu untung!”.Lalu, dia menuduh Linda dan

(28)

Sebut saja Mitha The Virgin, Ivan Gunawan, Ruben Onsu, Olga Syahputra, dan Aming, yang kini lagi naik daun. Para selebriti ini sering muncul di layar kaca dan inilah yang dinilai beberapa kalangan termasuk MUI (Majelis Ulama Indonesia), sebagai cerminan yang merusak moral agama dan bangsa. MUI pun mulai gerah dengan tayangan yang sebagian besar entertainer Indonesia mulai berani menampakkan sisi lain dari mereka. Acara Silet bertajuk khusus kelompok LGBTI ini ditayangkan pada 24 Januari 2008, pukul 11.30. Bahkan, salah satu ketua MUI, KH Amidhan, meminta supaya pemerintah mencekal artis-artis yang menganut paham homoseksual (Harian Nonstop, 1 Maret 2008, Artis Homo Dicekal).

(29)

Psikologi dan Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Psikologi USD memenuhi panggilan Kepolisian Daerah Yoyakarta. Dia mengakui keputusan ini memang berat untuk diambil mengingat pihaknya harus mengabaikan prinsip kebebasan akademik di kampus. Eka berpendapat di universitas tidak bisa mengabaikan konteks bahwa ada masyarakat di Yogyakarta yang memprotes pembahasan tema LGBTI. "Percuma juga kalau dipaksakan pasti tidak produktif dan pesan utamanya malah tidak sampai," katanya. Dia mengakui, di tengah masyarakat yang masih belum terbuka, pelaksanaan prinsip kebebasan akademik susah diterapkan secara penuh. "Ini tanda kami perlu pakai bahasa lain yang lebih bisa diterima publik untuk melaksanakan itu," katanya. Fuad (FUI) menuding seminar dengan tema seputar lesbian dan gay merupakan upaya mengenalkan komunitas LGBTI ke publik. Organisasinya khawatir identitas komunitas LGBTI kelak semakin diterima oleh publik dan dianggap legal. "Itu (LGBTI) penyakit menular dan lama-lama mereka bisa minta legalisasi nikah sesama jenis," katanya. "Akhirnya muslim sebagai mayoritas jadi korban karena keluarganya ada yang tertular, padahal itu jelas dilarang agama." (tempo.co)

(30)

kehidupan sehari-hari atau temporer (sewaktu-waktu) dan beresiko akan terjadinya kematian (Menguak Stigma, Kekerasan & Diskriminasi pada LGBT di Indonesia. Arus Pelangi, 95; 2013).

Melihat masalah-masalah dari lingkungan sosial yang sering dialami oleh lesbian, dapat dilihat bahwa faktor prasangka cukup mengambil peran di dalamnya. Prasangka terjadi dimana-mana dalam berbagai bentuk, dan hal itu mempengaruhi kita semua. Prasangka dapat terjadi dalam dua arah: mengalir dari kelompok mayoritas kepada kelompok minoritas, begitupun sebaliknya. Kelompok manapun dapat menjadi sasaran prasangka. Banyak aspek dari identitas kita yang dapat menyebabkan kita diberi label dan didiskriminasi, antara lain kebangsaan, ras, etnis, jenis kelamin, orientasi seksual, agama, penampilan fisik, negara, dll. Ketidaksukaan terhadap suatu kelompok yang berlangsung terus-menerus akibatnya dapat meningkatkan kebencian ekstrim, bahkan dapat diikuti dengan tindakan menyiksa dan membunuh. Salah satu konsekuensi dari seringnya menjadi target prasangka terus menerus adalah penurunan harga diri seseorang (Handout Psi. Sosial II: PRASANGKA/ MM. Nilam Widyarini).

(31)

unik individu, tetapi melekatkan karakteristik kelompoknya yang menonjol.

Situasi tersebut merupakan situasi-situasi sulit yang ada di dalam proses hidup seorang lesbian, yang pada akhirnya akan berdampak pada menurunnya kebahagiaan seorang homoseksual. Sebagai bagian dari homoseksual, lesbian mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan orientasi seksualnya. Apalagi ditambah dengan sulitnya menghadapi penolakan-penolakan yang ada di masyarakat seperti kekerasan dan diskriminasi serta bullying. Faktor-faktor yang menyebabkan hal tersebut adalah faktor kurangnya informasi terhadap lesbian. Selain itu ada juga faktor warisan yaitu informasi yang diturunkan dari jaman dahulu yang belum tentu benar adanya. Melihat fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat seperti itu, bagaimana seorang lesbian dapat mencapai kebahagiaan? Mampukah seorang lesbian mencapai kebahagiaan hakiki seperti yang dipaparkan oleh Aristoteles bahwa kebahagiaan merupakan keutamaan manusia melebihi kepemilikan (barang), dan sebagainya. Manusia harus hidup dengan baik yang menurutnya hidup dengan masuk akal (reason). Masuk akalkah bila lesbian tidak dapat hidup selayaknya manusia hidup dengan nyaman, tanpa rasa takut dan bersalah? (jurnal perempuan, 87).

(32)

terkenal dalam sejarah lesbian dan gay. Ada orang kulit putih, hitam, latin, Asia Timur, India, Afrika yang memiliki orientasi seksual lesbian. Mereka bisa saja orang Yahudi, Katolik, Protestanm Budha, Muslim, Atheis atau yang lainnya. Lesbian juga ada yang kaya, ada juga yang miskin, tua dan muda, difabel (Galink, 2013:18). Hal ini sama seperti orang yang memiliki orientasi seksual heteroseksual pada umumnya. Kesetaraan lesbian dan gay seperti heteroseksual masih marak diperjuangkan oleh para pejuang HAM pada organisasi yang bergerak dibidangnya. Berbicara mengenai kebahagiaan dan homoseksual, sepertinya menarik bagi peneliti untuk melihat bagaimana puncak kebahagiaan yang dimiliki seorang lesbian, apakah seorang lesbian dapat mencapai puncak kebahagiaan ditengah maraknya diskriminasi dan kekerasan yang ada di masyarakat, karena pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk bahagia.

