• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMUAN DAN ANALISIS

A. Akomodasi Komunikasi Dalam Interaksi Antarbudaya Dalam Mengomunikasikan Identitas Budaya

1. Pengungkapan Identitas Budaya Dalam Segi Pakaian

Perempuan-perempuan muslimah yang berasal dari Patani Thailand ini mempunyai ciri khas sendiri dalam hal berpakaian. Rata-rata dari

65

Wawancara dengan Su-aidee Abuwa, 04-06-2014, 21.00 WIB

66

mereka identik dengan menggunakan baju kurung setelan yang dipadu dengan kerudung kurung panjang yang identik berwarna hitam yang mirip sekali dengan perempuan-perempuan muslimah yang berasal dari Malaysia, pakaian seperti itu sudah menjadi adat kebiasaan yang digunakan oleh perempuan-perempuan Patani. Pada umumnya kebanyakan ketika seseorang berada di daerah yang bukan aslinya mereka lambat-laun akan cenderung terpengaruhi dengan budaya di tempat ia tinggal entah itu dari segi bahasa atau pakaian. Tapi berbeda dengan perempuan-perempuan Patani ini, mereka tetap menampilkan identitas budaya aslinya dengan berbusana sesuai dengan kebiasaan perempuan-perempuan Patani pada umumnya karena kebanggaan mereka terhadap budayanya dan kedalaman mereka mengenai ajaran agama islam yang memerintahkan perempuan muslimah untuk menutup aurat dengan sempurna, walaupun di Indonesia sendiri berbusana seperti mereka itu sangat minoritas tetapi mereka tidak merasa terasingkan ketika menggunakan pakaian asli daerahnya. Wajarlah mereka merasakan keanehan ketika melihat perempuan-perempuan muslim Indonesia yang menggunakan kerudung tetapi memakai celana levis yang ketat yang sudah lumrah di masyarakat Indonesia. Untuk laki-laki dalam hal berpakaian tidak ada perbedaan dengan busana laki-laki di Indonesia. Walaupun ada satu dan dua orang dari sekian banyak perempuan-perempuan patani yang sudah sedikit terpengaruh dengan pakaian-pakaian perempuan Indonesia.

Penyesuaian mahasiswa Thailand tinggal di Indonesia bermacam-macam. Ada yang memang sudah agak terbiasa dari penggunaan Bahasa melayu, misalnya Maryam Ding adalah seorang mahasiswa yang pernah melanjutkan kuliah sampai jenjang D3 di Malaysia kemudian melanjutkan studi jenjang S1 di UIN Jakarta, bagi Maryam ketika tinggal di Indonesia tidak terlalu sulit dalam segi Bahasa karena sudah terbiasa tinggal di Malaysia yang notaben penggunaan Bahasa mirip dengan Bahasa melayu Indonesia. Tapi ada pula yang memulai adaptasi dari awal karena masih buta dengan latarbelakang budaya Indonesia baik dari segi Bahasa maupun prilaku masyarakatnya sehingga membutuhkan waktu untuk belajar Bahasa karena tuntutan pendidikan yang mengharuskan untuk memahami Bahasa Indonesia secara matang.Wajarlah diawal-awal pertemuan dikelas membuat mereka tidak mengerti apa yang dibicarakan dosen, namun dosen juga memahami karena mereka mahasiswa asing maka untuk penjelasan mata pelajaran dijelaskan secara pelan.

Ada pula yang harus beradaptasi dari awal, seperti yang pernah saya amati ketika kegiatan orientasi anggota baru HIPPI terlihat bahwa anak-anak yang baru datang dari Patani belum bisa memahami dan mengucapkan kalimat-kalimat percakapan bahasa Indonesia. Ketika penulis ajak bicara mereka masih dengan muka kebingungan Karena tidak memahami apa yang penulis katakan, oleh karenanya mereka sewaktu masa orientasi itu dibekali oleh senior-senior mereka belajar bahasa Indonesia dari mulai belajar huruf-huruf abjad beserta cara membacanya.

