• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. KETERANGAN DPR

2. Pengujian Materil UU Advokat

Para Pemohon dalam permohonan perkara-perkara a quo, beranggapan bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan dengan berlakunya ketentuan Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat, yaitu pada pokoknya para Pemohon perkara-perkara a quo merasa dirugikan hak konstitusionalnya sebagaimana dijamin dalam Pasal-pasal a quo UUD Tahun 1945.

Terhadap dalil-dalil para Pemohon tersebut, DPR memberi keterangan atas masing-masing perkara a quo sebagai berikut:

1. Persoalan yang didalilkan para Pemohon Perkara Nomor 66/PUU-VIII/2010, Perkara Nomor 71/PUU-66/PUU-VIII/2010, dan Perkara Nomor 79/PUU-VIII/2010, walaupun menguraikan alasan konstitusional yang berbeda, namun pada pokoknya adalah bahwa para Pemohon pada intinya merasa dirugikan hak konstitusionalnya yang dijamin dengan UUD Tahun 1945, terhadap pengakuan Organisasi Advokat Peradi sebagai satu-satunya wadah tunggal Organisasi Advokat bagi seluruh para Advokat sebagaimana ditentukan dalam ketentuan pasal-pasal a quo UU Advokat. Oleh karena, hal ini berdampak pada ketidakpastian hukum, menghalangi untuk menjalankan profesi Advokat guna memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, menghalangi kebebasan berserikat dan berkumpul, dan menimbulkan perlakuan yang tidak sama dan bersifat diskriminatif.

2. Terhadap persoalan pokok para Pemohon tersebut, DPR berpandangan bahwa sebagaimana diamanatkan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, maka dalam menyelenggarakan negara dan pemerintahan termasuk pula dalam penegakan hukum oleh para penegak hukum tentu harus sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum yaitu salah satunya harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagai hukum positif. Prinsip negara hukum menuntut adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law) Oleh karena itu, UUD Tahun 1945 juga mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam usaha

mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas dan mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, disamping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamentalnya di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia. Oleh karena itu, atas dasar prinsip-prinsip negara hukum sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945, telah dibentuk UU Advokat.

3. Pembentukan Organisasi Advokat sebagai wujud tanggung jawab profesi Advokat yang bebas dan mandiri sebagaimana ditentukan dalam ketentuan Pasal 32 ayat (4) juncto Pasal 28 ayat (1) UU Advokat yang juga telah memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, maka tentunya seluruh Advokat yang notebene adalah sarjana hukum (ahli hukum) patut mengerti dan taat kepada hukum dengan mengindahkan UU Advokat maupun Organisasi Advokat Peradi yang merupakan satu-satunya wadah Organisasi Advokat. Terkait dengan berhimpunya Advokat dalam satu wadah organisasi profesi Advokat adalah untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat dimana Organisasi Advokat Peradi menetapkan dan menjalankan kode etik profesi Advokat bagi para anggotanya. Oleh karena itu, menurut DPR pembentukan Organisasi Advokat Peradi sebagai satu-satunya wadah Organisasi Advokat adalah justru bertujuan untuk memudahkan pembinaan, pengembangan dan pengawasan serta untuk mengingkatkan kualitas Advokat itu sendiri dalam menjalankan tugas profesinya memberikan jasa hukum untuk kepentingan hukum kliennya sesuai dengan kode etik profesi Advokat, sehingga kedepan diharapkan rasa keadilan masyarakat dalam proses penegakan hukum dapat terwujud.

