• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN KEGIATAN MAGANG

HK Basis Realisas

2. Pengujian Secara Parsial atau Individu (Uji-t)

Kegiatan magang ini dilakukan dengan memperhatikan nilai t hitung untuk mengetahui signifikan variabel X berupa faktor penentu produksi secara terpisah atau parsial terhadap variabel Y yaitu produksi TBS pada tingkat alfa 5%. Berikut akan dijelaskan pengaruh faktor penentu produksi terhadap produksi TBS kelapa sawit berdasarkan masing-masing variabel yang digunakan dalam analisis.

77

Umur Tanaman

Umur tanaman berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Semakin luas komposisi umur tanaman menunjukkan tingkat kedewasaan dan kematangan tanaman semakin tinggi pula. Hal ini juga berlaku untuk tanaman kelapa sawit. Umur tanaman berpengaruh pada pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kelapa sawit. Peran umur tanaman jika ditinjau dari pertumbuhan vegetatif tanaman kelapa sawit yaitu berpengaruh dalam pembentukan pelepah yakni jumlah pelepah, panjang pelepah, dan jumlah anak daun. Tanaman yang berumur tua jumlah pelepah dan anak daun yang dihasilkan lebih banyak. Pelepah yang terbentuk juga lebih panjang dibandingkan dengan tanaman yang masih muda. Ini berkolerasi positif terhadap ketersediaan makanan bagi tanaman karena pelepah berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Peran umur tanaman jika ditinjau dari pertumbuhan generatif yakni berpengaruh terhadap organ reproduksi tanaman yaitu dalam proses pembentukan dan perkembangan buah. Kelapa sawit yang memiliki komposisi umur tanam muda akan memiliki jumlah janjang yang lebih banyak tetapi berat janjang yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan tanaman yang memiliki komposisi umur tanaman yang lebih tua. Kondisi ini berpengaruh pada BJR kebun yang berpengaruh terhadap pencapaian produksi TBS yang diharapkan.

Faktor produksi untuk peubah umur tanaman kelapa sawit dikelompokkan berdasarkan umur produktifnya. Analisis dengan menggunakan Uji-t yang dilakukan berdasarkan kelompok umur tanam menunjukkan kelompok umur tanaman yang memberikan pengaruh terbaik terhadap produksi TBS terdapat pada peubah kelompok umur tanaman 7-11 tahun dibandingkan dengan kelompok umur tanaman yang lain (Tabel 21). Hasil ini terlihat dari kelompok umur tanaman 7-11 tahun memiliki pengaruh yang signifikan terhadap hasil. Nilai tengah yang diperoleh dari hasil analisis untuk umur tanaman 7-11 tahun memiliki produksi yang maksimum dibandingkan dengan variabel kelompok umur tanaman lainnya. Nilai tengah untuk peubah kelompok umur tanam < 7 tahun, umur tanam 7-11 tahun dan umur tanam > 11 tahun secara berturut-turut adalah 1.39 juta ton TBS, 1.88 juta ton TBS dan 1.38 juta ton TBS. Hal tersebut sesuai dengan

78

pendapat Lubis (1992) yang mengemukakan bahwa produksi tertinggi tanaman kelapa sawit dicapai pada saat tanaman berumur 7-11 tahun.

Tabel 21. Pengaruh Umur Tanaman terhadap Produksi TBS di SBHE Perbandingan Umur Tanaman Nilai Tengah (juta ton)

<7 7_11 >11 t-hitung Pr > |t| umur < 7 tahun dengan umur 7-11 tahun 1.39 1.88 - 2.52* 0.015 umur < 7 tahun dengan umur > 11 tahun 1.39 - 1.38 0.02tn 0.989 umur 7-11 tahun dengan umur > 11 tahun - 1.88 1.38 2.94** 0.005