(33)

adalah kebencian atau perasaan hina terhadap lesbian atau homoseksual, pandangan itu ada di balik semua contoh diskriminasi dan/atau kekerasan.

Homoseksualitas itu sendiri adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada "pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis" terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama, "Homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam komunitas." (Sexual Orientation, Homosexuality dan Bisexuality, 2010).

Psychological well-being (PWB) merupakan sebutan bagi kesejahteraan (well-being) psikologis manusia. (Synder, Lopez, dan Pedrotti, 2011 dalam Preventi, 2015) mendefinisikan PWB sebagai tingkat kesejahteraan manusia yang dikarekteristikan oleh penerimaan diri (self-acceptance), perkembangan diri (personal growth), memiliki tujuan hidup (purpose in life), penguasaan lingkungan (environmental mastery), kemandirian (autonomy), hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others).

(34)

menemukan diri yang sesungguhnya dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan nyata (Ryff, 2014). Ryff berpendapat bahwa Psychological well-being merupakan sumber resiliensi/ ketahanan dalam menghadapi kesulitan hidup dan mencerminkan fungsi positif, kekuatan personal, dan kesehatan mental (Braumgrardner & Crothers, 2009).

Pada dasarnya kebahagiaan itu bersifat subjektif, setiap individu memiliki tolak ukur kebahagiaan dan faktor yang mendatangkan kebahagiaan yang berbeda-beda pada masing-masing individu. Peneliti merasa PWB lebih tepat digunakan sebagi landasan dalam penelitian pada lesbian ini, karena PWB cenderung melihat kebahagiaan seseorang, bukan mengukur kebahagiaan seseorang (Subjective Well-Being).

Ada dua perspektif dalam psychological well-being, yaitu perspektif hedonis dan eudaimonis. Peneliti menggunakan perspektif eudaimonis dalam penelitian pada lesbian ini, karena perspektif eudaimonis menganggap bahwa manusia dapat meraih well-being dengan cara memenuhi “true-self” mereka, sedangkan hedonis lebih berfokus pada

kesenangan semata untuk meraih kesejahteraan. Psychological well-being dinilai dapat meningkatkan resiliensi seseorang dalam mengatasi tantangan hidup (Ryff dalam Baumgardner dan Crothers, 2009).

Penelitian sebelumnya terkait dengan Psychological well-being pada lesbian adalah penelitian dari Universitas Sumatera Utara yang berjudul “Gambaran Psychological well-being pada lesbian” oleh (Cindy

(35)

dan mengunakan teknik snow ball dengan sampel sebanyak 32 orang dengan jumlah item sebanyak 55. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mayoritas Psychological well-being pada lesbian tergolong sedang mengarah ke rendah pada dimensi penerimaan diri dan penguasaan terhadap lingkungan. Sedangkan dimensi yang mendapatkan skor cukup baik adalah dimensi perkembangan pribadi. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa Psychological well-being pada lesbian lebih rendah dari yang non lesbian. Dari penelitian tersebut peneliti ingin lebih jauh melihat Psychological well-being pada lesbian di Yogyakarta dengan pemahaman yang lebih mendalam mengenai pengalaman dan pemaknaan informan, sehingga peneliti menggunakan penelitian kualitatif naratif dalam penelitian ini.

Penelitian ini berjudul “Deskripsi psychological well-being pada

(36)

Dari judul tersebut peneliti ingin memberikan informasi kepada masyarakat dan pembaca mengenai deskripsi psychological well-being pada lesbian. Dengan adanya informasi yang jelas diharapkan akan membuat masyarakat lebih terbuka dan memahami LGBT. Pentingnya mengenal LGBT adalah untuk memperluas cara pandang masyarakat terhadap LGBT. Streotype negatif yang tertanam di masyarakat sudah menyulitkan seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian untuk menyesuaikan diri dengan orientasi seksualnya, ditambah dengan diskriminasi dan kekerasan. Informasi ini bertujuan untuk mengurangi stigma negatif dan meningkatkan kualitas kenyamanan psikologis supaya lebih produktif.

B. Rumusan Masalah

- Bagaimana deskripsi psychological well-being pada lesbian?

C. Tujuan Penelitian

- Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui deskripsi psychological well-being dalam proses kehidupan lesbian.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

(37)

dokumen akademik yang dapat menjadi acuan civitas akademika, khususnya bidang studi psikologi. Lebih jauh peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memperkaya wawasan dan kajian komprehensif pada perkembangan ilmu psikologi, terutama mengenai psychological well-being pada lesbian.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pembaca, LSM/ organisasi yang peduli dan bergerak dalam mendampingi isu-isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) mengenai deskriptif psychological well-being pada lesbian. Pembaca maupun masyarakat umum diharapkan untuk lebih menghargai mengenai keberagaman orientasi seksual terutama pada lesbian, sehingga secara tidak langsung dapat mengurangi streotype negatif yang masih melekat dimasyarakat, terutama bagi kalangan akademisi khususnya mahasiswa psikologi yang masih kurang paham mengenai realitas kehidupan lesbian.

(38)

Bagi informan sendiri, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu informan melihat ulang proses hidupnya sehingga dapat belajar dari pengalaman masa lalu untuk direfleksikan. Hal ini, berguna untuk membantu proses well-being informan dalam melanjutkan proses hidupnya.

(39)

18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) dan Transeksual 1. Lesbian

Lesbian adalah perempuan yang memiliki ketertarikan emosi, fisik dan seksual kepada sesama jenis atau sesama perempuan. Selain itu lesbian adalah istilah bagi perempuan yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama perempuan yang mencintai perempuan baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual. Lesbian juga didefinisikan bukanlah sekedar faktor alamiah, tetapi lebih kepada masalah preferensi seksual berdasarkan pengalaman perempaun yang tidak terjadi pada suatu titik spesifik dalam hidup seorang perempuan. Itu bisa terjadi setiap saat, ketika beranjak remaja, dewasa, saat menjadi orang tua ataupun dimasa tua. Lesbian tidak mengenal kelas sosial, ia bisa siapa saja, guru, perawat, model, aktris, agamawan dan lain sebagainya. (Novita, 2011;17).

