• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN KERENTANAN MATA AIR CITROSONO, KABUPATEN MAGELANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KAJIAN KERENTANAN MATA AIR CITROSONO, KABUPATEN MAGELANG"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KERENTANAN MATA AIR

CITROSONO, KABUPATEN MAGELANG

PROVINSI JAWA TENGAH

DESEMBER 2019

USAID INDONESIA URBAN WATER, SANITATION AND HYGIENE PENYEHATAN LINGKUNGAN UNTUK SEMUA (IUWASH PLUS)

ADI RAHMAN/USAID IUWASH PLUS

(2)

Cover Page Photo: Kondisi lingkungan disekitar Mata Air Citrosono Photo by Adi Rahman

(3)

KAJIAN KERENTANAN MATA AIR

CITROSONO, KABUPATEN MAGELANG

PROVINSI JAWA TENGAH

DESEMBER 2019

Dokumen ini dibuat atas dukungan rakyat Amerika melalui United Stated Agency for International Development (USAID) dengan dukungan dan kerja sama Pemerintah Indonesia. Isi dari dokumen ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab DAI Global LLC dan tidak selalu mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjackan kehadiran Allah Subhanahu Wa Ta'ala, Tuhan Yang Maha Esa yang celah memberikan kekuacan sehingga dokumen Kajian Kerentanan Mata Air (KKMA) Citrosono Kabupaten Magelang dapat diselesaikan. Setelah melalui proses panjang yang melibatkan Tim RPAM/KKMA yang tergabung dalam Tim POKJA AMPL Kabupaten Magelang dan USAID IUWASH PLUS, menghasilkan dokumen Kajian Kerentanan Mata Air (KKMA) Citrosono Kabupaten Magelang Tahun 2019 - 2024.

Dokumen KKMA Citrosono ini merupakan program kajian mata air yang dilaksanakan atas kerja sama Pemerintah Kabupaten Magelang bersama USAID IUWASH PLUS. Kegiatan KKMA merupakan suatu proses analisis dan penilaian yang komprehensif dengan maksud untuk mengetahui dan memahami semua potensi, ancaman serta permasalahan yang terjadi pada mata air (aspek debit dan kualitas), di dalam daerah imbuhan mata air (catchment area). Dengan mengetahui dan memahami semua permasalahan tersebut maka diharapkan dapat membuat berbagai rencana kegiatan pengelolaan (konservasi) yang efektif dan efisien sehingga mata air Citrosono dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan.

Mempertahankan keberlangsungan mata air Citrosono sudah menjadi komitmen bersama bagi pemerintah Kabupaten Magelang, agar mata air ini dapat lestari bagi generasi sekarang dan mendatang.

Untuk itu dokumen KKMA Citrosono ini diharapkan mampu menjadi sumber informasi teknis dan acuan bersama bagi seluruh pemangku kepentingan Kabupaten Magelang. Keberhasilan pelaksanaan Rencana Aksi Citrosono diperlukan adanya komitmen dan kerja sama semua pihak. Dokumen KKMA Citrosono harus menjadi pijakan bagi seluruh pihak dalam menjalankan kebijakan.

Akhirnya kami berharap agar dokumen KKMA Citrosono ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Bupati Magelang

Zaenal Arifin, S.IP

(5)

IKHTISAR

Kajian Kerentanan Mata Air (KKMA) Citrosono Kabupaten Magelang

Program USAID Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan Untuk Semua (IUWASH PLUS) adalah program berdurasi lima tahun yang dirancang untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan akses air minum dan layanan sanitasi serta perbaikan perilaku higiene bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan di perkotaan. USAID IUWASH PLUS bekerja sama dengan instansi pemerintah, pihak swasta, LSM, kelompok masyarakat, dan mitra lainnya untuk mencapai hasil utama. Dalam kerangka tujuan Pemerintah Indonesia untuk menyediakan akses universal terhadap layanan WASH, dan pengelolaan sumber air dengan kuantitas dan kualitas air sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP 82-2001), IUWASH PLUS melakukan Kajian Kerentanan Mata Air dan Rencana Aksi (KKMA-RA) yang menjadi sumber air baku bagi PDAM

Kegiatan kajian ini merupakan tahapan ke-dua dari 7 (tujuh) tahapan kegiatan Kajian Kerentanan Mata Air dan Rencana Aksi (KKMA-RA). Tahapan KKMA-RA tersebut yaitu: : (1). Penentuan Lokasi dan Komitmen Pemda; (2). Kajian Kerentanan Mata Air (KKMA) ; (3). Analysis Matriks Rencana Aksi; (4).

Mendapat dukungan kepala daerah; (5). Pembuatan dokumen KKMA-RA (Kajian Kerentanan Mata Air- Rencana Aksi); (6). Integrasi KKMA-RA kedalam program pembangunan Pemda/PDAM dan (7).

Pelaksanaan dan monitoring KKMA-RA.

Kajian Kerentanan Mata Air (KKMA) merupakan suatu proses analisis dan penilaian yang komprehensif dengan maksud untuk mengetahui dan memahami semua potensi, ancaman serta permasalahan yang terjadi pada mata air (aspek debit dan kualitas). Dengan mengetahui dan memahami semua permasalahan tersebut maka diharapkan dapat membuat berbagai rencana kegiatan pengelolaan (konservasi/adaptasi) yang efektif dan efisien sehingga mata air dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan.

Kajian ini dilakukan untuk memberikan gambaran kerentanan terhadap penurunan kualitas dan kuantitas mata air. Kerentanan yang dianalisis adalah kerentanan fisik daerah imbuhan mata air sebagai objek kajian. Untuk menganalisis kondisi kerentanan kuantitas dan kualitas mata air, dilakukan analisis tumpangsusun peta dari indikator-indikator penyusun parameter kerentanan kualitas dan kuantitas.

Hasil analisis kajian ini adalah peta kerentanan kuantitas mata air dan peta kerentanan kualitas mata air yang kelasnya terbagi menjadi lima kelas, yaitu kelas sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi.

Parameter atau variabel yang digunakan dalam analisis kerentanan pada kajian ini adalah variable penggunaan lahan, kemiringan lereng, permeabilitas dan curah hujan. Masing-masing variabel dikelaskan dan diberi skor sesuai pengaruhnya terhadap tingkat kerentanan kuantitas dan kerentanan kualitas mata air, sehingga tiap variabel tersebut memiliki nilai dan bobot sesuai dengan pengaruhnya terhadap kerentanan kerentanan kuantitas dan kerentanan kualitas mata air.

Berdasarkan data dan hasil analisis geospasial, di daerah imbuhan mataair Citrosono terjadi trend penurunan curah hujan dan penurunan fungsi resapan air hujan. Hal ini berdampak pada penurunan muka air tanah dan debit mata air Citrosono. Dari hasil pengukuran selama 9 bulan, debit mata air Citrosono cenderung menurun, dari 250 liter/detik di tahun 1994 menjadi 144,2 – 180,36 liter/detik di tahun 2018 – 2019, atau terjadi penuruan 3 – 4,5 liter/tahun.

(6)

Berdasarkan hasil analisis geospasial, sebahagian besar daerah imbuhan mempunyai tingkat kerentanan kuantitas dengan klasifikasi Tinggi (42.13%). Diperkirakan hanya 13 – 25% dari seluruh potensi air hujan yang turun (11.693,84 m3/tahun) di kawasan imbuhan mata air Citrosono dapat terinfiltrasi untuk menjadi cadangan airtanah.

Tingkat kerentanan terhadap kualitas yang paling luas di kawasan imbuhan adalah klasifikasi Kerentanan Tinggi, dengan luas 1.442,46 Ha (34,76%). Dengan tingkat kepadatan penduduk 1,68 jiwa/km2, maka diperkirakan akan ada sekitar 339.782 liter/hari atau 10.193.444 liter/bulan potensi air kotor yang dapat masuk ke dalam tanah dan dapat mencemari air tanah.

Di daerah imbuhan mata air Citrosono perlu dilakukan konservasi mata air, sehingga kuantitas dan kualitas mata air dapat terjaga kelestariaannya serta berkesinambungan, baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang.