Psikologi Umum bisa diklasifikasikan dalam dua kelompok, yaitu, (a) yang adptive dan (b) yang adjustive.

a. Yang adaptive

Bentuk penyesuaian diri yang adaptive sering dikenal dengan istilah adaptasi. Bentuk penyesuaian diri ini lebih bersifat badani. Artinya, perubahan-perubahan dalam proses badani untuk menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan. Misalnya berkeringat adalah usaha tubuh untuk mendinginkan tubuh dari suhu yang panas atau dirasakan terlalu panas. Yang adaptive yang dialami mahasiswa Patani ketika tinggal di Indoneisa tidak mengalami penyesuaian yang berat yang mereka rasakan karena dalam segi cuaca antara wilayah Patani dengan Indonesia itu sama jadi mereka tidak mengalami kesulitan harus beradaptasi terhadap keadaan cuaca di Indonesia.

c. Yang adjustive

Bentuk penyesuaian yang lain, yang tersangkut kehidupan psikis kita, biasanya disebut sebagai bentuk penyesuaian yang adjustive. Karena tersangkutnya kehidupan psikis dalam penyesuaian yang adjustive ini, dengan sendirinya penyesuaian ini berhubungan dengan tingkah laku. Sebagaimana kita ketahui , tingkah laku manusia sebagian besar dilatarbelakangi oleh hal-hal psikis ini, kecuali tingkah laku tertentu dalam bentuk-bentuk gerakan yang sudah menjadi kebiasaan atau gerakan-gerakan refleks. Maka penyesuian ini adalah penyesuaian diri tingkah laku terhadap

lingkungan yang dalam lingkungan ini terdapat aturan-aturan atau norma-norma. Singkatnya penyesuaian terhadap norma-norma. Penyesuaian Yang adjustive yang dialami oleh mahasiswa Patani yaitu salah satunya ketika lewat didepan rumah warga, norma kesopanan atau kebiasaan di Indonesia yaitu dengan kebiasaan tegur sapa atau sekedar mengucapkan kata “ persmisi”. Bentuk penyesuaian ini tidak menjadi kendala bagi mereka hanya saja perlu waktu untuk belajar bagaimana dan apa saja norma-norma sosial pada masyarakat Indonesia.

3. Tahap - Tahap Adaptasi Budaya

a. Tahap pertama yang disebut dengan periode bulan madu, berdasrkan pengungkapan dari informan bahwa tahap ini terjadi ketika awal-awal tiba di Indonesia. Mereka merasakan senang dan kagum bisa berada di Indonesia menghadapi suasana yang baru dengan keadaan masyarakat Indonesia yang padat khususnya di Jakarta karena mereka melihat hanya di Jakarta saja dan juga banyak sekali kendaraan sedangkan didaerah Patani sendiri masih sepi. b. Tahap kedua masa dimana daya tarik dan kebaruan sering berubah menjadi

frustasi, cemas, dan bahkan permusuhan, karena kenyataan hidup dilingkungan atau keadaan yang asing menjadi lebih terlihat. Keadaan ini bedasarkan pengungkapan dari informan tidak mereka alami bukan karena mereka tidak merasakan cemas tetapi perasaan seperti ini hanya sedikit saja terlintas misalnya menghadapi kemacetan dan sedikit aneh melihat keadaan budaya perempuan muslimah Indonesia yang tidak menggunakan kerudung tetapi ini tidak membuat mereka frustasi dan cemas yang berlebihan.

terhadap lingkung baru yang mereka hadapi dengan membiasakan kembali perbedaan-perbedaan yang ada antara budaya Patani dan Indonesia.

d. Setelah mengalami tahap ketiga penyesuaian terus berlanjut, mahasiswa Thailand seiring dengan waktu bisa terbiasa dan memahami dengan perbedaan-perbedaan yang mereka temukan pada masyarakat Indonesia karena perbedaan-perbedaan yang ada antara budaya Patani dan Indonesia tidak mebuat mereka merasa kesulitan untuk menerimanya.