Hal yang terpenting adalah seseorang itu menjadi dirinya sendiri apa adanya. Argument yang dilihat dari sudut pandang “alami” (sesorang menjadi seorang lesbian sejak lahir ) bertolak belakang jika dilihat dari sudut pandang “kejadian yang bukan alami” (adanya suatu

(40)

saat di dalam kehidupannya. Jika menyadari bahwa diri adalah sesorang lesbian atau mempunyai perasaan lesbian, tidak secara otomatis harus berhubungan seks atau terlibat dalam suatu hubungan dengan sama jenis. Beberapa lesbian ada yang memilih untuk berstatus single ( sendiri ) dan merasa senang atau puas dengan identitas mereka sendiri. Setiap orang bebas dengan pilihan-pilihannya. Jika seseorang memilih menjadi lesbian maka hal tersebut akan menjadi identitas seksualnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa lesbian adalah rasa ketertarikan perempuan dengan jenis kelamin yang sama baik secara fisik, emosional, maupun seksual.

2. Gay

Gay adalah laki-laki yang memiliki ketertarikan emosi, fisik dan seksual kepada sesama jenis atau sesama laki-laki. Selain itu gay adalah istilah bagi laki-laki yang mengarahkan pilihan orientasi seksualnya kepada sesama laki-laki, mencintai laki-laki baik secara fisik, seksual, emosional atau secara spiritual (Novita, 2011;17).

3. Biseksual

(41)

4. Transgender

Transgender adalah seseorang yang merasakan identitas gendernya berbeda dari jenis kelamin yang mereka miliki saat dilahirkan, bersikap dan berperilaku seperti lawan jenis kelaminnya. Kelompok ini biasannya tidak melakukan operasi (Galink, 185; 2013). Transgender ada 2, yaitu:

a. Waria : Trans dari gender laki-laki ke perempuan.

b.Transmen : Trans dari gender perempuan ke laki-laki.

5. Transeksual

Transeksual adalah orang yang memiliki keinginan untuk hidup dan diterima sebagai anggota anggota dari jenis kelamin yang berlawanan dari jenis kelamin biologisnya. Ingin melakukan terapi hormonal dan oprasi untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan lawan jenis kelamin biologisnya dan sesuai dengan identitas gender mereka. Kategori ini berlaku bagi yang sudah atau belum melakukan terapi dan atau operasi (Galink, 186; 2013).

(42)

dua informan dengan alasan terbatasnya informan yang sesuai kriteria dan menyetujui untuk melakukan proses wawancara.

B. Persoalan yang dihadapi lesbian 1. Diskriminasi

Diskriminasi adalah setiap pebatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan peda pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekkonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. (UU HAM 39/1999 Pasal 1 Ayat 3).

(43)

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa diskriminasi merupakan suatu bentuk pembedaan perilaku seseorang maupun kelompok masyarakat karena alasan tertentu terhadap seseorang dengan perlakuan yang berbeda dengan umumnya.

Beberapa contoh diskriminasi yang sering dihadapi kelompok LGBTI di Indonesia adalah sebagai berikut (Arus Pelangi dan Yayasan Tifa, 2008: 28):

a. Diskriminasi sosial, contohnya adalah stigmatisasi, cemoohan, pelecehan, dan pengucilan, tidak adanya kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan formal, dan kekerasan fisik maupun psikis; contohnya melempar batu kerikil ke seorang lesbian, gay, maupun waria.

b. Diskriminasi hukum contohnya adalah kebijakan Negara yang melanggar hak-hak LGBTI dan perlakuan hukum yang berbeda. Perda Provinsi Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Maksiat di Provinsi Sumatera Selatan. Perda ini mengkriminalisasikan kelompok LGBTI dengan mengkategorikan kelompok LGBTI sebagai bagian dari perbuatan pelacuran (Arus Pelangi, 2011: 2).

(44)

d. Diskriminasi ekonomi, contohnya adalah pelanggaran hak atas pekerjaan di sektor formal. Contohnya pelarangan orang dengan LGBT bekerja disuatu perusahaan.

e. Diskriminasi kebudayaan, contohnya adalah upaya penghapusan dan penghilangan nilai-nilai budaya yang ramah terhadap kelompok LGBTI. Contohnya, selama dasawarsa 70-80an budaya Bissu di Sulawesi Selatan hampir musnah diberantas oleh kelompok Islam garis keras, DI-TII.

2. Stigma

Menurut Erving Goffman (1968) Stigma adalah segala bentuk atribut fisik dan sosial yang mengurangi identitas sosial seseorang, mendiskualifikasikan orang itu dari penerimaan seseorang. Sedangkan menurut (KBBI), stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.

Dengan demikian, dapat didefinisikan bahwa stigma adalah sikap merendahkan (mendiskreditkan) seseorang atau sekelompok yang memiliki atribut sehingga dapat menyebabkan pandangan masyarakat yang buruk kepada seseorang atau kelompok tertentu (Galink, 2013).

(45)

berpandangan bahwa lesbian itu sakit jiwa, perilaku menyimpang dan tidak normal.

3. Kekerasan

a.Bentuk- bentuk kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT 1. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual cukup banyak dialami oleh kelompok LGBT. Penelitian yang dilakukan oleh Ardhanary Institute dengan metode wawancara menemukan 9 dari 10 orang LBT yang diwawancarai mengalami kekerasan seksual baik berupa perkosaan maupun pemaksaan aktivitas seksual yang lain. Pelaku kekerasan mulai dari keluarga, aparat penegak hukum, dokter, maupun masyarakat umum (Galink, 2013).

