• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUKURAN KUANTITAS DAN KUALITAS AIR

Grafik Curah Hujan Stasiun Sawangan

PENGUKURAN KUANTITAS DAN KUALITAS AIR

Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Akatirta, PDAM, dan DLH pada bulan Juli 2018 hingga Maret 2019 debit mata air Citrosono berkisar antara 144,2 – 180,36 liter/detik. Jika dibandingkan dengan debit/ kapasitas mata air sesuai yang tertulis pada SIPA yaitu sebesar 250 L/dt, maka debit mata air Citrosono cenderung menurun dalam 24 tahun terakhir, yakni dari 250 liter/detik di tahun 1994 menjadi 144,2 – 180,36 liter/detik di tahun 2018 – 2019, atau terjadi penurunan 3 – 4,5 liter/detik/tahun.

Beberapa tanda telah terjadinya penurunan debit pada mata air Citrosono adalah bekas genangan pada dinding bangunan penangkap mata air Citrosono. Tanda bekas genangan tersebut merupakan garis yang ditinggalkan oleh muka air kolam pada dinding kolam sebagai akibat proses genangan yang dengan periode waktu yang lama, dimana saat ini kondisi muka air kolam tersebut tidak kembali ke posisi ketinggian bekas genangan tersebut berada (Gambar 18).

Artinya bahwa beberapa waktu lalu, debit air sangat besar dengan muka air kolam sesuai garis genangan.

Karena terjadi penurunan debit mata air Citrosono, maka muka air kolam tersebut menurun/surut menjadi posisi di bawah garis genangan, dan muka air kolam tersebut tidak kembali ke posisi semula.

Tabel 22. Hasil Rekapitulasi Pengukuran Kuantitas Mata Air Citrosono dan di zona tengah dan hulu dari kawasan imbuhan Mata Air Citrosono (Juli 2018 - Maret 2019)

Pengukuran

Gambar 18. Kondisi level air di bangunan penangkap Mata Air Citrosono bulan Februari dan bulan April 2019

Sumber : Foto IUWASHPLUS, 2019

Dari hasil pengukuran yang dibandingkan dengan PP 82/2001 dan Permenkes 492/2010, ada 2 (dua) parameter yang tidak sesuai dengan baku mutu. Parameter yang tidak memenuhi baku mutu adalah konsentrasi oksigen terlarut (DO) dan kandungan nitrit. Konsentrasi oksigen terlarut di lokasi mata

Bulan April

Bulan Feb

Bulan Feb

Garis bekas genangan

air berkisar antara 1,21 – 5,05 mg/L (kurang dari 6 mg/L). Kandungan nitrit di mata air Citrosono berkisar antara 0,15 – 1,06.

Oksigen terlarut (dissolved oxygen, disingkat DO) atau sering juga disebut dengan kebutuhan oksigen (Oxygen demand) merupakan salah satu parameter penting dalam analisis kualitas air. Nilai DO yang biasanya diukur dalam bentuk konsentrasi ini menunjukan jumlah oksigen (O2) yang tersedia dalam suatu badan air. Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Jika kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat degradasi anaerobik yang mungkin saja terjadi.

Tingginya kandungan nitrit di dalam air merupakan indikasi adanya pencemaran antropogenik. Nitrit merupakan produk intermediate dari ammonia menjadi parameter nitrat (NH3-NO2-NO3).

Keberadaan ammonia yang pada akhirnya terkonversi menjadi nitrit dan nitrat pada umumnya berasal dari pencemaran antropogenik, yaitu pencemaran akibat aktivitas manusia dan tinja hewan. Kandungan nitrat-nitrit juga mudah ditemui di daerah dimana lahan pertanian dan perkebunannya menggunakan pupuk nitrat untuk menyuburkan tanah. Keberadaan nitrit yang tinggi dapat memicu efek toxic pada tubuh manusia dewasa karena terganggunya proses pengikatan oksigen oleh darah. Stunting (kondisi gagal tumbuh pada manusia) juga merupakan masalah kesehatan yang dipicu oleh keberadaan senyawa nitrit dan nitrat di dalam air.

