• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebelum penulis memaparkan pendapat para fuqaha tentang pengurusan jenazah mutilasi, telebih dahulu penulis menjelaskan tentang arti jenazah mutilasi.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, mutilasi ialah proses atau tindakan

memotong-motong (biasanya) tubuh manusia atau hewan,48 dan Mutilasi dilihat dari

Ilmu Pengetahun adalah kebiasaan merusakkan bagian-bagian tertentu dari tubuh,

misalnya menanggalkan gigi dan memotong jari sebagai tanda korban.49

Pengertian mutilasi menurut, dr. Tjetjep Dwidja Siswaja, Sp.F adalah

kondisi mayat yang tidak utuh menjadi beberapa bagian karena, suatu kejadian. Misalnya yaitu; mutilasi karena pembunuhan, kecelakaan; kemudian tubuhnya

terpisah menjadi beberapa bagian hingga terpencar atau terpotong-potong.50

48

Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3, cet.4, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 768.

49

Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta:Lembaga pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN), 1997), Cet.Ke-I, h. 695.

50 Wawancara, Pribadi dengan dr. Tjetjep Dwidja Siswaja, Sp.F., Staf Departemen Forensik dan Medikolegal FKUI/ RSCM di bidang Hukum, Tanggal 09 July 2009.

Dan sedangkan menurut kriminolog UI Adrianus Melia, yang dimaksud dengan mutilasi adalah terpisahnya anggota tubuh yang satu dengan yang lainnya oleh sebab yang tidak wajar.51

Adapun yang dimaksud dengan jenazah mutilasi, dengan mengacu pada penjelasan tentang arti mutilasi di atas, adalah jenazah yang terpotong-potong beberapa bagian dari suatu kejadian, seperti pembunuhan atau kecelakaan yang menyebabkan tubuhnya terpencar/terpotong-potong.

Dalam pengurusan jenazah mutilasi, penulis membagi beberapa pendapat diantara para fuqaha ke dalam 3 golongan, yaitu:

1. Golongan Pertama

Golongan pertama berpendapat bahwa mayat yang tidak lengkap tubuhnya, termasuk di dalamnya mayat yang termutilasi tetap dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan. Mereka mengatakan bahwa tidak ada bedanya mayat yang tubuhnya lengkap dengan yang ada hanya anggota badannya saja. Di dalam pengurusan jenazah, pendapat yang pertama ini mewajibkan memandikan anggota tubuh si mayat yang terdapat itu seperti wajibnya memandikan mayat yang lengkap anggota badannya.

Pendapat ini dikemukan oleh Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal,

dan Ibnu Hazm. Imam Syafi’i berkata: “kami mendapat berita bahwa di waktu

perang berunta, seekor burung menjatuhkan sepotong tangan manusia di mekkah (tangan itu adalah tangan Abdurahman bin ‘Itab bin Asid). Tangan itu dapat

51

mereka kenali dengan cincin. Maka tangan itu mereka mandikan dan shalatkan, dan hal itu adalah di depan para sahabat”.52

Imam Ahmad, berkata: “Abu Ayyub menshalatkan sepotong kaki, sedang

Umar menshalatkan tulang-belulang”.53

Dan menurut Ibnu Hazm: ”hendaklah dishalatkan apa yang ditemukan

dari tubuh mayat muslim, juga hendaklah dimandikan, dan dikafani. Kecuali jika berasal dari orang mati syahid. Katanya pula hendaklah dalam menshalatkan sebagian tubuh mayat itu, diniatkan menshalatkan keseluruhannya, baik jasad maupun roh”.54

2. Golongan Kedua

Golongan kedua berpendapat bahwa; jika yang terdapat itu lebih dari separuh badan mayat, maka haruslah dimandikan, dikafani, dan dishalatkan, namun jika tidak, maka tidak wajib dimandikan dan dishalatkan.

Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah dan Imam Malik. Pendapat Abu Hanifah dan Imam Malik ini adalah semata-mata Ijtihad mereka.

52

Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf dengan judul “Fiqh Sunnah 4”, cet.1,(Penerbit:PT Alma’arif bandung, 1978), h.89-90.

53

Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf dengan judul “Fiqh Sunnah 4”, h.89-90.

54

Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf dengan judul “Fiqh Sunnah 4”, h.89-90.

