TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemiskinan
2.1.2 Pengukuran Kemiskinan
Uni eropa umumnya mendefinisikan penduduk miskin sebagai mereka yang mempunyai pendapatan perkapita dibawah 50% dari rata-rata pendapatan.
Ketika rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan juga relatif meningkat.
Dua ukuran kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia adalah :
a. Dengan pengeluaran US$ 1 per kapita per hari dimana perkiraan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut.
b. Dengan pengeluaran US$ 2 per kapita per hari dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. Dollar yang digunakan adalah US$ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut.
Masyarakat miskin adalah masyarakat yang pengeluarannya atau pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan (Haughton dan Shahidur, 2012).
Garis Kemiskinan (GK) merupakan Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dijumlahkan dengan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang rata-rata pengeluaran perkapitanya per bulan berada di bawah garis kemiskinan
dikategorikan sebagai penduduk miskin (BPS, 2016). GKM yaitu nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan seseorang yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori per kapita per hari. Sedangkan GKNM yaitu kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Ragnar Nurkse (1953) dalam Mudrajat Kuncoro (1997) membagi kemesikinan menjadi beberapa ukuran, yaitu:
a. Kemiskinan Absolut
Kemiskinan yang diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan seseorang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya. Individu atau kelompok yang termasuk dalam ukuran kemiskinan absolut ini memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya seperti makanan, pakaian, serta tempat tinggal.
b. Kemiskinan Relatif
Individu atau kelompok yang termasuk dalam ukuran kemiskinan relatif apabila kebutuhan dasarnya telah terpenuhi, namun masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya. Berdasarkan ukuran ini, garis kemiskinan akan mengalami perubahan apabila tingkat hidup masyarakat berubah, sehingga pengukuran kemiskinan relatif bersifat dinamis atau akan selalu ada.
c. Kemiskinan Kultural
Seseorang termasuk golongan miskin kultural apabila sikap orang atau sekelompok masyarakat tersebut tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya atau
dengan kata lain seseorang tersebut miskin karena sikapnya sendiri yaitu pemalas dan tidak mau memperbaiki kondisinya.
Menurut BPS (2006) terdapat 14 kriteria keluarga miskin yaitu (1) luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang, (2) jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan, (3) jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rimbia/kayu berkualitas rendah/dinding tembok tidak diplester, (4) tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain, (5) sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik, (6) sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/ sungai/air hujan, (7) kayu bakar/arang/minyak tanah sebagai bahan bakar memasak sehari-hari, (8) hanya mengonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam 1 minggu, (9) hanya membeli satu setel pakaian baru dalam setahun, (10) hanya sanggup makan satu kali/ dua kali dalam 1 hari, (11) tidak sanggup membayar pengobatan di puskesmas/poliklinik, (12) sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lain dengan pendapatan di bawah Rp600.000 per bulan, (13) pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya tamat SD, dan (14) tidak memiliki tabungan/barang mudah dijual dengan nilai Rp500.000 seperti sepeda motor, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka rumah tangga itu dikategorikan miskin.
Sedangkan menurut World Bank (2013) dalam mengkaji permasalahan kemiskinan di Indonesia, sedikitnya terdapat 9 dimensi kemiskinan yang perlu dipertimbangkan yaitu (1) ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar (pangan,
sandang, dan perumahan), (2) aksesibilitas yang rendah terhadap kebutuhan dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi yang baik, air bersih, dan transportasi), (3) lemahnya kemampuan untuk melakukan akumulasi kapital, (4) rentan terhadap faktor guncangan eksternal yang bersifat individual maupun massal, (5) rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM) dan rendahnya pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam (SDA) untuk kesejahteraan, (6) ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, (7) terbatasnya akses terhadap kesempatan kerja secara berkelanjutan, (8) ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun cacat mental, dan (9) ketidakmampuan secara sosial.
Indikator kemiskinan ada bermacam-macam yakni: konsumsi beras per kapita per tahun, tingkat pendapatan, tingkat kecukupan gizi, kebutuhan fisik minimum (KFM), dan tingkat kesejahteraan (Lincolin Arsyad,2004) .
1) Tingkat Konsumsi Beras .