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

IKHTISAR KAJIAN KERENTANAN MATA AIR (KKMA) CITROSONO KABUPATEN MAGELANG... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. LATAR BELAKANG ... 1

1.2. MAKSUD DAN TUJUAN ... 2

1.3. RUANG LINGKUP KEGIATAN DAN SASARAN ... 2

1.4. TAHAPAN KEGIATAN ... 3

II. METODOLOGI DAN PENDEKATAN ANALISIS KERENTANAN ... 5

2.1. PENGERTIAN MATA AIR ... 5

2.2. DAERAH IMBUHAN MATA AIR ... 5

2.3. PENJELASAN UMUM KERENTANAN ... 7

2.4. KERENTANAN TERHADAP KUANTITAS ... 7

2.5. KERENTANAN TERHADAP KUALITAS ... 8

2.6. METODE ANALISIS GEOSPASIAL ... 9

2.7. PARAMETER ANALISIS KERENTANAN ... 10

III. KONDISI UMUM KABUPATEN MAGELANG ... 14

3.1. GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI KABUPATEN MAGELANG ... 14

3.2. TOPOGRAFI DAN MORFOLOGI ... 15

3.3. JENIS TANAH ... 16

3.4. GEOLOGI ... 18

3.5. IKLIM ... 19

3.6. HIDROLOGI ... 22

3.7. HIDROGEOLOGI... 22

3.8. PENGGUNAAN LAHAN ... 24

3.9. PENDUDUK ... 25

3.10. KONDISI PELAYANAN AIR MINUM ... 27

3.11. PDAM TIRTA GEMILANG KABUPATEN MAGELANG ... 29

3.12. DAERAH RAWAN BENCANA ... 32

IV. PROFIL MATA AIR DAN KONDISI KAWASAN IMBUHAN MATA AIR CITROSONO ... 34

4.1. PROFIL MATA AIR CITROSONO ... 34

4.2. GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI DAERAH IMBUHAN MATA AIR CITROSONO .. 35

4.3. PENGUKURAN KUANTITAS DAN KUALITAS AIR ... 37

(8)

4.4. GEOLOGI ... 38

4.5. PENGGUNAAN LAHAN ... 40

4.6. KELERENGAN... 41

4.7. PERMEABILITAS ... 42

4.8. CURAH HUJAN ... 43

V. ANALISIS KERENTANAN MATA AIR DAN KAWASAN IMBUHAN MATA AIR CITROSONO ... 45

5.1. ANALISIS KERENTANAN KUANTITAS MATA AIR CITROSONO ... 45

5.2. ANALISIS KERENTANAN KUALITAS MATA AIR CITROSONO ... 47

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 51

6.1. KESIMPULAN ... 51

6.2. REKOMENDASI ... 51

VII. RENCANA AKSI DAN IMPLEMENTASI ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 54

LAMPIRAN ... 55

LAMPIRAN : RENCANA AKSI KERENTANAN KUANTITAS ... 56

LAMPIRAN : RENCANA AKSI KERENTANAN KUALITAS... 60

LAMPIRAN ... 62

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ciri umum daerah imbuhan dan lepasan ... 6

Tabel 2: Nilai Bobot Parameter Kerentanan Kuantitas dan Kualitas Mata Air ... 10

Tabel 3. Pemberian Skor (Skoring) Penggunaan Lahan ... 10

Tabel 4. Pemberian Skor (Skoring) Kemiringan Lereng ... 11

Tabel 5. Pemberian Skor (Skoring) Jenis Tanah ... 11

Tabel 6. Pemberian Skor (Skoring) Curah Hujan ... 12

Tabel 7. Kelerengan Lahan di Kabupaten Magelang ... 15

Tabel 8. Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan di Kabupaten Magelang ... 19

Tabel 9. Data Hujan stasiun K101-Muntilan Kabupaten Magelang ... 20

Tabel 10. Data Hujan stasiun K99-Sawangan Kabupaten Magelang ... 20

Tabel 11. Jumlah Mata Air Berdasarkan Klasifikasi Debit ... 23

Tabel 12. Jumlah Mata Air Terukur Tahun 2019 Berdasarkan Wilayah Kecamatan ... 24

Tabel 13. Penggunaan Lahan di Kabupaten Magelang Tahun 2014 – 2018 ... 24

Tabel 14. Jumlah Penduduk di Kabupaten Magelang Tahun 2014 – 2018 ... 25

Tabel 15. Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kabupaten Magelang Tahun 2014 – 2018 ... 26

Tabel 16. Kepadatan Penduduk di Kabupaten Magelang per Kecamatan Tahun 2014 – 2018 ... 26

Tabel 17. Cakupan Pelayanan Air Minum Berdasarkan Kecamatan di Kabupaten Magelang Tahun 2018 ... 28

Tabel 18. Cakupan Pelayanan Air Minum Berdasarkan Klasifikasi Perkotaan dan Perdesaan di Kabupaten Magelang Tahun 2018... 28

Tabel 19. Cakupan Pelayanan PDAM Tirta Gemilang di Kabupaten Magelang ... 29

Tabel 20. Sumber/ Mata Air PDAM Kabupaten Magelang ... 30

Tabel 21. Proyeksi Kebutuhan air dan Cakupan Pelayanan Tahun 2018 – 2023 ... 32

Tabel 22. Hasil Rekapitulasi Pengukuran Kuantitas Mata Air Citrosono dan di zona tengah dan hulu dari kawasan imbuhan Mata Air Citrosono (Juli 2018 - Maret 2019) ... 37

Tabel 23. Keterangan Peta Geologi Tatalingkungan di kawasan imbuhan Mata Air Citrosono ... 39

Tabel 24. Penggunaan Lahan di kawasan imbuhan mata air Citrosono ... 40

Tabel 25. Kelerengan di kawasan imbuhan mata air Citrosono ... 41

Tabel 26. Jenis Tanah di kawasan imbuhan mata air Citrosono ... 42

Tabel 27. Klasifikasi Kerentanan berdasarkan Luas Imbuhan Mataair Citrosono, Potensi Runoff. dan Potensi Infiltrasi ... 45

Tabel 28. Kawasan dengan klasifikasi Kerentanan Sangat Tinggi dan KerentananTinggi ... 47

Tabel 29. Luas kawasan imbuhan berdasarkan klasifikasi Kerentanan Kualitas ... 48

Tabel 30. Kawasan dengan klasifikasi Kerentanan Sangat Tinggi dan KerentananTinggi ... 49

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram Alir Kajian Kerentanan Mata Air Citrosono Kabupaten Magelang ... 4

Gambar 2. Analisis Geo-Spasial Kerentanan mataair ... 9

Gambar 3. Analisis Klasifikasi Kerentanan ... 12

Gambar 4. Peta Administrasi Kabupaten Magelang ... 14

Gambar 5. Peta Kelerengan Lahan di Kabupaten Magelang ... 15

Gambar 6. Peta Geologi Kabupaten Magelang ... 19

Gambar 7. Grafik dan trend Curah Hujan Stasiun Sawangan ... 21

Gambar 8. Peta Indeks Evaporasi ... 21

Gambar 9. Peta Hidrogeologi CAT Magelang - Temanggung ... 23

Gambar 10. Peta Wilayah Pelayanan PDAM Tirta Gemilang Kabupaten Magelang ... 30

Gambar 11. Peta Sebaran Sumber Air Baku PDAM Kab. Magelang ... 31

Gambar 12. Peta Rawan Bencana di Kabupaten Magelang ... 33

Gambar 13. Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah di Kabupaten Magelang ... 33

Gambar 14. Bangunan penangkap Mata Air Citrosono ... 34

Gambar 15. Peta Wilayah Pelayanan Sub Unit Secang ... 35

Gambar 16. Peta Kawasan Imbuhan Mata Air Citrosono Kabupaten Magelang ... 36

Gambar 17. Kondisi lingkungan dan bangunan penangkap mata air Citrosono ... 36

Gambar 18. Kondisi level air di bangunan penangkap Mata Air Citrosono bulan Februari dan bulan April 2019 ... 37

Gambar 19. Peta Geologi di kawasan imbuhan Mata Air Citrosono ... 39

Gambar 20. Kondisi penggunaan lahan di kawasan imbuhan mata air Citrosono ... 41

Gambar 21. Peta Penggunaan Lahan di kawasan imbuhan mata air Citrosono ... 41

Gambar 22. Kondisi kelerengan di kawasan imbuhan mata air Citrosono ... 42

Gambar 23. Peta Kelerengan di kawasan imbuhan mata air Citrosono ... 42

Gambar 24. Jenis Tanah di kawasan imbuhan mata air Citrosono ... 43

Gambar 25. Peta Jenis Tanah di kawasan imbuhan mata air Citrosono ... 43

Gambar 26. Peta Curah Hujan di kawasan imbuhan Mata Air Citrosono ... 44

Gambar 27. Peta Kerentanan Kuantitas Kawasan Imbuhan Mata Air Citrosono ... 46

Gambar 28. Peta Kerentanan Kualitas Kawasan Imbuhan Mata Air Citrosono ... 48

(11)

I. PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Program USAID Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan Untuk Semua (IUWASH PLUS) adalah program berdurasi lima setengah tahun yang dirancang untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan akses air minum dan layanan sanitasi serta perbaikan perilaku higiene bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan di perkotaan. USAID IUWASH PLUS bekerja sama dengan instansi pemerintah, pihak swasta, LSM, kelompok masyarakat, dan mitra lainnya untuk mencapai hasil utama, yaitu:

1. Peningkatan sebanyak 1.100.000 juta penduduk perkotaan yang mendapatkan akses kualitas layanan air minum yang layak, di mana 500.000 di antaranya adalah penduduk dengan 40%

tingkat kesejahteraan terendah dari total populasi (juga disebut sebagai “Bottom 40%” atau

“B40”), kelompok rentan, atau provinsi-provinsi di wilayah timur Indonesia; dan

2. Peningkatan sebanyak 500.000 penduduk perkotaan yang mendapatkan layanan sanitasi aman.

Untuk memastikan peningkatan akses terhadap layanan WASH secara berkelanjutan, USAID IUWASH PLUS berpegang pada hipotesis pembangunan yang berfokus pada penguatan sistem pemberian layanan, agar dapat menjangkau segmen penduduk yang paling miskin dan rentan secara lebih efektif. Untuk mencapai hal tersebut, program ini melakukan sejumlah kegiatan melalui empat komponen yang saling terkait, yaitu: 1) meningkatkan layanan WASH rumah tangga; 2) memperkuat kinerja kelembagaan WASH di tingkat kota; 3) memperkuat lingkungan pembiayaan WASH; dan 4) memajukan advokasi, koordinasi dan komunikasi WASH nasional. Untuk mendukung komponen-komponen tersebut, USAID IUWASH PLUS juga menjalankan Komponen Keberlanjutan dan Inovasi Lokal (LSIC) yang dirancang untuk mendorong inovasi WASH yang dapat memperkuat masyarakat, sektor swasta, pemerintah, dan penyedia layanan WASH.