Abu Hanifah dan Imam Malik, berkata : “jika ditemukan lebih dari separuhnya, hendaklah dimandikan dan dishalatkan, dan jika kurang maka tidak perlu dimandikan dan dishalatkan”.55

3. Golongan Ketiga

Golongan ketiga dari Imamiyah56 berpendapat bahwa kalau yang

didapatkan dari sepotong anggota badan mayat itu adalah dadanya atau sebagian yang lainnya yang mengandung hati, maka hukumnya persis seperti hukum terhadap mayat yang sempurna, yaitu wajib dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan. Namun, jika tidak ada sepotong saja dari anggota tubuhnya yang mengandung hati, atau sebagainya, seperti dada, tapi terdapat tulangnya, maka ia wajib dimandikan dan dibungkus dengan sehelai kain kemudian dikuburkan.

Tapi bila ia tidak terdapat tulang didalam anggota tubuh yang ditemukannya itu, maka ia hanya dibungkus dengan sehelai kain dan dikuburkan,

tidak usah dimandikan.57

55

Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, diterjemahkan oleh Mahyuddin Syaf dengan judul “Fiqh Sunnah 4”, h.89-90.

56

Imamiyah adalah Mazhab Syi’ah Imamiyah disebut juga Mazhab Syi’ah Itsna Asyariyah (Syi’ah Dua Belas),karena mereka mempunyai 12 orang Imam nyata. Diantaranya, yaitu; Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan, Al-Husen, Ali Zain al-Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far al-Shadiq, Musa Kazhim, Ali Ridha, Muhammad Jawwad, Ali Hadi, Al-Hasan bin Muhammad al-Askari, Muhammad al-Mahdi al-Muntazar. Syi’ah Imamiyah menjadi paham resmi di Negara Iran.

57

Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, diterjemahkan oleh Masykur A.B.,Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff dengan judul “Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’I, Hambali”, cet.19 (Jakarta: Lentera, 2007) h.45-46.

Pendapat yang pertama lebih kuat karena diperbuat dan dilaksanakan dihadapan para sahabat nabi dan para mayat yang terlepas dari anggota badannya

korban dari perang Uhud dan Jamal.58

Adapun tata cara dalam memandikan mayat yang tubuhnya terpotong – seperti misalnya terpotong kepalanya-jika potongan tersebut ada, maka terlebih dahulu menangkapkan tepi yang satu dengan yang lain lalu menjahitnya dengan menggunakan tali pengikat atau pembalut atau juga dengan lumpur yang tak bercampur pasir, sehingga tidak tampak kejelekannya. Apabila ada sesuatu yang

lepas dari tubuh mayat seperti gigi, maka tetap dimandikan dan dikafankan.59

Sebagai penutupan dari pembahasan bab 2 ini mengenai ”Pengurusan Jenazah Mutilasi Menurut Hukum Islam”, penulis akan memberikan kesimpulan di dalam pembahasan ini;

Jenazah adalah segala yang berkaitan dengan proses pemakaman dan

pengkafanan bagi si mayat, sedangkan kata al-mayyit dalam bahasa arab yang berarti

orang yang meninggal. Dalam pengurusan jenazah hukumnya ialah fardhu kifayah, artinya jika sudah ada sebagian muslim yang mengurus jenazah maka gugurlah kewajiban sebagian yang lain, baik itu memandikannya, mengkafankannya, menshalatkannya, dan menguburkannya.

58

Othman Mukim Hassan, Khulasah Kifayah Himpunan 600 Masalah Jenazah, cet. I, (Malaysia: Pustaka Ilmi, 1995), h. 51-52.

59

Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Juz 2, h. I1489.

Di dalam memandikan jenazah hendaknya orang yang paling dekat (kaum kerabat) dan yang memiliki sifat wara dan amanah. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hadawiyah, bahwa orang yang memandikan jenazah disyaratkan orang yang Adil. Sedangkan, Jumhur Ulama berbeda pendapat dalam hal ini dan mereka mengatakan bahwa orang yang memandikan jenazah itu dibebankan dengan beban-beban syara’, dan memandikan mayat termasuk di antaranya, jika tidak maka tidak sah setiap perbuatan yang dibebankan kepadanya, dan ini menyalahi ijmak.

Mengkafankan jenazah juga sama dengan, memandikan jenazah yaitu dilakukannya oleh kerabat. Sedangkan hikmah dari mengkafankan mayat adalah untuk menutupi auratnya dari pandangan mata dan sebagai penghormatan padanya. Pengkafanan para fuqaha berbeda pendapat; menurut Imam Hanafi dan berbagai fuqaha mazhab, untuk kafan laki-laki baliq; bahwa pakaian gamis menutupi dari leher hingga kaki, tanpa lengan baju tidak terbuka pada dada dan sisi lambung, dan Bawahnya tidak usah lebar-lebar seperti pakaian orang hidup, tetapi harus sejajar. Sedangkan kafan untuk wanita, Imam Syaukani mengatakan (hadits yang diriwayatkan Laila binti Qanif ast-Tsaqafiah) adalah dibuatkan kain, pakaian, kerudung selimut, dan lipatan. Dan dalam Fiqh al-Wadhih, Imam Syaukani mengatakan bahwa sebagian Fuqaha memandang Makruh dalam penambahankain kafan mayat lebih dari tiga, hal demikian mereka mengannggap berlebihan.

