• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian aktivitas antimikroba dapat dilakukan dengan metode in

vitro ataupun dengan metode aplikasi (Davidson dan Parish, 1989).

Metode aplikasi adalah metode dimana senyawa antimikroba diaplikasikan secara langsung terhadap produk pangan untuk mengukur pengaruhnya terhadap mikroflora alami produk pangan tersebut. Metode

in vitro adalah uji aktivitas antimikroba dengan senyawa antimikroba

yang tidak diaplikasikan langsung kepada produk. Metode ini hanya bisa memberikan informasi awal tentang potensi kegunaan komponen sebagai antimikroba. (Davidson dan Parish, 1993). Salah satu metode pengujian aktivitas antimikroba secara in vitro adalah uji difusi sumur dan penentuan nilai MIC.

1. Uji difusi sumur

Uji difusi sumur adalah cara menguji aktivitas antimikroba yang paling banyak digunakan (NCCLS, 1991). Branen (1993) menyatakan bahwa uji difusi sumur merupakan cara yang sederhana dan cepat, walaupun cara ini memiliki kelemahan pada data yang dihasilkan karena lebih bersifat kualitatif. Aktivitas antimikroba yang terlihat pada uji difusi sumur dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: (1) tipe dan ukuran cawan, (2) tipe agar, pH, dan kandungan garamnya, (3) kemampuan zat untuk berdifusi kedalam agar, (4) karakteristik media, dan (5) jenis bakteri uji yang digunakan.

Ekstrak yang dimasukkan ke dalam sumur atau lubang akan berdifusi masuk kedalam agar selama masa inkubasi. Bila memiliki sifat antimikroba, ekstrak ini akan menimbulkan gradien konsentrasi di dalam agar dan membentuk penghambatan yang akan terlihat sebagai zona bening. Semakin jauh jarak masuk ke dalam agar, maka konsentrasi ekstrak yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri uji juga akan semakin berkurang. Berkurangnya konsentrasi berarti

kekuatan ekstrak berkurang dan hanya beberapa bakteri yang dapat terhambat. Hal inilah yang menimbulkan gradien konsentrasi pada tingkat-tingkat konsentrasi tertentu (Davidson dan Parish, 1993).

Batas dari zona bening adalah pada saat kekuatan ekstrak sudah jauh berkurang, sehingga tidak lagi menghambat pertumbuhan bakteri uji. Zona bening yang terbentuk disebut juga diameter penghambatan. Diameter penghambatan yang terbentuk dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain konsentrasi ekstrak, tingkat kelarutan ekstrak, dan kemampuan ekstrak untuk berdifusi kedalam agar (Prescott et al., 2003).

2. Penggunaan Kontrol

Pada uji difusi sumur digunakan kontrol sebagai pembanding. Kontrol negatif yang digunakan adalah pelarut untuk melarutkan ekstrak, yaitu Dimetilsulfoksida (DMSO), sedangkan kontrol positif yang digunakan adalah antibiotik. Tujuan menggunakan kontrol negatif adalah untuk melihat pengaruh DMSO terhadap aktivitas antimikroba ekstrak. Kontrol positif digunakan sebagai pembanding terhadap aktivitas antimikroba ekstrak, karena antibiotik merupakan senyawa antimikroba yang telah dibuat secara terstandar.

a. Kontrol positif

Kontrol positif yang digunakan adalah antibiotik dengan spektrum antimikroba yang luas, yaitu amoxycillin. Antibiotik adalah produk metabolit yang dihasilkan organisme tertentu, yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lainnya. Antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh suatu mikroba dan bersifat menghambat mikroorganisme yang lain.

Antibiotik merupakan bahan yang sering digunakan dalam penelitian. Beberapa antibiotik yang sering digunakan pada

penelitian adalah penicillin, actinomycins, chloramphenicol,

cycloserine, asam nalidiksik dan novobiosin, rifampin,

cycloheximide, daunomisin, mitomisin C, dan polioksin (Prescott et al., 2003).