Untuk mencapai tujuan di atas, serta dalam kerangka tujuan Pemerintah Indonesia untuk menyediakan akses universal terhadap layanan WASH, dan pengelolaan sumber air dengan kuantitas dan kualitas air sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP 82-2001), IUWASH PLUS melakukan Kajian Kerentanan Mata Air (KKMA) dengan melakukan kajian dan analisis di daerah imbuhan mata air yang menjadi sumber air baku bagi PDAM

Kajian ini dilakukan untuk memberikan gambaran kerentanan kuantitas dan kualitas mata air yang berada pada daerah imbuhan mata air. Kerentanan yang dianalisis adalah kerentanan fisik di daerah imbuhan mata air sebagai objek kajian.

Mempertahankan keberlangsungan mata air Citrosono ini sudah menjadi komitmen bersama bagi pemerintah Kabupaten Magelang. Diharapkan, dengan dilaksanakannya kegiatan KKMA-RA ini akan dapat diketahui kondisi serta tingkat kerentanan kuantitas dan kualitas mata air Citrosono. Sehingga berdasarkan analisis KKMA tersebut dapat dikembangkan berbagai langkah kegiatan atau rencana aksi yang tepat dan efektif, sehingga mata air tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan.

Kelestarian dan kesinambungan pasokan air baku mata air Citrosono sangat penting untuk dijaga dan dilindungi, mengingat fungsi dan peranan mata air Citrosono sebagai sumber utama penyediaan dan pelayanan air bersih/ air minum bagi masyarakat Kabupaten Magelang.

Permasalahan Mata Air Citrosono

(12)

Mata air Citrosono atau Mata air Gedad dimanfaatkan oleh PDAM dengan dibangunnya bak penangkap air pada tahun 1994. Debit mata air Citrosono pada tahun 1994 sekitar 250 liter/detik. Dari hasil pengukuran yang dilakukan oleh Akatirta, PDAM, dan DLH selama 9 bulan, yang dimulai dari bulan Juli 2018 hingga Maret 2019, debit mata air berkisar antara 144,2 – 180,36 liter/detik. Jika dibandingkan dengan debit tahun 1994, maka debit mata air Citrosono telah mengalami penurunan sekitar 69,64 – 105,8 liter/detik atau telah terjadi penuruan 3 – 4,5 liter/tahun.

Selain penurunan debit, mata air Citrosono juga rentan terhadap bencana banjir. Pada bulan April tahun 2017 terjadi banjir bandang di desa Sambungrejo. Akibat dari banjir bandang tersebut, sekitar bangunan penangkap mata air PDAM tertutup oleh material berupa batuan, tanah serta pepohonan yang dibawa oleh aliran banjir bandang. Pada tahun 2018 terjadi banjir yang genangannya masuk ke dalam bak penangkap mata air, sehingga air di dalam bak penampung menjadi keruh. Aliran air dari bak penampung sempat terdistribusikan ke palanggan PDAM. Akibatnya PDAM mendapat komplain dari pelanggan dan PDAM harus menghentikan pelayanan kepada pelanggannya untuk membersihkan bangunan penangkap mata air dan jaringan pipa. Jumlah Pelanggan yang dilayani dari sistem mata air Citrosono adalah sebanyak 10.357 SR. Wilayah Pelayanan adalah Kecamatan Secang, sebagian wilayah Kabupaten Temanggung, Perum Puskopad, Yon Armed dan sebagian wilayah Kota Magelang di perbatasan Kecamatan Secang.

MAKSUD DAN TUJUAN

Kegiatan Kajian Kerentanan Mata Air (KKMA) merupakan suatu proses analisis dan penilaian yang komprehensif terhadap semua aktifitas di dalam daerah imbuhan (catchment area) mata air Citrosono, dengan maksud untuk mengetahui dan memahami semua potensi, ancaman yang berkaitan dengan debit dan kualitas pada mata air dan di kawasan imbuhannya. Dengan mengetahui dan memahami semua permasalahan tersebut maka diharapkan dapat menyusun berbagai rencana kegiatan pengelolaan (konservasi) yang efektif dan efisien sehingga mata air Citrosono dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkesinambungan.

Selanjutnya, hasil kajian dan analisis kegiatan KKMA akan menghasilkan berbagai kesimpulan dan rekomendasi kegiatan upaya perlindungan dan konservasi sumberdaya air tanah/ mata air dari mata air tersebut. Berdasarkan rekomendasi tersebut maka diharapkan Pemerintah Kabupaten Magelang dapat melakukan kerjasama dan berbagi tugas dan peranan secara sinergis, simultan dan saling menguntungkan sehingga kelestarian sumberdaya air tanah dan mata air tersebut dapat lestari dan diandalkan sebagai sumberdaya air baku yang handal.

RUANG LINGKUP KEGIATAN DAN SASARAN Ruang lingkup kajian ini meliputi:

1. Mata air yang termasuk dalam dokumen ini adalah mata air Citrosono.

2. Wilayah analisis terbatas pada daerah imbuhan (catchment area) mata air Citrosono.

3. Data-data yang digunakan untuk analisis bersumber pada data sekunder yang diperoleh PDAM, SKPD/ OPD terkait serta data primer berupa pengukuran debit dan kualitas mata air Citrosono, 4. Kerentanan yang dianalisis adalah kerentanan fisik di daerah imbuhan mata air sebagai objek kajian.

Untuk menganalisis kondisi kerentanan kuantitas dan kualitas mata air, dilakukan analisis tumpangsusun peta dari indikator-indikator penyusun parameter kerentanan kualitas dan kuantitas.

(13)

Mekanisme proses pembuatan KKMA-RA ini melibatkan unsur SKPD/ OPD Kabupaten Magelang serta pemangku kepentingan lainnya yang memiliki perhatian terhadap kondisi mata air Citrosono dan sekitarnya. Untuk proses pembuatan dan penyusunan dokumen KKMA ini beberapa SKPD/ OPD yang terlibat antara lain : BAPPEDA dan LITBANGDA, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, BPPKAD, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, DPRKP, Badan Pusat Statistik, PDAM, Universitas Muhammadiyah Magelang. Untuk mewadahi dan menjadi landasan formal maka para pemangku kepetingan ini diikat dan formalisasi menjadi tim RPAM/KKMA Kabupaten Magelang yang dituangkan dalam KEPUTUSAN BUPATI MAGELANG NOMOR: 180.182/97/KEP/24/2017 TENTANG KELOMPOK KERJA AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN KABUPATEN MAGELANG TAHUN ANGGARAN 2017.

Proses pembuatan dan penyusunan dokumen KKMA ini sepenuhnya dilakukan oleh tim RPAM/KKMA yang dibentuk, dengan melibatkan tim AKATIRTA Magelang dan difasilitasi oleh tim IUWASH PLUS dalam proses teknis dan analisanya, sehingga diharapkan isi dokumen dan rekomendasinya dapat dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan serta masyarakat Kabupaten Magelang.

TAHAPAN KEGIATAN

Mengacu pada tujuan dan ruang lingkup kajian yang telah dipaparkan, maka tahapan pekerjaan yang dilakukan dapat dilihat pada bagan alur berikut (Gambar 1) yang meliputi:

1. Deliniasi Daerah Imbuhan

Deliniasi daerah imbuhan air (recharge area) perlu dilakukan untuk mengetahui secara pasti batasan wilayah yang harus dilindungi atau dikelola untuk mempertahankan kuantitas dan kualitas mata air serta menjaga keberlanjutan pemanfaatannya.

Penentuan batas-batas alami tersebut dapat mempermudah dan membantu menentukan metode dan jenis pelestarian dan pemulihan/ rehabilitasi yang hendak dilakukan secara cepat dan tepat. Pemilihan jenis kegiatan pelestarian dan pemulihan/ rehabilitasi yang cepat pada lokasi yang tepat, akan memaksimalkan hasil dan dampak dari usaha meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya mata air. Hasil dari tahapan ini adalah peta deliniasi daerah imbuhan mata air.

Pada kajian ini, penentuan daerah imbuhan mata air ditentukan melalui identifikasi topografi, keadaan pola pengaliran, dan keterdapatan mata air.

2. Pengumpulan data

Pengumpulan data yang dilakukan meliputi pengumpulan data sekunder dan data primer. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui pengumpulan data yang berasal dari instansi terkait, serta studi laporan terdahulu. Sedangkan pengumpulan data primer dilakukan melalui survey dan pengukuran lapangan.

Data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Data sekunder didapatkan dari instansi pemerintah, antara lain: Peta Rupa Bumi – BIG, Peta Geologi lembar Magelang dan Semarang skala 1:100.000 (Thaden RE dkk, 1996), Peta Geologi lembar Yogyakarta skala 1:100.000 (Rahardjo, dkk, 1995), Peta Hidrogeologi Indonesia dari Geologi Tata Lingkungan Bandung tahun 1996, data curah hujan, dan RTRW, sedangkan data primer berupa data debit dan kualitas air serta data-data spot groundcheck.

