• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.17 Pengukuran Indeks Loyalitas Konsumen

Loyalitas dapat diukur berdasarkan (Ahmad Mardalis, 2005: 34) : 1) Urutan pilihan (choice sequence)

Metode urutan pilihan atau disebut juga pola pembelian ulang ini banyak dipakai dalam penelitian dengan menggunakan panel-panel agenda harian pelanggan lainnya, dan lebih terkini lagi, data scanner supermarket.

2) Proporsi pembelian (proportion of purchase)

Berbeda dengan runtutan pilihan, cara ini menguji proporsi pembelian total dalam sebuah kelompok produk tertentu. Data yang dianalisis berasal dari panel pelanggan.

3) Preferensi (preference)

Cara ini mengukur loyalitas dengan menggunakan komitmen psikologis atau pernyataan preferensi.Dalam hal ini, loyalitas dianggap sebagai “sikap yang

positif” terhadap suatu produk tertentu, sering digambarkan dalam istilah niat untuk membeli.

4) Komitmen (commitment)

Komitmen lebih terfokus pada komponen emosional atau perasaan. Komitmen terjadi dari keterkaitan pembelian yang merupakan akibat dari keterlibatan ego dengan kategori merek . Keterlibatan ego tersebut terjadi ketika sebuah produk sangat berkaitan dengan nilai-nilai penting, keperluan, dan konsep diri pelanggan.

Ada tiga metode analisis pelanggan yaitu RFS (Recency, Frecuency, Spending), LTV (Life Time Value), dan NPS (Net Promoter Score).

1. RFS (Recency, Frecuency, Spending)

Kartajaya (2007: 60) menjelaskan keyakinan yang mendasari perlunya RFS untuk tiap-tiap pelanggan adalah karena semakin terkini pelanggan membeli produk, semakin sering pelanggan membeli produk, dan semakin banyak pelanggan membeli produk, maka mereka cendrung lebih responsif terhadap kampanye pemasaran dan lebih mudah dibangkitkan pembeliannya kembali dengan program loyalitas pelanggan.

Langkah pertama dari pengelompokan RFS adalah mengurutkan pelanggan menurut keterkiniannya, frekuensi , dan jumlah pembeliannya. Kemudian kita bisa membandingkan pelanggan mana yang baru membeli, berapa kali membeli dan berapa jumlah yang dibelinya.

2. LTV (Life Time Value)

Kartajaya (2007: 74) menjelaskan analisis pelanggan dengan menggunakan RFS mempunyai kelemahan, yakni tidak memperhitungkan biaya servis. RFS hanya memberikan informasi tentang potensi pendapatan yang akan diraih perusahaan jika bisa mendorong pelanggan untuk berbelanja lebih banyak dan lebih sering.

Dalam konsep LTV pelanggan digolongkan berdasarkan daya tarik finansialnya (profit margin) dan kemungkinan menjalin hubungan dengan perusahaan (relationship).

Semakin besar profit margin yang disumbangkan pelanggan terhadap perusahaan dan semakin dekat hubungan yang telah terjalin antara pelanggan dengan perusahaan, maka semakin tinggi pula nilai pelanggan bagi perusahaan.

Pelanngan digolongkan dalam empat tipe, yakni pelanggan bintang (Stars cutomers), pelanggan tanda tanya (question mark cutomers), pelanggan pencetak laba (profit making customers), dan pelanggan pencabut laba (profit taking customers).

Konsep LTV menutupi kelemahan LFS. Tapi LTV juga mempunyai kelemahan, yakni tidak efektif jika diaplikasikan pada perusahaan yang memiliki jumlah pelanggan ribuan. Olehkarena itu, analisis pelanggan dengan LTV hanya cocok digunakan pada perusahaan yang bergerak di industri B2B.

3. Net Promoter Score

Metode analisis pelanggan seperti RSS dan LTV juga memerupakan metode yang bagus, namun form kuesioner yang diberikan kadang mengganggu. Berisi begitu banyak pertanyaan yang diulang-ulang. Pelanggan pun jadi tidak nyaman. Feedback yang mereka berikan akhirnya jadi bias, tidak benar-benar merepresentasikan kepuasan mereka terhadap layanan perusahaan.

