• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengujian Eksistensi Persistensi Pengangguran

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Pengujian Eksistensi Persistensi Pengangguran

Setelah dari hasil analisis terhadap struktur karakteristik pengangguran dan disimpulkan bahwa tren-nya terus mengalami peningkatan, maka dipandang perlu untuk mengetahui apakah terjadi fenomena persistensi pengangguran di Indonesia. Pengujian eksistensi persistensi pengangguran dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan yaitu metode ekonometrika (analisis time series) dengan uji akar unit terhadap data time series pengangguran, dan pengukuran dinamika pengangguran terhadap komponen tren dan siklikal data pengangguran .

4.2.1. Hasil Uji Ekonometrika

Penelitian ini akan mencoba membandingkan hasil uji akar unit yang telah dilakukan oleh InterCAFE. Perbedaan uji yang dilakukan adalah data yang dipakai dalam penelitian ini sampai dengan tahun 2007, sedangkan studi yang dilakukan InterCAFE menggunakan data sampai 2006.

Pengujian persistensi dalam penelitian ini melalui empat pendekatan yang merujuk pada studi Elmeskov (1993) yaitu : a) unit root tanpa constanta dan drift; b) unit root dengan constanta; c) unit root dengan drift; d) unit root dengan constanta dan drift. Hasil pengujian ini diberikan pada Tabel 4.2. dan Tabel 4.3.

Tabel 4.2 Pengujian Persistensi Pengangguran di Indonesia Probability of unit root against hypothesis of

stationarity with:

Persistence (coefficient AR)

Standard Deviation Constancy Drift Drift and Trend

0.955 0.493 0.0001 0.934 0.068

Sumber : InterCAFE (2008)

Tabel 4.3 Pengujian Persistensi Pengangguran di Indonesia

Probabilitas Data Pengangguran Pendekatan Uji Stasioneritas dengan Uji Akar Unit

Persistensi (Koefisien AR) Standar Deviasi Tanpa Constanta dan drift

Constanta Drift Drift dan Tren

0.997 0.068 0.9609 0.9181 0.4137 0.0001***

***Signifikan pada taraf nyata 1% Sumber : Lampiran 4,5,6,7 dan 8

Dari hasil pengujian akar unit yang ditampilkan dalam tabel diatas, secara statistik dapat diartikan bahwa pengujian akar unit tanpa menggunakan constanta atau

drift hasilnya tidak signifikan, sedangkan kalau menggunakan constanta dan drift tahun saja hasilnya sama tidak signifikan. Hal ini memperlihatkan data bersifat tidak stasioner. Namun dari data yang dihasilkan, terdapat kecendrungan probabilitas semakin mengecil, terutama setelah memasukan drift tahun dalam model. Pendekatan yang keempat adalah dengan menggunakan drift dan trend dalam model yang dapat menghasilkan p-value sebesar 0.0001 yang berarti sangat signifikan. Hasil pengujian akar unit ini memberikan cukup bukti bahwa di Indonesia terjadi persistensi pengangguran.

Alternatif analisis lain yang digunakan adalah dengan menghitung koefisien persistensi atau koefisien autoregressive (AR). Untuk koefisien AR dari data pengangguran aktual yang mendekati satu (1), hal ini mengindikasikan adanya persistensi pengangguran. Namun, apabila nilai koefisiennya lebih dari satu (1) maka pengangguran yang terjadi di Indonesia mengalami kondisi yang disebut dengan hysteresis. Nilai koefisien yang diperoleh dari hasil pengujian koefisien AR atau koefisien pengangguran sebesar 0.997 dengan standard deviation sebesar 0.068. Hal ini memperlihatkan bahwa data tingkat pengangguran merupakan proses autoregressive yang mendekati unit root. Dengan nilai koefisien yang didapat,maka menghasilkan indikasi yang relatif kuat mengenai terjadinya persistensi pengangguran di Indonesia.

Hasil estimasi diatas memperlihatkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan yang studi yang pernah dilakukan oleh InterCAFE. Namun melalui pendekatan ekonometrika diatas, hasil yang diperoleh tidak bisa diinterpretasikan lebih jauh. Namun secara statistik, tingkat pengangguran cenderung konvergen ke nilai jangka panjangnya tetapi dengan kecepatan yang lambat. Hal ini menunjukan periode pengangguran yang tinggi dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Analisis pengujian persistensi

pengangguran melalui pendekatan dengan metode ekonometrika dapat disimpulkan bahwa selama periode analisis, pengangguran yang terjadi di Indonesia bersifat persisten.