4. Latar belakang perumusan ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat terkait dengan pembentukan satu Organisasi Advokat sebagai wadah tunggal dapat dilihat dalam Risalah Rapat Panja RUU Advokat tanggal

13 Pebruari 2003, yang pada intinya : “…perlu memang ada penegasan dalam UU ini yang pertama tadi penjelasan Pemerintah bahwa UU ini mengatur tentang Advokat jadi itu intinya organisasi adalah bagian dari UU ini tentunya, oleh karena itu saya langsung masuk pada usul rumusan saja biar lebih tegas ayat (1) Advokat, kita mulai saja dari Advokat, karena UU yang mengatur Advokat membentuk satu Organisasi Advokat …”, lanjutnya…”Advokat membentuk satu Organisasi Advokat yang bebas dan mandiri sesuai dengan ketentuan UU dengan maksud dan tujuan meningkatkan kualitas profesi Advokat yang namanya ditentukan sendiri oleh Organisasi Advokat”.

5. Terkait dengan permohonan pengujian ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, dipandang perlu merujuk Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 yang pada pokoknya berpendapat: (vide: Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 014/PUU-IV/2006 halaman 56-58).

“bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat yang arahnya menuju “single bar organization”, tetapi dari fakta persidangan menurut keterangan PERADI dan delapan organisasi yang mengemban tugas sementara Organisasi Advokat sebelum organisasi dimaksud terbentuk [vide Pasal 32 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Advokat], yakni Ikadin, AAI, IPHI, SPI, HAPI, AKHI, HKHPM, dan APSI, kedelapan organisasi pendiri PERADI tersebut tetap eksis namun kewenangannya sebagai organisasi profesi Advokat, yaitu dalam hal kewenangan membuat kode etik, menguji, mengawasi, dan memberhentikan Advokat [vide Pasal 26 Ayat (1), Pasal 3 Ayat (1) huruf f, Pasal 2 Ayat (2), Pasal 12 Ayat (1), dan Pasal 9 Ayat (1) UU Advokat], secara resmi kewenangan tersebut telah menjadi kewenangan PERADI yang telah terbentuk. Adapun kedelapan Organisasi Advokat pendiri PERADI tetap memiliki kewenangan selain kewenangan yang telah menjadi kewenangan PERADI, sehingga tidak dapat dikatakan bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat meniadakan eksistensi kedelapan organisasi, yang karenanya melanggar prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana diatur UUD 1945 (vide: Putusan Mahkamah Nomor 019/PUU-I/2003). Dengan demikian, dalil Pemohon yang

menyatakan bahwa Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 tidak beralasan;

bahwa ketentuan Pasal 5 Ayat (1) UU Advokat yang memberikan status kepada Advokat sebagai penegak hukum yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan menunjukkan bahwa karena kedudukannya itu diperlukan suatu organisasi yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat. Karena, Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat menyebutkan, ”Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi Advokat”, maka organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara (vide: Putusan Mahkamah Nomor 066/PUU-II/2004); bahwa penyebutan secara eksplisit nama delapan organisasi yang tercantum dalam Pasal 32 Ayat (3) dan Pasal 33 UU Advokat tidaklah menyalahi hakikat suatu aturan peralihan yang oleh ahli dari Pemohon dianggap memihak kelompok tertentu, melainkan hanya untuk mengukuhkan fakta hukum tertentu (legal fact) yang ada dan peralihannya ke dalam fakta hukum baru menurut UU Advokat;

bahwa Pasal 32 Ayat (3) dan Ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya. Selain itu, Pasal 32 Ayat (3) UU Advokat pernah dimohonkan pengujian kepada Mahkamah yang oleh Mahkamah dalam Putusannya Nomor 019/PUU-I/2003 telah dinyatakan ditolak;

bahwa kekhawatiran para Pemohon tentang nasibnya sebagai Advokat yang telah diangkat dan diambil sumpah, sebenarnya tidak perlu ada karena telah dijamin oleh Pasal 32 Ayat (1) UU Advokat, sedangkan masalah heregistrasi Advokat yang dilakukan Peradi lebih merupakan

kebijakan dan/atau norma organisasi yang tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas tidaknya UU Advokat…”