Suatu zat antibiotik hendaknya memiliki sifat sebagai berikut: (1) mampu menghambat atau merusak patogen spesifik, (2) tidak mengakibatkan berkembangnya bentuk-bentuk resisten, (3) tidak menimbulkan efek samping yang dikehendaki, (4) tidak mengganggu flora alamiah dari suatu benda atau manusia, (5) harus dapat dimasukkan dari mulut tanpa diinaktifkan, dan (6) sangat mudah larut dalam air.

Amoxycillin adalah senyawa antibiotik semisintesis dari

Penisilin. Penisilin merupakan salah satu antibiotik yang umum dan banyak beredar di masyarakat. Penisilin merupakan antibiotik modern yang pertama, dan merupakan antibiotik yang bermanfaat karena paling luas penggunaannya. Penisilin ditemukan sebagai metabolit sekunder dari kapang jenis tertentu, yaitu Penicillium notatum, dan P. Chrysogenum.

Cara kerja penisilin menghambat pertumbuhan bakteri adalah dengan menghambat pembentukan dinding sel bakteri. Penisilin menghambat kerja enzim yang mengkatalis reaksi pemindahan peptida-peptida dalam proses pembentukan peptidoglikan dinding sel. Kemampuan ini dimiliki penisilin karena kemiripan struktur dengan enzim pengkatalis. Penisilin diketahui efektif karena memiliki kemampuan menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri. Penghambatan tersebut bersifat spesifik dan sedikit sekali mempunyai efek buruk bagi pemakai (Prescott et al., 2003).

Penisilin menghambat bakteri patogen hanya bila bakteri tersebut sedang berada pada fase log (Prescott et al., 2003). Hal ini sesuai dengan kemampuan penisilin menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel yang terjadi pada fase log. Penisilin

menghalangi pembentukan ikatan peptidoglikan dengan sempurna dan pada akhirnya dapat mengakibatkan osmotik lisis (Prescott et al., 2003). Bila sel bakteri yang peka terhadap penisilin ditumbuhkan dengan tambahan antibiotik ini, sel bakteri tersebut akan menjadi luar biasa besar ukurannya serta memiliki bentuk yang tidak umum lalu kemudian lisis.

Saat ini telah diketahui beberapa mekanisme penghambatan penisilin yang lain. Pensilin diketahui dapat berikatan dengan protein pengikat dan dapat menghancurkan bakteri dengan mengaktifkan enzim autolisis. Penisilin menstimulasi protein khusus yang disebut hollins untuk membentuk lubang pada membran plasma. Hal ini akan mengakibatkan membran rusak dan menyebabkan kematian. Beberapa antibiotik lain yang memiliki mekanisme serupa dengan penisilin adalah

cephalosporins, vancomycin, dan bakitrasin (Prescott et al.,, 2003).

Penisilin G efektif terhadap beberapa bakteri patogen Gram positif, misalnya Streptococcus dan Staphylococcus. Ampisilin, yang merupakan salah satu turunan penisilin, diketahui efektif untuk dikonsumsi dengan diminum, dan memiliki spektrum penghambatan bakteri yang lebih luas antara lain dapat menghambat bakteri Gram negatif, seperti Haemophilus,

Salmonella, dan Shigella.

b. Kontrol negatif

Kontrol negatif yang digunakan pada uji difusi sumur adalah DMSO (dimetil sulfoksida). DMSO adalah pelarut yang umum digunakan dalam analisis atau percobaan, karena kemampuannya untuk melarutkan senyawa baik polar ataupun non polar. DMSO memiliki sifat seperti emulsifier. Rumus senyawa DMSO adalah (CH3)2SO. Gambar strukturnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Dimethyl sulfoxide atau DMSO (Anonimd, 2006)

DMSO merupakan cairan bening dengan bau seperti bawang putih. DMSO memiliki titik didih 189°C dan dapat larut dalam air. DMSO bersifat stabil dalam kondisi normal dan bersifat higrokopis. DMSO efektif sebagai pelarut dalam proses ekstraksi dan pemisahan komponen aroma (flavor), serta dalam fraksinasi komponen tidak jenuh dari suatu bahan (Anonimd, 2006).