4.2.2. Pengukuran Dinamika Pengangguran

Setelah menguji eksistensi persistensi di Indonesia, sangat penting untuk mengetahui apakah persistensi pengangguran yang terjadi akan konvergen ke sebuah titik atau tidak. Pada dasarnya, pengangguran yang terjadi bisa diidentifikasi menjadi komponen tren dan siklikal. Secara sederhana, komponen siklikal dapat diartikan sebagai perbedaan antara tingkat pengangguran aktual terhadap tren-nya. Sedangkan kalau komponen tren-nya lebih dominan terhadap komponen siklikal, maka pengangguran yang terjadi akan cenderung mengalami peningkatan terus menerus dan membutukan waktu yang lama untuk mengembalikan pengangguran ke titik semula. Pembahasan mengenai dinamika pengangguran melalui komponen tren dan siklikal dijelaskan lebih lanjut dalam dua subbab berikut ini :

4.2.2.1. Pengukuran Tren Pengangguran (Hasil Aplikasi Matematis)

Tren pengangguran didefinisikan sebagai perubahan dalam tingkat pengangguran alamiah. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, analisis pengukuran tren pengangguran ini menggunakan empat indikator pendekatan pengangguran alamiah, yaitu : (1) NAWRU (Non Accelerating Wage Rate of Unemployment) , yaitu tingkat pengangguran yang diasosiasikan dengan tingkat upah nominal, (2) NAIRU (Non Accelerating Inflation Rate of Unemployment), yaitu tingkat pengangguran yang diasosiasikan dengan tingkat inflasi, (3) Kurva Beveridge, yaitu tingkat pengangguran yang berasosiasi dengan tingkat lowongan kerja normal (vacancy rate), dan (4) Kurva

Okun, yaitu tingkat pengangguran pada saat kapasitas penuh (full capacity utilization). Hasil dari pendekatan aplikasi matematis tersebut, yang menggambarkan tren pengangguran di atas dapat dilihat pada keempat di Gambar 4.6. Terlihat dengan jelas bahwa kecenderungan keempat kurva tersebut adalah mengalami peningkatan, yang artinya tingkat pengangguran natural terus meningkat dan persisten selama kurun waktu 1991 – 2007.

Sumber : CEIC (2008), diolah

Gambar 4.6 Perbandingan Tren Pengangguran di Indonesia

Indikator pertama adalah indikator NAWRU (Non Accelerating Wage Rate of Unemployment). Tingkat pengangguran NAWRU merupakan tingkat pengangguran naturnal yang tidak menyebabkan adanya akselerasi upah nominal. Kurva NAWRU memberikan gambaran hubungan berbanding terbalik antara perubahan upah nominal dengan tingkat pengangguran. Jika tingkat pengangguran aktual lebih rendah dari NAWRU maka akan ada akselerasi peningkatan upah nominal. Dengan kondisi krisis

ekonomi yang menimpa Indonesia pada tahun 1997, maka terjadi shock berupa penurunan upah sehingga pada tahun tersebut tingkat pengangguran mengalami penurunan. Namun, pada tahun berikutnya terjadi penyesuaian upah minimum yang drastis sehingga pasar permintaan terhadap tenaga kerja ikut melakukan penyesuaian sehingga pengangguran terus mengalami peningkatan sampai tahun 2006.

Indikator kedua adalah indikator NAIRU (Non Accelerating Inflation Rate of Unemployment). Konsep NAIRU sebenarnya sama saja dengan NAWRU, yaitu tingkat pengangguran natural yang tidak menyebabkan adanya akselerasi tingkat inflasi. Kurva NAIRU memberikan gambaran hubungan berbanding terbalik antara perubahan tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran.

Sesuai dengan teori, kalau pengangguran tinggi maka dengan meningkatkan tingkat pertumbuhan, otoritas moneter bisa melakukan ekpansi dengan harapan pengangguran akan teratasi. Namun yang terjadi ternyata pelaku ekonomi melakukan ekpektasi, baik forward maupun backward. Kondisi ini menjelaskan bahwa kebijakan inflationary moneter tidak bisa diarahkan untuk mentarget pengangguran. Kondisi tersebut bisa dilihat dari tingkat pengangguran yang cenderung terus meningkat disaat kebijakan moneter yang dilakukan berjalan.

Indikator ketiga yang digunakan untuk menganalisis tren pengangguran di Indonesia adalah melalui Kurva Beveridge. Kurva ini menghubungkan antara tingkat pengangguran dengan indeks lowongan kerja normal (vacancy rate). Kurva ini dibangun dengan konsep bahwa semakin tinggi lowongan kerja seharusnya tingkat pengangguran akan semakin rendah, dan berlaku sebaliknya.