Keterangan : tn = tidak berbeda nyata

* = berbeda nyata pada taraf uji 5 % ** = berbeda nyata pada taraf uji 1 %

SBHE memiliki komposisi umur tanam tertua yaitu tahun tanam 1998 dan termuda dengan tahun tanam 2008. Hingga tahun 2010 tanaman kelapa sawit di SBHE telah berumur 12 tahun sehingga SBHE tergolong kebun produktif karena pohon-pohon yang ditanam termasuk kedalam umur ekonomis yaitu dibawah umur 25 tahun. Tanaman kelapa sawit dengan umur produktif mencapai produksi optimum dengan jumlah TBS yang dihasikan banyak dan berat janjang yang dihasilkan juga cukup tinggi sehingga berpengaruh kepada pencapaian produksi TBS per hektarnya yang tinggi pula. Tanaman yang melebihi dari umur ekonomisnya mengharuskan untuk segera dilakukan peremajaan, yaitu dengan mengganti tanaman kelapa sawit yang sudah tua dengan tanaman yang baru agar kestabilan produksi TBS suatu kebun tetap terjaga. Pengaruh tahun tanam terhadap produksi TBS di SBHE dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Pengaruh Umur Tanaman terhadap Produktivitas TBS Kelapa Sawit di SBHE (2008-2010)

Tahun Tanam

Luasan Produktivitas TBS (ton/Ha)

(Ha) 2008 2009 2010 1998 27 14.0 17.4 17.5 2000 31 10.7 13.9 15.3 2002 29 9.2 12.3 12.5 2003 58 8.4 12.6 25.9 2005 30 5.9 9.6 12.0 2006 36 3.5 6.0 17.8 2007 28 4.4 6.5 6.3 2008 26 2.3 4.2 5.2

79

Populasi Tanaman per Hektar (SPH)

Kerapatan tanaman mempunyai hubungan erat dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat produksi tanaman kelapa sawit. Kerapatan tanam terkait dengan keefisienan dalam hal pemanfaatan cahaya untuk proses fotosintesis dan persaingan antar tanaman dalam penggunaan air dan unsur hara.

Produksi tiap satuan luas yang tinggi tercapai dengan populasi tinggi karena tercapainya penggunaan sinar matahari, air dan unsur hara secara maksimum di awal pertumbuhan. Penampilan masing-masing tanaman secara individu menurun karena persaingan untuk mendapatkan sinar matahari, air dan unsur hara. Kerapatan tanaman yang optimum hanya dapat ditentukan dengan mengetahui potensi produksi pada beberapa tingkat kerapatan tanaman. Adanya peningkatan kerapatan tanaman ternyata menyebabkan tanaman lebih cepat meninggi, daun lebih panjang dan diameter batang lebih kecil serta berakibat pada produksi TBS yang semakin menurun.

Menurut Fauzi et al. (2008) populasi tanaman kelapa sawit 143 pohon/ha merupakan populasi yang paling ekonomis karena tanaman cukup kondusif untuk mendapatkan sinar matahari, kelembaban tanaman terjaga dan pelepah antar pohon tidak saling berimpitan sehingga produksi TBS per hektarnya akan mencapai optimum. Hal inilah yang menjadi dasar pengklasifikasian kelompok SPH dalam analisis ini.

Hasil analisis pada kelompok SPH yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi TBS pada kelompok SPH < 135 dan SPH 135-143 (Tabel 23). Namun dari dua kelompok SPH tersebut yang memberikan pengaruh terbaik adalah kelompok SPH <135 yang dilihat dari nilai tengah yang diperoleh. Kelompok SPH < 135 memberikan nilai tengah yang lebih tinggi sebesar 1.39 juta ton dibandingkan dengan kelompok SPH lainnya.