3. Pengolahan dan Analisis Kerentanan Mata Air

(14)

Penilaian kerentanan mata air dinilai terhadap kuantitas dan kualitas. Metode yang digunakan untuk melihat kerentanan secara kuantitas dengan melakukan pembobotan pada setiap parameter yang berkaitan dengan kelerengan, permeabilitas, curah hujan, dan tata guna lahan. Untuk menilai kerentanan kualitas metode yang digunakan adalah dengan melakukan pembobotan pada setiap parameter yang berkaitan dengan kelerengan, permeabilitas batuan, curah hujan, jenis kegiatan, dan sumber polutan.

4. Kesimpulan dan Rekomendasi

Gambar 1. Diagram Alir Kajian Kerentanan Mata Air Citrosono Kabupaten Magelang

(15)

II. METODOLOGI DAN PENDEKATAN ANALISIS KERENTANAN

PENGERTIAN MATA AIR

Air tanah adalah air yang terdapat di bawah permukaan tanah pada lapisan batuan yang jenuh air, yang disebut sebagai akuifer. Air tanah dapat muncul ke permukaan tanah dengan berbagai cara yang umumnya dikontrol oleh kondisi geologi setempat, dan pemunculan air tanah ini disebut sebagai mata air. Mata air dapat muncul di berbagai bentang alam, baik di dataran, perbukitan maupun pegunungan.

Menurut Hendrayana, 1994, mata air adalah tempat dimana air tanah merembes atau mengalir keluar ke permukaan tanah secara alamiah. Mata air adalah tempat pemunculan air tanah pada lapisan akuifer dari bawah permukaan tanah ke atas permukaan tanah secara alamiah.

Menurut Kresic dan Stevanovic, 2010, mata air (springs) adalah lokasi pemusatan keluarnya air tanah yang muncul di permukaan tanah, karena terpotongnya lintasan aliran air tanah oleh fenomena alam.

Beberapa pengertian lain dari beberapa ahli, antara lain menyebutkan, bahwa mata air adalah sebuah tempat di permukaan tanah dimana air tanah mengalir keluar dari akuifer dan menunjukkan adanya aliran air yang disebabkan oleh adanya perbedaan elevasi “hydraulic head” pada akuifer dengan elevasi

“hydraulic head” di permukaan tanah dimana air tanah muncul.

Mata air terjadinya haruslah secara alamiah, yaitu terjadi karena proses-proses geologi ataupun proses alam lainnya. Debit mata air kemungkinan berbeda di setiap wilayah. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor curah hujan, permeabilitas, topografi, sifat hidrologi lapisan pembawa air, geologi, dan tutupan lahannya.

DAERAH IMBUHAN MATA AIR

Daerah imbuhan mata air adalah suatu wilayah berlangsungnya proses pengimbuhan air tanah, yang kemudian mengalir dan muncul ke permukaan sebagai mata air, dengan demikian daerah imbuhan air tersebut merupakan daerah pengaruh terhadap mata air (Springsheds).

Menurut Hendrayana, 1994, daerah imbuhan mata air adalah daerah pengaruh terhadap mata air. Luas wilayah tangkapan air bagi mata air dikontrol oleh sistem aliran air tanah, kondisi geologi bawah permukaan dan tergantung pada proses geologi atau proses alam yang membentuk mata air (genesa mata air).

Dalam penentuan daerah imbuhan dan lepasan, dipengaruhi oleh beberapa parameter, yaitu morfologi (kelerengan), geologi (litologi, struktur geologi dll), hidrogeologi (kelulusan, keterusan dll), tutupan lahan, curah hujan, dan hidrologi (sistem aliran permukaan). Menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 31 Tahun 2018 Tentang Penetapan Zona Konservasi Air Tanah, penentuan daerah imbuhan dan lepasan dapat dilakukan dengan berbagai metode sebagai berikut:

Tekuk Lereng. Tekuk lereng merupakan batas antara morfologi dataran dengan perbukitan atau pegunungan. Daerah ini biasanya berada di kaki bukit atau kaki pegunungan. Berdasarkan tekuk lereng, daerah imbuhan berada di atas tekuk lereng, sedangkan daerah lepasan berada di bawah tekuk lereng.

Pola aliran sungai. Alur sungai dari daerah hulu ke hilir membentuk pola yang unik. Daerah imbuhan pada umumnya dicirikan dengan morfologi kawasan yang ditempati oleh beberapa anak

(16)

sungai yang relatif pendek. Pada peta topografi alur sungai memperlihatkan pola seperti rangka daun. Alur yang relatif lurus dan pendek saling bertemu membentuk cabang sungai utama, sehingga sungai di daerah imbuhan termasuk sungai orde ke tiga dan ke empat atau orde yang lebih rendah lagi. Pada daerah ini, air sungai menjadi pemasok air tanah, atau disebut influent stream.

Kemunculan mata air. Daerah lepasan air tanah dapat dikenali secara visual di lapangan dari kemunculan mata air. Mata air pada umumnya banyak terdapat di daerah kaki-kaki pegunungan atau tekuk lereng serta pada lereng bukit atau lereng pegunungan bagian bawah. Kawasan di sebelah bawah dari titik mata air merupakan daerah lepasan air tanah, sedangkan daerah yang berada di atasnya merupakan daerah imbuhan. Beberapa titik kemunculan mata air pada umumnya terletak pada ketinggian yang sama. Dari deretan titik kemunculan tersebut dapat ditarik garis yang memisahkan daerah imbuhan dan lepasan air tanah.

Kedalaman muka air tanah. Berdasarkan kedudukan muka air tanah dan aliran air tanahnya, maka daerah imbuhan mempunyai ciri dengan aliran air tanah pada lapisan jenuh air menjauhi muka air tanah. Di daerah imbuhan, aliran air tanah di dekat permukaan mengarah ke bawah. Hal ini dikarenakan, pada daerah imbuhan, tekanan hidraulik lapisan jenuh air di dekat muka air tanah lebih besar daripada tekanan hidraulik pada titik yang berada di bawahnya, sehingga mengakibatkan aliran air tanah menuju ke bawah.

Isotop alam. Isotop alam yang digunakan dalam penentuan daerah imbuhan adalah isotop stabil

2H (deuterium) dan 18O. Metode ini didasarkan atas adanya hubungan fungsi ketinggian topografi terhadap komposisi 2H dan 18O dalam air hujan. Komposisi 2H dan 18O dalam air tanah sesuai dengan harga rata-rata distribusi konsentrasi isotop air hujan yang meresap pada ketinggian tertentu melalui infiltrasi. Dalam perjalanan air tanah, komposisi 2H dan 18O relatif tetap dan tidak mengalami perubahan dari komposisi asalnya, air hujan.

Dalam penentuan daerah imbuhan pada kajian ini ditentukan melalui identifikasi topografi, keadaan pola pengaliran, dan keterdapatan mata air.

Tabel 1. Ciri umum daerah imbuhan dan lepasan

No Ciri Umum

Daerah Imbuhan Daerah Lepasan

1 Mempunyai arah umum aliran air tanah secara vertikal ke bawah.

Mempunyai arah umum aliran air tanah secara vertikal ke atas.

2 Air meresap ke dalam tanah sampai muka air tanah (mengisi akuifer).

Muka air tanah bergerak ke atas mengisi pori- pori tanah pada zona tidak jenuh air.

3 Kedudukan muka freatik relatif dalam. Kedudukan muka freatik relatif dangkal.

4 Kedudukan muka freatik lebih dalam dari muka pisometrik pada kondisi alamiah.

Kedudukan muka freatik lebih dangkal dari muka pisometrik pada kondisi alamiah.

5 Daerah singkapan batuan lolos air tidak jenuh air.

Daerah sebelah hilir pemunculan mata air permanen.

6 Daerah perbukitan atau pegunungan. Daerah dataran.

7 Kandungan kimia air tanah relatif rendah. Kandungan kimia air tanah relatif tinggi.

8 Umur air tanah relatif muda. Umur air tanah relatif tua.

(Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2007)

(17)

PENJELASAN UMUM KERENTANAN

Kerentanan adalah sebuah sifat alamiah dari suatu sistem air tanah yang bergantung pada kepekaan sistem tersebut terhadap dampak alamiah dan atau dampak manusia. Ada dua macam kerentanan air tanah yaitu kerentanan intrinsik (alamiah) yang merupakan fungsi dari faktor hidrogeologi seperti karakterisitik akuifer, jenis tanah yang berada di atas akuifer, dan jenis material geologinya. Kerentanan spesifik (gabungan) merupakan potensi aktivitas manusia yang berpengaruh terhadap potensi sumber air tanah dalam dimensi ruang dan waktu. Kerentanan Air Tanah dapat dengan mudah diinformasikan melalui media gambar yakni Peta Kerentanan Air Tanah (Vrba dan Zoporozec, 1994). Kerentanan sumber air tanah dapat pula berarti kemungkinan terhadap pencemar tertentu untuk mencapai muka air tanah di dalam waktu tertentu (Voigt, et al., 2004).

Konsep kerentanan air tanah mendasarkan pada asumsi bahwa kondisi fisik lingkungan memiliki tingkat perlindungan air tanah terhadap pencemaran (Vrba dan Vaporozec, 1994). Dalam hal ini, kerentanan yang dimaksud adalah sistem air tanah yang mampu melindungi air tanah dari pencemaran baik alami (intrinsic) maupun karena aktivitas manusia (spesific). Menurut Margat (1987; dalam Vrba dan Zaporozec, 1994), kerentanan air tanah dipengaruhi oleh faktor hidrogeologi. Interpretasi kondisi hidrogeologi dalam hal kerentanan bersifat kualitatif dan tidak memasukkan komponen perpindahan polutan dari permukaan tanah ke air tanah. Sedangkan menurut Johnston (1988, dalam Vrba dan Zaporozec, 1994), kerentanan suatu akuifer terhadap pencemaran dari sumber pencemaran dikontrol oleh sistem aliran air tanah, kerangka hidrogeologi, dan faktor iklim.