Berbeda dengan aturan umum kurva Beveridge, fenomena yang terjadi di Indonesia menunjukkan bahwa sebelum periode krisis (1991 – 1996) lowongan kerja

terus meningkat, tapi pengangguran juga naik. Hal ini mengindikasikan proses market clearing di pasar tenaga kerja tidak terjadi. Dengan demikian terlihat bahwa akar permasalahan tingginya tingkat pengangguran sebenarnya sudah ada sejak sebelum krisis terjadi.

Selama periode krisis (1997 – 1998), lowongan kerja mengalami penurunan. Penurunan lowongan kerja seharusnya memberi indikasi bahwa perekonomian mendekati kondisi full employment. Namun, pada periode tersebut Indonesia sedang mengalami masa krisis, sehingga sangat sulit untuk mencapai kondisi full employment. Salah satu penjelasan mengapa terjadi penurunan lowongan pekerjaan adalah lebih disebabkan karena perusahaan tidak menawarkan lowongan kerja dan keadaan ini terus berlanjut dan tingkat lowongan kerja belum kembali ke level sebelumnya.

Indikator keempat yang digunakan dalam menganalisis tren pengangguran adalah Kurva Okun. Kurva ini menghubungkan antara tingkat kapasitas ekonomi dengan tingkat pengangguran. Secara konsep, capacity utilization yang rendah mengindikasikan bahwa perekonomian belum mampu menyerap tenaga kerja secara optimal. Sebaliknya, jika kapasitas perekonomian mencapai tingkat yang optimal, penyerapan tenaga kerja juga menjadi lebih baik.

Walaupun merupakan pola yang wajar karena pertumbuhan perekonomian juga mengalami peningkatan, hal ini menunjukkan adanya paradoks karena dalam periode yang sama pengangguran juga meningkat. Pada periode 1998 – 1999 kapasitas turun secara drastis akibat dari krisis ekonomi. Setelah periode tersebut kapasitas kembali meningkat tetapi sampai 2006 kapasitas ini masih jauh lebih rendah dibandingkan pada tahun 1996-1997. Oleh karena itu, merupakan hal yang wajar jika pengangguran menjadi lebih banyak.

Hubungan antara tingkat pengangguran dengan pertumbuhan upah, tingkat inflasi, lowongan kerja dan output secara konsisten menunjukkan bahwa fenomena persistensi pengangguran terjadi di Indonesia. Keempat kurva tersebut memberikan gambaran yang komprehensif mengapa pengangguran di Indonesia menjadi persisten selama kurun waktu analisis.

Dengan tambahan data pada tahun 2007 dimana tingkat pengangguran terjadi penurunan, memberikan gambaran bahwa kondisi pengangguran di Indonesia belum memberikan jaminan akan terus mengalami perbaikan, terutama jika terjadi guncangan terhadap beberapa variabel yang berhubungan dengan pengangguran.

4.2.2.2. Komponen Siklikal dari Pengangguran

Setiap alternatif pengukuran trend unemployment memberikan gambaran terjadinya pengangguran yang terus meningkat dan persisten. Dengan menggunakan definisi bahwa pengangguran siklikal merupakan selisih dari pengangguran aktual terhadap tren-nya, maka dipandang perlu untuk menganalisis komponen siklikal dari pengangguran. Hasil pengujian komponen siklikal diberikan Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Pengujian Siklus dari Tenaga Kerja Variability of output Employment responsiveness Elasticity of employment with respect to output Responsiveness of labour force to employment Variability of unemployment rate 2.448 0.004 0.387*** 0.859*** 0.669

Catatan: *** sigifikan pada taraf nyata 1%. Sumber : Lampiran 9

Variabilitas output nasional selama kurun waktu analisis cukup besar (2.448) sedangkan variabilitas tingkat pengangguran relatif lebih kecil (0.669). Perbedaan antara variabilitas output dan tingkat pengangguran tampaknya relatif besar. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar variabilitas dalam pengangguran tidak bisa dijelaskan oleh variabilitas output. Artinya, dalam jangka pendek kemungkinan besar

hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja relatif lemah. Lebih lanjut, hal ini ditunjukkan dengan respon tenaga kerja yang hanya sebesar 0.004 dan elastisitas tenaga kerja terhadap output hanya 0.387. Dilain pihak, respon dari angkatan kerja terhadap tenaga kerja cukup besar, yaitu 0.859. Hasil ini mendukung hasil sebelumnya bahwa dalam jangka panjang tren lebih dominan karena pertumbuhan angkatan kerja lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sehingga pengangguran meningkat dan persisten.

Dokumen terkait