Maka Fred Reichheld mengembangkan sebuah metode efektif untuk mengukur dan mengontrol tingkat kepuasan pelanggan. Namanya adalah NPS (Net Promoter Score). Formatnya masih dalam bentuk kuesioner. Namun lebih rapi, terstruktur, dan dapat dihitung.

Di dalam NPS, tipe-tipe pelanggan dapat dibedakan menjadi:

a. Promoter: pelanggan yang antusias terhadap produk suatu perusahaan dan akan

terus membeli. Mereka dengan senang hati akan mereferensikan produk suatu perusahaan kepada sahabat-sahabatnya.

b. Passive: pelanggan yang puas dengan produk suatu perusahaan namun tidak

antusias dan bisa jadi sewaktu-waktu akan pindah ke produk lain jika menemukan deal yang lebih menarik.

c. Detractor: pelanggan yang memiliki pengalaman kurang baik terhadap produk

suatu perusahaan dan bila ada kesempatan akan menyebarkan berita negatif tentang produk tersebut (negative word of mouth).

Untuk mengetahui pelanggan apakah berada pada tipe Promoter, Passive atau Detractor, metode Net Promoter Score hanya menggunakan satu pertanyaan,

yaitu: “Seberapa besar kemungkinan Anda merekomendasikan produk kami kepada teman atau kolega Anda?”

Respon pelanggan kemudian diukur dengan skala 0-10. Promoter berada pada skala 9-10 . Passive: 7-8. Sedangkan Detractor: 0-6. Kemudian pertanyaan tersebut boleh diikuti dengan pertanyaan yang bertujuan untuk penyelidikan, seperti: “Apa alasan Anda memberikan score tersebut?” atau “Perbaikan apa yang perlu kami lakukan agar dapat mendekati nilai 10?” Survey ini dapat dilakukan secara berkala atau based on transaction. Setelah angkanya berhasil dikumpulkan, maka NPS dapat dihitung dengan rumus:

Persentase Promoter dikurangi dengan persentase Detractor adalah nilai NPS. Dalam hal ini Passive tidak dimasukkan dalam hitungan. Karena pelanggan Passive adalah pelanggan yang masih berpotensi menjadi Promoter atau Detractor. Dari nilai NPS di atas dapat diketahui berapa prosentase kepuasan pelanggan. Jika nilai NPS mencapai 100%, artinya semua pelanggan adalah Promoter. Apple (Hardware Komputer) punya 72%, Google (mesin pencarian) 53%, Amazon (situs belanja online) 70%. *berdasarkan survey Satmetrix 2011

Dalam penelitian Net Promoter Score (NPS) Top Brand Indonesia, majalah SWA membagia NPS menjadi empat kategori yaitu NPS Star, NPS Leader, NPS Excellent, Dan NPS Good. NPS Star merupakan merek dengan nilai

NPS terbaik dari semua kategori, NPS Leader merupakan merek dengan nilai NPS tertinggi di masing masing kategori, NPS Excellent merupakan merek dengan NPS minimal positif 10% di masing-masing kategori, dan NPS Good merupakan merek dengan nilai NPS dibawah 10% dan masih positif di masing- masing kategori.

Banyak perusahaan yang telah mengembangkan metode yang berbeda- beda untuk pengukuran sikap dan perilaku pelanggan. Tapi masih memiliki banyak kekurangan, semua hanya mencoba mengumpulkan data untuk meningkatkan produk dan proses.

Reichheild telah menyempurnakan metode pengukuran sikap dan perilaku pelanggan, yaitu metode Net Promoter Score. Net Promoter Score (NPS) merupakan metode yang sangat bermanfaat dan praktis. Ada beberapa keunggulan NPS :

1. Sederhana: Metode Net Promoter Score hanya membutuhkan dua atau tiga

pertanyaan supaya tidak menyulitkan pelanggan atau responden untuk menjawab. NPS memiliki pertanyaan kunci yaitu “kemungkinan untuk merekomendasikan” yang diberi skala nol sampai sepuluh. NPS tidak memiliki indeks kompleks atau koefisien korelasi, NPS bisa dilakukan setiap bulan maupun setiap minggu.

2. Kemudahan Penggunaan: Suatu perusahaan bisa bisa melakukan survei NPS

melalui telepon, e-mail, maupun web. Data tersebut bisa diolah dengan cepat, sehingga setiap kalangan yang membutuhkan bisa melihat data tersebut dengan cepat dan mengevaluasinya.

