BAB II LANDASAN TEORI
B. Penyelenggaraan Jenazah dalam Islam
2. Pengurusan dan Dasar Hukum Pengurusan Jenazah
Jenazah atau mayat harus dimandika dengan diberi kain
43Husnan m. Thaib, Keutamaan Menjenguk Orang Sakit Dan Tata Cara Mengurus Jenazah, (Aceh:Dayah Riyadhus Shalihin Al Ziziyah,2019), hal.9
basahan. Mayat laki-laki dimandikan oleh laki-laki, dan perempuan oleh perempuan tetapi sebaliknya jika sebagai muhrimnya, ahli warisnya atau dalam keadaan darurat. Dalam memandikan mayat hendaklah berlapis kain dan dilarang menyentuh kelaminnya.
Sedangkan bagi yang kena penyakit menular dibolehkan lebih dahulu memakai obat pembunuh hama penyakit untuk disiramkan pada seluruh tubuhnya. Adapun air yang dipakai adalah air yang bercampur dengan bidara, dan jika tidak ada maka boleh diganti dengan sabun, sedangkan yang terakhir adalah air bermacampur dengan kapur barus.44Sesuai dengan hadit Nabi SAW:
ٍساَّبَع ِنْبا ْنَع
orang yang mati terjatuh dari kendaraannya: mandikan ia dengan air dan daun bidara.”(HR. Bukhari dan Muslim)45Air hangat boleh dipakai jika kotoran tidak bisa hilang atau udara terlalu dingin. Perut mayat harus ditekan agar kotorannya keluar yang kemudian diikuti dengan harum-haruman. Lalu dimulailah pemakaian air dengan dimulai penyiramannya untuk anggota-anggota wudhu‟nya, dimulai pada anggota yang kanan kemudian yang kiri.
Jumlah banyaknya dimandikan boleh sekali untuk seluruh tubuhnya, dan sunnat 3 kali atau lebih dengan bilangan ganjil . kukunya yang telah dipotong, rambutnya yang disisir, dan bulu-bulunya yang
44Hussein Bahreisy, Pedoman Fiqh Islam, (Surabaya: Al-Ikhalas-Surabaya,1981), hal. 93
45Sa‟adah, Materi Ibadah Menjaga Akidah & Khusu‟ Beribadah, (Surabaya: amelia surabaya, 2006 ), hal. 162
digunting atau tercabut hendaklah dibungkus. Sedangkan kotoran yang keluar sesuadah dimandikan yang menyentuh badanya hendaklah dibersihkan dan kalau perlu diwudhukan kembali. Sabda Nabi SAW:
ِنْبا ْنَع
“Barangsiapa memandikan mayat dengan menyembunyikan rahasia mayat itu maka allah akan mengampuni kepada yang memandikannya 40 kali.”(HR. Hakim) 46
b. Mengafani
Mayat yang sudah dimandikan hendaklah dikapani atau dibungkus dengan kain kapan dari harta si mayat atau dari harta familinya atau harta kaum muslimin atau dari pemerintah setempat, atau dari dana sosial. mayat dapat dikapani dengan selapis kain putih yang menyelubungi seluruh tubuhnya baik untuk laki-laki maupun perempuan, sedangkan seluruh tubuhnya ditaburi dengan kapur barus.
Dan disunatkan menggunakan 3 lapis yaitu selapis sebagai sarungnya (dari pinggang hingga paha), dan 2 lapis yang meliputi seluruh tubuhnya. Adapun bagi perempuan jumlahnya 5 lapis yaitu lapis pertama untuk sarung, lapis kedua untuk baju, lapis ketiga untuk kerudung (tutup kepala), dan dua lapis yang meliputi seluruh tubuhnya. Dalam beberapa lapisan itu diberi harum-haruman dan setidak-tidaknya kapur barus.47 Hadis yang berkaitan dengan mengafani adalah:
46Hussein Bahreisy, op.cit. hal. 94
47Ibid. hal. 94
َسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص َِّللَّا َلوُسَر َنِّفُك َةَشِئاَع ْنَع ٌصْيِمَق اَهْ يِف َسْيَل ٍفُسْرُك ْنِم ٍةَّيِلْوُحَس ٍضْيِب ِباَوْ ثَا ِةَث َلًَث َمَّل
)ويلع قفتم( ٌةَم اَمِع َلَْو
“Dari Aisyah, bahwa Rasulullah SAW, dikafani dengan tiga lapis kainputih bersih yang terbuat dari kapas, tidak ada di dalamnya baju dan tidak pula serban.” (Muttafaq‟alaih)48 memandkan Ummi Kaltsum putri Rasulullah SAW. Ketika wafatnya.