3. Penentuan Nilai MIC

MIC (Minnimum Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi terendah dari suatu senyawa antimikroba dimana antimikroba tersebut masih memiliki kemampuan menghambat mikroba dalam periode inkubasi tertentu (Davidson dan Parish, 1993). Nilai MIC penting diketahui untuk mengkonfirmasi resistensi bakteri uji terhadap senyawa antimikroba dan untuk menentukan aktivitas senyawa antimikroba baru (Anonimc, 2006).

Penentuan MIC dapat dilakukan dengan cara padat ataupun cara cair. Perbedaan cara padat dan cara cair terletak pada jenis media agar yang digunakan untuk analisis. Pada cara cair, mikroba uji yang telah ditumbuhkan didalam media cair kemudian ditambahkan senyawa antimikroba dalam selang konsentrasi tertentu (Davidson dan Parish, 1993). Cara ini disebut metode kontak. Nilai MIC ditentukan pada konsentrasi dimana mikroba didalam media cair sudah tidak tumbuh lagi, dengan ciri-ciri media agar cair bening (tidak keruh) (Davidson dan Parish, 1993). Pada cara padat digunakan uji difusi sumur. Data diameter penghambatan kemudian diolah dengan regresi sehingga didapat persamaan sederhana yang dapat digunakan untuk mencari nilai MIC.

Kelebihan dari metode kontak adalah hasilnya yang lebih akurat. Kelemahannya adalah waktu yang dibutuhkan lebih lama, diperlukan ketelitian dan pengulangan analisis berkali-kali untuk mendapatkan data yang valid. Kelebihan dari metode difusi sumur untuk menentukan nilai MIC adalah cara ini lebih sederhana dan waktu yang diperlukan lebih singkat, sedangkan kelemahannya adalah datanya kurang akurat. Beberapa nilai MIC dari minyak rempah-rempah terhadap beberapa bakteri dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai MIC (Minnimum Inhibitory Concentration) beberapa minyak rempah-rempah (% v/v) (Hammer, et al., 1999a)

Rempah-rempah Ent eroco cc us faecalis E. col i Pseudomonas aeru gino sa S a lmonel la Th ypiimuri u m

S. aureus Candida albicans

Basil >2.0 0.5 >2.0 2.0 2.0 0.5 Jinten hitam 1.0 >2.0 >2.0 >2.0 >2.0 >2.0 Cengkeh 0.5 0.25 >2.0 >2.0 0.25 0.12 Jahe >2.0 >2.0 >2.0 >2.0 >2.0 >2.0 Oregano 0.25 0.12 2.0 0.12 0.12 0.12 Tanaman lemon 0.12 0.06 1.0 0.25 0.06 0.06 Tanaman teh 2.0 0.25 >2.0 0.5 0.5 0.5 Thyme 0.5 0.12 >2.0 >2.0 0.25 0.12 Peppermint 2.0 0.5 >2.0 1.0 1.0 0.5 F. UJI FITOKIMIA

Fitokimia mempelajari aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan, yaitu mencakup struktur kimia, biosintesis, perubahan serta metabolisme, penyebaran secara alamiah, dan fungsi biologis. Kandungan kimia tumbuhan dapat digolongkan

berdasarkan asal biosintesis, sifat kelarutan, dan adanya gugus kunci tertentu (Harborne, 1996).

Uji fitokimia biasanya memiliki kegunaan dalam fisiologi tumbuhan, patologi tumbuhan, ekologi tumbuhan (interaksi antara tumbuhan dengan lingkungan), paleobotani (tumbuhan berperan dalam menguji hipotesis tentang fosil), dan genetika tumbuhan (Harborne, 1996). Pada bidang fisiologi tumbuhan, uji fitokimia dilakukan untuk mengidentifikasi baik secara awal ataupun lanjut senyawa-senyawa yang menyusun tanaman, seperti penentuan struktur, asal-usul biosintesis, dan fungsi kerja senyawa tersebut dalam tanaman.

Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui metabolit sekunder dari tumbuhan. Beberapa jenis metabolit sekunder memiliki aktivitas antimikroba (Naidu, 2000). Metabolit sekunder tanaman yang banyak terdapat pada batang, daun, kayu, bunga, dan buah antara lain adalah saponin, flavonoid, fenol, alkaloid, steroid dan terpenoid, serta tanin.