4. Asumsi-Asumsi Dalam Teori Akomodasi

Asumsi pertama, persamaan dan perbedaan berbicara dan perilaku terdapat di dalam semua percakapan. Ada beberapa yang dapat penulis temukan perbedaan bahasa yang penulis temukan antara bahasa melayu Patani dengan bahasa Indonesia :

Tabel contoh beberapa perbedaan bahasa Patani dan bahasa Indonesia

Kata Arti Kecewo kecewa Denge dengan kesedihe kesedihan Kekuate kekuatan Sipa’ Sifat Lepah Lepas Mako Mako

Do’ Duduk

Cepa’ Cepat

Maye Shalat

Tempa’ tempat

Reh Ya (kata penekanan)

Isle Islam

Bahaso bahasa

Siki’ sedikit

Asumsi kedua, cara kita memersepsikan tuturan dan prilaku orang lain akan menentukan bagaimana kita mengevaluasi sebuah percakapan. Asumsi ini tidak terdapat pada akomodasi komunikasi pada mahasiswa Patani karena mereka dengan leluasa dapat menggunakan bahasa asli daerah mereka di depan orang-orang luar daerahnya dan ketika berbicara dengan orang-orang Indonesia mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan tidak menghilangkan logat asli mereka. Jadi tidak ada persepsi-persepsi negatif yang mempengaruhi mereka untuk tidak menggunakan dialek asli daerah mereka sendiri. Asumsi kedua ini terjadi ketika ada suatu kelompok yang tidak leluasa dalam mengungkapkan diri dengan identitas budaya aslinya terutama dalam dialek bahasa karena ada persepi-persepsi negatif yang mempengaruhi cara berkomunikasi dengan bahasa asalnya.

Penulis menemukan dalam sebuah penelitian yang ditulis oleh mahasiwa Universitas Diponegoro Semarang tentang ada salah satu kelompok yaitu perantau

yaitu dialek asli mereka. Dialek Ngapak-ngapak merupakan bagian dari rumpun Bahasa Jawa, namun banyak orang yang memiliki penilaian tersendiri mengenai dialek Ngapak-ngapak yang dianggap berbeda dengan dialek Bahasa Jawa lainnya. dialek tersebut lucu, memiliki kesan wong ndeso, ditertawakan, tidak sopan, memalukan, tidak pantas digunakan pada ruang lingkup resmi, logatnya terdengar kasar. Persepsi tersebut mempengaruhi para perantau dari Banyumas dalam pengungkapan diri menggunakan dialek Ngapak-ngapak sebagai bagian dari identitas kultural. Hal ini merupakan bentuk emotional vulnerability (identitas kelompok dan identitas individu akan mempengaruhi cara-cara seseorang dalam memersepsikan, berpikir dan berperilaku dalam lingkungan sehari-hari) masyarakat Banyumas untuk dapat diterima dengan baik di tempat mereka merantau. Masyarakat dari kelompok yang memiliki identitas kultural tidak kuat cenderung enggan untuk mengekspresikan latar belakang budayanya bahkan cenderung mengakomodasi kelompok yang memiliki latar belakang budaya yang kuat.67

Bentuk evaluasi perilaku komunikasi yang masyarakat Banyumas itu, pertama adalah melihat situasi atau setting tempat yang memungkinkan mereka berbicara dengan bahasa atau aksennya. Biasanya mereka akan berbicara dengan Dialek Ngapak-ngapak ketika bertemu dengan komunitas yang asal daerahnya sama. Selain itu mereka juga tidak menggunakan bahasa tersebut pada ruang lingkup acara formal.

67

Hanum Salsabila, Akomodasi Komunikasi Dalam Interaksi Antar Budaya Kasus Perantau yang Berasal dari Daerah Banyumasan dalam Mengomunikasikan Identitas Kultural,( skripsi Universitas Diponegoro,Semarang,2011),http://eprints.undip.ac.id/29021/1/SUMMARY_SKRIPSI_Hanum_Salsa bila.pdf, diakses pada tanggal 26 Juni 2014 jam 14:20.

Kedua adalah pada tahap awal interaksi mereka cenderung berbicara menggunakan Bahasa Indonesia tanpa melekatkan aksen Ngapak-ngapak. Yang ketiga adalah beradaptasi dengan melakukan penyesuaian terhadap orang lain dalam penggunaan bahasa. Mereka cenderung melakukan penyesuaian bahasa dalam berkomunikasi selama mereka memahami bahasa komunikannya.

