• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2. Pengujian Asumsi Klasik

4.4.3. Pengujian Hipotesis 3

Setelah dilakukan pengujian asumsi klasik dan diperoleh kesimpulan bahwa model sudah dapat digunakan untuk melakukan pengujian analisa regresi berganda, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian hipotesis.

Tabel 5 Ringkasan Pengujian Hiptesis 3

Koefisien Prob Persamaan 1 Konstanta a 1,171 0.000 Pengalaman b1 0.716 0.000 R 0.795 R2 0.632 F 103.080 Prob. F 0.000 Persamaan 2 Konstanta c 0.827 0.006 Pengalaman d1 0.614 0.000 R 0.676 R2 0.457 F 50.482 Prob. F 0.000 Persamaan 3 Konstanta e 1.862 0.000 Intuisi f 0.556 0.000 R 0.560 R2 0.314 F 27.473 Prob. F 0.000 Persamaan 4 Konstanta g 1.136 0.000 Pengalaman h1 0.690 0.000 Intuisi j 0.042 0.694 R 0.796 R2 0.633 F 50.894 Prob. F 0.000 Sumber : Lampiran 6 (SPSS)

Dari tabel 5 dapat dibuat sesuatu kesimpulan bahwa hasil analisis menunjukkan bahwa pengalaman dapat berpengaruh langsung ke keliruan dan dapat juga berpengaruh tidak langsung yaitu dari pengalaman ke intuisi (sebagai intervening) lalau ke keliruan. Besarnya pengaruh langsung adalah 0,766 sedangkan besarnya pengaruh tidak langsung harus dihitung dengan mengalikan koefisiennya tidak langsung yaitu ((0,676) x (0,042) = 0,028392. Oleh karena koefisien hubungan langsung lebih besar dari koefisien hubungan tidak langsung, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan yang sebesarnya adalah hubungan langsung. Dapat disimpulkan bahwa intuisi bukan merupakan partial intervening variable (variabel intervening sebahagian) melainkan mempunyai hubungan langsung. Hubungan langsung terjadi jika satu variabel mempengaruhi variabel lainnya tanpa ada variabel ke tiga yang memediasi hubungan kedua variabel tadi, sedangkan dikatakan hubungan tidak langsung adalah jika ada variabel ketiga yang memediasi hubungan kedua variabel ini.

4.5. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dapat diambil suati kesimpulan bahwa pengalaman mempengaruhi intuisi seorang auditor. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Agor (1998) yang menyatakan bahwa intuisi merujuk pada kemampuan untuk memberi kode, menyortir, dan mengakses kebermaknaan atau relevansi hasil keputusan masa lalu secara efisien. Intuisi bukan merupakan suatu

daya kognitif yang terlahir atau kemampuan yang digunakan sesuai kehendak, melainkan suatu kemampuan belajar dari atau diambil dari pengalaman. Ketika para pembuat keputusan menggunakan intuisi, mereka mengalami suatu proses yang otomatis dan secara tidak sadar mengambil dari struktur kognitif yang dibentuk melalui pengalaman. Meskipun secara tidak langsung menyebut intuisi, Gibbins yang dikutip Sularso (1999) mengungkapkan telaah berbagai pustaka juga dapat mengembangkan preferensi respon yang lebih cepat dibandingkan akuntan yang belum berpengalaman karena efisiensi pemanfaatan struktur memori yang tersimpan dalam ingatan jangka panjang, karena itu intusi merupakan suatu bentuk dari pengalaman yang dapat dimanfaatkan oleh seseorang sebagai alat bantu untuk pengambilan keputusannya.

Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa intuisi seorang auditor akan mempengaruhi kemampuannya untuk mendeteksi kemungkinan adanya kekeliruan. Penerapan atau pengulangan penelitian dalam bidang auditing juga mengungkapkan hasil yang sama. Penerapan atau pengulangan dari beberapa penelitian dalam bidang auditing juga mengungkapkan hasil yang sama yang mengungkapkan bahwa auditor yang berpengalaman membuat judgment frekuensi relatif yang lebih baik dalam tugas-tugas profesional ketimbang auditor yang belum berpengalaman.

Pengetahuan Auditor tentang kekeliruan diawali dari perolehan informasi dibangku kuliah melalui membaca buku dan mengikuti perkuliahan auditing. Pengetahuan auditor akan semakin dalam bila seorang akuntan bekerja sebagai

pemeriksa. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pengetahuan auditor melalui pengalaman audit, diskusi mengenai audit, seminar-seminar, pengawasan dan review pekerjaan oleh auditor pengawasan, program pelatihan, tindak lanjut, program pemeriksaan dan penggunaan pedoman audit.