2. Kekerasan Verbal

Kekerasan verbal merupakan salah satu kekerasan yang paling sering diterima oleh seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian. Kekerasan verbal yang sering diterima seperti; Menjatuhkan metal denegan komentar-komentar yang meremehkan, mengancam, dan memanggil dengan nama panggilan yang diskriminatif yang akan berdampak pada kepercayaan diri seseorang.

(46)

3. Kekerasan fisik

Kekerasan yang dialami dapat berupa pemukulan, tamparan, meludahi. Pelaku adalah keluarga, pasangan, keluarga pasangan (Galink, 2013).

4. Kekerasan emosional

Biasanya orang LGBT mengalami penolakan dari keluarga setelah mereka mengaku atau ketahuan sebagai LGBT. Kekerasan yang dilakukan keluarga dapat berupa ancaman untuk menyembunyikan orientasi seksualnya, membatasi pergaulan, memaksa untuk ”berobat”, penolakan,

ataupun pengusiran (Galink, 2013).

Kekerasan emosional yang lain juga dilakukan oleh media dengan membuat pemberitaan yang mendiskreditkan kalangan LGBT, misalnya dalam kasus pembunuhan berantai yang dilakukan Ryan.

4. Bullying

(47)

Bullying sering kali terlihat sebagai perilaku pemaksaan atau usaha menyakiti fisik ataupun psikologis terhadap seseorang atau kelompok yang lebih “lemah” oleh seseorang atau sekelompok orang

yang memprsepsikan dirinya lebih “kuat”. Perbuatan pemaksaan atau

menyakiti ini terjadi di dalam sebuah kelompok (KPAI, 2012).

Dengan demikian, dapat didefinisikan bahwa bullying merupakan perilaku agresif yang tidak diinginkan, yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain (dianggap lebih lemah, baik secara fisik, psikologis, seksual maupun sosial).

Bentuk-bentuk bullying (UNICEF, 2007):

a. Bullying secara langsung: Contohnya pada perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki di ejek dan diteriaki lesbian, didorong, diserang, bahkan merusak barang-barang.

b. Bullying secara tidak langsung : Perempuan lesbian biasanya sering dikucilkan, di sebarkan gosip negatif, disindir dengan lelucon yang menyakitkan, dan dilecekan secara verbal serta perilaku sosial. c. Cyber bullying: Sering ditemui di media sosial seperti Facebook,

Instagram, SMS dan e-mailpelecehan atau penghinaan kepada lesbian.

(48)

interpretasi pelaku tentang orientasi seksual, identitas gender, dan ekspresi gender korban yang bertentangan dengan normativitas gender tersebut (UNESCO, 2012)

5. Kontruksi nilai di masyarakat (Tuntutan budaya/ lingkungan) a. Tekanan nilai-nilai di masyarakat terkait dengan perempuan.

Teori kekeluargaan dan keluarga cenderung menekankan peran perempuan sebagai orang yang menghasilkan segalanya dan sebagai ibu, tetapi bukti ini justru memperluas pandangan mengenai kehidupan perempuan mencakup berbagai tingkatan hubungan sosial yang tidak didefinisikan melulu dengan bagaimana mereka merawat rumah tangga. Teori ini bahkan menggugat anggapan “kodrati” bahwa perempun harus berpasangan dengan

laki-laki agar dapat membangun rumah tangga (Wieringa & Blackwood,2009:30) .

Rich (1980) berpendapat bahwa kewajiban akan heteroseksualisme ini dialami hampir semua perempuan diseluruh dunia, dengan menegaskan bahwa budaya mensyaratkan, bahkan dalam beberapa kasus, memaksakan adanya pernikahan (Wieringa & Blackwood,2009:31).

(49)

dalam berbagai bentuk seperti fitnah, cemooh sampai dengan genosidayang disengaja (Wieringa & Blackwood,2009:33-34).

Dengan demikian, tuntutan atau tekanan nilai-nilai di masyarakat sudah menjadi budaya bahwa perempuan agar berpenampilan feminim dan menikah. Norma dan tatanan masyarakat terssebut yang akhirnya menyumbangkan stressor yang cukup tinggi untuk mencapai kenyamanan di dalam kehidupan seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian.

C. Psychological Well-Being 1. Eudaimonic Happinness

(50)

hamba dari hasrat/nafsu. Penelitian mengenai eudaimonia telah banyak dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan Eudaimonia yang dicetuskan oleh Aristoteles diwakili oleh psychological well-being dalam diri seseorang (Ryan & Deci, 2001).

Ryan dan Deci mendeskripsikan well-being sebagai konstruk kompleks yang menitikberatkan pada pengalaman dan fungsi diri yang optimal. Menurut Waterman, eudaimonic well-being memiliki unsur utama memenuhi dan mewujudkan sifat diri yang sebenarnya (Ryan & Deci, 2001). Sedangkan Ryff, pakar psychological well-being, berpendapat bahwa well-being seharusnya menjadi sumber resiliensi dalam menghadapi kesulitan dan mencerminkan fungsi positif, kekuatan personal, dan kesehatan mental (Baumgardner & Crothers, 2009). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa psychological well-being adalah pemenuhan dan perwujudan diri seseorang yang menjadi sumber resiliensi/ketahanan diri dalam menghadapi kesulitan dan mencerminkan fungsi positif, kekuatan personal, dan kesehatan mental.

(51)

mastery), kemandirian (autonomy), hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others).

Menurut Hauser, 2005 (dalam Preventi, 2015), Psychological well-being merupakan kesejahteraan psikologis individu yang berfokus pada realisasi diri (self-realization), pernyataan diri (personal expressiveness), dan aktualisasi diri (self-actualization). Psychological well-being merujuk pada bagaimana seseorang mengevaluasi kehidupan mereka (Diener, 1997).