1. Fenol

Fenol merupakan senyawa yang memiliki sebuah cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Fenol dan turunannya memiliki sifat cenderung larut dalam air (Suradikusumah, 1989). Fenol merupakan senyawa yang penting karena merupakan kelas besar diantara senyawa-senyawa penyusun tanaman. Senyawa fenolik terdiri atas ribuan struktur. Beberapa senyawa fenol yang banyak ditemukan di tanaman dapat dilihat pada Tabel 3.

Komponen antimikroba yang terkandung dalam fraksi-fraksi minyak esensial rempah-rempah banyak mengandung komponen jenis fenol (Beuchat, 1994). Komponen fenolik dari tanaman yang memiliki aktivitas antimikroba dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 3. Komponen fenolik yang ditemukan dalam tanaman (Nychas, 1994)

Senyawa fenol Sumber Senyawa fenol Sumber

Asam benzoat Rempah-rempah Isovanilin Alpukat Kafein Teh, kopi Katekin Kulit anggur, teh

Eugenol Kayu manis Vanilin Vanila

Tanin Anggur, teh, rempah-rempah

Asam

hidrobenzoat Wortel

Tabel 4. Komponen fenolik tanaman dan aktivitas antimikrobanya (Davidson dan Naidu, 2000)

Sumber Senyawa fenolik Spektrum antimikroba

Nigella sativa L. Timohidrokuinon Bakteri Gram positif

Anethum graveolens L. Minyak atsiri Saccaromyces vini

Ducrosia anethifolia α-pinen / limonen Bakteri Gram positif, khamir

Thymus vulgaris Minyak atsiri Enterobakteria patogen

Ocimum sp. Minyak atsiri E. coli, S. aureus

Melaleuca alternifolia Linalool / terpinen E. coli, S. aureus

Mekanisme antimikroba senyawa fenolik adalah mengganggu kerja di dalam membran sitoplasma mikroba. Termasuk diantaranya adalah mengganggu transpor aktif dan kekuatan proton (Davidson, 1993). Fenol dapat membentuk ikatan hidrogen dengan protein (Suradikusumah, 1989). Hal ini sesuai dengan Juven et al. (1994) yang menyatakan bahwa thymol dapat bereaksi dengan kandungan protein membran sitoplasma Salmonella Thypimurium. Kompleks ini membuat perubahan permeabilitas membran sel mikroba dan membuat

Salmonella Thypimurium dapat dihambat.

2. Flavonoid

Flavonoid banyak terdapat dalam buah-buahan, sayuran, kacang- kacangan, biji-bijian, akar, dan bunga (Middleton dan Kandaswami,

1994). Flavonoid merupakan bagian dari fenol. Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, dalam bentuk aglikon maupun terikat pada gula sebagai glikosida (Harborne, 1996).

Flavonoid memegang peranan penting dalam biokimia dan fisiologi tanaman, diantaranya berfungsi sebagai antioksidan, penghambat enzim, dan prekursor bagi komponen toksik (Middleton dan Kandaswami, 1994). Flavonoid pada tumbuhan berfungsi untuk mengatur pertumbuhan, mengatur fotosintesis, mengatur kerja antimikroba dan anti-virus, dan mengatur kerja anti-serangga (Robinson, 1995). Selain itu, banyak dari jenis flavonoid merupakan pigmen tanaman, seperti antosianin, flavonol, dan kalkon (Harborne, 1987).

Flavonoid merupakan golongan yang penting karena memiliki spektrum aktivitas antimikroba yang luas dengan mengurangi kekebalan pada organisme sasaran (Naidu, 2000). Flavonoid juga penting dalam teknologi pangan karena turut serta dalam meningkatkan kualitas sensori dan nutrisi dari buah dan produk-produk pangan dari buah-buahan. Flavonoid memiliki kerangka dasar yang terdiri dari 15 atom karbon, dengan dua cincin benzen terikat dan membentuk struktur C6-C3-C6 (Suradikusumah, 1989).

Isoflavon merupakan jenis flavonoid yang banyak terdapat pada tanaman dan memiliki aktivitas antimikroba yang paling tinggi dibandingkan jenis flavonoid lainnya. Sebagai contoh isoflavon dapat menghambat pertumbuhan kapang dan membantu dalam mengontrol wabah penyakit (Naidu, 2000).