Konsep yang mendasar dari kerentanan air tanah adalah lebih besar atau tidaknya kemampuan batuan mencegah pencemaran air tanah di suatu lokasi. Zona tidak jenuh air di atas akuifer sangat berpengaruh terhadap pengurangan konsentrasi dari zat pencemar yang masuk kedalam akuifer. (Morris, et al., 2003) Dua aspek yang akan dikaji dalam KKMA ini meliputi aspek kuantitas dan aspek kualitas. Kerentanan kuantitas diartikan sebagai kerentanan terhadap menurunnya debit mata air yang didasari pada kondisi lingkungan daerah imbuhan dan curah hujan, dimana air hujan yang jatuh ke permukaan bumi sebagian akan menjadi limpasan air permukaan (run-off), sebagian akan meresap ke dalam tanah (infiltrasi) sebagai cadangan air tanah, serta sebagian lagi akan menguap ke udara sebagai uap air (evaporasi).

Sedangkan kerentanan kualitas air tanah diartikan sebagai kerentanan terhadap difusi pencemar dari permukaan tanah ke dalam muka air tanah. Pencemar dapat berasal dari limbah rumah tangga atau domestik, limbah perternakan, limbah industri, dan limbah pupuk atau pestisida.

KERENTANAN TERHADAP KUANTITAS

Jumlah air hujan yang mampu diresapkan oleh batuan/ tanah sangat tergantung pada curah hujan kondisi lingkungan daerah imbuhan, misalnya permeabilitas batuan, porositas batuan, kemiringan lereng, serta faktor aktifiktas manusia (penggunaan lahan). Perubahan fungsi lahan di daerah imbuhan, terutama dari hutan menjadi lahan budidaya atau menjadi lahan terbangun akan berdampak pada berkurangnya fungsi resapan air dan meningkatnya debit limpasan permukaan.

Kerentanan kuantitas diartikan sebagai kerentanan yang dapat menurunkan debit mata air. Kerentanan terhadap kuantitas mata air akan semakin tinggi karena kecilnya air hujan yang meresap ke dalam tanah akibat berkurangnya kemampuan lahan dalam menahan dan meresapkan air hujan di daerah imbuhan mata air menjadi cadangan air tanah yang akan mengalir menuju mata air.

(18)

KERENTANAN TERHADAP KUALITAS

Istilah kerentanan air tanah terhadap pencemaran (groundwater vulnerability to contamination) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1968 oleh Margat yang mendefinisikan kerentanan air tanah sebagai kemungkinan difusi dan perkolasi zat pencemar dari permukaan tanah ke dalam muka air tanah pada kondisi alamiah (Vias et al., 2006).

Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya; (PP NOMOR 82 TAHUN 2001) Kontaminan yang mempunyai potensi untuk mencemari airtanah berasal dari berbagai sumber. OTA (Office of Technology Assesment, USA), membagi sumber kontaminan menjadi 6 kategori (Notodarmojo, 2004 dalam Putranto, 2016), yaitu:

a. Sumber yang berasal dari tempat atau kegiatan yang dirancang untuk membuang dan mengalirkan zat atau substansi, contoh tangki septic, kakus dan sumur injeksi.

b. Sumber yang berasal dari tempat atau kegiatan yang dirancang untuk mengolah atau membuang (dispose) zat atau substansi, contoh landfill (TPA), tempat pembuangan limbah pertambangan, kolam penampungan (impoundment) dan tempat penyimpanan atau pembuangan limbah berbahaya dan material radioaktif.

c. Sumber yang berasal dari tempat atau kegiatan transportasi zat atau substansi, contoh saluran riol (sewer) atau saluran limbah danjaringan pipa gas atau minyak.

d. Sumber yang berasal dari konsekuensi suatu kegiatan yang terencana, contoh pemupukan dan penyemprotan pestisida serta kotoran dari peternakan.

e. Sumber yang berasal dari suatu kegiatan yang menyebabkan adanya jalan masuk bagi air terkontaminasi masuk dalam akuifer, contoh sumur bor untuk produksi atau eksplorasi minyak dan gas serta panasbumi dan ekskavasi atau pengerukan tanah dalam jumlah besar.

f. Sumber kontaminan yang bersifat alamiah atau terjadi secara alamiah, tetapi terjadinya pengaliran atau penyebarannya disebabkan oleh aktivitas manusia, contoh hujan asam yang disebabkan penggunaan bahan bakar minyak dan batubara.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pencemaran sumber air bersih, antara lain yaitu:

a. Jenis Sumber Pencemar. Karakteristik limbah rumah tangga berbeda dengan karakteristik limbah septic tank ataupun peternakan. Limbah jamban atau septic tank dan peternakan banyak mengandung bahan organik yang merupakan habitat bagi tumbuhnya mikroorganisme.

b. Jumlah Sumber Pencemar. Semakin banyak sumber pencemar, semakin besar pengaruhnya terhadap penurunan kualitas.

c. Jarak Sumber Pencemaran. Semakin jauh jarak sumber pencemaran dengan sumber air bersih, akan mempengaruhi tingkat pencemaran terhadap sumber air bersih.

d. Porositas dan Permeabilitas Tanah. Porositas dan permeabilitas tanah akan berpengaruh pada penyebaran bakteri Coliform, air merupakan alat transportasi bakteri dalam tanah. Makin besar porositas dan permeabilitas tanah, makin besar kemampuan untuk melewatkan air yang berarti jumlah bakteri yang dapat bergerak mengikuti aliran tanah semakin banyak (Kusnoputranto, 1997)

(19)

METODE ANALISIS GEOSPASIAL

Pendekatan analisis yang digunakan pada kajian ini adalah dengan pendekatan berbasis spasial, dimana kriteria dan parameter yang berkaitan kuantitas dan kualitas mata air disusun dalam bentuk spasial dengan bantuan sistem informasi geografis (SIG) untuk mendapatkan peta kerentanan kuantitas dan kualitas, dengan cara tumpangsusun (overlay) dan pembobotan pada setiap parameter. Parameter yang digunakan dalam analisis kerentanan mata air antara lain: tata guna lahan, kelerengan, jenis tanah (permeabilitas), dan curah hujan. Hasil analisis kajian ini adalah peta kerentanan kualitas mata air dan peta kerentanan kuantitas mata air yang kelasnya terbagi menjadi lima kelas, yaitu kelas sangat rendah, rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi.

Gambar 2. Analisis Geo-Spasial Kerentanan mataair

Sumber : IUWASHPLUS, 2019

Tahap-tahap penyusunan peta kerentanan adalah sebagai berikut:

a) Penentuan kriteria dan parameter

Kriteria dan parameter kerentanan diperoleh dari beberapa referensi, literatur/ kajian terdahulu, pendapat para ahli. Kriteria dan parameter yang digunakan dalam pendekatan spasial disajikan pada Tabel 2.

b) Pembobotan dan Skoring

Pemberian bobot dan skor pada kriteria dan parameter dalam menganalisis kerentanan mata air adalah dengan metode dilakukan berdasarkan studi literatur/ kajian terdahulu, pemahaman ahli atau expert judgement dan Analytical Hierarchy Process (AHP).

Analytical hierarchy process (AHP) berbasis sistem informasi geografis (SIG) mendapatkan popularitas tinggi karena kemampuannya untuk mengintegrasikan sejumlah besar data heterogen dan kemudahan dalam mendapatkan bobot alternatif yang sangat besar (kriteria), dan oleh karena itu, diterapkan dalam berbagai masalah pengambilan keputusan (Chen dkk, 2009). AHP adalah metode yang pertimbangan

(20)

faktor-faktor obyektif dan subyektif dalam alternatif peringkat, serta dapat membantu dalam proses pengambilan keputusan atau alternatif solusi dari masalah melalui model keputusan hirarkis (Eldrandaly, 2013). Metode pembobotan multi-atribut untuk pengambilan keputusan pada model ini menggunakan perbandingan berpasangan untuk membentuk matriks timbal balik yang mengubah data rasio kualitatif.

Eigenvalue digunakan untuk mengakses bobot akhir dari kriteria, sedangkan untuk mengukur tingkat konsistensi pengambilan keputusan diperkirakan melalui indeks konsistensi (Vahidnia dkk, 2009).

PARAMETER ANALISIS KERENTANAN

Pendekatan metode analisis kerentanan yang digunakan dalam menganalisis kerentanan kuantitas dan kualitas pada kajian ini adalah dengan analisis multi kriteria. Parameter atau variabel yang digunakan adalah penggunaan lahan, kemiringan lereng, permeabilitas dan curah hujan. Masing-masing variabel dikelaskan dan diberi skor sesuai pengaruhnya terhadap tingkat kerentanan kuantitas mata air, sehingga tiap variabel tersebut memiliki nilai dan bobot sesuai dengan pengaruhnya terhadap kerentanan kuantitas dan kerentanan kualitas mata air. Setiap variabel diberikan bobot 1-100 sesuai dengan tingkat signifikansinya terhadap kerentanan mata air. Masing-masing sub-variabel akan diberikan skor 1-5 berdasarkan tingkat pengaruhnya terhadap kerentanan mata air. Skor terendah (1) mengindikasikan pengaruh yang kecil terhadap tingkat kerentanan, dan skor tertinggi (5) mempunyai pengaruh paling besar terhadap tingkat kerentanan. Pembobotan keempat kriteria diatas tercantum pada Tabel 3.