Sumber potensi pencemaran yang teridentifikasi di sekitar wilayah imbuhan mata air adalah adanya lahan pertanian sawah, perkebunan yang luas, dan pemukiman. Pemberian pupuk dan pestisida untuk sawah dan perkebunan, membuat terjadinya kontaminasi senyawa pupuk dan pestisida tersebut kedalam air tanah. Pengelolaan limbah domestic rumah tangga yang belum sepenuhnya benar, misalkan hanya memiliki cubluk serta pembuangan limbah rumah tangga baik cair atau padat sembarangan merupakan sumber potensi yang sangat besar bagi kualitas mata air.

GEOLOGI

Litologi penyusun di kawasan imbuhan berupa material hasil letusan gunungapi (volcanic product).

Batuannya berupa breksi gunungapi (Qb), endapan G. Merbabu, berupa breksi gunungapi dan lava (Qme), batuan gunung api Telomoyo, berupa lava andesit hornblenda-hipersten-augit. (Qte), batuan gunungapi Andong dan Kendi, berupa breksi andesit hornblenda-augit (Qak) dan Formasi Gunungapi Gilipetung, berupa aliran lava berongga, kelabu, padat, sampai berbutir halus dengan fenokris (Qg).

Gambar 19. Peta Geologi di kawasan imbuhan Mata Air Citrosono

Sumber : Peta Geologi Tatalingkungan Lembar Magelang dan Semarang, Wahib, 1993

Tabel 23. Keterangan Peta Geologi Tatalingkungan di kawasan imbuhan Mata Air Citrosono Satuan

Geologi Lingkungan

Morfolo

gi Litologi Sifat fisik batuan Air

tanah Bahaya geologi

GL 6 Kaki kompak dan keras, kelulusan tinggi, penggalian agak sukar, daya dukung tinggi. Tanah residu lunak, plastisitas penggalian agak sukar dan daya dukung tinggi. Tanah residu lunak, plastisitas kompak dan sangat keras, penggalian sukar dan daya dukung sangat tinggi. Tanah residu lunak, plastisitas sedang-tinggi, kelulusan rendah dan ketebalan < 2 m

langka Kerentanan gerakantanah tinggi

GL 12 Plato

penggalian sukar dan daya dukung tinggi. Tanah residu lunak, plastisitas sedang-tinggi, kelulusan rendah - sedang, dan ketebalan > 4 m

kedalaman

PENGGUNAAN LAHAN

Berdasarkan data RTRW Kabupaten Magelang, penggunaan lahan di kawasan imbuhan mata air Citrosono didominasi oleh kebun yaitu seluas ± 1574,01 Hektar dan sawah tadah hujan ± 1321,04 Hektar (Tabel 24).

Tabel 24. Penggunaan Lahan di kawasan imbuhan mata air Citrosono

Kelompok Tata Guna Lahan Luas (Ha) % Luas

Hutan 23,954 0,58

Kebun 1574,013 37,93

Sawah Tadah Hujan 1321,042 31,83

Tegalan 326,86 7,88

Padang Rumput 368,24 8,87

Belukar / Semak 114,231 2,75

Pemukiman 421,265 10,15

Gedung 0,091 0,002

Berdasarkan pengamatan dilapangan, kondisi daerah imbuhan didominasi oleh kondisi lahan yang sangat terbuka, dengan artian bahwa seluruh lahan tanpa memiliki cukup lindungan dari kanopi tanaman.

Sebagai akibatnya, pada saat musim hujan berlangsung maka butir-butiran air hujan dengan kecepatan yang sangat tinggi akan secara langsung jatuh dan membentur permukaan tanah (top soil) sehingga akan merusak struktur dan tesktur lapisan tanah pucuk/top soil. Selanjutnya dengan kondisi tekstur dan tekstur tanah yang rusak tersebut, butiran tanah tersebut akan terbawa oleh aliran air larian (run off) sehingga seluruh material tanah pucuk tersebut, terutama bagian atas yang kaya unsur hara, akan tergerus dan tersapu serta mengalir bersama dengan aliran air larian tersebut menuju ke derah yang lebih rendah. Hilangnya lapisan tanah pucuk/top soil tadi akan mempengaruhi dan mengganggu siklus air alami (siklus hidrologi), sehingga secara kuantitas dan kualitas akan mempengaruhi kondisi air tanah di wilayah imbuhan tersebut. Pada saat hujan berlangsung akan terbentuknya aliran air larian (run off) yang besar dengan kecepatan besar, sehingga air tersebut tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk dapat meresap kedalam tanah dan menjadi air tanah.

