• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5: KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

4.4. Hasil Uji Hipotesis Nihil

4.4.2 Pengujian proporsi varian masing-masing IV

Peneliti ingin mengetahui bagaimana penambahan proporsi varian dari masing-masing IV terhadap gejala depresi. Besarnya proporsi varian pada gejala depresi dapat dilihat pada tabel 4.8 berikut.

Tabel 4.8 Proporsi Varian IV R square R square change Sumbangan Sig. F Change Keterangan X1 .057 .057 5,7% .000 V X12 .152 .095 9.5% .000 V X123 .164 .012 1.2% .081 X X1234 .179 .015 1.5% .048 V X12345 .201 .022 2.2% .016 V X123456 .202 .001 0.1% .660 X X1234567 .211 .009 0.9% .115 X

Keterangan: V = Signifikan; X = Tidak Signifikan; X1: Dukungan Sosial X2:Loneliness X3: KepribadianNeuroticsm X4: KepribadianExtraversion X5: KepribadianAgreeableness X6: KepribadianOpenness X7: KepribadianConscientiousness

Dari tabel 4.8 dapat dijelaskan informasi sebagai berikut :

1. Variabel dukungan sosial memberikan sumbangan sebesar 5,7% dalam varians gejala depresi. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan F=13,227 dan df=218.

2. Variabellonelinessmemberikan sumbangan sebesar 9,5% dalam varians gejala depresi. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan F=24,395 dan df=217.

3. Variabel kepribadian neurotiscm memberikan sumbangan sebesar 1,2% dalam varians gejala depresi. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan F=3,064 dan df=216.

4. Variabel kepribadian extraversion memberikan sumbangan sebesar 1,5% dalam varians gejala depresi. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan F=3,965 dan df=215.

5. Variabel kepribadian agreeableness memberikan sumbangan sebesar 2,2% dalam varians gejala depresi. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan F=5,878 dan df=214.

6. Variabel kepribadian openness memberikan sumbangan sebesar 0,1% dalam varians gejala depresi. Sumbangan tersebut tidak signifikan secara statistik dengan F=0,194 dan df=213.

7. Variabel kepribadian conscientiousness memberikan sumbangan sebesar 0,9% dalam varians gejala depresi. Sumbangan tersebut signifikan secara statistik dengan F=2,507 dan df=212.

Urutan IV yang signifikan memberikan sumbangan dari yang terbesar hingga yang terkecil ialah variabel loneliness dengan R² change 9,5%, variabel dukungan sosial dengan R² change 5,7%, variabel kepribadian agreeableness denganR² change 2,2%, dan variabel kepribadianextraversiondenganR² change 1,5%.

85

Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi tentang hasil penelitian serta saran teoritis dan saran praktis untuk penelitian selanjutnya.

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data pada bab 4, kesimpulan dari penelitian ini adalah

“terdapat pengaruh variabel dukungan sosial, variabellonelinessdan variabel trait kepribadian (neuroticsm, extraversion, agreeableness, openness dan conscientiousness) terhadap gejala depresi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan”.

Dilihat dari signifikan tidaknya koefisien regresi dari masing-masing independent variable, ditemukan bahwa terdapat empat independent variable yang menghasilkan koefisien regresi signifikan, yaitu variabel dukungan sosial, variabel loneliness, variabel kepribadian extraversion dan variabel kepribadian agreeableness. Masing-masing variabel tersebut mempunyai pengaruh terhadap gejala depresi. Jika dilihat dari signifikan atau tidaknya proporsi varians sumbangan kontribusi masing-masing independent variable ada empat independent variable yang signifikan memberikan sumbangan dari nilai terbesar hingga terkecil ialah loneliness, dukungan sosial, kepribadian agreeableness dan kepribadianextraversion.

5.2. Diskusi

Dari hasil penelitian ini diperoleh data bahwa secara umum, jumlah narapidana laki-laki lebih banyak dibandingkan narapidana perempuan, dengan data pada penelitian ini sebanyak 193 orang laki-laki (88%) dan 27 orang perempuan (12%). Putwain dan Sammons (2002) mendukung data penelitian ini. Mereka menyebutkan bahwa statistik pidana secara konsisten melaporkan prevalensi yang jauh lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Ada beberapa kemungkinan alasan untuk hal ini. Salah satunya adalah bahwa perbedaan jenis kelamin dalam kejahatan mencerminkan perbedaan konstitusional antara pria dan wanita. Ini lebih mungkin menjadi kasus kejahatan pribadi dan kekerasan di mana perbedaan jenis kelamin yang paling ditandai.