3. Saponin

Saponin merupakan senyawa yang secara alami mengandung glikosida, banyak terdapat di tumbuhan (Naidu, 2000). Gruiz (1996) menyatakan bahwa 76% dari jenis tanaman di Asia mengandung saponin. Saponin bersifat seperti sabun. Keberadaan saponin dapat dideteksi dengan mengamati kemampuannya membentuk busa.

Saponin menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi dengan membran sterol. Efek utama saponin terhadap bakteri adalah adanya pelepasan protein dan enzim dari dalam sel-sel (Zablotowicz et al.,, 1996).

4. Terpenoid

Terpenoid merupakan senyawa besar yang terkandung dalam tumbuhan. Penggolongan terpenoid didasarkan pada adanya molekul isopren. Secara kimiawi, terpenoid bersifat larut dalam lemak dan terdapat dalam sel tumbuhan (Suradikusunah, 1989). Terpenoid merupakan zat pengatur pertumbuhan tanaman. Salah satu golongan terpenoid yang berpotensi sebagai antimikroba adalah triterpenoid.

Triterpenoid (C30) tersebar luas dalam damar, gabus dan kutin tumbuh-tumbuhan. Triterpenoid termasuk senyawa yang merupakan komponen aktif dalam obat. Senyawa ini banyak digunakan untuk menyembuhkan penyakit gangguan kulit. Triterpenoid memiliki sifat antijamur, insektisida, antibakteri, dan antivirus (Robinson, 1995).

5. Tanin

Tanin adalah polifenol tanaman yang memiliki rasa pahit (Anonime, 2006). Nama tanin diambil dari kegunaannya menyamak kulit binatang. Senyawa yang tergolong tanin adalah senyawa polifenol yang mengandung gugus hidroksil dan gugus lainnya (misalnya karboksil), sehingga mampu membentuk kompleks kuat dengan protein. Senyawa tanin memiliki berat molekul antara 500- 20.000 μg.

Tanin mempunyai rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak kulit. Tanin terdiri dari berbagai asam fenolat. Beberapa tanin dapat mempunyai aktivitas antioksidan, menghambat pertumbuhan tumor, dan menghambat enzim seperti reverse

Tanin memiliki beberapa fungsi kesehatan, diantaranya antioksidan dan relaksasi. Selain itu tanin merupakan senyawa yang secara klinis memiliki kemampuan anti-diare, hemostatik, dan anti- hemorhodial (Anonime, 2006).

6. Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa alami amina, baik pada tanaman, hewan, ataupun jamur. Senyawa yang tergolong kedalam alkaloid adalah senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen. Kebanyakan alkaloid memiliki rasa sepat. (Anonimf, 2006).

Alkaloid banyak ditemukan pada tanaman berbunga. Alkaloid merupakan metabolit sekunder pada tanaman, misalnya kentang dan tomat. Beberapa tanaman yang terbukti mengandung alkaloid adalah

Litsea firma, Phoebe cuneata BL., Litsea diversifolia BL. (Santoni, 2004; Alfinus, 2004; Hakim, 2004).

Alkaloid memiliki efek farmakologi pada hewan dan juga manusia, seperti penggunaannya sebagai analgesik dan anaestetik. Alkaloid yang biasa digunakan sebagai analgesik dan anaestetik adalah morfin dan kodein. Selain berguna sebagai obat-obatan, alkaloid juga dapat bersifat racun, misalnya strisin dan konin (Anonimf, 2006).

III. BAHAN DAN METODE

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan baku utama pada penelitian ini adalah bubuk kulit kayu mesoyi. Bubuk kulit kayu mesoyi yang digunakan didapat dari pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Untuk proses ekstraksi digunakan aquades, heksan teknis, etil asetat teknis, metanol teknis, etanol teknis, es batu, dan gas N2. Bahan-bahan yang digunakan untuk persiapan kultur, uji difusi sumur dan penentuan MIC (Minimum Inhibition Concentration) adalah spiritus, antibiotik, alkohol 70%, NaCl, Dimetil Sulfoksida (DMSO), dan Nutrient Broth (NB) serta Nutrient Agar (NA).