Menurut Ryff, 1995 penting untuk mendapatkan psychological well-being karena nilai positif dari kesehatan mental yang ada di dalamnya yang akan membuat seseorang dapat mengidentifikasikan apa yang hilang dalam hidupnya. Kebahagiaan itu bersifat subjektif karena setiap individu memiliki tolak ukur kebahagiaan dan faktor yang mendatangkan kebahagiaan yang berbeda-beda pada masing-masing individu. Karena kebahagiaan itu bersifat subjektif, maka seorang dengan lesbian juga memiliki alasan sendiri dalam memperoleh kebahagiaan di dalam kehidupannya.

2. Dimensi Psychological Well Being

(52)

a. Penerimaan diri (Self Acceptance)

Penerimaan diri diawali dengan pengenalan akan diri. Menurut Maslow, orang yang mampu menerima diri dapat menerima kekurangan dan kelemahannya tanpa rasa malu, bersalah, maupun defensif. Ia menerima kodrat sebagaimana adanya dan menerima nafsu tanpa rasa malu. Ia memiliki perasaan positif terhadap masa lalu (Ryff, 2014). Ia puas dengan dirinya. Diri merupakan sesuatu yang luas dan dalam karena semua pikiran dan perasaan mampu diungkapkan. Oleh karena itu, ia tidak memalsukan diri dan tidak menyembunyikan diri dibelakang topeng peran sosial. Ia sadar sedang memainkan peran dan tidak mencampurkan peran dengan diri. Pribadi ini mengembangkan keharmonisan antara dirinya yang sebenarnya dan kenyataan (Schultz, 1977/2010). Oleh karena itu, penerimaan diri merupakan kemampuan seseorang dalam menerima diri seutuhnya dan mampu mengungkapkannya secara leluasa.

(53)

defensif. Orang ini banyak membuang waktu untuk mencemaskan hal-hal yang tidak dapat diubah (Schultz, 1977/2010). Menurut Ryff (2014), orang yang tidak memiliki self-acceptance cenderung merasa kecewa terhadap masa lalu dan berharap menjadi seseorang yang berbeda dari dirinya yang sebenarnya. Dengan demikian, self-criticism didefinisikan sebagai ketidakmampuan seeorang untuk menerima diri secara utuh sehingga diri merasa inferior, tidak berharga, dan berharap menjadi orang lain yang berbeda dari dirinya.

b. Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

(54)

dengan kondisi fisik. Allport menyatakan pendapatnya mengenai penguasaan lingkungan. Menurutnya, penguasaan lingkungan adalah kemampuan berpartisipasi dalam bidang penting dimana terjadi proses untuk keluar dari diri. Penguasaan lingkungan juga sering disinggung oleh teori perkembangan. Teori-teori tersebut menyatakan bahwa penguasaan lingkungan adalah kemampuan untuk memanipulasi dan mengontrol lingkungan kompleks melalui aktifitas mental dan fisik (Ryff & Singer, 2008). Ryff (2014) menyatakan bahwa mampu menggunakan kesempatan yang muncul dan kemampuan untuk memilih maupun menciptakan konteks yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi juga merupakan salah satu aspek penguasaan lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penguasan lingkungan adalah kemampuan seseorang untuk mengontrol (memilih, membuat, mengatur) lingkungan yang kompleks serta menggunakan kesempatan yang muncul melalui aktivitas fisik dan mental agar sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi.

(55)

akibat dari keyakinan seseorang bahwa peristiwa-peristiwa dalam hidupnya serta hasil-hasil yang ia peroleh dalam hidup secara umum tidak bisa dikontrol dan ia mendapati kegagalan dalam semua usaha yang ia lakukan (repeated failure) (Woolfolk, 2013). Ketika mereka merasa tidak dapat mengontol peristiwa-peristiwa dalam hidup, muncul pemikiran bahwa usaha untuk mencoba tidak diperlukan karena hasilnya akan sia-sia dan tidak akan berhasil. Mereka akhirnya menjadi seseorang yang merasa tidak memiliki harapan (hopelessness). Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa learned helplessness adalah perasaan tidak berdaya karena tidak mampu mengendalikan hasil-hasil yang diperoleh dalam hidup.

c. Kemandirian (Autonomy)

(56)

dengan baik melawan pengaruh sosial, mampu mempertahankan otonomi batin, dan tidak serta merta terpengaruh oleh budaya (Schultz, 1977/2010). Mereka juga mengevaluasi diri menggunakan standar pribadi Ryff (dalam Preventi, 2015). Dengan demikian, kemandirian didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk membentuk pikiran dan melaksanakan dorongan sehingga tidak memiliki kebutuhan yang kuat akan orang lain.

Situasi yang bertolak belakang dengan autonomy adalah dependency/ketergantungan. Seseorang dengan dependency memiliki perasaan putus asa dan merasa lemah. Mereka berusaha memiliki relasi interpersonal yang baik untuk meningkatkan self-esteemnya yang rendah (Coyne dan Whiffen, 1995 dalam Preventi, 2015). Ia tidak mampu menghasilkan kepuasan sendiri (Schultz, 1977/2010). Orang ini merasa takut ditinggalkan orang lain. Ia berharap dirawat, dicintai, dan dilidungi oleh orang lain (Blatt dalam Blatt et al., 1982). Mereka tidak memiliki perasaan akan diri yang kuat sehingga mereka bersandar pada ide, nilai, dan tingkah laku orang lain. Perasaan akan diri yang mereka miliki hanya merupakan pantulan diri orang lain yang tidak berasal dari perkembangan mereka sendiri (Schultz, 1977/2010).