Selain itu, pada penelitian ini diperoleh data bahwa kelompok usia mayoritas yang menjadi narapidana adalah pada tahap perkembangan remaja akhir dengan rentang usia 16 – 22 tahun (94%). Kartono (2002) menyebutkan bahwa angka tertinggi tindak kejahatan pada remaja berada pada usia 15 –19 tahun dan setelah 22 tahun, kasus kejahatan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok remaja bermasalah tersebut mengalami penurunan. Pengaruh sosial dan kultural memiliki peran penting dalam pembentukan atau pengkondisian tingkah laku kriminal anak-anak remaja. Remaja merupakan salah satu masa transisi dengan tingkah laku anti-sosial yang potensial disertai dengan pergolakan hati atau kekisruhan batin. Maka segala tindak kejahatan yang muncul pada masa ini merupakan akibat dari proses perkembangan pribadi anak yang mengandung

unsur dan usaha kedewasaan seksual, pencarian identitas kedewasaan, adanya ambisi materil yang tidak terkendali serta kurang adanya disiplin terhadap diri.

Selanjutnya, pada penelitian ini diperoleh data bahwa tingkat pendidikan SMA menjadi mayoritas narapidana sebanyak 140 orang (63%). Hal ini sejalan dengan data penelitian sebelumnya mengenai usia mayoritas subjek terbanyak pada penelitian ini yaitu usia 16 – 22 tahun yang rata-rata dari mereka memang menduduki tingkat pendidikan SMA.

Terakhir, pada penelitian ini diperoleh data bahwa tindak kejahatan narkotika menjadi mayoritas tindak kejahatan pada narapidana remaja dengan jumlah sebanyak 124 orang (56,4%). Data ini sesuai dengan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang menemukan bahwa dari sekitar 5 juta pengguna narkotika di Indonesia saat ini, 22 persen di antaranya merupakan kelompok usia remaja (JPPN, 2014). Anak usia remaja memang paling rawan terhadap penyalahgunaan narkoba. Karena masa remaja adalah masa pencarian identitas diri. Remaja selalu ingin tahu dan ingin mencoba, apalagi terhadap hal-hal yang mengandung bahaya atau resiko. Umumnya, anak atau remaja mulai menggunakan narkoba karena ditawarkan kepadanya dengan berbagai janji atau tekanan kelompok (Tanthowi, 2003).

Berdasarkan kategorisasi skor variabel diketahui bahwa narapidana remaja di Lapas cenderung memiliki tingkat gejala depresi yang rendah. Hal ini berarti, narapidana remaja di Lapas ini memiliki tingkatan yang rendah pada perilaku dan perasaan yang secara spesifik muncul sebagai gejala awal munculnya depresi. Narapidana ini memiliki gejala depresi yang rendah karena berhubungan dengan

hasil kategorisasi tingkat dukungan sosial yang tinggi (52,3%) dan tingkat perasaan loneliness yang rendah (53,6%). Sehingga dengan adanya dukungan sosial yang tinggi dari keluarga maupun teman-teman narapidana di Lapas, membuat seorang narapidana bisa menyalurkan perasaan dan pikiran mereka mengenai masalah yang sedang mereka hadapi. Selain itu pada hasil kategorisasi yang menunjukkan rendahnya tingkat lonelinesspada narapidana ini juga menjadi salah satu faktor rendahnya gejala depresi yang dihadapi oleh mereka. Mereka memiliki berbagai kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama dan solidaritas antara sesama yang tinggi. Hal inilah yang membuat gejala depresi pada mereka berada pada tingkatan yang rendah.