Kultur murni bakteri uji yang digunakan terdiri dari bakteri patogen yaitu Staphylococcus aureus, Eschericia coli, Salmonella Typhimurium, dan

Bacillus cereus, sedangkan kultur bakteri uji yang merupakan bakteri

pembusuk yaitu Pseudomonas aeruginosa.

Peralatan yang digunakan pada proses ekstraksi adalah peralatan refluks, oven vakum, kertas saring Whatman No.1, termometer, sudip, gelas ukur 100 ml, botol berwarna gelap, corong kaca, botol kaca bening, rotavapor, labu refluks, tabung rotavapor, plastik, kain, dan alat saring vakum.

Alat-alat untuk persiapan kultur, uji difusi agar dan penentuan nilai MIC adalah otoklaf, shaker, gelas piala, sudip, timbangan, sudip, peralatan gelas, plastik tahan panas, cawan petri, ose, pipet mikron ukuran 1000 μl dan 200 μl, tip untuk pipet mikro, alat pembuat sumur, botol kaca, tusuk gigi, jar atau botol kaca, gelas piala, cawan petri, jangka sorong, bunsen bakar, baskom, tissue, label, pembungkus aluminium, dan gunting.

B. TEMPAT DAN WAKTU

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Pangan, Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, dan Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan dari Februari 2006 hingga September 2006.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian dibagi menjadi penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan terdiri dari beberapa tahap, yaitu : (1) persiapan kultur bakteri uji, (2) proses ekstraksi, dan (3) pengujian aktivitas antimikroba dengan uji difusi sumur. Penelitian kemudian dilanjutkan dengan beberapa tahap, yaitu : (1) penentuan MIC dan (2) uji fitokimia (Gambar 5).

Bubuk kayu kulit kayu mesoyi

Jenis ekstrak terpilih

Gambar 5. Diagram alir penelitian Ekstraksi tunggal

(air, etanol, minyak atsiri)

Ekstraksi bertingkat

(heksan, etil asetat, metanol)

Ekstraksi Persiapan kultur bakteri uji

Uji aktivitas antimikroba

Penentuan nilai MIC

Uji fitokimia Ekstrak

1. Penelitian Pendahuluan a. Persiapan kultur bakteri uji

Pada tahap persiapan kultur bakteri uji dilakukan perhitungan total mikroba menggunakan metode hitungan cawan. Persiapan kultur ini perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah total mikroba sehingga dapat dihitung pengenceran yang diperlukan agar saat kultur digunakan pada uji difusi sumur total mikroba pada cawan adalah 1x105 hingga 1x106 dan jumlah ini stabil di setiap cawan.

Kultur murni yang berupa padatan diambil satu ose, kemudian dilarutkan secara aseptis dalam media pertumbuhan NB 10 ml. Media NB yang telah berisi mikroba kemudian diinkubasi pada suhu ruang (37°C) selama 24 jam. Setelah itu, dari NB 10 ml diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam NB 9 ml, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Bila pada NB 9 ml cairannya berwarna keruh maka diambil 1 ml dari NB 9 ml dan diencerkan pada pengencer (larutan fisiologis 0.85%) sampai pengenceran ke-8. Pada pengenceran ke-5 sampai dengan ke-8, diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam cawan petri steril. Kemudian diberi media pertumbuhan agar dengan metode tuang

(pour plate). Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 48

jam.

Bila pada NB 9 ml cairannya berwarna bening maka diambil 1 ml dari NB 9 ml dan diencerkan pada larutan pengencer (larutan fisiologis 0.85%) sampai pengenceran ke-5. Pada pengenceran ke-0 sampai dengan ke-5, diambil 1 ml dan dimasukkan kedalam cawan petri steril. Kemudian diberi media pertumbuhan agar dengan metode tuang (pour

plate). Cawan kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 48 jam.

Diagram alir persiapan kultur menggunakan metode hitungan cawan dapat dilihat pada Gambar 6.

Setelah dilakukan tahapan persiapan kultur dan telah didapat jumlah total mikroba, maka selanjutnya dihitung pengenceran yang diperlukan saat mengerjakan uji difusi sumur.