(57)

perasaan kuat akan diri sehingga mengusahakan relasi interpersonal untuk meningkatkan self-esteem.

d. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations with Others)

Dalam bukunya Pattern and Growth in Personality (1961), Gordon W. Allport menyebutkan 2 jenis hubungan hangat dengan orang lain, yakni keintiman (intimacy) dan belas kasih (compassion). Allport memaparkan bahwa keintiman merupakan perasaan cinta/sayang yang ditujukan kepada orang tua, anak, partner, dan teman. Seseorang mampu mengembangkan dengan baik suatu keintiman ketika ia telah memiliki perasaan identitas diri (Schultz, 1977/2010). Keintiman membuat seseorang memiliki relasi yang hangat, memuaskan, dan terpercaya. Mereka merasa bahwa kesejahteraan orang lain sama penting dengan kesejahteraan dirinya. Hal tersebut juga membuat orang ini memiliki rasa empati yang kuat (Ryff, 2014). Cinta dan perhatian yang mereka berikan kepada orang lain tanpa syarat dan tidak mengikat. Seseorang yang mampu mengembangkan keintiman dengan baik akan memiliki rasa perluasan diri yang berkembang baik pula (Schultz, 1977/2010).

(58)

imajinatif diri seseorang bahwa ia adalah bagian dari keluarga semua bangsa. Hal ini membuat individu memahami pengalaman sakit, menderita, kuat, dan gagal yang muncul dalam kehidupan manusia. Belas kasih membuat seseorang sabar terhadap perilaku orang lain, tidak menghakimi maupun menghukum. Seseorang menjadi mampu menerima kelemahan-kelemahan manusia dan sadar bahwa dirinya memiliki kelemahan yang sama (Schultz, 1977/2010). Berdasarkan uraian tersebut dapat didefiniskian bahwa relasi positif dengan orang lain merupakan relasi yang didasari oleh keintiman dan belas kasih.

(59)

orang lain yang merupakan salah satu dimensi dalam Psychological Well Being.

e. Perkembangan Diri (Personal Growth)

Perkembangan dirimerupakan dimensi well-being yang paling dekat dengan teori eudaimonia yang dipaparkan oleh Aristoteles. Perkembangan diri bertitik berat pada perwujudan diri seseorang yang sesungguhnya (self-realization) (Ryff & Singer, 2008).

Perkembangan diri dimulai sejak masa kanak-kanak. Anak-anak mulai memiliki dorongan untuk melakukan sesuatu dan mengusahakan hubungan yang memuaskan dengan dunia. Hal tersebut menyebabkan munculnya dorongan untuk mengolah selera dan ketertarikan. Seseorang terdorong untuk meningkatkan dan memenuhi dirinya secara lengkap. Seseorang dapat terus berkembang ketika mampu menerima dirinya dengan penuh rasa penghargaan dan humor (Murphy, 1954).

(60)

dan Singer (2008) berpendapat bahwa pertumbuhan pribadi merupakan proses berkelanjutan untuk mengembangkan potensi. Dengan demikian, pertumbuhan pribadi dapat disimpulkan sebagai pergerakan indiviu untuk meningkatkan, mengembangkan, dan menumbuhkan potensi diri sehingga diri seseorang yang sesungguhnya dapat terwujud.

Seseorang dengan personal growth yang baik akan terbuka pada pengalaman baru. Mereka berperilaku secara efektif dan menunjukkan pemahaman akan diri (Ryff, 2014). Mereka memiliki rasa kuat akan arah hidup, mengetahui aturan dirinya sendiri dalam hidup, dan memiliki rencana untuk memenuhi tujuan tertentu dalam hidup, Robitscheck dalam Stevic & Ward, 2008 (Chrisina, 2015: 24).Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fungsi psikologis yang optimal dapat terus mengembangkan potensi yang dimiliki dan terbuka pada pengalaman baru agar dapat tumbuh menjadi seseorang yang efektif dan memiliki tujuan hidup.

f. Tujuan dalam hidup (Purpose In Life)

(61)

kesehatan psikologis. Ketika seseorang mampu memberi arti/tujuan pada hidupnya, ia akan semakin menjadi manusia yang utuh. Kemauan akan arti hidup didorong oleh kebutuhan untukmemberi suatu maksud bagi keberadaan manusia. Tanggung jawab pribadi sangat diperlukan dalam proses memperoleh pengertian dan pemahaman akan arti/tujuan dari kehidupan manusia. Dalam menghadapi situas-situasi yang menantang dalam hidup, manusia secara bertanggung jawab dan bebas berusaha menemukan maksud dari kondisi yang muncul. Manusia bertanggung jawab menentukan caranya masing-masing dalam menemukan makna dan tetap bertahan didalam cara maupun makna tersebut segera setelah ditemukan. Arti maupun tujuan yang manusia peroleh mengenai hidup akan terwujud dalam kehidupan sehari-hari melalui 3 cara, yakni melalui pemberian kepada dunia dengan suatu ciptaan, pemaknaan yang diambil dari suatu pengalaman, dan sikap yang diambil terhadap penderitaan.

(62)

akan hidupnya (Ryff, 2014). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tujuan hidup menjelaskan perlu adanya kepercayaan dalam individu bahwa dalam hidup selalu mempunyai makna dan tujuan. Seseorang diharapkan mempunyai tujuan dalam setiap kehidupan yang dijalaninnya.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Well Being Faktor-faktor yang mempengaruhi Well Being, yaitu:

a. Faktor demografis

Penelitian Ryff menunjukkan bahwa faktor demografis seperti status ekonomi, usia, jenis kelamin dan budaya mempengaruhi psychological well-being.

b. Status sosial ekonomi

Faktor ini berkaitan dengan penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Seseorang dengan sosial ekonomi rendah cenderung membandingkan dirinya terhadap sosial ekonomi tinggi.

c. Usia

(63)

bertambahnya usia. Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Individu pada usia dewasa akhir memiliki skor well-being lebih rendah pada tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi; individu dalam usia dewasa madya memiliki skor well-being yang lebih tinggi dalam penguasaan lingkungan; individu yang berada dalam usia dewasa awal memiliki skor yang lebih rendah dalam otonomi dan penguasaan lingkungan dan memiliki skor yang lebih tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi.