6. Terkait dengan terdapatnya konflik dan perpecahan dalam internal Organisasi Advokat antara Peradi dan KAI yang berakibat timbulnya kerugian konstitusional para Pemohon sebagaimana yang didalilkan dalam permohonan perkara-perkara a quo, menurut DPR bahwa sesungguhnya yang terjadi adalah adanya benturan dan perbedaan pandangan mengenai “satu-satunya wadah tunggal Organisasi Advokat dalam UU Advokat”, sehingga Organisasi Advokat yang diakui oleh UU Advokat adalah hanya Peradi, yang berdampak pada tidak diakuinya dengan tidak dilakukan sumpah terhadap Advokat yang bukan anggota Peradi. Persoalan ini sebenarnya semata-mata hanya berkaitan dengan teknis pelaksanaan UU Advokat bukanlah persoalan konstitusionalitas suatu norma, karenanya Mahkamah Konstitusi tidak berwenang menilai atau menguji dalam hal pelaksanaan undang-undang, tetapi yang berwenang untuk menilai efektivitas berlakunya pelaksanaan undang-undang adalah DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang-undang-undang melalui mekanisme legislative review. Kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD Tahun 1945 dan ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, adalah menguji UU terhadap UUD Tahun 1945. Begitu pula bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengubah ketentuan pasal-pasal a quo UU Advokat sebagaimana diuraikan dalam Petitum permohonan Perkara Nomor 79/PUU-VIII/2010.

7. Persoalan terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25 Juni 2010 yang menyatakan: “Para Ketua Pengadilan Tinggi dapat mengambil sumpah para Advokat yang belum disumpah yang telah memenuhi syarat, dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut diajukan oleh Pengurus Peradi sesuai dengan jiwa kesepakatan tanggal 24 Juni 2010”, yang menurut para Pemohon Perkara Nomor 71/PUU-VIII/2010 dan Perkara Nomor 79/PUU-VIII/2010, hal ini menyebabkan terhalanginya hak Pemohon untuk menjalankan profesinya dan memperoleh penghidupan yang layak dan terhalanginya

hak pemohon untuk berserikat dan memilih organisasi profesi adalah tidak berdasar, karena akibat hukum yang timbul dari terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung tersebut, sama sekali tidak ada kaitan konstitusionalitasnya dengan ketentuan pasal-pasal a quo UU Advokat yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon a quo. Karena terbitnya Surat Ketua Mahkamah Agung tersebut sebagai tindak lanjut dari kesepakatan yang dilakukan oleh Organisasi Advokat Peradi dan DPP KAI, sehingga jelas hal ini bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan penerapan suatu norma.

8. Mencermati permohonan para Pemohon a quo secara substansial pokok persoalan sebenarnya adalah mengenai pelaksanaan dari UU Advokat, karena para Pemohon pada intinya mempersoalkan tentang pelaksanaan dari perintah UU Advokat dan pada kenyataannya para Pemohon maupun komunitas Advokat atau Organisasi Advokat tetap dapat dengan bebas dan mandiri melaksanakan tugas profesi Advokat untuk penegakan hukum pada umumnya, maupun dalam rangka melakukan tugas profesinya memberikan jasa hukum berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentungan hukum kliennya. Sehingga tidak ada hak-hak konstitusionalnya yang dirugikan dengan berlakunya ketentuan pasal-pasal a quo UU Advokat.

Bahwa berdasarkan dalil tersebut, DPR berpandangan bahwa ketentuan Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 32 ayat (3) dan (4) UU Advokat tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28C ayat (1) dan (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 28E ayat (3), Pasal 28H ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (2), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 36A UUD Tahun 1945.

Bahwa berdasarkan pada pandangan DPR tersebut, DPR memohon kiranya Majelis Hakim Konstitusi memberikan amar putusan sebagai berikut :

1. Menyatakan para Pemohon perkara-perkara a quo tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), sehingga permohonan a quo harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

2. Menyatakan permohonan perkara-perkara a quo ditolak untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima;

3. Menyatakan menerima Keterangan DPR untuk seluruhnya;

4. Menyatakan ketentuan Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 32 ayat