Kultur Bakteri

Diambil satu ose

Dimasukkan ke dalam 10 ml NB steril Diinkubasi 24 jam pada suhu 37 ºC

Diambil 1 ml

Dimasukkan ke dalam 9 ml NB steril Diinkubasi 24 jam pada suhu 37 ºC

Diamati kekeruhannya

Keruh Agak bening Dipipetl 1 ml Dipipet 1 ml Dimasukkan ke dalam Dimasukkan ke dalam 9 ml pengencer steril 9 ml pengencer steril Dilakukan pengenceran dari 101-108 Dilakukan pengenceran dari 100-105 Dipipet masing-masing 1ml Dipipet masing-masing 1 ml dari pengenceran 105-108 dari pengenceran 100-105 Masing-masing dimasukkan Masing-masing dimasukkan ke dalam cawan petri steril ke dalam cawan petri steril

Kedalam cawan petri dituang agar Didiamkan hingga agar membeku

Diinkubasi 48 jam pada 37 ºC Diamati dan dihitung total mikroba

Ditentukan jumlah µl NB yang akan dimasukkan ke dalam 25 ml NA cair ( A )

b. Proses ekstraksi

Ekstraksi tunggal dilakukan dengan mengekstrak secara langsung bubuk kulit kayu mesoyi. Tujuan dari ekstraksi tunggal adalah mendapatkan ekstrak kulit kayu mesoyi yang dekat dengan aplikasi sehari-hari, dengan menggunakan pelarut yang aman dan mudah didapat (air dan etanol teknis). Selain itu, penyulingan minyak atsiri juga merupakan ekstraksi tunggal. Minyak atsiri diperoleh dengan teknik destilasi uap, sedangkan ekstrak etanol dan air diperoleh dengan teknik ekstraksi refluks.

Pada ekstraksi tunggal bubuk kulit kayu mesoyi dilakukan ekstraksi langsung dengan etanol teknis dan juga aquades sebagai pelarut. Perbandingan antara pelarut dengan bahan adalah 3:1 (v/w). Suhu refluks harus dibawah titik didih pelarut yang digunakan. Karenanya ekstraksi dengan pelarut etanol teknis berlangsung pada suhu 60°C, sedangkan ekstraksi dengan aquades berlangsung pada suhu 100°C.

Proses ekstraksi bahan secara refluks dicoba selama 5 jam secara langsung dan 5 jam dengan pengulangan ekstraksi. Ekstraksi bahan selama 5 jam dengan pengulangan dilakukan dengan mengekstraksi bahan selama 3 jam yang kemudian diekstraksi kembali selama 2 jam. Ekstrak hasil refluks selama 5 jam secara langsung ternyata memiliki karakteristik yang lebih tidak baik dibandingkan dengan ekstrak hasil proses refluks selama 3 jam yang kemudian direfluks kembali selama 2 jam. Karakteristik yang tidak baik tersebut antara lain tidak adanya bau khas mesoyi dan rendemen yang lebih sedikit. Karenanya untuk selanjutnya, baik pada ekstraksi tunggal ataupun ekstraksi bertingkat, ekstraksi refluks dilakukan selama 3 jam dan cairan disaring dengan kertas saring Whatman No.1 kemudian diekstraksi kembali selama 2 jam dengan menambahkan pelarut dengan jumlah yang sama.

Cairan ekstrak yang didapat kemudian disaring dengan kertas saring Whatman No.1 menggunakan penyaring vakum. Proses ekstraksi

tunggal ini menghasilkan ekstrak air dan ekstrak etanol. Diagram alir proses ekstraksi tunggal menggunakan etanol dan air dapat dilihat pada Gambar 7.

Dipekatkan dengan rotavapor

pada suhu 40 oC Dipekatkan dengan rotavapor

pada suhu 50 oC

Dihembuskan gas N2

Gambar 7. Skema ekstraksi tunggal dengan pelarut etanol dan air

Kulit kayu mesoyi didestilasi uap untuk mendapatkan minyak atsiri. Dari minyak atsiri diperoleh komponen volatil kulit kayu mesoyi.

Dokumen terkait