Asumsi yang ketiga, berkaitan dengan dampak yang memiliki bahasa tehadap orang lain. Secara khusus, bahasa memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan status dan keanggotaan kelompok diantara para komunikator dalam sebuah percakapan.68

Asumsi ini menurut penulis tidak terdapat dalam interaksi mahasiswa Patani dengan orang-orang diluar daerahnya karena dalam asumsi ini berbicara tentang bahasa yang digunakan ketika dalam proses percakapan antara dua orang cenderung merefleksikan individu dengan status sosial yang lebih tinggi. Misal percakapan antara seseorang yang akan melamar pekerjaan ketika dalam proses wawancara maka si pelamar biasanya dituntun oleh pewawancara. Pewawancara sebagai individu dengan status sosial yang lebih tinggi menentukan atmosfer melalui bahasa dan prilakunya.

Asumsi keempat, berfokus pada norma dan isu mengenai kepantasan sosial. Setiap kelompok-kelompok budaya pasti memiliki norma-norma di masyarakatnya agar dapat mengatur apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Mahasiswa

68

West, Richard dan H. Turner, Lynn., (Penerjemah: Maria Natalia dan Damayanti Maer), Pengantar Teori Komunikasi, (Jakarta: Penerbit Salemba Humanika, 2008), hal. 221

mengetahui norma-norma prilaku masyarakat Indonesia agar terhindarnya kesalahpahaman ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Berdasarkan pengungkapan dari para informan bahwa mereka seiiring waktu mempelajari sedikit-demi sedikit norma-norma dalam di masyarakat Indonesia. Misalnya norma kesopanan ketika lewat didepan rumah warga di Indonesia umumnya kita harus menundukkan kepala dan mengucapkan kata permisi sebaga tanda kseopanan kita terhadap orang lain.

b. Hambatan Dalam Penyesuaian Komunikasi Antarbudaya

Hambatan yang dialami oleh para mahasiswa yang berasal dari Patani Thailand ini bisa dikatakan tidak ada hambatan . Hal ini bisa dikatakan menurut peneliti ada dua faktor pendukung kesamaan yang para informan rasakan ketika tinggal di Indonesia yang memang sudah diketahui mereka sebelum memutuskan untuk tinggal di Indonesia dan juga stereotip pofitif yang mereka punya bahwa orang-orang Indonesia itu masyarakatnya dikenal dengan keramah-tamahannya. Berdasarkan pengungkapan dari informan-informan yang ada bahwa tinggal di Indonesia walaupun tinggal di Negara asing tetapi mereka merasakan kenyamanan seperti tinggal di Negara sendiri. Faktor pertama kesamaan yang hampir mirip dalam segi bahasa. Bahasa memang merupaka suatu hal yang terpenting dalam kehidupan bermasyarakat terlebih lagi ketika kita berada dilingkungan baru dengan latarbelakang budaya berbeda dan merupakan suatu hal yang menyenangkan ketika kita berada disuatu lingkungan baru apa lagi dalam lingkup berbeda Negara dan

ternyata bahasa asli kita dengan bahasa tempat baru itu hampir sama dan mudah untuk dipahami akan menjadi salah satu faktor pendukung kenyamanan kita tinggal ditempat tersebut. Ungkapan dari salah satu informan bahwa betapa sulitnya tinggal di daerah yang bahasanya kita harus benar-benar belajar dari nol tidak seperti di Indonesia mereka memahami Bahasa percakapannya. Seperti ungkapan informan :

“Kalau aidi gak belajar dari satu kamus pun tapi dari sosial kita ngobrol, bicara sama teman-teman, pas pertama smsan itu banyak banget terus kalau ada yang gak ngerti tanyak ini artinya apa coba misal kita tinggal di Turki harus belajar lagi dari awal”.69

Dari letak geogarfis memang Patani adalah daerah yang terletak di Selatan Thailand berbatasan dengan Negara Malaysia dan karena dibagi oleh jajahan inggris maka Patani di masukkan ke Negara Thailand, itulah sebabnya Bahasa mereka cenderung lebih kepada Bahasa melayu daripada Bahasa Thai sendiri. Tapi walaupun mereka lebih cenderung menggunakan Bahasa melayu Patani, Bahasa Thai sendiri pun tidak mereka tinggalkan sebagai bahasa ibu. Oleh karena itu bahasa menjadi faktor pendukung bagi mereka untuk tinggal di Indonesia.

Seperti dalam petikan wawancara :

“kalau misal mengikut rohani Indonesia itu serumpun sama Patani jadi gak terlalu beda, kan rohani tinggal di Patani itu perbatasan diantara Malaysia jadi kalau ngomongnya sama gitu”70

Factor kedua kesamaan dalam hal kepercayaan (agama). Penduduk Patani Thailand selatan merupakan penduduk yang mayoritas memeluk agama islam, walaupun di Negara Thailand sendiri khususnya di daerah Ibu kota Bangkok

69

Wawancara dengan aidee pd tgl 4 juni 2014 jam 21.00

70

merasakan kenyamanan dan rasa persaudaraan terhadap orang-orang Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama islam.

Seperti dalam wawancara:

“kalau milih kuliah disini agaknya kalau disana (Thailand) mayoritas Budha kalau rohani kan muslim jadi udah D3 disana terus dosen-dosen di Thailand itu kebanyakan alumni dari Indonesia jadi agaknya enaklah disini kuliah”.71

Ada pula yang mengungkapkan alasannya:

“Alasan milih Indonesia buat kuliah itu karena di Thailand sudah terbukti bahwa alumni yang lulusan dari Indonesia itu banyak yang berbakti kepada Negara banyak dikampung-kampung diwilayah-wilayah itu banyak yang lulusan Indonesia yang berjasa kepada Negara jadi sangat berbeda dengan Mesir, Suriah, Malaysia itu beda dan kebanyakan kalau di mesir, suriah itu ilmu agama, di Indonesia juga ilmu agama cuman Indonesia itu pemikirannya lebih luas dan modern sesuai dengan keadaan sekarang”.72

Ada pula informan yang mengungkapkan :

“karena Indonesia itu terkenal dengan mayoritas Islam gitu jadi emang kalau dari makanan kan enak pasti halal”.73

Alasan informan lain yang mengatakan:

“Hidup di Indonesia itu nyaman karena salah satunya dari segi agama , di Indonesia jika kita berpergian dan sudah tiba waktunya untuk shalat maka itu tidak susah untuk mendapatkan tempat shalat tidak seperti di Thailand kalau berpergian ke kota Bangkok sulit sekali untuk mendapatkan tempat ibadah”.74

Begitu juga informan lainnya mengungkapkan:

71

Petikan wawancara bersama Rohanee Cheha, 08-06-2014, 10.00 WIB

72

Petikan wawancara bersama Abdul Hakim, 04-06-2014, 22.00 WIB 73

Wawancara dengan Asuan Rira, 04-06-2014, 20.30 WIB

74

“tinggal di Indonesia itu seperti tinggal dikampung halaman sendiri karena mayoritasnya muslim sama seperti di Patani juga”.75

Perbedaan dalam setiap budaya sudah pasti ada terlebih lagi dalam lingkup berbeda Negara. Seseorang yang ketika berada didaerah tempat ia merantau memang sebaiknya melakukan beberapa cara seperti yang diungkapkan oleh ahli komunikasi Joseph De Vito menawarkan beberapa panduan untuk menghindari hambatan dalam komunikasi antarbudaya:76

1. Kenalilah budaya diri sendiri dan budaya orang lain

2. Mengakui bahwa perbedaan itu ada dalam setiap kelompok, hindari stereotip, jangan terlalu menyamaratakan atau beranggapan bahwa perbedaan dalam suatu kelompok tidak penting.

3. Ingatlah bahwa makna ada pada diri seseorang dan bukan terdapat dalam kata-kata atau dalam gerak-isyarat yang digunakan.

4. Waspada terhadap aturan-aturan budaya yang berlaku dalam setiap konteks komunikasi antarbudaya.

5. Hindari evaluasi negatif terhadap perbedaan budaya baik secara verbal dan nonverbal.

6. Jaga diri dari kejutan budaya dengan mempelajari sebanyak mungkin budaya yang akan dimasuki.

75

Wawancara dengan Abdul Hakim, 04-06-2014, 22.00 WIB 76

Brent D. Ruben & Lea P. Stewart, Komunikasi dan Prilaku Manusia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013, hal. 378

BAB V

Dokumen terkait