Pengetahuan auditor khususnya pengetahuan tentang kekeliruan semakin berkembang dengan banyaknya pengalaman kerja. Namun hal tersebut tidaklah untuk semua aspek pengetahuan tentang kekeliruan dalam suatu lingkungan audit yang lazim. Ashton (1991), mengemukakan bahwa pengetahuan frekuensi base rate auditor terhadap kekeliruan laporan keuangan tidak sangat teliti dan bahwa pengetahuan ini tidak menjadi lebih teliti dengan pengalaman.

Pengujian selanjutnya menemukan bahwa ada pengaruh pengalaman terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi adanya kekeliruan. Semakin besar frekuensi auditor dalam melakukan pemeriksaan, maka akan semakin besar kemampuan yang dimiliki oleh auditor untuk mendeteksi kemungkinan ada kekeliruan, kecurangan dan lain sebagainya. Mereka lebih mengetahui unsure-unsur mana yang selalu menjadi objek kekliruan atau penyelewengan.

Pengetahuan mengenai kekeliruan diperlukan dalam rangka memenuhi kewajibannya dalam standar pekerjaan lapangan. Pengetahuan juga diperlukan sehubungan dengan telah dirumuskannya bentuk laporan audit standar. Sehubungan dengan hal tersebut auditor memiliki tanggung jawab untuk mendeteksi kekeliruan dan ketidakberesan;

a. Auditor harus menentukan resiko bahwa suatu kekeliruan dan ketidakberesan kemungkinan menyebabkan laporan pemeriksaan atas laporan keuangan berisi salah saji material.

b. Auditor harus memahami karakteristik kekeliruan dan ketidakberesan agar bisa menentukan resiko salah saji laporan keuangan.

Pengetahuan Auditor tentang kekeliruan diawali dari perolehan informasi dibangku kuliah melalui membaca buku dan mengikuti perkuliahan auditing. Pengetahuan auditor akan semakin dalam bila seorang akuntan bekerja sebagai pemeriksa. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan pengetahuan auditor melalui pengalaman audit, diskusi mengenai audit, seminar-seminar, pengawasan dan review pekerjaan oleh auditor pengawasan, program pelatihan, tindak lanjut, program pemeriksaan dan penggunaan pedoman audit.

Pengetahuan auditor khususnya pengetahuan tentang kekeliruan semakin berkembang dengan banyaknya pengalaman kerja. Namun hal tersebut tidaklah untuk semua aspek pengetahuan tentang kekeliruan dalam suatu lingkungan audit yang lazim. Ashton (1991), mengemukakan bahwa pengetahuan frekuensi base rate auditor terhadap kekeliruan laporan keuangan tidak sangat teliti dan bahwa pengetahuan ini tidak menjadi lebih teliti dengan pengalaman.

Penerapan atau pengulangan penelitian dalam bidang auditing juga mengungkapkan hasil yang sama. Butt yang dikutip Jeffrey (1992) mengungkapkan bahwa auditor yang berpengalaman membuat judgment frekuensi relatif yang lebih

baik dalam tugas-tugas professional ketimbang auditor yang belum berpengalaman. Choo dan Trotman (1991) mengatakan bahwa probabilitas penyebutan sebuah butir informasi adalah sebuah fungsi jumlah hubungan yang dimilikinya dengan butir-butir yang lain. Informasi yang tak lazim relatif lebih sulit untuk dipahami ketimbang informasi yang lazim, informasi itu akan disimpan dalam ingatan kerja untuk waktu yang lama. Selama waktu ini, seseorang diasumsikan mengungkapkan tambahan informasi dari ingatan jangka lama dalam upaya untuk lebih memahami sepenuhnya terhadap informasi tak lazim. Ketika lebih banyak informasi yang tersimpan sebelumnya dipanggil dan berhubungan dengan informasi tak lazim dalam ingatan kerja, jejak-jejak jalinan hubungan tambahan berkembang. Ketika berlangsung pengolahan elaboratif internal ini, informasi tak lazim menjadi semakin terjalin dengan potongan-potongan informasi yang lain, yang membuatnya lebih mudah diungkapkan dan lebih mudah dipanggil dari pada butir-butir yang lazim.

Peningkatan ketelitian penyebutan butir-butir informasi yang tak lazim dibanding yang lazim seharusnya benar untuk para ahli karena mereka lebih sensitive terhadap ketidakselarasan dan pengetahuan para ahli lebih terorganisasi dari pada masyarakat umumnya, sehingga para ahli memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menangani informasi relevan. Hal ini memungkinkan para ahli memberikan lebih banyak perhatian pada butir tak lazim yang memerlukan tambahan pengolahan untuk memadukan pengetahuan dengan informasi yang ada.

Hasil penelitian akhir mendapati bahwa kemampuan auditor dalam mendeteksi adanya kekeliruan terbentuk berdasarkan pengalaman yang mereka dapat selama proses audit, dimana pengalaman-pengalaman tersebut menyebabkan meningkatnya intuisi seorang auditor dalam mendeteksi adanya kekeliruan maupu penyelewengan.

BAB V

Dokumen terkait