Tabel 23. Pengaruh Faktor SPH terhadap Produksi TBS di SBHE

Perbandingan Populasi per Hektar (SPH)

Nilai Tengah (juta ton)

<135 135-143 >143 t-hitung Pr > |t| SPH < 135 dengan SPH 135-143 1.39 1.26 - -0.52tn 0.60 SPH < 135 dengan SPH > 143 1.39 - 0.06 7.69** 0.00 SPH 135-143 dengan SPH > 143 - 1.26 0.06 7.41** 0.00

80

Keterangan : tn = berbeda tidak nyata

** = berbeda nyata pada taraf uji 1 %

Kenyataannya di lapang bahwa penerapan populasi tanaman kelapa sawit 143 pohon/ha kurang sesuai diterapkan di SBHE. Hal ini terkait dengan SBHE merupakan kebun take over. Kebun ini sebelumnya memiliki SPH yang beragam pada setiap hektarnya. Keragaman ini disebabkan ketika SBHE belum di take over jarak tanam yang digunakan tinggi dan beragam sehingga kerapatan yang dihasilkan rendah dan beragam. SBHE melakukan rehabilitasi dengan cara melakukan konsolidasi tanaman (tanam sisip) untuk lahan yang masih belum ditanami pada areal rendahan dengan menggunakan standar kerapatan tanaman 136 pohon/ha.

Pengelompokan yang dilakukan terhadap SPH yang memberikan hasil terbaik adalah kelompok SPH < 135. Hasil analisis ini telah cukup membuktikan dengan penerapan kelompok SPH ini telah memberikan pengaruh yang terbaik untuk produksi TBS dengan syarat pemeliharaan tanaman dilakukan secara teratur dan kontinyu seperti pada pemeliharaan sebelumnya.

Keuntungan yang diperoleh jika dilihat dari segi ekonomisnya terkait dengan kelompok SPH <135 dan kelompok SPH 135-143 memberikan pengaruh yang sama terhadap produksi TBS, maka perusahaan dapat menerapkan sistem penanaman kelapa sawit menggunakan SPH <135. Hal ini berhubungan dengan efisiensi biaya yang akan dikeluarkan pada SPH <135 yang lebih rendah dibandingkan dengan SPH 135-143.

Kondisi lahan

Kondisi lahan dapat dijadikan sebagai faktor pembatas apabila dalam penggunaan untuk pertanaman menjadi salah satu kendala untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang sedang dibudidayakan. Pencapaian produktivitas yang tinggi dapat tercapai apabila disertai dengan penerapan kultur teknis sesuai dengan kaedah yang telah ditentukan.

SBHE terdiri atas daratan dengan kemiringan 0-8o dan rendahan berupa areal berawa. Produktivitas TBS di SBHE sangat dipengaruhi oleh kedua tipe kondisi lahan ini.

81

Hasil analisis pada faktor kondisi lahan yang memberikan pengaruh terbaik terhadap produksi TBS kelapa sawit adalah kelompok daratan dibandingkan kelompok rendahan. Hal ini terlihat dari nilai signifikan dan nilai tengah yang dihasilkan. Kelompok daratan memiliki nilai tengah yang lebih besar dibandingkan kelompok rendahan yaitu sebesar 3.03 juta ton, sedangkan nilai tengah untuk kelompok rendahan sebesar 0.68 juta ton (Tabel 24). Nilai signifikan yang diperoleh sebesar 0.00 membuktikan bahwa produksi TBS sangat dipengaruhi oleh kondisi lahan.

Tabel 24. Pengaruh Faktor Kondisi Lahan terhadap Produksi TBS di SBHE Variabel Perbandingan Kondisi

lahan

Nilai Tengah (juta ton)