3. Cepat Tindak Lanjut: NPS dapat diolah dengan cepat, sehingga manajer akan bisa lebih cepat mengidentifikasi pelanggan dan cepat menanggapi masalah yang terjadi. Manajer garis depan dan para petinggi perusahaan bisa menggunakan data NPS untuk membuat keputusan tentang perubahan proses, produk baru, dan inovasi lainnya.

4. Kemampuan Beradaptasi: Sebagai metode open source, NPS tidak

membutuhkan biaya yang tinggi dan statistik yang rumit. NPS dapat dengan mudah diaplikasikan pada berbagai jenis bisnis. Apple menggunakan NPS pada toko-toko ritel, American Express menggunakan NPS dalam pelilaian servis, dan Logitech menggunakan NPS untuk menilai apa yang diinginkan pelanggan pada setiap produk Logitech.

Gambar 2.5 Net Promoter Score

(Kartajaya; 2007: 136-137) dalam terminologi Reichheld istilah Net Promoter Score.Net Promoter Score adalah jumlah netto pelanggan yang mau membeli dan merekomendasikan produk (Promoter) dikurangi pelanggan yang kurang mau membeli dan merekomendasikan produk (Detractor). Sedangkan

ditengah dua golongan pelanggan itu, ada golongan pelanggan pasif yang “setengah-setengah” membeli dan merekomendasikan produk, disebut Passive.

Berdasarkan penelitian Reichheld, perusahaan yang mempunyai kinerja terbaik umumnya adalah perusahaan yang mempunyai Net Promoter Score positif. Artinya, jumlah pelanggan yang mau membeli dan memberikan rekomendasi lebih banyak daripada jumlah pelanggan yang tidak mau membeli dan “menjelek-jelekan” perusahaan.

Konsep ini baik sekali dijadikan platform untuk mengukur tingkat efektivitas program loyalitas pelanggan yang dijalankan perusahaan. Program loyalitas harus mampu mendorong rekomendasi, bukan hanya meningkatkan frekuensi dan volume pembelian.

Metode Net Promoter Score sebelumnya pernah digunakan oleh perusahaan SAP AG. Perusahaan SAP AG (FWB: SAP NYSE: SAP) adalah perusahaan asal Jerman yang bergerak dalam bidang. Perusahaan ini adalah perusahaan perangkat lunak terbesar di Eropa. SAP didirikan pada tahun 1972 dengan nama Systemanalise und Programmentwicklung oleh 5 mantan karyawan IBM di Mannheim, Jerman. Kantor pusatnya di Walldorf, Jerman.

Disini metode Net Promoter Score digunakan untuk melihat seberapa besar persentase Promoter dan pengaruh Promoter terhadap perusahaan. Berikut ini adalah dua temuan signifikan yang ia peroleh:

1. Kesuksesan berbagai bisnis SAP nyatanya memang dihasilkan oleh NPS. Sesuai dengan riset Reichheld, NPS yang lebih tinggi menghasilkan pertumbuhan pendapatan yang lebih tinggi pula.

2. Program referensi tidak memanfaatkan para Promoter. Bahkan, dari mereka yang terlibat hanya sedikit yang benar-benar antusias mengikuti program referensi.

Temuan ini mengindikasikan bahwa jika ia melibatkan para Promoter ke dalam program referensi, maka akan menghasilkan dampak yang substansial ke dalam kinerja perusahaan. 2.5 tahun setelah program tersebut benar-benar dijalankan, berikut ini adalah:

1. Jumlah pelanggan berdasarkan referensi berkembang dari 1,700 menjadi 6,000 selama 2.5 tahun, didukung oleh peningkatan investasi perusahaan pada program referensi pelanggan.

2. Sebelumnya, hanya kurang dari 20% Promoter yang bergabung dalam program referensi. Namun, kini lebih dari 90% Promoter ikut program tersebut. 3. SAP memanfaatkan berbagai metode untuk meningkatkan referensi, termasuk referral pribadi, wawancara dengan media, studi kasus, success stories hingga event-event.

4. Dulu, pentingnya referensi dalam menutup kesepakatan adalah netral. Namun, kini referensi menjadi salah satu keunggulan kompetitif tertinggi SAP. Referensi ternyata kini juga bermanfaat dalam menutup kesepakatan serta menjadikan perusahaan unggul dalam persaingan.

Dokumen terkait