Sebagai contoh, pada lesbian, usia berperan cukup penting dalam pembentukan kematangan sosio-emosi, selain itu setiap proses dan pengalaman juga merupakan bagian dari bagaimana kematangan sosio-emosi secara bertahap terbentuk.

d. Jenis kelamin

(64)

Sebagai contoh, pada lesbian, ketika seorang dengan lesbian berada di lingkungan yang memiliki orientasi seksual sama dengannya maka dapat mudah terbangun keterbukaan untuk mengekspresikan emosi, bahkan dengan hal-hal yang lebih pribadi.

e. Budaya

Ryff mengemukakan bahwa sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadappsychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada hubungan positif dengan orang lain.

f. Dukungan sosial

Dukungan sosial dapat dirasakan individu dari orang lain atau sebaliknya meliputi rasa aman, penghargaan, perhatian, pertolongan, dll. Beberapa jenis dukungan sosial, yaitu:

(65)

2. Dukungan penghargaan (persetujuan ataupun dorongan positif yang dapat membangun seperti harga diri, kompetensi dan perasaan dihargai).

3. Dukungan instrumental (tindakan secara langsung).

4. Dukungan Informasional (pemberian nasehat, petunjuk, saran atau umpan balik terhadap tingkah laku seseorang).

5. Kompetensi pribadi.

6. Kompetensi kognitif pribadi yang umumnya digunakan pada kehidupan sehari-hari.

g. Kepribadian.

Individu dengan komptensi penerimaan diri maunpun kemampuan dalam menjalin hubungan yang harmonis di lingkungan akan cenderung terhindar dari konflik dan stress (Ryff, 1995).

(66)

D. Kerangka Berpikir Teori

Seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian mendapatkan banyak tekanan dan beban dalam menjalankan proses kehidupan yang berkaitan dengan masalah tuntutan sosial di masyarakat yang cukup kompleks. Budaya heteronormatifitas yang ada dimasyarakat membentuk norma yang menyatakan bahwa perempuan haruslah berpenampilan feminim dan semestinya menikah dengan lawan jenis merupakan stressor yang cukup kuat pada lesbian. Selain itu, mereka juga sering mendapatkan diskriminasi, stigma, bullying maupun kekerasan dari masyarakat. Tidak berheti disitu, dalam bidang pekerjanpun seorang lesbian mengalami penolakan bahkan kekerasan dalam lingkungan kerjanya. Stigma negatif yang tertanam di masyarakat sudah menyulitkan seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian untuk menyesuaikan diri dengan orientasi seksualnya, ditambah dengan diskriminasi dan kekerasan.

Proses identifikasi diri dari orang yang memiliki orientasi seksual lesbian bukanlah hal yang mudah dilakukan, umumnya proses identifikasi diri dan pilihan orientasi seksual merupakan proses dengan berbagai penolakan keluarga hingga lingkungan, bahkan penolakan dari dalam diri sendiri. Penolakan lingkungan terhadap lesbian sering ditemui dalam berbagai justifikasi moral seperti mulai dari kata “menyimpang” hingga

“sakit jiwa” muncul menghakimi orang yang memiliki orientasi seksual

(67)

mereka sebagai manusia dan warga negara biasa bahkan disamakan dengan kriminal.

(68)

Skema 1. Kerangka Pikir

E. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan kerangka berpikir tersebut, beberapa pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah narasi Psychological Well-Being seorang lesbian? 2. Bagaimanakah deskripsi Psychological Well-Being seorang lesbian

ketika menjalani kehidupan di tengah penolakan, kekerasan, serta stigmatisasi yang terbentuk oleh masyarakat?

3. Bagaimanakah peran faktor-faktor Psychological Well-Being dalam membentuk narasi orang yang memiliki orientasi lesbian?

Kekerasan & Bullying

Diskriminasi Stigma

LESBIAN Konstruksi

nilai

Cenderung tidak mampu menghadapi tantangan dengan menunjukkan dimensi PWB secara negatif Memiliki/ mampu

menghadapi tantangan dengan menunjukkan dimensi PWB secara positif

(69)

48

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang dibutuhkan untuk menguraikan latar dan individu secara utuh. Miller (dalam Moelong, 2006) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai cara untuk melakukan pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasannya dan dalam penelitiannya (Moloeng, 2006).

(70)

Penelitian ini menggunakan analisis narasi. Melalui analisis narasi, peneliti dimampukan untuk memahami informan dan dunianya. Metode ini didefinisikan sebagai metode penceritaan yang didalamnya mengandung susunan interpretasi berdasarkan urutan waktu awal, tengah, akhir. Tiga bagian tersebut digunakan karena mampu menampilkan peristiwa secara terintegrasi. Metode ini berfungsi deskriptif dan interpretif. Sebagai metode yang memiliki fungsi mendeskripsikan, metode studi naratif berusaha menangkap dan mendeskripsikan kata kunci, isu, dan peristiwa kompleks yang dialami oleh informan. Melalui proses koding, studi naratif didesain untuk menangkap keseluruhan arti cerita dan isu-isu khusus yang berkaitan. Sebagai metode yang memiliki fungsi interpretif, studi naratif menghubungkan keseluruhan arti cerita dan isu-isu khusus dengan teori yang lebih luas. Hal tersebut memampukan peneliti untuk melakukan interpretasi. Tahap ini juga dapat membawa peneliti pada proses pelabelan data sebagai kategori tertentu yang mengilustrasikan isi teori yang diacu. Fungsi interpretif dari metode ini mampu melihat bagaimana elemen dalam cerita dapat saling berkaitan, isu apa yang menjadi tema utama, gambar diri, serta kepercayaan dan nilai-nilai apa yang mendasari (Smith, 2008).

(71)

untuk menjadi manusia yang lebih baik. Narasi progresif/optimistik juga ditandai dengan nuansa narasi yang optimistik. Sedangkan struktur narasi regresif/pesimistik merupakan narasi yang menggambarkan rangkaian kesengsaraan tokoh utama dan memiliki nuansa narasi pesimistik (Smith, 2008).