Daratan rendahan t-hitung Pr > |t|

daratan dengan rendahan 3.03 0.68 14.91** 0.00

Keterangan : ** = berbeda nyata pada taraf uji 1 %

SBHE memiliki luasan daratan sebesar 78.85% dan luasan rendahan mencapai 21.15%. Data yang diperoleh memperlihatkan akibat dari kondisi lahan berupa areal rendahan, rata-rata persentase kehilangan hasil di SBHE adalah mencapai 17.95% dari total produksi TBS yang diperoleh. Angka kehilangan hasil dapat disebabkan kondisi tanaman kelapa sawit tergenang oleh air sehingga menyebabkan kondisi perakaran menjadi anaerob. Kondisi ini sangat menghambat akar tanaman dalam menyerap oksigen dan unsur hara di dalam tanah. Hasil analisis pada faktor kondisi lahan menunjukkan jika kebun ingin meningkatkan produksi TBS, sebaiknya faktor kondisi lahan lebih diperhatikan terkait dengan angka kehilangan hasil yang diperoleh sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan produksi TBS.

Kondisi tanah di daerah rendahan pada umunya bersifat asam. Menurut Yulianti (2007) keasaman tanah ditentukan oleh kadar atau kepekatan ion hidrogen di dalam tanah tersebut. Kepekatan ion hidrogen di dalam tanah yang terlalu tinggi menyebabkan tanah akan bereaksi asam dan begitu pula sebaliknya. Kepekatan ion hidrogen terlalu rendah menyebabkan tanah akan bereaksi basa. Tanah yang terlalu asam menyebabkan akar tanaman sulit dalam menyerap unsur hara tertentu dan dapat berakibat pada unsur hara yang dibutuhkan tanaman akan tersedia sebagai unsur yang toksik.

82 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 2008 2009 2010 To n /h a Tahun Lowland Dataran

Pengamatan terhadap kondisi tanaman kelapa sawit pada daerah rendahan memperlihatkan penampakan fisik tanaman umumnya kerdil bahkan mati serta buah yang dihasilkan umumnya berlumut dan busuk. Akibat dari adanya areal rendahan dapat menghambat pemanen yakni terkait dengan kondisi areal yang berawa, akses pasar pikul yang susah ditembus dan titi panen yang belum tersedia. Kondisi ini ditambah dengan SBHE yang dikelilingi oleh sungai-sungai sehingga rentan akan terjadinya banjir saat musim hujan. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kehilangan produksi TBS di SBHE.

Pengaruh faktor kondisi lahan terhadap produktivitas TBS di SBHE dari tahun 2008 hingga tahun 2010 terus mengalami peningkatan (Gambar 7).

Gambar 7. Pengaruh Kondisi Lahan terhadap Produktivitas TBS di SBHE 2008-2010

Peningkatan produksi TBS ini tercapai akibat telah dilakukannya upaya- upaya perbaikan kondisi areal rendahan oleh pihak kebun. Pada dasarnya di daerah rendahan ini memiliki potensi untuk dapat menghasilkan TBS yang lebih tinggi dibandingkan areal daratan. Hal ini disebabkan areal rendahan tersebut berperan sebagai tempat penampungan sisa-sisa pupuk akibat proses pencucian yang terbawa oleh air hujan yang berasal dari areal pertanaman dengan kondisi lahan yang lebih tinggi. Tanaman kelapa sawit pada areal rendahan ini akan selalu tersedia oleh unsur hara dan air. Pengelolaan areal rendahan dengan membuat saluran drainase dengan baik dapat mencegah tanaman tergenang air yang berpengaruh kepada produkstivitas yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan areal daratan.

Pemanfaatan pengelolaan daerah rendahan mencakup pekerjaan pembuatan sistem tata saluran untuk menurunkan muka air di lahan (water

83

management). Water management merupakan konsep pengelolaan air dengan cara mengeluarkan kelebihan air dan menahan air untuk pertumbuhan tanaman budidaya dengan cara: 1) membuat parit-parit, baik dipinggir blok maupun didalam blok dengan ukuran parit yang berbeda-beda, 2) pembuatan tapak timbun, 3) pemberian air irigasi, 4) reklamasi atau perbaikan kualitas tanah, dan 5) pengendalian banjir.

Dokumen terkait