• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

4.1 Penilaian Saham

4.1.2 Penilaian dengan Price Book Value (Relative Valuation)

Pada metode Price to Book Value (PBV), untuk menentukan posisi saham undervalued, fairvalued atau overvalued langkah yang harus dilakukan adalah cukup sederhana. Investor maupun calon investor tidak perlu menentukan besarnya nilai intrinsik melainkan cukup dengan melihat berapa nilai hasil perhitungan rasio PBV. Menurut Husnan (2003:27) untuk perusahaan–

perusahaan yang berjalan dengan baik, umumnya rasio ini mencapai diatas satu yang menunjukkan bahwa nilai pasar saham lebih besar dari nilai bukunya.

Semakin besar rasio PBV semakin tinggi perusahaan dinilai oleh para pemodal relatif dibandingkan dengan dana yang telah ditanamkan di perusahaan.

Pernyataan tersebut didukung dengan pernyataan Tandelilin (2010:323) Idealnya harga pasar saham bank jika dibandingkan nilai buku asetnya akan mendekati satu. Saham-saham yang mempunyai rasio harga/nilai buku yang rendah sebaiknya dibeli untuk memperoleh tingkat return yang lebih besar pada tingkat risiko tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa Price to Book Value dengan nilai

diatas satu dinilai baik oleh investor, namun tidak berarti sebaliknya untuk PBV dibawah satu mencerminkan buruknya perusahaan, maka perlu dilihat indikator lainnya.

PBV diatas satu juga tergolong overvalued atau harganya mahal, namun PBV yang memiliki harga mahal masih mempunyai kemungkinan untuk naik jika perusahaan memiliki kineja dan prospek usaha yang bagus. Prospek usaha dapat dilihat dari berapa tingginya laba yang mampu dihasilkan oleh perusahaan.

Investor dapat melihat bersarnya Return On Equity untuk melihat kemapuan perusahaan dalam menghasilkan laba berdasarkan modal yang dimiliki. Dalam penelitian ini tidak membahas bagaimana seharusnya investor mentukan keputusan investasinya melainkan hanya menentukan posisi saham di pasar.

Untuk itu ketentuan yang bisa disimpulkan untuk menetukan posisi saham berdasarkan PBV adalah :

PBV > 1 maka saham dalam posisi overvalued PBV = 1 maka saham dalam posisi fairvalued PBV <1 maka saham dalam posisi undervalued a. Penilaian Saham dengan PBV Sebelum Akuisisi

Berikut adalah tabel 4.3 yang menggambarkan perhitungan rasio Price to Book Value pada saat penilaian sebelum akuisisi 30 Juni 2014, dengan cara menentukan terlebih dahulu Nilai Buku atas Ekuitas dengan memperhitungkan jumlah ekuitas berbanding jumlah saham yang beredar didapatkan nilai sebesar 98, kemudian membandingkan Harga saham dengan Nilai Buku.

Tabel 4.3 . Hasil Penilaian Saham sebelum akuisisi dengan PBV Tahun Price Jumlah Ekuitas Jumlah Saham

Beredar

PBV 2014 84 535.849.531.912 5.486.078.541 0,86

b. Penilaian Saham dengan PBV Setelah Akuisisi

Perhitungan rasio Price to Book Value untuk penilaian setelah akuisisi di tanggal 31 Desember 2017 dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini, dilakukan dengan cara menentukan terlebih dahulu Nilai Buku atas Ekuitas dengan memperhitungkan jumlah ekuitas berbanding jumlah saham yang beredar didapatka nilai sebesar 78, kemudian membandingkan Harga saham dengan Nilai Buku tersebut.