Peneliti menilai bahwa metode studi naratif sangat cocok digunakan pada penelitian ini. Tujuan dari metode studi naratif sesuai dengan definisi konstruk PWB dan tujuan dari penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menemukan faktor PWB, yang didefinisikan sebagai pemenuhan dan perwujudan diri seseorang yang menjadi sumber resiliensi/ketahanan diri dalam menghadapi kesulitan dan mencerminkan fungsi positif, kekuatan personal, dan kesehatan mental, sedangkan tujuan dari metode studi naratif adalah mempelajari ketahanan dan perkembangan diri seseorang, serta mengidentifikasi mekanisme yang mendorong penyesuaian adaptif pada ketidakmampuan atau situasi sulit. Hal tersebut membuat studi naratif dapat menjadi alat bagi peneliti untuk mencapai tujuan penelitian (Dunn dalam Christina, 2015).

B. Fokus Penelitian

(72)

Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui lebih dalam mengenai deskripsi seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian, yang ditilik dari beberapa dimensi physichologcal well-being. Dengan adanya informasi yang jelas diharapkan akan membuat masyarakat lebih terbuka dan memahami LGBT.

C. Informan Penelitian

Penelitian ini menggunakan teknik Purposive sampling. Tujuan Purposive sampling adalah memaksimalkan kedalaman informasi. Berbeda dengan Probability sampling yang bertujuan agar hasil penelitian dapat digeneralisasikan. Purposive sampling didefinisikan sebagai pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2013).

Purporsive sampling merupakan teknik dalam non-probability sampling yang memungkinkan peneliti dapat memilih informan berdasarkan kepada ciri-ciri yang dimiliki oleh informan penelitian, yang dipilih karena ciri-ciri tersebut sesuai dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan (Moelong, 2008). Peneliti memilih kriteria informan dalam penelitian ini, sebagai berikut:

a. Informan berjenis kelamin perempuan b. Memiliki orientasi seksual lesbian

(73)

Dalam pemilihan subyek penelitian, ada beberapa kriteria yang peneliti pakai untuk melihat bagaiman proses seorang lesbian hingga dirinya dapat mencapai well-being. Seorang lesbian dapat dikatakan dapat mencapai well-being ketika melampaui tahap-tahap sperti 6 dimensi Psychological well-being, yakni penerimaan diri, penguasaan lingkungan, kemandirian, hubungan positif dengan orang lain, perkembangan diri, dan tujuan dalam hidup. Dengan tahapan tersebut maka akan terlihat bagaimana proses seorang lesbian mencapai Psychological well-being.

D. Teknik Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara. Menurut Stewart & Cash 2008 (dalam Herdiansyah, 2015), wawancara diartikan sebagai suatu interaksi yang di dalamnya terdapat pertukaran/ sharing aturan, tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif, dan informasi. Wawancara melibatkan komunikasi dua arah antara kedua kubu dan ada tujuan yang akan dicapai melalui komunikasi tersebut. Peneliti memilih menggunakan teknik wawancara karena wawancara memugkinkan peneliti mengumpulkan data yang beragam dari informan dalam berbagai situasi dan konteks. Myers 2009 (dalam Samiaji Saroso, 2012) mengatakan bahwa teknik pengumpulan data dengan wawancara memungkinkan peneliti menggali data yang “kaya” dan multi dimensi

(74)

Peneliti melakukan wawancara mendalam langsung di Yogyakarta dengan individu yang sudah terpilih menjadi informan penelitian. Individu tersebutlah yang menjadi informan-informan penting dalam penelitian ini. Untuk memastikan bahwa semua data terkumpul dengan baik, peneliti menggunakan alat perekam dan membuat catatan lapangan.

Tabel 1

Daftar Panduan Pertanyaan

Seseorang yang memiliki orientasi seksual lesbian Awal

 Bagaimana kehidupan anda sebelum menyadari bahwa anda seorang lesbian?

 Bagaimana sejarah hidup anda ketika diri anda mulai merasakan bahwa anda seorang lesbian?

 Bagaimana ketertarikan anda saat itu dengan laki-laki dan perempuan?

 Apa yang anda pikirkan ketika mulai merasakan bahwa anda seorang lesbian?

 Bagaimana perasaan anda saat itu?

 Bagaimana proses anda melewati pergulatan saat

Gambar

Tabel 2. Keterangan Koding ...............................................................................
Tabel 1 Daftar Panduan Pertanyaan
Tabel 2 Keterangan Koding
Tabel 3 Contoh Tabel Analisis Tematik
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka menyusun skripsi ini, penulis telah banyak mendapat dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima

Namun, faktor yang memengaruhi kemampuan koneksi matematis mahasiswa dalam menyelesaikan masalah open ended tidak hanya kecerdasan linguistik, melainkan juga faktor

Pusat Pelayanan Lanjut usia di Jember merupakan sebuah tempat yang mewadahai kegiatan pelayanan bagi lansia untuk memenuhi dan memuaskan semua kebutuhan lansia yang tidak

cacat yang dihasilkan oleh metode dust press pada bagian proses 12304. berupa produk piring dan mangkok pada

Alhamdulillahi Rabbil Alaamiin, segala puji syukur tiada hentinya penulis haturkan kehadirat Allah swt yang Maha Pemberi petunjuk, anugerah dan nikmat yang diberikan-Nya sehingga

improvement selanjutnya improve tersebut dijadikan standar sehingga kepala shift, supervisor, dan karyawan akan mengontrol klep burner apakah sudah bisa berfungsi dengan baik

1) Jawaban untuk pertanyaan nomor satu ini berhubungan dengan dasar- dasar mikroekonomi yang diketahui memiliki fokus pembelajarn pada perilaku individu termasuk

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa sistem pengendalian persediaan bahan baku air kelapa yang dilakukan oleh PT Keong Nusantara Abadi belum