Menshalatkan jenazah hukumnya fardhu kifayah bagi yang orang muslim yang menghadirinya. Syarat-syarat shalat mayat, dilaksanakan sebagaimana biasanya; harus dalam keadaan suci, menghadap kiblat, menutup aurat, terhindar dari darah

haid dan nifas. Dan rukun-rukunnya, yaitu; Niat, Berdiri bagi orang yang mampu, Empat takbir, Membaca Shalawat atas Rasulullah SAW, Membaca doa. Dalam berjalan mengiringi jenazah termasuk proses dalam pengurusan jenazah, dan hukumnya fardhu kifayah. Berjalan mengiringi jenazah artinya mengusung jenazah sampai tempat pemakaman mayat dikuburkan. Hal-hal yang disunnahkan ketika membawa jenazah; Mensegerakan dalam membawa jenazah, Mengintari kurung batang, Berjalan di depannya atau di belakangnya atau di sampingnya sebelah kanan atau juga sebelah kiri yang berdekatan dengan mayat.

Dan yang terakhir yaitu proses penguburannya, yaitu menguburkan mayat di dalam tanah, agar terhindar dari; tercium baunya, dimakan oleh binatang buas. Dalam ketika penguburan jenazah di sunnahkan untuk; Mendalamkan kuburnya, Memperluas bagian kepala mayat dan kakinya, lebih baik menguburkan mayat pada lahad yang tanahnya keras, Menguburkan mayat di kuburan yang jauh dari rumah, Orang yang mengubur yang menjadi imamdalam shalat mayat, menutup kubur dengan kain ketika meletakkan mayat di dalam kubur, Memasukkan mayat dari sisi kakinya, Menghadapkan mayat ke arah kiblat, Orang yang meletakan mayat

mengucapkan: ”Bismillahi wa a’lamilatilrasullillah”, Menempelkan pipi mayat yang

kanan dan diletakkan di atas ganjalan atau batu atau tanah, Meletakan sesuatu di belakangnya dari tanah atau lainnya agar ia tidak jatuh dan selalu menghadap kiblat, Menutup kubur dengan tanah dan meninggikannya sejengkal dari tanah, Memberi tanda berupa batu dan Orang yang menghadiri penguburan mayat hendaknya memegang tiga gumpalan tanah di atas kubur di sisi kepala mayat kemudian

menaburkannya dengan kedua tangannya, Orang yang mengiringi mayat hendaknya menunggu setelah penguburan dengan waktu kira-kira waktu yang dibutuhkan untuk menyembelih unta dan membagikan dagingnya kepada orang-orang miskin agar mayat merasa tentram dengan mereka, Berdiri di sisi kubur sambil mendoakan keteguhan bagi mayat dan memohonkan ampunan bagi si mayat.Dan pada hakikatnya Islam menganjurkan agar setiap orang yang meninggal untuk disegerakan melaksanakan proses pengurusan jenazahnya.

Untuk pengurusan jenazah mutilasi, mereka (Fuqaha) berbeda pendapat dan terbagi menjadi tiga golongan diantaranya, yaitu; Golongan pertama, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, dan Ibnu Hazm mengatakan dalam pengurusan jenazah mutilasi: mayat tidak lengkap tubuhnya, wajib memandikan anggota tubuh si mayat yang terdapat itu seperti wajibnya memandikan mayat yang lengkap anggota badannya. Golongan kedua, Imam Abu Hanifah, dan Imam Malik mengatakan dalam pengurusan jenazah mutilasi: jika yang ditemukan lebih dari separuh badan mayat, hendaklah dimandikan dan dishalatkan, dan jika kurang maka tidak perlu dimandikan dan dishalatkan. Sedangkan, Golongan ketiga, Imamiyah mengatakan dalam pengurusan jenazah mutilasi: jika didapatkan dari sepotong anggota badan mayat itu adalah dadanya atau sebagian yang lainnya yang mengandung hati, maka wajib dilaksanakan pengurusan jenazah seperti, hukum terhadap mayat yang sempurna, yaitu wajib dimandikan, dikafankan, dan dishalatkan. Dan apabila, yang didapatkan tidak ada sepotong saja dari anggota tubuhnya yang mengandung hati, atau

sebagainya, seperti dada, tetapi ditemukan ada tulangnya, maka ia wajib dimandikan dan dibungkus dengan sehelai kain kemudian dikuburkan.

Dokumen terkait