Tabel 2: Nilai Bobot Parameter Kerentanan Kuantitas dan Kualitas Mata Air

No Parameter Bobot

1 Penggunaan Lahan 60

2 Kelerengan 20

3 Permeabilitas (K) 10

4 Curah Hujan 10

(a) Penggunaan Lahan

Faktor penggunaan lahan dapat mempengaruhi kemampuan lahan untuk meresapkan air. Ditinjau dari sisi kuantitas, kawasan dengan tutupan lahan berupa hutan lebih baik daripada permukiman untuk meresapkan air hujan untuk menjadi cadangan air tanah. Oleh sebab itu, didalam penilaian kerentanan kuantitas mataair, kawasan terbangun memiliki skor kerentanan tertinggi (skor 5). Sebaliknya, untuk lahan alami seperti hutan, diberikan skor terendah (skor 1), karena sangat minim kontribusinya dalam kerentanan air

Dari sisi kualitas, tata guna lahan mempengaruhi potensi pencemar yang dapat masuk ke air tanah. Di kawasan terbangun dinilai paling mempengaruhi kualitas mata air dan memiliki skor tertinggi (skor 5).

Sedangkan potensi pencemaran terendah ada di lahan alami, seperti hutan.

Tabel 3. Pemberian Skor (Skoring) Penggunaan Lahan Kelompok

Penggunaan Lahan Kelas Skor

Kuantitas Kuantitas

Hutan Sangat Rendah 1 1

Kebun Rendah 2 2

Badan Air Sedang 3 3

Ladang Tinggi 4 4

(21)

(b) Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng suatu kawasan akan menentukan kecepatan aliran air. Dari sisi kuantitas, daerah dengan kelerengan tinggi akan mengalirkan air lebih cepat ke kawasan yang lebih rendah sehingga laju air di permukaan tanah (run-off) tinggi dan proses penyerapan air akan sangat sedikit. Oleh sebab itu, kelerengan tinggi memiliki skor yang besar (skor 5), sedangkan pada lahan datar memiliki skor yang kecil (skor 1) karena lebih baik meresapakan air ke dalam tanah.

Apabila ditinjau dari sisi kualitas, semakin curam lahan suatu kawasan, akan semakin sulit bahan pencemar masuk ke dalam tanah sehingga potensi kerentanan kualitasnya lebih rendah (skor 1).

Sedangkan pada lahan datar, semakin tinggi potensi air dan pencemarnya masuk ke dalam tanah sehingga potensi kerentanan kualitasnya lebih tinggi (skor 5).

Tabel 4. Pemberian Skor (Skoring) Kemiringan Lereng

Klasifikasi Lereng Kelas Lereng Skor

Kuantitas Kuantitas

< 8 % Datar 1 5

8 – 15 % Landai 2 4

15 -25 % Bergelombang 3 3

25 – 40 % Curam 4 2

(c) Permeabilitas

Permeabilitas merupakan kemampuan batuan atau tanah untuk melewatkan atau meloloskan air.

Permeabilitas tanah menunjukkan kemampuan tanah dalam meloloskan air. Struktur dan tekstur serta unsur organik lainnya ikut ambil bagian dalam menaikkan laju permeabilitas tanah. Tanah dengan permeabilitas tinggi menaikkan laju infiltrasi dan dengan demikian akan menurunkan laju air larian Material penyusun di daerah kajian umumnya berupa material lepas hasil letusan gunung api, yang belum begitu padu. Analisis permeabilitas dalam kajian ini didasarkan pada jenis-jenis tanah. Jenis-jenis tanah tersebut dikelompokkan ke dalam 5 kelompok umum, yaitu aluvial, latosol, andosol, litosol, dan regosol.

Dari aspek kuantitas, semakin tinggi permeabilitas tanah, semakin besar kemampuan tanah melewatkan air, sehingga semakin banyak air yang masuk sebagai air tanah dan potensi terhadap kerentanan air tanahnya rendah (skor 1). Sedangkan dari sisi kualitas, semakin besar permeabilitas tanah, semakin banyak jumlah pencemar yang dapat bergerak mengikuti aliran tanah dan menurunkan kualitas air tanah (skor 5).

Tabel 5. Pemberian Skor (Skoring) Jenis Tanah

Material Tanah Kelas Permeabilitas Skor

Kuantitas Kuantitas

Alluvial lambat 5 1

Latosol Agak lambat 4 2

Andosol sedang 3 3

Litosol Agak cepat 2 4

(22)

(d) Curah Hujan

Hujan merupakan sumber air utama dalam siklus hidrologi. Dari sisi kuantitas, tingkat curah hujan berperan penting dalam proses infiltrasi air ke dalam tanah. Semakin tinggi curah dan durasi hujan, semakin besar jumlah air yang dapat meresap ke dalam tanah sehingga berpengaruh baik terhadap cadangan air tanah (skor 1). Sebaliknya, curah hujan yang semakin sedikit akan sedikit jumlah air yang meresap ke dalam tanah sehingga skor kerentanan terhadap kuantitas sangat tinggi (skor 5).

Dari sisi kualitas, air hujan yang meresap ke lapisan tanah akan mempengaruhi pergerakan polutan di dalam tanah. Semakin tinggi curah hujan, semakin tinggi potensi volume peresapan air hujan, dan semakin luas penyebaran pencemarannya (skor 5), begitu pula sebaliknya. Semakin tinggi dan lama curah hujan, maka semakin besar skornya karena semakin tinggi dan lama curah hujan akan semakin besar air yang dapat meresap ke dalam tanah.

Tabel 6. Pemberian Skor (Skoring) Curah Hujan Curah Hujan

Tahunan Kelas Curah Hujan Skor

Kuantitas Kuantitas

0 – 1750 Sangat Rendah 5 1

1750 – 2250 Rendah 4 2

2250 – 2750 Sedang 3 3

2750 – 3250 Tinggi 2 4

Setelah semua data yang dibutuhkan terkumpul dan tervalidasi, maka semua data dan informasi dalam bentuk numerik tersebut diolah menjadi data spatial dalam bentuk peta. Dari beberapa kriteria data spatial yang telah ditentukan (tata guna lahan, kelerengan, permeabilitas, dan curah hujan), dilakukan proses superimposed atau tumpang tindih lembar data spatial untuk menghasilkan irisan-irisan (cluster) dari data yang ada. Data cluster tersebut mencerminkan tingkat kerentanan berdasarkan perhitungan bobot dan skor. Perhitungan range klasifikasi ditentukan berdasarkan rentang nilai terendah hingga nilai tertinggi dengan jumlah kelas yang diinginkan.

Gambar 3. Analisis Klasifikasi Kerentanan

Sumber: IUWASPLUS, 2019

(23)

Hasil dari proses tumpangsusun tersebut adalah peta kerentanan kuantitas dan peta kerentanan kualitas, dan kemudian diklasifikasikan ke dalam 5 (lima) lima tingkatan:

1. Kerentanan sangat tinggi;

2. Kerentanan tinggi;

3. Kerentanan sedang;

4. Kerentanan rendah; dan 5. Kerentanan sangat rendah.

Klasifikasi setiap tingkat kerentanan kuantitas diartikan sebagai berikut :

Tingkat Kerentanan Sangat Rendah, diartikan bahwa pada wilayah ini dengan segala aktifitas didalamnya akan memberikan pengaruh terhadap penurunan debit mata air secara langsung, tetapi pengaruh penurunannya dalam volume sangat kecil dan dalam periode waktu lama.

Tingkat Kerentanan Rendah, diartikan bahwa pada wilayah ini dengan segala aktifitas didalamnya akan memberikan pengaruh terhadap penurunan debit mata air secara langsung, tetapi pengaruh penurunannya dalam volume kecil dan dalam periode waktu lama.

Tingkat Kerentanan Sedang, diartikan bahwa pada wilayah ini dengan segala aktifitas didalamnya akan memberikan pengaruh terhadap penurunan debit mata air secara langsung, dengan pengaruh penurunan volume sedang dan dalam periode waktu sedang.

Tingkat Kerentanan Tinggi, diartikan bahwa pada wilayah ini dengan segala aktifitas didalamnya akan memberikan pengaruh terhadap penurunan debit mata air secara langsung, dengan penurunan volume yang besar dan dalam periode waktu cepat.

Tingkat Kerentanan Sangat Tinggi, diartikan bahwa pada wilayah ini dengan segala aktifitas didalamnya akan memberikan pengaruh terhadap penurunan debit mata air secara langsung, dengan pengaruh penurunan sangat besar dan dalam periode yang singkat.

Pada kajian ini, setiap klasifikasi kerentanan kualitas dapat diartikan sebagai berikut :

Kelas kerentanan sangat rendah dan rendah dapat diartikan bahwa kecepatan dan konsentrasi pencemar dari kedua wilayah kelas tersebut untuk sampai dititik pantau mata air Citrosono relative lebih lama dengan konsentrasi kecil, mengingat bahwa kedua wilayah kelas tersebut relative jauh dari lokasi mata air

Untuk kelas kerentanan sedang sampai sangat tinggi, dapat diartikan sebagai wilayah yang akan memberikan dampak terhadap pencemaran air tanah/mata air Citrosono dengan waktu cepat dengan konsentrasi pencemaran yang lebih tinggi.