Yang mula-mula dinerikan Rasulullah SAW. Kepad kami ialah kain basahan, lalu baju, tutup kepala, lalu kerudung, kemudian kain yang menutup seluruh badannya. Laila berkata: sedangkan Rasulullah SAW.
Berdiri di tengah pintu membawa kafannya, dan memberikannya kepada kami sehelai-sehelai.”(HR. Ahmad dan Abu Dawud)49
c. Menshalatkan
Telah disepakati oleh para ulama bahwa shalat atas jenazah merupakan fardhu kifayah berdasarkan beberapa hadis sahih, diantaranya ketika beliau memerintah para sahabat untuk melakukannya ketika salah seorang dari mereka meninggal dunia, shalatkanlah jenazah kawan kalian itu (HR Bukhari dan Muslim).
Untuk sahnya shalat tersebut, harus dipenuhi beberapa persyaratan seperti halnya dalam shalat biasa, yaitu suci dari hadas besar maupun kecil, suci dari najis, menutup aurat dan berdiri
48Ibid. hal. 95
49Ibid. hal. 96
menghadap kiblat (atau sambil duduk bagi yang tidak kuasa berdiri).
Shalat jenazah boleh dilaksanakan di rumah ataupun di masjid, baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Walaupun demikian, shalat jenazah berjamaah lebih afdal, demikian pula makin banyak orang yang melaksanakannya, lebih besar pahalanya. Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah berkata:
ْخااَم ْرُظْنا ُبْيَرُكَيَ َلاَقَ ف َناَفْسُعِب ْوَأ ٍدْيَدُقِب ُوَل ٌنْبا َتاَم َلَق ُوَّنَا ُوْنَع ُالله َيِضَر ِبْيَرُك ْنَع
wahai Kuraib (bekas budak Ibnu „Abbas), lihat berapa banyak manusia yang menyolati jenazahnya.”Kuraib berkata,” aku keluar, ternyata orang-orang sudah berkumpul dan akumengabarkan kepada mereka pertanyaan Ibnu „Abbas tadi. Lantae mereka menjawab,” ada 40 orang
“.Kuraib berkata,”baik kalau begitu.”Ibnu „Abbas lantas berkata,”keluarkan manyit tersebut. Karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,”tak seorang pun muslim meninggal dunia, lalu jenazahnya dishalatkan oleh 40 orang, yang mereka itu tidak menyekutukan allah dengan sesuatu selainnya, kecuali allah pasti akan menerima doa syafaat mereka untuknya.” (HR. Muslim).50
d. Menguburkan
Telah disepakati oleh kaum muslim bahwa menguburkan jenazah merupakan fardhu kifayah. Adapun yang wajib dilakukan, paling sedikit dengan membaringkannya dalam sebuah lubang lalu menutup kembali lubang tersebut dengan tanah, dan terhindar dari binatang buas dan sebagainya. Akan tetapi yang lebih sempurna ialah
50Muhammad bagir, Fiqh Praktis I Menurut Al-Qur‟an, As-Sunnah Dan Pendapat Para Ulama, (Bandung:Penerbit Karisma,2008), hal.255
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:51
1) Memperdalam lubang kuburan kira-kira dua meter atau lebih dari permukaan tanah.
2) Lubang untuk menguburkan mayit sebaiknya berbentuk lahad, yaitu liang yang bagian bawahnya dikeruk sebelah ke kiblat, dan setelah jenazah dibaringakn di sana, liang tersebut ditutupi dengan bilah-bilah papan yang ditegakkan, kemudian ditimbun dengan tanah. Akan tetapi jika tanah kuburan itu kurang keras, dan dikhawatirkan dapat longsor, bolehjuga menguburkan jenazah dengan membaringkannya di tengah-tengah lubang, kemudian menutupinya dengan papan, ranting dan dedaunan seperti di atas.