Selanjutnya, dari hasil koefisien regresi pada penelitian ini, diketahui bahwa variabel dukungan sosial, variabel loneliness, variabel kepribadian extraversion dan variabel kepribadian agreeableness secara konsisten mempengaruhi gejala depresi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel dukungan sosial memiliki pengaruh yang signifikan terhadap gejala depresi dengan koefisien negatif. Artinya, pada penelitian ini menunjukkan bahwa narapidana yang memiliki dukungan sosial yang tinggi menunjukkan gejala depresi yang rendah. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Peirce, R.S et.al. (2000) yang mengungkapkan bahwa penelitian longitudinal terhadap hubungan antara depresi dan penerimaan dukungan sosial memiliki hubungan yang negatif. Mereka menemukan bahwa depresi terjadi secara tidak langsung didahului dari kontak sosial dan penerimaan dari dukungan sosial yang rendah. Selain itu, menurut

Teori Interpersonal Depresi, depresi dapat timbul karena kurangnya dukungan sosial terhadap mereka yang memiliki gejala depresi. Berkurangnya dukungan sosial dapat melemahkan kemampuan mereka untuk mengatasi masalah dan membuat mereka semakin rentan terhadap depresi (Davidson, et.al., 2002). Hal ini diperkuat dengan hasil kategorisasi skor variabel dimana narapidana di Lapas memiliki dukungan sosial yang tinggi. Hal ini berarti, narapidana di Lapas cenderung tinggi dalam menerima dengan baik bentuk dukungan apapun yang didapatkan oleh seseorang dari keluarga, teman, maupun orang yang berarti di sekitarnya sehingga gejala depresi yang terjadi di Lapas berada pada tingkatan yang rendah. Mereka memaknai dukungan yang mereka dapatkan dari sekitar sebagai motivasi untuk menjalani masa-masa sulit yang mereka rasakan selama berada di Lapas. Selain itu, adanya rasa solidaritas yang tinggi dari sesama narapidana dalam menjalani masa-masa sulit di Lapas membuat mereka lebih bisa bertahan dalam menjalani masa hukumannya dan menghindarkan mereka dari berbagai penyakit psikologis seperti depresi atau gangguan stres lainnya.

Selanjutnya dalam penelitian ini, variabel loneliness secara signifikan mempengaruhi gejala depresi secara positif. Artinya, pada penelitian ini menunjukkan bahwa narapidana yang memiliki nilai loneliness yang tinggi menunjukkan gejala depresi yang tinggi juga. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Swami, et.al., (2006) yang menyebutkan bahwa depresi secara positif dan signifikan berkorelasi dengan loneliness. Mereka melaporkan bahwa individu yang memiliki level depresi yang tinggi, memiliki lonelinessyang tinggi juga. Selain itu penelitian longitudinal yang dilakukan oleh

Qualter, Brown, Munn dan Rotenberg (2010) juga menemukan bahwa menetapnya loneliness pada masa kanak-kanak diprediksi kemudian hari pada gejala depresi pada masa remaja. Penelitian mereka juga memberikan dukungan untuk gagasan bahwa loneliness merupakan pola abadi selama 4 tahun yang terkait dengan gejala depresi. Hal ini diperkuat dari hasil kategorisasi yang menyatakan bahwa narapidana di Lapas cenderung memiliki tingkat loneliness yang rendah. Hal ini berarti narapidana di Lapas cenderung rendah dalam mengalami perasaan yang muncul akibat tidak adanya beberapa hubungan yang dibutuhkan secara fisik atau tidak ada orang di sekitarnya yang mau berhubungan dengannya maupun secara emosi atau dia tetap merasakan kesepian walaupun banyak orang lain di sekitarnya. Narapidana di Lapas ini memiliki banyak kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama seperti kegiatan beragama, kegiatan pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, serta kegiatan pembinaan kesadaran hukum sehingga sedikit dari mereka yang mengalami perasaan loneliness. Mereka memiliki kegiatan terstruktur yang dilakukan secara berkelompok dan memiliki kemampuan untuk bersosialisasi secara baik dengan sesama narapidana lainnya dalam menghadapi masalah yang sedang mereka hadapi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepribadian neuroticsm tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap gejala depresi pada narapidana. Namun dalam penelitiannya, Kendler dan Myers (2010) menyatakan bahwa level yang tinggi pada kepribadianneuroticsmmempengaruhi individu menjadi depresi. Mereka juga menyebutkan bahwa neuroticsm memiliki hubungan interaksi yang