Tabel 4.4 . Hasil Penilaian Saham setelah akuisisi dengan PBV Tahun Price Jumlah Ekuitas Jumlah Saham

Beredar

PBV 2017 51 1.658.394.921.066 21.261.473.347 0,65

BAB V

ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Makro Ekonomi

5.1.1 Produk Domestik Bruto

Pertumbuhan ekonomi Indonesia keseluruhan tahun 2013 tercatat 5,6% lebih lambat dari pertumbuhan 2012. Kondisi ekonomi yang kondusif berubah pada tahun 2013, dipicu oleh bergesernya faktor – faktor global yang sebelumnya menguntungkan ekonomi Indonesia. Di sektor perdagangan, melambatnya pertumbuhan ekonomi negara emerging market seperti China dan India menimbulkan konsekuensi pada berakhirnya era harga komoditas yang tinggi, menurunkan terms of trade Indonesia dan pada akhirnya menekan kinerja ekspor komoditas primer. Di tengah kuatnya permintaan domestik yang mendorong impor, pelemahan kinerja ekspor ini menaikkan defisit transaksi berjalan. Di sektor finansial, indikasi membaiknya kinerja perekonomian Amerika Serikat mendorong otoritas moneternya untuk mulai melakukan pengurangan stimulus moneter sehingga secara berangsur –angsur mengurangi pasokan likuiditas ke negara emerging market, termasuk Indonesia. Kondisi ini memunculkan ketidakseimbangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang ditandai oleh melebarnya defisit transaksi berjalan dan semakin terbatasnya arus modal masuk ke dalam negeri sehingga secara fundamental menekan nilai tukar rupiah.

Gambar. 5.1 Indikator Ekonomi Indonesia

Indikator 2008 2009 2010 2011 2012 2013

PDB 6 4,6 6,2 6,5 6,2 5,8

Konsumsi RT 5,3 4,9 4,7 4,7 5,3 5,3

Konsumsi Pemerintah 10,4 15,7 0,3 3,2 1,2 4,9

PMTB 11,9 3,3 8,5 8,8 9,8 4,7

Ekspor 9,5 -9,7 15,3 13,6 2 5,3

Impor 10 -15 17,3 13,3 6,6 1,2

Inflasi 11,1 2,8 7 3,8 4,3 8,4

Inti 8,3 4,3 4,3 4,3 4,4 5

Diatur Pemerintah 16 -3,3 5,4 2,8 2,7 16,7

Bergejolak 16,5 3,9 17,7 3,4 5,7 11,8

Niai Tukar (rata-rata) Rp/$ 9692 10408 9087 8776 9358 10445

Defit APBN (%thd PDB) -0,1 -1,6 -0,7 -1,1 -1,9 -2,3

sumber :BPS

Gambar. 5.2 Pertumbuhan PDB Permintaan

2011 2012 2013 2014

Konsumsi Rumah Tangga 5,1 5,5 5,4 5,1

Konsumsi Lembaga Nonprofit Rumah Tangga (LNPRT) 5,5 6,7 8,2 12,4

Konsumsi Pemerintah 5,5 4,5 6,9 2,0 Indonesia yang masih rentan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2014. Ekonomi Indonesia pada 2014 (Gambar 5.2) tumbuh 5,0% lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 5,6%.

5.1.2 Tingkat Inflasi

Gambar 5.3 Inflasi IHK pada periode Kenaikan Harga BBM

sumber : BPS

Inflasi IHK pada tahun informasi diatas tertinggi mencapai angka 17,11%

(Gambar 5.3), pada tahun 2008 11,06% , menurun kembali di tahun 2013 menjadi 8,38% dan 2014 turun 0,02% menjadi 8,36%. Tekanan inflasi 2014 terutama bersumber dari inflasi kelompok administered prices yang meningkat menjadi 17,57% dari 16,65% pada tahun 2013. Tingginya tekanan inflasi tersebut terkait dengan upaya reformasi subsidi energi yang mencakup Liquefed Petroleum Gas (LPG),Tarif Tenaga Listrik (TTL), dan Bahan Bakar Minyak (BBM) Dari sisi domestik, tekanan inflasi juga moderat sejalan dengan ekspektasi inflasi yang terjaga dan pertumbuhan ekonomi domestik yang melambat

Gambar 5.4 Event Analysis Inflasi

sumber : BPS

Tekanan inflasi inti pada tahun 2014 tetap terjaga ditengah tngginya kenaikan biaya input (cost push) yang bersumber dari kenaikan harga BBM bersubsidi dan gejolak volatile food. Inflasi inti pada tahun 2014 sebesar 4,93% (Gambar 5.4) lebih rendah dibandingkan tahun 2013 sebesar 4,98%. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh stabilitas nilai tukar yang terjaga, penurunan harga komoditas global, ekspektasi inflasi yang terkendali, serta perlambatan permintaan domestik.