3) Ketika memasukkan mayit ke dalam kubur, sebaiknya membaca bismillah wa‟ala millati rasulillah atau bismillah wa‟ala sunnati rasulillah. Kemudian meletakkannya dengan tubuhnya dimiringkan ke sebelah kanan dan wajahnya menghadap kiblat.
Di samping itu, para ulama menganjurkan agar kepala simayit diletakkan diatas bantal dari tanah liat atau batu, kemudian ikatan-ikatan kafannya dilepaskan, dan bagian dari kafannya di pipinya dibuka sedikit agar pipinya itu menempel dengan tanah.
Dianjurkan pula bagi yang menghadiri penguburan, menebarkan sedikit tanah kearah kepala simayit setelah dibaringkan dalam kuburnya, sebanyak tiga kali, sambil mengucapkan bagian dari
51Ibid, Hal.265
ayat Al-Qur‟an, pada kali pertama minha khalaqnakum (yang artinya: dari tanah kami menciptakan mu) pada yang kedua wa fiha nu‟idukum (yang artinya: dan kepada tanah kami mengembalikanmu) dan pada yang ketiga: wa minha mukhrijukum taratan ukhra (artinya: dan dari tanah pula kami mengeluarkanmu sekali lagi).
4) Selesai menguburkannya, yaitu ketika lubang telah ditimbuni kembali dengan tanah, hendaknya mereka yang hadir mendoakan bagi mayit tersebut dan memohonkan ampunan baginya dari Allah SWT. Sebagian ulama terutama dari kalangan mazhab syafi‟i, menganjurkan agar dibacakan talqin (doa yang biasa dibaca diatas kuburan guna menuntun simayit uantk menjawab pertanyaan malaikat).
BAB III HASIL PNELITIAN
A. Monografi Kenagarian Pitalah Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar 1. Sejarah Berdirinya Kenagarian Pitalah
Awal mula terbentuknya Kenagarian Pitalah dilatar belakangi oleh kedatangan masyarakat yang berasal dari lereng gunung merapi yang menyebar ke daerah Kapuah (Bungo Tanjuang) sampai ke Sulayan (Pitalah) dari Puncak Guguak Limau-limau (Pitalah) sampai ke kaki Bukik Gunung Bungsu (Batipuah Baruah), sejak dari Bukik Anak Kayu sampai ke Payo Rapuih (Batipuah Baruah), sejak dari Guguak Nyariang ( Bungo Tanjuang) sampai ke kebun Pisang (Batipuah Ateh), telah berpenghuni sejak lama, diperkirakan semenjak Abad ke 16, atau semenjak Usai (berakhirnya) pertentangan/pertikaianantara pengikut Faham “ Koto Piliang “ dengan Pengikut Faham “ Bodi Caniago “.
Tercatat semenjak Daulat ( Pemerintahan ) Sultan Allif bahwa di Nagari/wilayah ini masyarakatnya telah diperintah/diatur oleh Datuak/Penghulu Nan Salapan, Adapun penduduk/masyarakat ini adalah mengaku kesemuanya bersal dari tempat yang sama yaitu dari Nagari Tuo“ Padang Panjang Pariangan “(Pariangan Sekarang) dari lereng Gunuang Marapi.
Setelah hidup menyebar di daerah yang telah disebutkan di atas
maka masyarakat pada waktu itu memenuhi kehidupan dengan cara manaruko, suatu ketika terjadi pertikaian antara masyarakat di daerah yang satu dengan daerah yang lain, diantaranya permasalahan tanah.
Maka dari permasalahan tersebut menghasilan sebuah kesepakatan bahwa membatasi wilayah.
Asal muasal penamaan Nagari Pitalah adalah ketika Datuak/Penghulu Nan Salapan menyelesaikan suatu perkara, perkara itu diselesaikan di depan rumah Datuak/Penghulu Nan Salapan, semua masyarakat telah berkumpul dari pagi untuk mencari kata mufakat namun tidak juga ditemukan titik terang dari permasalahan tersebut matahari sudah semakin tinggi maka masyarakat berpihdah tempat kebawah sebuah pohon yang rindang, pohon itu dinamakan pohon Tanjung sampai waktu sholat dzuhur, pada akhirnya mereka melaksankan sholat dzuhur dalam melaksanakan dzuhur tiba tiba turun hujan dan petir yang sangat besar, sehingga patahlah sebuah dahan besar dari pohon Tanjung yang mengarah ke arah utara yang dilihat oleh beberapa msayarakat dari arah utara tersebut sehingga dinamakan Pitalah, pada bagian ujung dahan tersebut banyak berguguran bunga dari pohon Tanjung tersebut maka arah bagian ujung dahan itu disebut dengan Bunga Tanjung. Kepemimpinan yang diterapkan oleh Kenagarian Pitalah dari sebelum penjajahan sampai sekarang:
a. Sebelum masa Penjajahan Belanda Nagari dipimpin seorang Penghulu Pucuak.