kuat untuk resiko depresi seumur hidup. Selain itu penelitian Kotov, Games, Schmidt dan Watson (2010) juga menemukan bahwa neuroticsm secara nyata menunjukkan hubungan positif yang kuat dengan depresi dan mempengaruhi lebih besar dibandingkan dengan kepribadian lainnya. Hasil kategorisasi skor variabel yang menunjukkan narapidana di Lapas cenderung memiliki nilai kepribadian neurotisme yang tinggi yang artinya narapidana di Lapas cenderung memiliki nilai kepribadian neurotisme yang tinggi seperti kepribadian yang cenderung pencemas, temperamental, sentimentil, emosional, tertekan, gelisah dan tidak aman. Lapas merupakan tempat dimana seseorang menerima hukuman dari segala tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Hal inilah yang membuat narapidana menjadi memiliki kepribadian neuroticsm yang tinggi. Hukuman yang mereka terima di Lapas dan anggapan lingkungan tentang mereka membuat mereka memiliki kepribadian neuroticsm seperti cenderung pencemas, temperamental, sentimentil, emosional, tertekan, gelisah dan tidak aman selama berada di Lapas. Perbedaan hasil kategorisasi skor variabel dengan hasil koefisien regresi terjadi karena sebanyak 124 sampel narapidana adalah narapidana Narkotika, dimana salah satu dari kepribadian narapidana dengan kasus Narkotika adalah memiliki kepribadian manipulatif. Kepribadian manipulatif adalah kepribadian yang bisa memanfaatkan kebohongan secara maksimal. Pengguna narkoba terbiasa untuk memanipulasi keadaan mereka untuk berbohong dan meyakinkan sekitarnya seolah-olah mereka benar saat mereka terdesak untuk mencari kebutuhan mereka akan narkoba. Mereka cenderung menutupi kegelisahan dan kecemasan mereka terhadap sekitar dan mereka cenderung ingin

terlihat lebih baik, lebih bijak dan lebih bermoral (Partodiharjo, 2012). Selain itu, kemungkinan masih digunakannya narkoba pada mereka juga bisa menjadi salah satu alasan mereka untuk terlihat tenang dan mengurangi kecemasan. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan lebih lanjut oleh pihak Lapas terhadap peredaran narkoba yang mungkin masih terjadi di dalam lingkungan Lapas.

Selanjutnya dalam penelitian ini, trait kepribadian extraversion memiliki arah pengaruh yang negatif secara signifikan terhadap munculnya gejala depresi pada narapidana di Lapas. Hal ini menunjukkan bahwa narapidana di Lapas dengan kepribadian extraversion yang tinggi tidak mudah terkena gejala depresi. Namun sebaliknya, narapidana di Lapas dengan kepribadian extraversion yang rendah rentan terkena gejala depresi. Penelitian Kendler dan Myers (2010) mendukung penelitian ini bahwa kepribadian extraversion yang negatif memiliki hubungan yang interaksi kecil dengan resiko depresi seumur hidup. Penelitian dari Kotov, Games, Schmidt dan Watson (2010) juga menemukan hubungan yang negatif antara kepribadian extraversion terhadap gejala depresi. mereka juga menemukan nilai extraversion relatif memiliki nilai negatif yang lebih besar dibandingkan dengan nilai negatif pada kepribadian lainnya. Hasil kategorisasi juga menyatakan bahwa narapidana di Lapas cenderung memiliki nilai kepribadianextraversionyang rendah yang artinya narapidana di Lapas cenderung memiliki nilai kepribadian extraversion yang rendah seperti kepribadian yang cenderung tidak peduli, penyendiri, pendiam, serius dan tidak berperasaan.