Pada akhirnya, kondisi ini akan menciptakan ketidakseimbangan antara air yang masuk kedalam tanah di wilayah imbuhan dengan air yang keluar di kawasan lepasan (mata air), sehingga terjadi gangguan neraca air tanah yang ditandai dengan terjadinya penurunan mata air Citrosono yang semakin hari semakin mengecil debitnya.

Terjadinya gangguan kesetimbangan neraca air tanah di kawasan imbuhan mata air Citrosono, dapat menyebabkan beberapa mata air yang berada di wilayah imbuhan akan mengalami penurunan debit, bahkan dapat mengakibatkan mata air kering (mati)

Gambar 20. Kondisi penggunaan lahan di kawasan imbuhan mata air Citrosono

Sumber : IUWASHPLUS, 2019

Gambar 21. Peta Penggunaan Lahan di kawasan imbuhan mata air Citrosono

Sumber : IUWASHPLUS, 2019

KELERENGAN

Topografi di kawasan imbuhan Mata Air Citrosono cukup variatif dari dataran hingga beberapa perbukitan yang cukup terjal. Lereng di kawasan imbuhan didominasi oleh kelerengan curam dan sangat curam (Tabel 25)

Tabel 25. Kelerengan di kawasan imbuhan mata air Citrosono

Klasifikasi Lereng Kelas Luas (Ha) % Luas

< 8 % Datar 132,959 3,20

8 – 15 % Landai 611,238 14,73

15 -25 % Bergelombang 1030,784 24,84

25 – 40 % Curam 1057,757 25,49

> 40 % Sangat Curam 1316,958 31,74

Kawasan imbuhan mata air Citrosono, dengan kondisi lahan yang sudah terbuka dan memiliki lereng yang pada umumnya curam sampai sangat curam, maka daya gerus dan daya alir air larian tersebut memiliki tambahan daya sehingga dampaknya kecepatan hilangnya tanah pucuk akan semakin cepat.

Hilangnya lapisan tanah pucuk/top soil tadi akan mempengaruhi dan mengganggu siklus air alami (siklus hidrologi/hidrogeologi), sehingga secara kuantitas dan kualitas akan mempengaruhi kondisi air tanah di wilayah imbuhan tersebut.

Gambar 22. Kondisi kelerengan di kawasan imbuhan mata air Citrosono

Peta Kelerengan di kawasan imbuhan mata air Citrosono

Gambar 23. Peta Kelerengan di kawasan imbuhan mata air Citrosono

Sumber : IUWASHPLUS, 2019

PERMEABILITAS

Permeabilitas diturunkan dari informasi jenis tanah di kawasan imbuhan mata air. Berdasarkan hasil analisis data yang ada, jenis tanah di kawasan imbuhan mata air Citrosono didominasi oleh Latosol, dimana jenis tanah tersebut memiliki permeabilitasnya agak lambat.

Tabel 26. Jenis Tanah di kawasan imbuhan mata air Citrosono

Jenis Tanah Kelas Permeabilitas Luas (Ha) % Luas Association Brown Andosol and Red-brown Latosol Agak lambat 1264,386 30,47

Brown Latosol Agak lambat 2112,282 50,90

Reddish-brown Latosol Agak lambat 773,028 18,63

Gambar 24. Jenis Tanah di kawasan imbuhan mata air Citrosono

Sumber : IUWASHPLUS, 2019

Gambar 25. Peta Jenis Tanah di kawasan imbuhan mata air Citrosono

Sumber : IUWASHPLUS, 2019

Dokumen terkait