b. Awal Penjajahan Belanda Nagari dipimpin seorang Angku Lareh, maka lareh Pitalah waktu ini membawahi 3 (tiga) Nagari yakni : Pitalah, Bungo Tanjung dan Gunung Rajo
c. Pada awal Perang Paderi dizaman penjajahan koloni Belanda melebur lareh Pitalah Bungo Tanjung pada sidang yang diadakan di Nagari Tanjung Barulak kepada lareh Simawang sekaligus menjadikan Nagari Pitalah – Bungo Tanjung menjadi dua Nagari.
d. Pada awal Penjajahan Bangsa Jepang sampai dengan setelah Kemerdekaan tahun 1960, Nagari di pimpin oleh seorang Wali Parang.
e. Pada masa Pemerintahan Orde Baru Nagari Pitalah dibelah menjadi 2 (dua) Pemerintahan Desa yakni : Desa Jambak dan Desa Parik Mudiak masing-masing dipimpin oleh Kepala Desa.
f. Pada masa Reformasi yakni di tahun 2001 Pemerintahan Desa kembali dilebur pada Pemerintahan Nagari dengan istilah Babaliak Banagari sampai sekarang.
2. Kondisi Geografis Kenagarian Pitalah
Nagari Pitalah adalah salah satu dari delapan Nagari yang berada dalam wilayah Kecamatan Batipuh yang letaknya sangat strategis serta dilintasi oleh jalan Lintas Propinsi.
Daerah yang berhawa sejuk, tanah yang subur serta kehidupan yang saling menghargai dengan jumlah penduduk 2.175 jiwa = 552 Kk dengan luas wilayah 512 Ha, dilihat dari mata pencarian 70 % masyarakat Nagari Pitalah bergerak dibidang Pertanian dan selebihnya
berusaha dalam perdagangan dan pegawai. Secara Administratif Pemerintahan Nagari Pitalah berbatasan dengan :
a. Sebelah Utara berbatas dengan Nagari Batipuah Baruah b. Sebelah Selatan berbatas dengan Nagari Bungo Tanjuang c. Sebelah Timur berbatas dengan Bukit Sialahan Kec.Pariangan d. Sebelah Barat berbatas dengan Nagari Gunuang Rajo
3. Struktur Organisasi Kenagarian Pitalah Daftar Perangkat Nagari Wali Nagari : Suharmi, St.Sati Sekretaris Nagari : Irwan, Dt. Jo Intan
Bendahara : Hayatun Nufus, SE
Kaur Pemerintahan : Nurhidayat, S.Pd
Kaur Umum : Riza Maizar Irma
Kaur Pembangunan : Anggi Amnusy Kaur Perekonomian : Efrita
Kaur Kesra : Yadewen Karline
Kepala Jorong Rampanai : Abdul Rauf
Kepala Jorong Baru : Etika Budi Dharma Kepala Jorong Baringin: Aulia Nasher
Kepala Jorong Jambak : Evendi Dinata Kepala Jorong Sulayan : Rini Hendra Yenti
B. Penakaran Upah dalam Penyelenggaraan Jenazah di Kenagarian Pitalah Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar
Berdasarkan hasil penelitian yang didapat dari proses wawancara kepada beberapa narasumber diantaranya adalah pemuka adat, bundo kanduang, alim ulama dan masyarakat sekitar serta data kepustakaan maupun data lansung dari kitab terjemahan, buku-buku dan sumber lainnya yang membahas tentang penelitian ini, yaitu “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Penakaran Upah Penyelenggaraan Jenazah” yang akan dianalisa secara sistematis dan semaksimal mungkin untuk menjawab permasalahan dalam penelitian berdasarkan hukum Islam.