Sajogyo(1997) menggunakan tingkat konsumsi beras per kapita sebagai indikator kemiskinan. Untuk daerah perdesaan, penduduk dengan konsumsi beras kurang dari 240 kg per kapita per tahun bias digolongkan miskin. Sedangkan untuk daerah perkotaan adalah 360 kg per kapita per tahun.
2) Tingkat Pendapatan.
Menurut BPS di daerah perkotaan pendapatan yang dibutuhkan untuk melepaskan diri dari kategori miskin adalah Rp.356.378,00 per kapita/bulan pada tahun 2015, sedang pada tahun 2019 adalah Rp.458.380,00. Di daerah perdesaan pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan
perkotaan yakni sekitar Rp 333.034,00 pada tahun 2015 dan Rp 418.515,00 pada tahun 2019. Hal ini dapat dipahami karena dinamika kehidupan yang berbeda antara keduanya. Penduduk di daerah perkotaan mempunyai kebutuhan relatif sangat beragam dibandingkan dengan daerah perdesaan sehingga mempengaruhi pula pola pengeluaran
3) Indikator Kesejahteraan Rakyat
Selain data pendapatan dan pengeluaran, ada berbagai komponen tingkat kesejahteraan yag lain yang sering digunakan. Pada publikasi UN (1961) yang berjudul International Definitin and Measuremen of Levels of Living: An Interim Guide disarankan 9 komponen kesejahteraan yaitu kesehatan, konsumsi makanan dan gizi, pendidikan, kesempatan kerja, perumahan, jaminan sosial, rekreasi dan kebebasan.
Indikator kemiskinan yang digunakan oleh Bappenas (Harniati, 2010) adalah :
Keterbatasan pangan, merupakan ukuran yang melihat kecukupan pangan
dan mutu pangan yang dikonsumsi. Ukuran indikator ini adalah stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin, dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu.
Keterbatasan akses kesehatan, merupakan ukuran yang melihat
keterbataan akses kesehatan dan rendahnya mutu layanan kesehatan.
Keterbatasan akses kesehatan dilihat dari kesulitan mendapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya layanan reproduksi, jauhnya jarak fasilitas layanan kesehatan, mahalnya biaya pengobatan dan perawatan. Kelompok miskin umumnya cenderung memanfaatkan pelayanan di puskesmas dibandingkan dengan rumah sakit.
Keterbatasan akses pendidikan. Indikator ini diukur dari mutu pendidikan
yang tersedia, mahalnya biaya pendidikan, terbatasnya fasilitas pendidikan, rendahnya kesempatan memperoleh pendidikan.
Keterbatasan akses pada pekerjaan. Indikator ini diukur dari terbatasnya
kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap asset usaha, perbedaan upah, lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan.
Keterbatasan akses terhadap layanan perumahan dan sanitasi. Indikator
yang digunakan adalah kesulitan memiliki rumah yang sehat dan layak huni, dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak.
Keterbatasan akses terhadap air bersih. Indikator yang digunakan adalah
sulitnya mendapatkan air bersih, terbatasnya penguasaan sumber air, dan rendahnya mutu sumber air.
Keterbatasan akses terhadap tanah. Indikator yang digunakan adalah
struktur kepemilikan dan penguasaan tanah dan ketidakpastian kepemilikan.
Keterbatasan akses terhadap sumber daya alam. Indikator yang digunakan
adalah buruknya kondisi lingkungan hidup, rendahnya sumber daya alam.
Indikator ini sangat terkait dengan penghasilan yang bersumber dari sumber daya alam, seperti daerah perdesaan, daerah pesisir, dan daerah pertambangan.
Tidak adanya jaminan rasa aman, indikator ini berkaitan dengan tidak terjaminnya keamanan dalam menjalani kehidupan baik sosial maupun ekonomi.
Keterbatasan akses untuk partisipasi. Indikator ini diukur melalui rendahnya keterlibatan dalam pengambilan kebijakan.
Besarnya beban kependudukan, indikator ini berkaitan dengan besarnya tanggungan keluarga, dan besarnya tekanan hidup.