Dari setiap tingkat kerentanan tersebut akan memberikan kontribusi terhadap proses penurunan kualitas airtanah/mata air, yang membedakannya adalah tingkat percepatannya terhadap proses penurunan kualitas airtanah/mataair tersebut.

(24)

III. KONDISI UMUM KABUPATEN MAGELANG

GEOGRAFIS DAN ADMINISTRASI Kabupaten Magelang

Kabupaten Magelang merupakan salah satu Kabupaten yang secara administrasi termasuk dalam Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis Kabupaten Magelang terletak diantara 1100 01’ 51” Bujur Timur sampai dengan 1100 26’ 58” Bujur Timur dan antara 70 19’13” Lintang Selatan sampai dengan 70 42’ 16”

Lintang Selatan, dengan luas wilayah 1.085,73 km2 (108.573 ha). Luas tersebut adalah sekitar 3,34 persen dari luas Provinsi Jawa Tengah. Wilayah Kabupaten Magelang berbatasan dengan wilayah kabupaten lain, yaitu:

Sebelah Utara : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang.

Sebelah Timur : Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali.

Sebelah Selatan : Kabupaten Purworejo dan Provinsi D.I.Y.

Sebelah Barat : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo.

Ditengah : Kota Magelang.

Gambar 4. Peta Administrasi Kabupaten Magelang

Sumber: RTRW Kabupaten Magelang Tahun 2010-2030

Letak Kabupaten Magelang yang strategis dapat dilihat dari posisi Kabupaten Magelang yang terletak di antara kota besar yaitu Kota Yogyakarta dan Kota Semarang. Kabupaten Magelang juga berada di antara perlintasan jalur ekonomi yaitu Semarang-Magelang-Purwokerto dan Semarang-Magelang-Yogyakarta- Solo sehingga memudahkan aksesibilitas dan juga dapat mendorong perkembangan ekonomi Kabupaten Magelang. Secara administratif Kabupaten Magelang mempunyai 21 kecamatan dan terdiri dari 367 desa dan 5 kelurahan. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Kajoran seluas 83,41 km², sedangkan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Ngluwar seluas 22,44 km².

(25)

TOPOGRAFI DAN MORFOLOGI

Secara topografi wilayah Kabupaten Magelang merupakan dataran tinggi yang berbentuk menyerupai cawan (cekungan) karena dikelilingi oleh 5 (lima) gunung yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Sumbing, dan Pegunungan Menoreh. Wilayah Kabupaten Magelang merupakan daerah dengan topografi beragam. Daerah topografi datar memiliki luas 8.599 ha, daerah yang bergelombang seluas 44.784 ha, daerah yang curam 41.037 ha dan sangat curam 14.155 ha dengan ketinggian wilayah antara 0 – 3.065 m di atas permukaan laut, ketinggian rata-rata 360 m di atas permukaan laut. Kondisi ini menjadikan sebagian besar wilayah Kabupaten Magelang merupakan daerah dengan tanah yang subur dan dengan sumber air yang berlimpah.

Tabel 7. Kelerengan Lahan di Kabupaten Magelang

Kemiringan Klasifikasi Wilayah

0 - 2 % Datar Kecamatan Mertoyudan, Secang, Windusari, Sawangan dan Salaman (kurang lebih 1,5% dari luas wilayah)

2 - 15 % Bergelombang sampai berombak

Sebagian besar kecamatan (17 kecamatan) atau 55%

dariseluruh wilayah.

15 - 40 % Bergelombang sampai berbukit

Kecamatan Windusari, Kaliangkrik, Kajoran, Srumbung, sebagian Ngablak, Pakis, Sawangan dan sedikit di Kecamatan Dukun (meliputi 25,5% dari seluruh wilayah).

> 40 % Berbukit sampai bergununggunung

Kecamatan Windusari, Kaliangkrik, Srumbung, Ngablak, Pakis, Sawangan dan Dukun (18% dari luas wilayah).

Sumber : RTRW Kabupaten Magelang 2010-2030

Gambar 5. Peta Kelerengan Lahan di Kabupaten Magelang

Sumber: RTRW Kabupaten Magelang Tahun 2010-2030

Berdasarkan ketinggiannya, seluruh lahan di Kabupaten Magelang berada pada ketinggian antara 154 - 3296 meter di atas permukaaan laut, dengan penyebaran sebagai berikut:

(26)

Wilayah dengan ketinggian 154 - 500 meter di atas permukaan laut meliputi areal kurang lebih 47% dari seluruh wilayah, yang meliputi sebagian di Kecamatan Dukun dan Kecamatan Srumbung, di wilayah Kecamatan Salam, Ngluwar, Muntilan dan Mungkid.

Wilayah dengan ketinggian 500 - 1000 meter di atas permukaan laut, meliputi areal kurang lebih 35% dari seluruh wilayah, terdapat di sebagian Kecamatan Srumbung, Dukun, Grabag, Sawangan, Kajoran, Kaliangkrik, Windusari dan sebagian kecil kecamatan Borobudur.

Wilayah dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan laut, meliputi kurang lebih l8% dari seluruh wilayah, terdapat di sebagian Kecamatan Pakis, Ngablak, Kaliangkrik dan Kajoran.

Berdasarkan kenampakan morfologi, daerah kabupaten Magelang tersusun atas 3 kelompok satuan geomorfik, yaitu:

a. Satuan Geomorfik Dataran Aluvial

Satuan geomorfik dataran aluvial memanjang dari utara ke selatan, pada bagian tengah Kabupaten Magelang, meliputi daerah Secang, Mertoyudan, Kota Mungkid dan Borobudur bagian Tenggara.

Luas satuan ini ±20 % dari seluruh luas Kabupaten Magelang.

b. Satuan Geomorfik Lereng Kaki Gunung Api

Satuan geomorfik lereng kaki gunung api merupakan lereng kaki Gunung Sumbing, Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Satuan ini menempati di sebelah timur dan barat satuan geomorfik dataran aluvial. Di sebelah timur satuan geomorfik dataran aluvial, meliputi daerah Grabag, Tegalrejo, Candimulyo, Muntilan, Salam dan Ngluwar, dengan luas ±20 % dari seluruh luas Kabupaten Magelang. Satuan ini tersusun oleh endapan lahar dan piroklastik Gunung api Merbabu dan Gunung api Merapi. Di sebelah barat satuan geomorfik dataran aluvial, meliputi daerah Windusari, Bandongan, Tempuran, Salaman dan Borobudur, dengan luas ±15 % dari seluruh luas Kabupaten Magelang.

c. Satuan Geomorfik Lereng dan Puncak Gunung Api

Satuan geomorfik lereng dan puncak gunung api ini menempati di bagian timur dan barat laut daerah Kabupaten Magelang yang merupakan lereng dan puncak Gunung Merbabu, Gunung Merapi, Gunung Telomoyo dan Gunung Sumbing. Di bagian timur yang meliputi daerah Ngablak, Pakis, Sawangan, Dukun dan Srumbung dengan puncak tertinggi Gunung Merbabu (3119 m) dan Gunung Merapi (2882 m). Di bagian Timur satuan geomorfik lereng dan puncak gunung api tersusun oleh endapan piroklastik dan lava gunung api Merbabu dan gunung api Merapi dengan luas ±25 % dari seluruh luas Kabupaten Magelang. Dibagian Barat laut satuan ini juga tersusun oleh endapan piroklastik dan lava, yang meliputi daerah Kaliangkrik, Windusari dan Kajoran dengan puncak tertinggi Gunung Sumbing (3296 m) dengan luas ±20 % dari seluruh luas Kabupaten Magelang.

JENIS TANAH

Pada umumnya jenis tanah yang dijumpai di Kabupaten Magelang berasal dari bahan induk berupa endapan aluvial, endapan lahar, endapan piroklastik berukuran lempung dan debu atau material gunung api. Jenis tanahnya yaitu aluvial, regosol, andosol, latosol dan litosol.

(27)

Tanah Aluvial

Tanah ini terjadi dari endapan vulkanik muda atau agak muda, tanpa perkembangan atau dengan perkembangan profil lemah. Sifat fisik dan kimia beragam dengan wama kelabu dan coklat tua dengan produktivitas bervariasi dari yang sedang sampai yang tinggi. Jenis tanah ini biasanya digunakan untuk tanah pertanian dan permukiman. Tanah Aluvial ini ada dua macam dan tersebar di kecamatan-kecamatan sebagai berikut:

 Alluvial Kelabu, terdapat di Kecamatan Candimulyo, Mertoyudan, Mungkid, Muntilan dan Ngluwar.

 Alluvial Coklat Tua terdapat di Kecamatan Bandongan, Borobudur, Candimulyo, Mertoyudan, Mungkid, Muntilan, Salaman, Secang, Tegalrejo, Tempuran.

Tanah Latosol

Tanah ini terjadi dari abu vulkanik dengan pelapukan yang sudah lanjut kandungan mineral primer dan unsur hara rendah, keasaman tinggi, kandungan bahan organik rendah, berada sampai ketinggian 900 meter di atas permukaan laut dan curah hujan antara 2500 - 7000 mm/tahun.