Praktik penakaran upah penyelenggaraan jenazah yang dilakukan masyarakat Kenagarian Pitalah yaitu memberikan imbalan kepada setiap proses penyelenggaraan jenazah yang takaran upahnya dilihat dari kondisi ekonomi dari ahli waris jenazah. Pada awalnya tidak ditakarkan hanya saja memberi sedekah alakadarnya kepada orang yamg melakukan proses penyelengaraan jenazah tersebut. Seiring berjalannya waktu hal itu menjadi berubah seperti upah mengupah dikarenakan melihat dari kondisi ekonomi petugas penyelenggaraan jenazah tersebut. Petugas yang melakukan proses penyelenggaraan jenazah tersebut ada yang bekerja sebagai marbot mesjid, sepagai buruh tani. Dari latar belakang seperti itu masayarakat berinisiatif memberi upah terhadap petugas penyelenggaraan jenazah dengan mematokkan upah tersebut sesuai dengan upah jika petugas itu pegi bekerja sebagai buruh tani yaitu sebesar Rp. 50.000. proses terjadinya penakaran upah penyelenggaraan jenazah dilatar belakangi oleh niat dari masyarakat seperti yang dijelaskan diatas dan beralih kepada penakaran. Ketika petugas
penyelenggaraan jenazah telah melakukan proses penyelenggaraan jenazah maka pihak ahli waris akan bertanya berapa imbalan yang harus diberikan kepada petugas penyelenggaraan jezah sehingga petugas menyebutkan nominal berdasarkan kondisi ekonomi ahli waris. Jika ahli waris berasal dari kalangan menengah keatas biasanya petugas menyebutkan nominalnya Rp.
100.000/ orang sebaliknya jika ahli waris dari kalangan menengah kebawah Rp. 50.000/ orang. Pengupahan seperti ini hanya terjadi pada tahap memandikan, mengafani, dan menguburkan.
Petugas yang berperan disaat proses penyelenggaraan jenazah adalah alim ulama yang ada di Kenagarian Pitalah atau orang yang mengerti dengan proses penyelenggaraan jenazah. Jika orang yang membantu adalah ahli waris maka tidak terjadi pengupahan. Di Kengarian pitalah terdapat tiga alim ulama yang berperan penting melakukan proses penyelenggaran jenazah dan dibatu oleh beberapa orang masyarakat yang mengerti dengan proses penyelenggaraan jenazah.
Waktu pengupahan dialakukan dengan dua bentuk yaitu pemberian upah dilakukan setiap selesai dari proses tersebut dan ada juga menggunakan cara menanyakan berapa orang yang ikut dalam proses memandikan, mengafani, dan menguburkan sekaligus mencatat berpa uang yang akan dikeluarkan pada setiap tahap tersebut dan diberikan ketika proses penguburan telah selesai.
Konsekuensi dari orang tidak memberikan imbalan adalah sedikit ada rasa kecewa dari pihak petugas penyelenggaraan jenazah akan tetapi dari
pengalaman yang selama ini tidak ada orang yang tidak memberi imbalan kepada petugas yang melakukan proses penyelenggaran jenazah karena masyarakat merasa terbantu dengan adanya petugas penyelenggaraan jenazah meskipun memberi upah. Bahkan menurut ahli waris upah yang dikeluarkan belum sebanding dengan jasa yang telah dikeluarkan oleh petugas penyelenggaraan jenazah tersebut.
C. Tinjauan Hukum Islam Tentang Penakaran Upah dalam Penyelenggaraan Jenazah di Kenagarian Pitalah Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar
Kita sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari bantuan orang lain tentunya untuk memenuhi kebutuhan hidup yang berbeda beda. Dengan perbedaan kebutuhan tersebut maka membutuhkan pertolongan dari orang lain yang tujuannya untuk meringankan beban satu sama lain. Dalam kajian fiqh islam tolong menolong merupakan salah satu perbuatan bermuamalah untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia.