Kondisi kemiskinan yang dialami sekelompok masyarakat berbeda beda atau bersifat heterogen, oleh karena itu perlu dilakukan tingkatan untuk dapat mengetahui kondisi terparah dari kemiskinan. Tingkatan dari kondisi kemiskinan yang terdapat dalam masyarakat dapat dikelompokan dalam tiga tingkatan (Sahyuti, 2006 : 95), yaitu :
1) Kelompok yang paling miskin (destitute), merupakan kelompok yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan, tidak memiliki sumber pendapatan, dan tidak memiliki akses terhadap pelayanan sosial.
2) Kelompok miskin (poor), merupakan kelompok kemiskinan yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan, namun masih memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar.
3) Kelompok Rentan (vulnerable group) merupakan kelompok miskin yang memiliki kehidupan yang lebih baik, namun mereka rentan terhadap berbagai perubahan sosial disekitarnya.
Untuk menghitung tingkat kemiskinan yaitu sebagai berikut:
Dimana:
α = 0
z = garis kemiskinan.
Yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi < z
q = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
n = jumlah penduduk.
2.1.3 Teori Kemiskinan a. Paradigma Kemiskinan
Terdapat dua paradigma besar yang menyangkut pemahaman tentang kemiskinan dan penanggulangannya. Paradigma tersebut antara lain :
1) Paradigma neo-liberal
Pendekatan ini memberikan kebebasan individu sebagai komponen yang penting dalam suatu masyarakat. Pendekatan ini memberikan penjelasan bahwa kemiskinan merupakan persoalan individu yang merupakan akibat dari pilihan-pilihan individu. Bagi pendekatan ini kekuatan pasar merupakan kunci utama dalam menyelesaikan masalah kemiskinan. Hal ini dikarenakan dengan kekuatan pasar yang diperluas dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan dapat menghapuskan kemiskinan (Syahyuti, 2006). Bagi pendekatan ini strategi dalam menanggulangi kemiskinan bersifat sementara dan peran negara sangat minimum. Peran negara akan dilaksanakan bila institusi-institusi di masyarakat, seperti keluarga, kelompok-kelompok swadaya, maupun lembaga-lembaga lainnya tidak mampu lagi menangani kemiskinan.
2) Paradigma demokrasi-sosial
Dalam paradigma ini tidak melihat kemiskinan sebagai persoalan individu, tetapi lebih melihatnya sebagai persoalan struktural.
Ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi di masyarakatlah yang mengakibatkan kemiskinan ada dalam masyarakat. Pada pendekatan ini tertutupnya akses-akses untuk kelompok tertentu menjadi penyebab terjadinya kemiskinan. Pendekatan ini sangat mengkritik sistem pasar bebas, namun masih memandang sistem kapitalis sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi yang paling efektif sehingga tidak harus dihapuskan (Cheyne, O’Brien dan Belgrave, 1998).
Pendekatan ini menekankan pada kesetaraan masyarakat sebagai syarat penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan (Syahyuti, 2006). Kemandirian dan kebebasan tersebut akan dapat tercapai bila setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber bagi potensi dirinya, seperti pendidikan, kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan yang dimaksud bukan sekedar bebas dari pengaruh luar namun bebas pula dalam menentukan pilihan-pilihan. Disinilah peran negara diperlukan agar mampu memberikan jaminan bagi setiap individu, ikut berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan, dimana mereka dapat menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Peran negara di pendekatan ini cukup penting terutama dalam merumuskan strategi dalam menanggulangi kemiskinan. Bagi pendekatan ini kemiskinan tersebut harus ditangani secara institusional (melembaga), misalnya melalui program jaminan sosial.
b. Sustainable Development Goals (SDGs)
Tujuan utama SDGs adalah mengurangi kemiskinan dalam segala bentuk.
Tujuan tersebut dipaparkan dalam 2 poin. Pertama, diharapkan pada tahun 2030 mengurangi kemiskinan ekstrem untuk semua orang dimanapun, dengan standar pengukuran dibawah US$ 1,25 per hari. Standar ini tertuang pada UNDP (United Nation Development Program) dalam Sustainable Development Goals (SDGs) 2015 yang menetapkan kemiskinan absolut jika penghasilan seseorang di bawah US$ 1,25 per hari. Kedua adalah, pada tahun 2030, diharapkan dapat mengurangi paling tidak setengah dari proporsi pria, wanita dan anak- anak untuk semua umur, yang hidup dalam kemiskinan untuk semua dimensi sesuai dengan definisi nasional.