Selanjutnya, untuktrait kepribadianagreeableness, terdapat pengaruh yang signifikan terhadap kecenderungan gejala depresi dengan arah yang negatif. Hal

ini menunjukkan bahwa narapidana di Lapas dengan kepribadian agreeableness yang tinggi tidak mudah terkena gejala depresi. Penelitian Kendler dan Myers (2010) mendukung penelitian ini bahwa kepribadian agreeableness yang negatif memiliki hubungan yang interaksi kecil dengan resiko depresi seumur hidup. Hal senada juga ditemukan pada penelitian Kotov, Games, Schmidt dan Watson (2010) bahwa kepribadian agreeableness menunjukkan nilai yang negatif dan relatif konsisten dalam mempengaruhi terjadinya gejala depresi. Hasil kategorisasi juga menyatakan bahwa narapidana di Lapas cenderung memiliki nilai kepribadian agreeableness tinggi, yang artinya narapidana di Lapas cenderung memiliki nilai kepribadian agreeableness yang tinggi seperti kepribadian yang cenderung berhati lembut, mudah percaya dengan orang lain, dermawan dan ramah. Narapidana di Lapas diajarkan untuk berkelakuan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Hal inilah yang membuat kepribadian agreeableness pada mereka tinggi, karena mereka diajarkan untuk berperilaku dan berkepribadian sesuai dengan norma yang berlaku dimasyarakat yaitu untuk berbuat baik terhadap sesama, ramah dan berhati lembut.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepribadian openness tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap gejala depresi pada narapidana. Penelitian Karsten, et.al. (2012) juga menemukan bahwa nilai openness tidak signifikan dengan gangguan depresi. Mereka menemukan bahwa nilai opennes tidak mempengaruhi baik dengan terjadinya gangguan depresi ataupun pemulihan dari gangguan depresi. Namun dalam penelitiannya, Kendler dan Myers (2010) menyatakan bahwa kepribadian opennessmemiliki hubungan interaksi yang kecil

dalam mempengaruhi individu menjadi depresi. Hasil kategorisasi juga menyatakan bahwa narapidana di Lapas cenderung memiliki nilai kepribadian openness rendah, yang artinya narapidana di Lapas cenderung memiliki nilai kepribadian openness yang rendah seperti kepribadian yang cenderung lebih konvensional, realitas, tidak kreatif, dan punya pemikiran yang konservatif. Narapidana di Lapas memiliki keterbatasan dalam menyampaikan ide-ide yang mereka pikirkan. Hal inilah yang membuat nilai kepribadian openness mereka berada pada tingkatan yang rendah. Di dalam Lapas, mereka tidak bisa dengan leluasa menyampaikan ide-ide mereka dan mereka diajarkan untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan aturan yang berlaku.

Terakhir, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepribadian conscientiousness tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap gejala depresi pada narapidana. Namun dalam penelitiannya, Kendler dan Myers (2010) menyatakan bahwa level yang rendah pada kepribadian conscientiousness mempengaruhi individu menjadi depresi. Karsten, et.al. (2012) juga menemukan bahwa nilai conscientiousness berhubungan negatif dengan depresi. Mereka menemukan bahwa nilai conscientiousness yang rendah menyebabkan terjadinya gangguan depresi, dan tidak meningkat dengan adanya pemulihan dari gangguan depresi. Hasil yang diperoleh dari kategorisasi skor adalah bahwa kepribadian conscientiousness pada narapidana di Lapas cenderung rendah dengan persentase 56,8%, yang artinya narapidana di Lapas cenderung memiliki nilai kepribadian conscientiousness yang rendah seperti kepribadian yang cenderung menjadi ceroboh, pemalas, tidak teratur dan mudah menyerah.

Dari hasil penelitian diatas, terdapat perbedaan pendapat dari hasil penelitian sebelumnya mengenai trait kepribadian neuroticsm, openness dan conscientiousness terhadap gejala depresi. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh trait kepribadian neuroticsm, openness dan conscientiousness dengan gejala depresi pada narapidana di Lapas agar dapat memberikan gambaran yang lebih dalam.

5.3. Saran

Peneliti menyadari kekurangan dan keterbatasan dalam penelitian yang telah dilakukan ini, sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk melengkapi kekurangan dan keterbatasan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dijabarkan sebelumnya, peneliti membagi saran dalam penelitian ini menjadi dua, yaitu saran teoritis dan saran praktis. Saran ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi peneliti lain yang akan menelitidependent variableyang sama.

Dokumen terkait