Bermuamalah sangat dianjurkan dalam Islam dengan syarat tidak menyalahi aturan yang telah ditetapkan dalam hukum syara‟. Diantaranya kegiatan muamalah yang diperbolehkan dalam Islam seperti upah mengupah salah satu bentuk tolong menolong antar sesama, dengan syarat tidak
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”
Dalam fiqh muamalah upah mengupah disebut dengan ijarah yang pada dasarnya akad sewa menyewa. Imbalan merupakan suatu tujuan dari upah mengupah yang diberikan oleh pihak mu‟jir/muajir yang berati orang yang menyewakan atau orang yang memberikan upah kepada musta‟jir yang berarti orang yang menyewa atau orang yang menerima upah. Pada pembahasan kali ini membahas mengenai ijarah yang berasal dari tenaga manusia, oleh karena itu pembahsan ini dikategorikan kepada al-ijarah ala al-a‟mal.
Jika dilihat dari jenis pengupahan dalam Islam terdapat dua bentuk pengupahan yaitu dengan cara upah sepadan atau biasa disebut dengan ujrah al mitsil artinya upah yang diberikan sepadan dengan jasa yang dikeluaran serta sepadan dengan kondisi pekerjaan yang dikerjakan oleh musta‟jir atas dasar kesepakatan dan ada juga upah yang telah disebutkan yang dinamakan dengan ujrah al musamma artinya upah yang telah disebutkan nominalnya terlebih dahulu dengan syarat ada unsur kerelaan dari kedua belah pihak, tidak ada unsur keterpaksaan untuk melakukan transaksi tersebut. Dilihat pada masa sekrang terdapat beberapa pengklasifikasian beracan-macam jenis upah diantaranya adalah upah mengupah dalam perbuatan ibadah. Upah mengupah seperti ini masih menjadi perbedaan pendapat dari para ulama mengenai kebolehannya.
Salah satu bentuk upah mengupah dalam perbuatan ibadah adalah upah
mengupah pada proses penyelenggaraan jenazah di Kenagarian Pitalah. Proses penyelenggaran yang terjadi di Kenagarian Pitalah sama halnya dengan proses penyelenggaran jenazah di Kenagarian lain. Akan tetapi sedikit perbedaan proses penyelenggaran jenazah di Kenagarian Pitalah yaitu penakaran upah pada proses penyelenggaran jenazah tersebut diantanya proses yang diberi upah adalah pada proses memandikanm, mengafani dan menguburkan. Proses seperti itu di pandu oleh alim ulama yang ada di Kenagarian Pitalah dan dibantu oleh masyarakat atau ahli waris yang mengerti dibidang memandikan, mengafani, dan menguburkan. Upah yang diberikan kepada orang yang ikut serta pada proses penyelenggaran jenazah tersebut diberikan dalam bentuk uang yang nominalnya ditanyakan kepada alim ulama yang memandu proses penyelenggaran jenazah tersebut. Jika ahli waris ikut serta atau sebagai pemandu proses penyelenggaran jenazah tidak diberikan upah. Proses penyelenggaraan jenazah merupakan suatu ibadah yang memiliki hukum fadhu kifayah artinya jika dikerjakan oleh satu orang muslim saja maka lepaslah tanggung jawab orang yang muslim yamg lainnya. Begitu juga sebaliknya jika tidak ada yang mengerjakan maka berdosalah satu daerah yang tidak melakukan ibadah tersebut.
Penakaran upah penyelenggaraan jenazah yang dilakukan masyarakat di Kenagarian Pitalah memenuhi unsur-unsur pokok upah mengupah yaitu:
1. Aqid (orang yang berakad) yaitu mu‟jir/muajir yang berati orang yang menyewakan atau orang yang memberikan upah dan musta‟jir yang berarti orang yang menyewa atau orang yang menerima upah atas kewajiban yang
telah dituntaskan sampai selesai. Pada praktik penakaran upah penyelenggaraan jenazah di Kenagarian Pitalah sudah memenuhi syariat islam, yang mana ada dua orang yang berakad.
2. Shigat Aqad, yaitu ijab dan qabul antar mu‟jir dengan musta‟jir.Yang beralandaskan kepada suka sama suka antara kedua belah pihak yitu antara pemberi upah dan penerima upah. Pada praktik akad yang terjadi pada proses penyelenggaraan jenazah di Kenagarian Pitalah adanya kesepakatan antara pihak yang mengupah dan penerima upah berapa imbalan yang akan di diberikan atau diterima atas dasar saling membutuhkan, sehingga terjadi kesepakatan dan berlansungnya akad.