Warna tanah bervariasi dari merah, coklat kemerahan, coklat, coklat kekuningan atau kuning, tergantung dari bahan induk iklim dan ketinggian. Produktivitas tanah ini bervariasi dari rendah sampai tinggi. Biasanya dipergunakan untuk pertanian, perkebunan, dan permukiman. Tanah Latosol ini ada empat macam dan tersebar di kecamatan-kecamatan sebagai berikut:

 Komplek Latosol Kekuningan, Latosol Coklat Tua dan Litosol terdapat di Kecamatan - Salaman dan Borobudur.

 Komplek Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol terdapat di Kecamatan Salam. Kajoran, Kaliangkik, Salaman, Tempuran, Bandongan dan windusari.

 Latosol Coklat yang terdapat di kecamatan Windusari, Bandongan, Kaliangkrik, Kajoran, Salaman, Secang, Grabag, pakis, Tegalrejo, candimulyo, Sawangan dan sebagian kecil di Kecamatan Mungkid.

 Latosol Coklat Kemerahan terdapat di Kecamatan Grabag dan Ngablak.

Tanah Regosol

Tanah ini terbentuk dengan perkembangan profil lemah atau tanpa profil, berasal dari bahan induk abu volkan pada iklim dan ketinggian yang berbeda. Warna kelabu sampai coklat dengan porositas tinggi, kandungan bahan organik rendah dan produktivitas rendah sampai tinggi. Biasanya dipergunakan untuk pertanian dan permukiman. Tanah Regosol ini ada tiga macam, dan berada bersama dengan jenis tanah lain di kecamatan-kecamatan sebagai berikut:

 Komplek Regosol Kelabuhan dan Litosol terdapat di Kecamatan Kajoran, Kaliangkrik, Windusari, Srumbung dan Dukun.

 Regosol Coklat terdapat di Kecamatan Sawangan, Mungkid, Muntilan, Dukun, Srumbung, Salam dan Ngluwar.

 Komplek Regosol Kelabuhan dan Latosol terdapat di Kecamatan Windusari. Kaliangkrik dan Kajoran.

(28)

Tanah Andosol

Tanah ini berwama kelabu tua, coklat tua sampai hitam dan lapisan tanah dibawahnya berwarna coklat sampai coklat kekuningan. Tanah ini berasal dari bahan vulkanik di dataran rendah sampai ketinggian 3000 meter di atas permukaan laut dengan iklim dingin dan curah hujan tinggi. Tanah ini bersifat remah, kandungan bahan organik tinggi, porositas tinggi, keasaman sedang sampai tinggi.

Biasanya dipergunakan untuk usaha pertanian pangan, perkebunan, kehutanan dan permukiman dengan penyebarannya sebagai berikut:

 Asosiasi Andosol cokalt terdapat di Kecamatan Grabag dan Ngablak.

 Andosol coklat terdapat di Kecamatan Grabag, Ngablak, pakis, Sawangan.

 Komplek Andosol Kelabu Tua dan Litosol terdapat di Kecamatan Ngablak, Pakis, Sawangan.

Tanah Litosol

Tanah ini umumnya dangkal, berada di atas batuan induk yang keras, belum ada perkembangan profil dengan kedalaman kurang dari 30 cm. Umumnya berada di daerah lereng yang curam dan rentan terhadap erosi, tidak cocok untuk pertanian dan permukiman. Di Kabupaten Magelang tanah Litosol berada dalam bentuk komplek bersama tanah Ratosol, Regosol, dan Andosol.

GEOLOGI

Berdasarkan peta geologi lembar Magelang-Semarang (Thaden dkk., 1975) dan lembar Yogyakarta (Rahardjo, dkk., 1995), batuan penyusun di Kabupaten Magelang terdiri dari batuan sedimen, batuan gunung api, batuan beku trobosan dan endapan aluvial. Batuan sedimen berupa Formasi Andesit Tua (Formasi Kulonprogo) yang terdiri dari breksi, andesit, tufa, tufa lapili, anglomerat dan lava andesit.

Formasi ini menempati sisi tepi bagian Barat Daya Kabupaten yakni di daerah Salaman dan Borobudur bagian selatan. Satuan batu ini mengandung potensi bahan galian golongan C berupa batuan andesit.

Batuan gunungapi merupakan material batuan yang dihasilkan oleh gunung api Merapi, gunung api Merbabu dan gunung api Sumbing menempati satuan geomorfik lereng dan puncak gunung api. Batuan gunung api tersebut terdiri dari breksi piroklastik, lelehan lava, batu pasir tufaan dan lahar. Breksi piroklastik dan lava andesit terdapat di wilayah Kecamatan Kajoran, Kaliangkrik, Windusari, Grabag, Ngablag, Pakis, Sawangan, Dukun dan Srumbung.

Batu pasir tufaan dan lahar terdapat di wilayah Kecamatan Salaman, Tempuran, Bandongan, SecangTegalrejo, Candimulyo, Mertoyudan, Mungkid, Muntilan, Salam dan Ngluwar. Batuan-batuan tersebut sangat baik sebagai batuan akifer (batuan yang dapat menyimpan air tanah) dan juga sebagai sumber bahan galian golongan C (pasir dan batu).

Batuan beku terobosan berupa desit dan andesit, terdapat di daerah Salaman bagian Tenggara dan Borobudur bagian Barat Daya. Batuan beku terobosan ini mengakibatkan terjadinya bahan galian dari batu gamping yang mengalami metamorfosa.

Endapan aluvial menempati satuan geomorfik dataran aluvial disepanjang sungai-sungai besar yaitu Sungai Progo dengan cabang-cabangnya yang mengalir di Daerah Salaman - Borobudur. Endapan aluvial terdiri dari material-material lepas berupa kerakal, kerikil, pasir, lanau, lumpur dan lempung. Endapan aluvial sangat baik sebagai batuan akifer (penyimpanan air tanah) dan sekaligus sebagai penghasil batu dan pasir.

(29)

Gambar 6. Peta Geologi Kabupaten Magelang

Sumber: RTRW Kabupaten Magelang Tahun 2010-2030

IKLIM

Kabupaten Magelang merupakan daerah yang sejuk, dengan suhu rata-rata 25,6 °C dengan kelembaban udara rata-rata 82 %. Curah hujan rata-rata 2.589 mm/thn dengan rata-rata hari hujan 121 hari dengan kecepatan angin 1,8 knot. Curah hujan merupakan salah satu sumber daya air yang juga mempengaruhi besaran debit sumberdaya air. Berdasarkan data BPS Kabupaten Magelang Tahun 2018, rata-rata curah hujan selama tahun 2017 adalah 2.818 mm, sedangkan luas daerah di Kabupaten Magelang 1.085,73 km2 atau 1.085.730.000 m2, sehingga jumlah air potensialnya mencapai 1.085.730.000 m2 x 2.818 mm = 3.059.587.140 m3. Berdasarkan stasiun pencatat curah hujan di Kabupaten Magelang, yaitu stasiun K101-Muntilan dan stasiun K99-Sawangan, jumlah curah hujan di Kabupaten Magelang cenderung menurun. Jumlah Curah Hujan dari kedua stasiun tersebut dapat dilihat di Tabel 8 dan Tabel 9 serta Gambar 6.

Tabel 8. Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan di Kabupaten Magelang

Bulan

Tahun 2016 Tahun 2017

Curah Hujan

(mm) Hari Hujan Curah Hujan

(mm) Hari Hujan

Januari 236 16 387 18

Februari 388 19 314 15

Maret 466 20 244 9

April 280 16 407 18

Mei 249 15 193 8

Juni 340 12 44 4

Juli 203 11 40 2

Agustus 139 9 0 0

September 423 17 157 5

Oktober 338 16 193 8

Gambar

Gambar 1.  Diagram Alir Kajian Kerentanan Mata Air Citrosono Kabupaten Magelang
Tabel 1. Ciri umum daerah imbuhan dan lepasan
Gambar 2. Analisis Geo-Spasial Kerentanan mataair
Tabel 2: Nilai Bobot Parameter Kerentanan Kuantitas  dan Kualitas Mata Air
+7

Referensi

Dokumen terkait

Agen Perubahan Pengadilan Agama Tangerang tahun 2021 telah menyusun rencana aksi agen perubahan yang berfokus pada peningkatan capaian kinerja, pelayanan publik dan budaya

Proses yang diukur pada penelitian ini terdiri dari beberapa indikator diantaranya pencarian batch baru, peletakkan barang di stagging area, pengecekkan barang di stagging

Batas bagian Timur Kelurahan Margasari Kecamatan Buahbatu dengan Kelurahan Manjahlega Kecamatan Rancasari, yang semula Jalan Rancabolang/Sungai Cironggeng menjadi

Pengujian kapasitas panggilan antar node dengan menambah node-2 pada sisten jaringan. Hasil pengukuran kapasitas yang dapat dilayani oleh server sejumlah 10 pasang client atau

Dari keempat lajur pemotretan data yang menggunakan 7 GCP pada setiap lajurnya di dapat RMSE pada setiap lajur kurang dari 1 piksel seperti yang ditunjukkan oleh tabel 1,

Pemberian bahan organik dari kompos jerami me- ningkatkan kadar K tanaman pada percobaan pot (Percobaan I), tetapi bila diberi N maka kadar NPK tanaman yang konsisten tinggi

Hasil penelitian ini adalah bahwa: (1) pengembangan media pembelajaran berupa video pembelajaran AutoCAD 2009 dengan menggunakan software Camtasia Studio V.3.02 akan

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan.. Biodata Ketua dan Anggota A. Apabila di kemudian hari ternyata dijumpai ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima