• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengukuran Kadar Air (Metode Gravimetri : SNI 01-2891-1992, butir 5.1) Cawan porselin kosong dicuci kemudian dipanaskan pada nyala bunsen hingga kering dan

DAFTAR LAMPIRAN

III. METODOLOGI PENELITIAN

2.4 BAHAN DAN ALAT

3.2.2 Analisis Substrat

3.2.2.2 Analisis Proksimat

3.2.2.2.1 Pengukuran Kadar Air (Metode Gravimetri : SNI 01-2891-1992, butir 5.1) Cawan porselin kosong dicuci kemudian dipanaskan pada nyala bunsen hingga kering dan

tidak berasap, setelah itu cawan dimasukkan ke dalam tanur listrik dan didinginkan di dalam desikator. Sampel yang akan diukur kadar airnya ditimbang sebanyak 1-2 gram (c), dimasukkan ke dalam cawan porselin kosong yang sudah didinginkan tadi dan ditimbang (a), kemudian cawan berisi sampel tersebut dikeringkan pada suhu 105o C selama 3 jam, setelah itu didinginkan di dalam desikator. Langkah-langkah tersebut dilakukan hingga bobot cawan berisi sampel yang sudah dikeringkan bernilai tetap atau tidak berubah lagi (b). Kadar air sampel dapat dihitung dengan persamaan (1.1) di bawah ini.

Kadar air % c a bc x %

(1.1) Keterangan :

a : bobot cawan porselin dan sampel sebelum dikeringkan (g) b : bobot cawan porselin dan sampel setelah dikeringkan (g) c : bobot sampel awal (g)

3.2.2.2.2 Pengukuran Kadar Abu (Metode Gravimetri : SNI 01-2891-1992, butir 6.1) Cawan porselin dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Selanjutnya 2-3 gram sampel dimasukkan ke cawan porselin dan diarangkan diatas nyala pembakar. Selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 550oC selama 3-4 jam atau pengabuan sempurna. Setelah pengabuan selesai, cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Penimbangan diulang hingga bobot sampel konstan. Kadar abu dapat dihitung menggunakan persamaan (1.2) di bawah ini.

Kadar abu % a bc %

(1.2) Keterangan :

a : bobot cawan porselin dan sampel awal (g) b : bobot cawan porselin dan sampel akhir (g) c : bobot sampel awal (g)

3.2.2.2.3 Pengukuran Kadar Protein (Metode Semi Mikro Kjeldahl : SNI 01-2891- 1992, butir 7.1)

Sampel sebanyak 0.1 gram dimasukkan dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 0.5 gram campuran selen (SeO2 : K2SO4 : CuSO4.5H2O = 1 : 40 : 8) kemudian dilakukan destruksi di atas

api pembakar sampai mendidih dan larutan menjadi jernih kehijau-hijauan (sekitar 2 jam), biarkan dingin. Selanjutnya pindahkan isi labu ke dalam labu takar 100 mL dan tepatkan sampai tanda tera dengan air destilata. Pipet 5 mL larutan dan masukkan ke dalam alat penyuling. Selanjutnya dilakukan penambahan 5 mL NaOH 30% dan beberapa tetes indikator PP. Kemudian dilakukan penyulingan selama ± 10 menit, sebagai penampung digunakan 10 ml larutan asam borat 2% yang telah dicampur indikator BCG-MR. Setelah itu dilakukan titrasi dengan HCl 0.01 N yang telah distandarisasi hingga berubah warna. Kadar protein dapat dihitung menggunakan persamaan (1.3).

Kadar protein %bb ml HCl sampel ml HCl blankoberat sampel x N HCl x . x x .

(1.3)

3.2.2.2.4 Pengukuran Kadar Lemak (Metode Soxhlet : SNI 01-2891-1992, butir 8.1) Sampel sebanyak 1-2 gram dibungkus dengan kertas saring lalu dimasukkan ke labu soxhlet yang sudah ditimbang sebelumnya. Heksana dituang ke dalam labu soxhlet kemudian sampel diekstraksi selama ±6 jam. Labu soxhlet tersebut kemudian dimasukkan ke oven bersuhu 105 oC hingga seluruh sisa pelarut (heksana) menguap. Labu yang berisi lemak hasil ekstraksi didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung dengan persamaan (1.4).

Kadar lemak % a bc %

Keterangan:

a : berat labu dan sampel awal (g) b : berat labu dan sampel akhir (g) c : berat sampel awal (g)

3.2.2.2.5 Pengukuran Karbohidrat (By Different, SNI 01-2891-1992, butir 9.1) Total karbohidrat (by difference) dapat dihitung dengan persamaan (1.5)

Kadar karbohidrat % % a b c d (1.5) Keterangan: a = kadar protein (%) b = kadar air (%) c = kadar abu (%) d = kadar lemak (%)

3.2.2.2.6 Pengukuran Serat Kasar (SNI 01-2891-1992, butir 11)

Sebanyak 2 gram sampel ditimbang dan diekstraksi lemaknya dengan Soxhlet. Bila bahan yang akan dianalisis mengandung lemak yang sangat kecil, maka pemisahan lemak dapat diabaikan. Sampel dipindahkan ke dalam labu ekstraksi 500 mL dengan pendingin tegak, ditambahkan 200 mL H2SO4 1.25% dan dididihkan selama 30 menit. Setelah itu, larutan disaring

dengan corong Büchner yang dihubungkan dengan vakum, dan dicuci dengan air panas. Sampel dimasukkan kembali ke dalam labu ekstraksi 500 mL dan dididihkan dengan 200 mL NaOH 1.25% selama 30 menit. Larutan disaring dengan kertas saring yang telah diketahui bobotnya (A). Endapan yang diperoleh dicuci dengan H2SO4 1.25%, air panas, dan alkohol 95%. Kertas saring

dan isinya dipindahkan ke cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (B), dikeringkan dalam oven pada suhu 105 ºC, didinginkan, dan ditimbang sampai bobotnya tetap (C). Bila kadar serat kasar lebih besar dari 1%, maka kertas saring beserta isinya diabukan, didinginkan, dan ditimbang sampai bobotnya tetap (D) (Persamaan 1.6)

Serat kasar < 1%: Kadar serat kasar = 100%

Serat kasar > 1%: Kadar serat kasar = 100% (1.6)

3.2.3 Produksi Enzim Pektinase

 

3.2.3.1 Persiapan Media Fermentasi Semi Padat

Pembuatan media fermentasi semi padat dilakukan dengan mencampurkan tepung limbah (padatan) dengan buffer fosfat pH 6 (konsentrasi 0.1 M) dan czapek’s nutrient medium di dalam erlenmeyer 100 mL (perbandingan buffer fosfat dengan czapek’s nutrient medium adalah 2:3) sehingga dihasilkan media fermentasi 20% padatan (Baladhandayutham dan Thangavelu 2011, modifikasi). Komposisi czapek’s nutrient medium dapat dilihat pada Tabel 2. Media tersebut kemudian disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit.

Tabel 2. Komposisi czapek’s nutrient medium

Nama Bahan Jumlah

Air destilata 1 L

NaNO3 30 g

KCl 5 g

MgSO4.7H2O 5 g

FeSO4.7H2O 0.1 g

3.2.3.2 Persiapan Isolat (Aspergillus ustus)

Persiapan isolat dilakukan dalam tiga tahap, yaitu penumbuhan, peremajaan isolat, dan pengenceran isolat. Penumbuhan isolat Aspergillus ustus bertujuan untuk mendapatkan stock isolat untuk produksi enzim pektinase, sedangkan peremajaan isolat bertujuan untuk memperoleh isolat yang segar untuk produksi enzim pektinase. Isolat Aspergillus ustus yang digunakan untuk produksi enzim pektinase adalah isolat yang berumur lima hari.

Media penumbuhan dan peremajaan Aspergillus ustus berupa media agar. Komposisi media agar terdiri dari air destilata, pektin komersial, bahan-bahan mineral ((NH4)2HPO4,

KH2PO4, K2HPO4, dan MGSO4.7H2O), dan purified agar. Pembuatan media penumbuhan dan

peremajaan isolat Aspergillus ustus dapat dilihat pada Lampiran 1.

Media agar steril yang telah dibuat kemudian diinokulasikam isolat Aspergillus ustus menggunakan ose steril dan dilakukan di dalam laminar (yang telah disinari UV (ultraviolet) selama 15 menit untuk menghindari kontaminasi). Media agar steril yang ditempatkan di dalam cawan petri digunakan untuk penumbuhan isolat Aspergillus ustus (untuk stock isolat), sedangkan yang ditempatkan di dalam tabung reaksi (agar miring) digunakan untuk peremajaan Aspergillus ustus.

Pengenceran isolat Aspergillus ustus bertujuan untuk memperoleh inokulum yang akan digunakan untuk produksi enzim pektinase. Isolat Aspergillus ustus yang diencerkan berasal dari hasil isolat Aspergillus ustus yang diremajakan dan berumur lima hari. Pengenceran isolat menggunakan air destilata steril sebanyak 5 mL yang dicampurkan ke dalam isolat Aspergillus ustus yang diremajakan.

3.2.3.3 Produksi Enzim Pektinase

Produksi enzim pektinase dimulai dengan menginokolukasikan isolat Aspergillus ustus hasil pengenceranke dalam media fermentasi semi padat steril yang telah dibuat (kultur). Isolat diambil sebanyak 250 µL menggunakan pipet mikro dan dipindahkan ke dalam masing-masing erlenmeyer yang berisi media fermentasi semi padat. Media fermentasi semi padat yang telah berisi isolat ditutup dengan kapas steril untuk memudahkan CO2 yang diproduksi selama

GP x FP x 1000 t x BM

fermentasi terlepas atau keluar (Baladhandayutham dan Thangavelu 2011). Produksi enzim pektinase ini dilakukan sebanyak dua ulangan untuk masing-masing kultur.

Produksi enzim pektinase dilakukan pada suhu ruang selama 7 hari mulai dari hari ke-0 hingga hari ke-7 untuk masing-masing jenis substrat media fermentasi semi padat. Setiap 24 jam sekali (1 hari), kultur yang difermentasi dipindahkan dari ruang fermentasi ke lemari pendingin (chiller) untuk menghentikan aktivitas Aspergillus ustus.

Produksi enzim pektinase yang pertama dilakukan untuk mendapatkan substrat terbaik, yaitu jenis limbah pertanian mana yang dapat dijadikan media fermentasi sehingga menghasilkan aktivitas enzim pektinase tertinggi dan hasilnya akan digunakan untuk tahap selanjutnya. Produksi enzim pektinase selanjutnya adalah untuk tahap optimasi kondisi fermentasi, yaitu untuk mengetahui kondisi optimal pada saat fermentasi sehingga didapatkan aktivitas enzim pektinase tertinggi.

3.2.3.4 Pengukuran Aktivitas Enzim Pektinase

Analisis aktivitas enzim dilakukan dengan penambahkan air destilata sebanyak 15 mL ke dalam masing-masing kultur kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer (suhu selama pengadukan harus tetap dingin agar enzim tidak rusak) selama 15 menit. Hal ini bertujuan untuk mengekstraksi enzim pektinase ekstraseluler yang terbentuk. Enzim yang terekstrak kemudian dipipet dengan pipet mikro sebanyak 1500 µL dan dipindahkan ke dalam microtube eppendorf. Tahap selanjutnya yaitu sentrifugasi ekstrak enzim menggunakan sentrifuse dengan kecepatan 11.000 rpm selama 20 menit, dari proses ini akan terbentuk enzim pektinase kasar (crude enzyme) berupa supernatan atau filtrat serta biomassa dan sel (endapan).

Enzim pektinase kasar digunakan untuk analisis aktivitas enzim dengan cara melakukan pengenceran 102. Aktivitas enzim didapat dengan melakukan pengukuran nilai absorbansi crude enzim yang telah direaksikan dengan larutan substrat pektin komersial dan dihentikan reaksinya oleh DNS (dinitrosalisilat) setelah reaksi berlangsung selama 30 menit, kemudian dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm, absorbansi enzim tersebut diukur. Tahapan pengukuran aktivitas enzim dengan spektrofotometer secara skematis dapat dilihat pada Lampiran 3. Nilai absorbansi yang didapat dikonversi menjadi konsentrasi gula pereduksi (ppm) menggunakan persamaan yang didapat dari kurva standar asam galakturonat (Lampiran 4) kemudian dihitung nilai aktivitas enzim pektinase menggunakan rumus berikut (persamaan 1.7)

AE =

Keterangan :

AE : Aktivitas enzim pektinase kasar (U/mL)

[GP] : Konsentrasi gula pereduksi yang diperoleh dari kurva standar (mg/mL) 1000 : Faktor konversi

FP : Faktor pengenceran t : Waktu inkubasi (menit)

BM : Bobot molekul asam galakturonat 212 g/mol

Aktivitas enzim pektinase dinyatakan dalam U/mL. Satu unit merupakan jumlah enzim yang dibutuhkan untuk memecah 1 µmol pektin menjadi asam galakturonat per menit pada kondisi pengujian.

3.2.4 Pengujian Kondisi Optimum Produksi Enzim Pektinase

Setelah didapatkan informasi mengenai substrat terbaik pada tahap produksi enzim pektinase yang pertama maka dilakukan pengujian kondisi optimum fermentasi. Media fermentasi semi padat yang digunakan untuk tahap ini komposisinya terdiri dari tepung limbah pertanian yang menghasilkan aktivitas enzim pektinase tertinggi pada tahap produksi enzim pektinase yang pertama, buffer fosfat pH 6 (konsentrasi 0.1 M), dan czapek’s nutrient medium.

Parameter kondisi yang akan diuji adalah konsentrasi substrat, pH media, dan suhu fermentasi. Konsentrasi substrat yang diuji adalah konsentrasi substrat 10, 15, 20, dan 25% padatan, pH media yang diuji adalah pH 4, 5, 6, 7, dan 8, serta suhu fermentasi yang diuji adalah 30, 40, dan 50oC. Parameter pertama yang diuji adalah konsentrasi substrat, setelah didapat besar konsentrasi substrat yang optimum untuk produksi enzim pektinase, pengujian dilanjutkan dengan parameter selanjutnya yaitu pH media dan suhu fermentasi. Pada akhir pengujian akan didapatkan kondisi optimum untuk produksi enzim pektinase.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 PREPARASI SUBSTRAT DAN ISOLAT UNTUK PRODUKSI ENZIM

PEKTINASE

Tahap pengumpulan, pengeringan, penggilingan, dan homogenisasi kulit jeruk Siam, kulit jeruk Medan, kulit durian, dan daun teh tua menghasilkan substrat untuk pembuatan media fermentasi semi padat berupa tepung limbah berukuran 500 mesh. Substrat yang tersedia kemudian disimpan untuk produksi enzim pektinase. Data rendemen tepung limbah untuk masing-masing substrat dapat dilihat pada Tabel 3. di bawah ini.

Tabel 3. Data rendemen limbah pertanian

Jenis Limbah Bobot Sampel (g) Rendemen (%)

Awal (W1) Akhir (W2)

Kulit Jeruk Siam 428 141 32.49

Kulit Jeruk Medan 1404 309 22.01

Kulit Durian 1464 300 20.49

Daun teh tua 273 132 48.35

Keterangan :

W1 : bobot limbah sebelum pengeringan dan penggilingan (g) W2 : bobot limbah setelah pengeringan dan penggilingan (g) Rendemen : ( [W2 – W1]/ W1) x 100%

Substrat dalam bentuk tepung limbah berukuran 500 mesh dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Substrat untuk media fermentasi semi padat, dari kiri ke kanan : daun teh tua, kulit jeruk Siam, kulit jeruk Medan, dan kulit durian

Selain preparasi substrat, dilakukan pula preparasi isolat yaitu penumbuhan Aspergillus ustus pada media agar sebagai isolat stock untuk keperluan produksi enzim pektinase. Isolat stock kemudian disimpan di dalam ruang penyimpanan (ruang kapang) pada suhu kamar (± 25oC) untuk menghindari kontaminasi. Isolat yang digunakan untuk produksi enzim pektinase adalah isolat segar yang berumur 5 hari. Isolat segar ini diperoleh dari proses peremajaan isolat stock.

4.2 ANALISIS SUBSTRAT

4.2.1 Kadar Pektin Substrat

Analisis kadar pektin dilakukan terhadap keempat jenis substrat, hal ini bertujuan untuk mengetahui jumlah pektin yang tersedia untuk digunakan sebagai substrat bagi Aspergillus ustus sehingga dapat menghasilkan enzim pektinase. Persentase kadar pektin setiap jenis substrat dapat dilihat pada gambar 10. Kadar pektin untuk setiap jenis substrat terdapat pada Lampiran 5.

Gambar 10. Chart kadar pektin seluruh substrat Keterangan :

KJS : kulit jeruk Siam KJM : kulit jeruk Medan KDU : kulit durian DTT : daun teh tua

Berdasarkan hasil analisis kadar pektin pada keempat substrat, terlihat bahwa substrat kulit jeruk Medan memiliki kadar pektin tertinggi yaitu sebesar 41.08% kemudian diikuti oleh kulit jeruk Siam dengan nilai kadar pektin sebesar 7.80%, setelah itu kulit durian sebesar 3.51%, dan terakhir daun teh tua sebesar 2.31%.

Penelitian yang dilakukan oleh Khule et al. (2012) menggunakan kulit jeruk lokal India menunjukkan hasil kadar pektin tertinggi yaitu sebesar 17.63% dan terendah sebesar 5.29%. Kadar pektin tertinggi didapat pada pengukuran kadar pektin menggunakan asam sitrat pada pH 2, sedangkan kadar pektin terendah didapat pada pengukuran menggunakan asam sitrat pH 1.2. Hasil ini jika dibandingkan dengan kadar pektin kulit jeruk Medan dan Siam menunjukkan hasil yang lebih rendah. 7.805 41.08 3.51 2.32 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Kadar   Pektin   (%) Jenis Substrat KJS KJM KDU DTT

Perkiraan sementara dari hasil pengukuran kadar pektin keempat substrat adalah semakin banyak kandungan pektin yang tersedia pada substrat maka metabolisme dari Aspergillus ustus akan meningkat. Dengan demikian, enzim pektinase sebagai produk hasil metabolisme juga akan meningkat. Hasil ini akan dihubungkan dengan hasil dari analisis aktivitas enzim pektinase sehingga dapat diketahui bagaimana pengaruh ketersediaan pektin terhadap aktivitas enzim pektinase yang dihasilkan.

4.2.2 Kadar Proksimat Substrat

Tabel 4. Data Kadar Proksimat Seluruh Substrat Jenis

Substrat

Kadar Proksimat

Air (%) Abu (%) Lemak (%) Protein (%) Karbohidrat (%) Serat Kasar (%) KJS 8.87 4.73 4.12 9.18 73.10 17.13 KJM 9.54 3.49 2.85 5.59 78.53 10.30 KDU 9.47 5.11 1.08 6.83 77.51 31.99 DTN 8.40 5.01 1.95 22.95 61.69 12.70

Keterangan : KJS (kulit jeruk Siam); KJM (kulit jeruk Medan); KDU (kulit durian); DTN(Daun teh tua)

Substrat-substrat yang diuji pada penelitian ini mengandung pektin sebagai penyusun utama karbohidratnya. Berdasarkan data proksimat diatas, terlihat bahwa kadar karbohidrat tertinggi dimiliki oleh substrat kulit jeruk Medan yaitu sebesar 78.53%. Hal ini menunjukkan hubungan yang positif dengan kadar pektin substrat yang telah diuji, yaitu semakin tinggi kadar karbohidrat maka semakin tinggi pula kadar pektin substrat.

4.3 ANALISIS AKTIVITAS ENZIM PEKTINASE SELURUH SUBSTRAT

Analisis aktivitas enzim pektinase dari keempat substrat yang digunakan, dilakukan dengan menghitung nilai aktivitas enzim pektinase yang dihasilkan oleh Aspergillus ustus pada masing-masing media fermentasi semi padat.

Berdasarkan hasil perhitungan aktivitas enzim pektinase diketahui bahwa aktivitas enzim pektinase tertinggi terdapat pada hasil fermentasi yang menggunakan kulit jeruk Medan (KJM) sebagai substrat, yaitu sebesar 1.2751 U/mL, kemudian yang kedua adalah substrat kulit jeruk Siam (KJS) sebesar 1.2223 U/mL, yang ketiga adalah substrat kulit durian (KDU) yaitu sebesar 0.8906 U/mL, dan aktivitas enzim pektinase terendah terdapat pada substrat daun teh tua (DTN) yaitu sebesar 0.3065 U/mL (Gambar 11).

Gambar 11. Chart pengaruh jenis substrat terhadap aktivitas enzim pektinase

Waktu fermentasi atau inkubasi optimum untuk menghasilkan enzim pektinase dengan aktivitas tertinggi pada masing-masing substrat adalah 2 hari, kecuali untuk substrat daun teh tua yaitu 1 hari. Waktu fermentasi atau inkubasi optimum ini menggambarkan waktu yang dibutuhkan Aspergillus ustus menggunakan substrat untuk menghasilkan enzim pektinase secara maksimal. Kurva produksi enzim pektinase oleh Aspergillus ustus oleh berbagai substrat selama fermentasi pada suhu ruang terdapat pada Gambar 12.

Gambar 12. Kurva aktivitas enzim pektinase oleh Aspergillus ustus pada berbagai substrat (suhu ruang)

Mikroorganisme mempunyai masa pertumbuhan yang bervariasi atau biasa disebut dengan fase pertumbuhan. Fase-fase pertumbuhan tersebut sangat berpengaruh terhadap enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme untuk membantu pencernaan makanannya. Pada awal

1.2223 1.27505 0.89065 0.30605 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 Aktivitas   En zim   (U/mL) Jenis Substrat KJS KJM KDU DTT 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 0 1 2 3 4 5 6 Aktivitas   En zim   (U/mL)

Lama Fermentasi (Hari)

KJS

KJM

KDU

pertumbuhan, fase yang dilalui adalah fase pertumbuhan kemudian aktivitas metabolisme akan menurun setelah mikroorganisme melewati fase puncak pertumbuhannya, fase penurunan ini disebut fase kematian (death phase). Hal ini dapat dilihat pada hasil produksi enzim pektinase oleh Aspergillus ustus pada penelitian ini, yaitu terjadinya fase pertumbuhan mulai dari hari ke-0 hingga mencapai fase puncak pertumbuhan yang menghasilkan aktivitas enzim tertinggi, kemudian mulai masuk ke fase kematian (death phase) yang ditandai dengan menurunnya aktivitas enzim pektinase.

Penelitian mengenai produksi pektinase mengunakan media dari kulit jeruk telah banyak dilakukan, sedangkan produksi pekinase menggunakan media dari kulit durian dan daun teh tua belum pernah dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Rangarajan et al. ( 2010) menunjukkan bahwa sumber karbon non-glukosa (kulit jeruk) dengan tambahan sumber nitrogen organik (bungkil kedelai) dapat digunakan sebagai substrat untuk produksi enzim pektinase yang dihasilkan oleh Aspergillus niger. Karbon yang digunakan tidak bersumber dari glukosa atau fruktosa melainkan dari kulit jeruk dikarenakan glukosa atau fruktosa diindikasikan akan menyebabkan terjadinya represi katabolit, yaitu berlebihnya gula terlarut di dalam pertumbuhan sel yang dapat menekan produksi enzim.

Penelitian yang dilakukan oleh Adeleke et al. (2012) menggunakan kulit jeruk lokal Nigeria dengan metode fermentasi semi padat oleh Penicillium atrovenetum, Aspergillus flavus, and Aspergillus oryzae menghasilkan aktivitas pektinase masing-masing sebesar 11.58 U/mL, 12.12 U/mL, dan 10.17 U/mL. Hasil ini menunjukkan aktivitas pektinase oleh ketiga isolat tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas pektinase oleh Aspergillus ustus pada media kulit jeruk Medan dan jeruk Siam. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh kemampuan isolat yang digunakan berbeda-beda dalam mendegradasi pektin dan menghasilkan pektinase.

Berdasarkan hasil analisis produksi enzim pektinase pada keempat substrat, maka substrat yang akan digunakan untuk optimasi kondisi produksi enzim pektinase adalah kulit jeruk Medan yang menghasilkan enzim pektinase dengan aktivitas tertinggi dengan waktu inkubasi optimum 2 hari. Hasil ini juga menunjukkan hubungan positif antara kadar pektin dengan aktivitas enzim pektinase, yaitu semakin tinggi kadar pektin pada substrat maka aktivitas enzim pektinase yang dihasilkan juga semakin tinggi.

4.4 ANALISIS AKTIVITAS ENZIM PEKTINASE TAHAP OPTIMASI

Optimasi bertujuan untuk mengetahui kondisi optimum produksi enzim pektinase. Ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu optimasi konsentrasi susbtrat, optimasi pH media fermentasi semi padat, dan optimasi suhu fermentasi.

4.4.1 Optimasi Konsentrasi Substrat

Konsentrasi substrat yang dianalisis adalah 5, 10, 15, 20, dan 25% padatan. Persentase tersebut menggambarkan perbandingan padatan (dalam hal ini adalah substrat yaitu kulit jeruk Medan) dengan cairan (dalam hal ini adalah buffer fosfat dan czapek’s nutrient medium). Komposisi bahan pembuatan media fermentasi semi padat untuk tahap optimasi konsentrasi substrat dapat dilihat pada lampiran 2. Pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim pektinase dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Chart pengaruh konsentrasi substrat terhadap aktivitas enzim pektinase

Berdasarkan analisis aktivitas enzim pektinase pada tahap optimasi konsentrasi substrat, diperoleh nilai aktivitas enzim pektinase tertinggi yaitu pada konsentrasi substrat 10% sebesar 1.3690 U/mL. Konsentrasi substrat 10% merupakan konsentrasi optimum yang dapat menghasilkan enzim pektinase dengan aktivitas yang maksimal. Pada kosentrasi substrat di atas 10%, aktivitas enzim pektinase yang dihasilkan menunjukkan penurunan nilai aktivitas. Meskipun terjadi peningkatan nilai aktivitas enzim pektinase pada konsentrasi 15, 20, dan 25%, namun nilainya tidak terlalu besar. Dengan demikian, peningkatan konsentrasi substrat di atas 10% justru mengurangi efisiensi produksi enzim pektinase karena membutuhkan substrat yang lebih banyak namun tidak menghasilkan aktivitas enzim pektinase yang lebih tinggi.

Konsentrasi substrat yang lebih kecil juga dapat menyebabkan produksi enzim menjadi tidak maksimal. Hal ini disebabkan karena substrat sebagai penyedia pektin dan penginaktif represor pada proses produksi enzim pektinase tidak cukup tersedia sehingga represor kembali aktif yang mengakibatkan produksi enzim menurun atau bahkan terhenti.

Hasil yang berbeda ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Baladhanyutham dan Thangavelu (2011), aktivitas pektinase tertinggi dihasilkan pada konsentrasi substrat 20% yaitu sebesar 88.65 U/mL. Pektinase ini dihasilkan oleh isolat Aspergillus awamori menggunakan media fermentasi padat yang tersusun dari rice brand dan sugar cane bagasse. Perbedaan hasil ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan isolat penghasil pektinase dan jenis substrat penyusun media fermentasi. 1.1107 1.369 1.0265 1.0939 1.11635 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 Aktivitas   En zim   (U/mL) Konsenstrasi Substrat (%) 5% 10% 15% 20% 25%

Berdasarkan hasil optimasi konsentrasi substrat, maka besar konsentrasi substrat yang digunakan pada tahap optimasi pH media dan optimasi suhu fermentasi adalah konsentrasi substrat 10%.

4.4.2 Optimasi pH Media Fermentasi Semi padat

Salah satu faktor yang memengaruhi aktivitas enzim adalah pH. Mayoritas enzim sangat sensitif terhadap pH dan memiliki kisaran aktivitas yang spesifik. Aktivitas enzim akan maksimal pada pH yang optimum.

Nilai pH media fermentasi semi padat yang dianalisis pada penelitian ini adalah pH 4, 5, 6, 7, dan 8. Kisaran pH ini diuji karena dianggap mewakili seluruh daerah pH, yaitu daerah asam, netral, dan basa. Hasil dari optimasi ini akan menunjukkan kondisi pH yang optimum, baik untuk pertumbuhan Aspergillus ustus, maupun metabolismenya.

Gambar 14. Chart pengaruh pH terhadap aktivitas enzim pektinase

Berdasarkan hasil analisis aktivitas enzim pektinase pada pH media fermentasi semi padat yang diuji maka diperoleh nilai aktivitas enzim pektinase tertinggi yaitu sebesar 2.8459 U/mL. Aktivitas enzim pektinase tertinggi ini diperoleh pada media fermentasi semi padat pH 4. Hasil ini menunjukkan bahwa pH optimum untuk pertumbuhan dan metabolisme berupa enzim pektinase oleh Aspergillus ustus adalah pH 4 atau dengan kata lain kondisi optimum untuk produksi enzim pektinase oleh Aspergillus ustus adalah pada daerah yang cukup asam.

Penelitian yang dilakukan oleh Baladhanyutham dan Thangavelu (2011) memberikan hasil yang serupa. Penelitian tersebut menggunakan Aspergillus awamori sebagai isolat dan menghasilkan aktivitas enzim pektinase yang meningkat pada kisaran pH 3-5, kemudian pada peningkatan pH media di atas pH 5, aktivitas enzim pektinase justru mengalami penurunan. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh aktivitas enzim pektinase yang diproduksi oleh Aspergillus niger (Baladhanyutham dan Thangavelu 2010). Aktivitas enzim pektinase meningkat pada pH 4-5 kemudian mengalami penurunan aktivitas pada pH media di atas pH 5.

2.8459 2.57075 1.77895 2.3068 1.99795 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 Aktivitas   En zim   (U/mL) pH Media 4 5 6 7 8

4.4.3 Optimasi Suhu fermentasi

Selain pH, faktor lain yang memengaruhi aktivitas enzim adalah suhu. Secara umum, peningkatan suhu akan meningkatkan laju reaksi, namun kenaikan suhu yang berlebih juga dapat menurunkan laju reaksi. Hal ini karena suhu tinggi dapat menyebabkan terjadinya denaturasi protein atau putusnya ikatan ion dan hidrogen, sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat

Dokumen terkait