3. Ujrah yaitu upah atau imbalan artinya imbalan dari jasa yang dikelurkan yang berbentuk uang yang nominalnya sudah di sepakatai terlebih dahulu.
4. Ma‟kud Alaih atau manfaah, yaitu manfaat/ barang yang disewakan dan sesuatu yang dikerjakan. Hal ini terlihat dari manfaat yang di lakukan oleh kedua belah pihak. Dimana yang menjadi objek kerja disini adalah pengurusan jenazah. Penyelenggaraan jenazah merupakan kewajiban dari umat muslim yang hukumnya adalah fardhu kifayah. Adanya petugas penyelenggaraan jenazah sangat membatu masyarakat yang amam dalam pengurusan jenazah. Akan tetapi pihak ahli waris harus memberikan imbalan berupa uang yang telah disepakati atas jasa yang dikeluarkan oleh petugas penyelenggaraan jenazah. Dengan ketentuan orang yang berakat sudah memenuhi syarat diataranya adalah:
a. Orang berakat telah baligh dan berakal dan tanpa pemaksaan.
b. Adanya objek yang di akadkan, sedangkan dalam skripsi ini, yang mana ulama berbeda pandangan tentang kebolehan upah mengupah dalam perbuatan ibadah yaitu dalam proses memandkan, mengafani, menguburkan jenazah.
c. Imbalan yang diberikan bermanfaat bagi orang menerima upah. Dalam hal ini yang menerima upah adalah petugas penyelenggaraan jenazah.
Dengan adanya paparan di atas maka akad ijarah yang dilakukan telah memenuhi syarat dan rukun yang berlaku dalam kajian upah mengupah.
Sebagaimana praktik yang di jelaskan diatas, terdapat beberapa pendapat yang membolehkan dan yang melarang menerima upah dalam hal ibadah seperti praktik penakaran upah memandikan, mengafani dan menguburkan jenazah. Para ulama dalam hal ini memiliki pandangan yang berbeda beda tentang hukum dari penakaran upah penyelenggaraan jenazah seperti yang telah dijalaskan pada bab pembahasan sebelumnya.
Adapun yang menjadi landasan adalah Hadis yang di riwayatkan oleh Abu Daud mengenai ketidak bolehan dalam pengambilan upah penyelenggaraan jenazah:
َشُجْلا ٌذٍِعَس اًَ َشَبْخَأ ٌداَّوَح اٌََثَّذَح َلٍِعَوْسِإ ُيْب ىَسىُه اٌََثَّذَح ْيَع ِ َّاللَّ ِذْبَع ِيْب ِف ِّشَطُه ْيَع ِء َلََعْلا ًِبَأ ْيَع ُّي ِشٌْ
َس اٌَ َلاَق ِصاَعْلا ًِبَأ َيْب َىاَوْثُع َّىِإ َشَخآ ٍع ِض ْىَه ًِف ىَسىُه َلاَق َو ُتْلُق َلاَق ِصاَعْلا ًِبَأ ِيْب َىاَوْثُع ِ َّاللَّ َلىُس
ُهاَهِإ َتًَْأ َلاَق ًِه ْىَق َماَهِإ ًٌِْلَعْجا ا ًشْجَأ ِهًِاَرَأ ىَلَع ُزُخْأٌَ َلَ اًًِّرَؤُه ْز ِخَّتا َو ْنِهِفَعْضَأِب ِذَتْقا َو ْنُه
.
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma‟il telah menceritakan kepada kami Hammad telah mengabarkan kepada kami Sa‟id Jurairi dari Abu
Al-„ala` dari *Mutharrif bin Abdullah+ dari Utsman bin Abi Al-„Ash dia berkata;
Aku pernah berkata; Wahai Rasulullah, jadikanlah saya sebagai imam kaumku! Beliau shallallahu „alaihi wasallam bersabda: ‚Kamu adalah imam mereka, dan jadikanlah makmum yang terlemah di antara mereka sebagai
pertimbangan (ketika mengimami shalat), dan jadikanlah muadzin dari orang yang tidak mengambil upah adzannya.” (HR. Abu Daud).
pertimbangan (ketika mengimami shalat), dan jadikanlah muadzin dari orang yang tidak mengambil upah adzannya.” (HR. Abu Daud).