Gambar 5.5 Realisasi Inflasi IHK dan Sasaran Inflasi

sumber : BPS

Posisi Inflasi IHK menunjukkan penurunan di tahun 2009 pada angka 2,78%

dibandingkan tahun sebelumnya dan setelahnya terjadi perbedaan yang signifikan (Gambar 5.5). Tekanan inflasi mulai pada kondisi stabil di tahun 2015 sampai dengan 2017, dimana tidak terjadi perbedaan secara signifikat diangka 3 koma, berturut turut 3,35%, 3,02%, dan 3,61% .

Tabel 5.1 Perkembangan Inflasi (%) di Indonesia 2014-2016

Bulan 2014 2015 2016 Mean Standar Deviasi

Januari 8,22 6,96 4,14 6,44 2,09

Februari 7,75 6,29 4,42 6,15 1,67

Maret 7,32 6,38 4,45 6,05 1,46

April 7,25 6,79 3,60 5,88 1,99

Mei 7,32 7,15 3,33 5,93 2,26

Juni 6,70 7,26 3,45 5,80 2,06

Juli 4,53 7,26 3,21 5,00 2,07

Agustus 3,99 7,18 2,79 4,65 2,27

September 4,53 6,83 3,07 4,81 1,90

Oktober 4,83 6,25 3,31 4,80 1,47

November 6,23 4,89 3,58 4,90 1,33

Desember 8,36 3,35 3,02 4,91 2,99

sumber: website Bank Indonesia

Grafik 5.1 Perkembangan Inflasi di Indonesia

sumber : website Bank Indonesia

Dapat dilihat bahwa selama periode 2014 sampai dengan 2016 pergerakan inflasi mengalami naik turun (Tabel dan Grafik 5.1). Inflasi terendah terjadi pada bulan Agustus 2016 sebesar 2,79%. Sedangkan inflasi tertinggi terjadi pada bulan Desember tahun 2014 sebesar 8,36%. Rendahnya inflasi pada tahun 2016 disebabkan beberapa faktor diantaranya yaitu pertama, koordinasi kebijakan yang baik antara Bank Indonesia dengan pemerintah. Kedua, tercukupinya permintaan dibanding dengan ketersediaan barang. Ketiga, pengendalian yang baik dari sisi nilai tukar rupiah sehinga dapat menjaga inflasi, keempat, hal tersebut di dukung ekspektasi inflasi yang rendah dari masyarakat

5.1.3 Tingkat Suku Bunga

Tabel 5.2 Perkembangan Tingkat Suku Bunga (BI Rate) di Indonesia 2014-2016

Bulan 2014 2015 2016 Mean Standar Deviasi

Januari 7,50 7,75 7,25 7,50 0,25

Februari 7,50 7,50 7,00 7,33 0,29

Maret 7,50 7,50 6,75 7,25 0,43

April 7,50 7,50 6,75 7,25 0,43

Mei 7,50 7,50 6,75 7,25 0,58

Juni 7,50 7,50 6,50 7,17 0,58

Juli 7,50 7,50 6,50 7,17 0,58

Agustus 7,50 7,50 5,25 6,75 1,30

September 7,50 7,50 5,00 6,67 1,44

Oktober 7,50 7,50 4,75 6,58 1,59

November 7,75 7,50 4,75 6,67 1,66

Desember 7,75 7,50 4,75 6,67 1,66

sumber: website Bank Indonesia

Berdasarkan tabel 5.2 dapat kita ketahui bahwa secara keseluruhan nilai standar deviasi dari data tingkat suku bunga (BI Rate) tersebut menunjukkan nilai lebih kecil dari nilai mean. Sebagai contoh nilai standar deviasi bulan Oktober 1,59 lebih rendah dari mean sebesar 6,58. Variasi data selama periode pengamatan tergolong rendah, artinya tidak terdapat kesenjangan yang cukup besar dari data tingkat suku bunga (BI Rate). Data tersebut mengambarkan dalam waktu selama tiga tahun tingkat suku bunga (BI Rate) tiap bulannya mengalami fluktuasi yang signifikan. Kenaikan rata-rata pertumbuhan tingkat suku bunga ditunjukkan pada bulan Oktober sebesar 6,58 lebih rendah dibandingkan dengan pada bulan November sebesar 6,67%. Sedangkan penurunan rata-rata

pertumbuhan tingkat suku bunga (BI Rate) pada bulan Januari sebesar 7,50%

lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata bulan Februari sebesar 7,33%.

Grafik 5.2 Perkembangan Tingkat Suku Bunga (BI Rate) di Indonesia Tahun 2014-2016

sumber : website Bank Indonesia

Pada grafik 5.2, Tingkat suku bunga terlihat fluktuatif pada periode 2016, sempat menyentuh angka tertinggi di Januari terus semakin menurun dan puncak terendahnya di bulan Oktober sebesar 4,75% dibandingkan dengan tingkat suku bunga yang terjadi pada kurun waktu 2014 dan 2015, dimana tingkat suku bunga cenderung lebih stabil. Tingkat suku bunga (BI rate) terendah terjadi pada tiga bulan terakhir tahun 2016 yaitu bulan Oktober, November dan Desember sebesar 4,75%. Sedangkan tingkat suku bunga (BI rate) tertinggi terjadi pada bulan November dan Desember tahun 2014 serta Januari 2015 sebesar 7,75%. Sejak bulan Februari 2015 suku bunga acuan atau BI Rate berada di level 7,5%, namun pada bulan Januari 2016 Bank Indonesia menurunkan BI Rate menjadi 7,25%. Kemudian pada bulan Maret 2016 BI Rate turun menjadi 6,75%. Penurunan tersebut disebabkan karena terjaganya stabilitas makroekonomi serta didukung oleh terus menurunnya laju inflasi pada tahun 2016.

5.1.4 Nilai Tukar Rupiah

Pada tahun 2014, secara rata-rata, rupiah terdepresiasi 12% ke level Rp11.812 per dolar AS dari Rp10.445 per dolar AS pada 2013 Rupiah cenderung melemah hampir pada sepanjang tahun 2014, kecuali pada triwulan I 2014 (Gambar 5.6)

Gambar 5.6 Nilai Tukar Rupiah 2014

sumber: Bank Indonesia

Pada triwulan II-III 2014, rupiah kembali melemah dipicu oleh moderasi pertumbuhan ekonomi domestik dan riskon risk-off kondisi politk dalam negeri.

Sementara, dari sisi eksternal, tekanan rupiah terutama bersumber dari kekhawatran terhadap dampak normalisasi kebijakan the Fed dan perlambatan ekonomi global.

Nilai tukar rupiah pada 2017 secara umum cukup stabil ditopang oleh membaiknya fundamental perekonomian Indonesia, meskipun sempat mengalami tekanan pada triwulan terakhir akibat faktor eksternal. Terjaganya nilai tukar rupiah tidak terlepas dari kinerja positif NPI yang mencatatkan surplus. Surplus NPI didukung oleh cukup derasnya aliran masuk modal asing dan menurunnya defisit transaksi berjalan. Dinamika nilai tukar menunjukkan rupiah bergerak stabil hingga menjelang akhir triwulan III 2017 dan kemudian cenderung melemah pada periode selanjutnya hingga akhir 2017 (Gambar 5.6). Nilai tukar rupiah pada akhir 2017 ditutup pada level Rp13.568 per dolar AS, tidak banyak

berbeda dibandingkan dengan posisi pada akhir 2016 yang mencapai Rp13.473 per dolar AS.

Gambar 5.7 Grafik perkembangan Rupiah per dolar AS 2016-2017

sumber: Bank Indonesia 5.2 Analisis Industri

Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningktakan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan dtasbilitas nasional kearah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.

Berdasarkan undang-undang, struktur perbankan di Indonesia, terdiri atas bank umum dan BPR. Perbedaan utama bank umum dan BPR adalah dalam hal kegiatan operasionalnya. BPR tidak dapat menciptakan uang giral, dan memiliki jangkauan dan kegiatan operasional yang terbatas. Selanjutnya, dalam kegiatan usahanya dianut dual bank system, yaitu bank umum dapat melaksanakan kegiatan usaha bank konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah. Sementara prinsip kegiatan BPR dibatasi hanya dapat melakukan kegiatan usaha bank konvesional atau berdasarkan prinsip syariah.

Tabel 5. 3 Rekapitulasi Institusi Perbankan di Indonesia Tahun 2011 Jenis Bank Jumlah Kategori Bank Jumlah Bank Umum

Bank Swasta 116 Bank Pembangunan Daerah

5.2.1 Gambaran Umum Industri Perbankan

Bertitik tolak dari kebutuhan untuk memiliki fundamental perbankan yang lebih kuat dan sebagai upaya lanjutan dalam program penyehatan perbankan nasional, BI mulai tahun 2004 telah mulai mengimplementasikan landscape atau blue print mengenai tatanan industri perbankan dalam “Arsitektur Perbankan Indonesia (API)“ yang telah disusun berdasarkan masukan-masukan dari berbagai stakeholders. API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk serta tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang oleh API dilandasi oleh visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Guna kemudahan dalam merumuskan arah kebijakannya, fokus penyusunan API dibagi dan diarahkan pada proses pembentukan 6 (enam) pilar infrastruktur yang dibutuhkan oleh perbankan nasional yaitu: struktur perbankan nasional yang kokoh, pengaturan dan pengawasan bank yang efektif, kondisi internal individual bank yang sehat,

infrastruktur pendukung industri perbankan yang memadai, dan juga terpenuhinya aspek perlindungan dan pemberdayaan konsumen pengguna jasa perbankan yang dapat diandalkan.

Setidaknya ada beberapa poin yang akan dibenahi oleh BI sebagai upaya untuk menyiapkan perbankan nasional dalam memasuki persaingan global, antara lain sebagai berikut:

Pertama, adalah program penguatan struktur perbankan nasional. Program ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank umum (konvensional dan syariah) dan meningkatkan daya saing, dan akses kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam rangka meningkatkan kapasitas pertumbuhan kredit perbankan. Upaya peningkatan modal bank-bank tersebut dapat dilakukan dengan membuat rencana bisnis yang memuat target waktu, cara dan tahapan pencapaian. Adapun cara pencapaiannya dapat dilakukan melalui:

a. Penambahan modal baru, baik dari pemegang saham lama maupun investor baru.

b. Memberi kesempatan kepada bank-bank tersebut untuk melakukan penggabungan dengan bank (atau

beberapa bank) lain untuk mencapai persyaratan modal minimum baru.

c. Menerbitkan saham baru atau melakukan secondary offering di pasar modal.

d. Menerbitkan Obligasi.

Dalam waktu 10 – 15 tahun ke depan diharapkan telah terjadi konsolidasi sektor perbankan secara menyeluruh yang mengarah kepada struktur perbankan yang lebih optimal, yaitu terdiri dari :

a. Dua sampai tiga bank nasional yang mengarah kepada bank internasional dengan kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal di atas Rp50 triliun.

b. Tiga sampai lima bank nasional yang memiliki cakupan usaha yang luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10 triliun sampai dengan Rp50 triliun.

c. Tiga puluh sampai 50 bank nasional yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kemampuan dan kompetensi setiap bank.

Bank-bank tersebut memiliki modal antara Rp100 miliar sampai dengan Rp10 triliun.

d. BPR dan bank-bank nasional dengan cakupan usaha terbatas yang lebih kuat dan mampu berperan secara lebih efektif sesuai pangsa pasarnya, dengan modal kurang dari Rp100 miliar.

Kedua, adalah program peningkatan kualitas pengaturan perbankan. Program ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas pengaturan yang dilakukan oleh BI serta memenuhi standar pengaturan yang mengacu pada international best practices. Program tersebut dapat dicapai dengan penyempurnaan proses penyusunan kebijakan perbankan serta penerapan 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision secara bertahap dan menyeluruh. Dalam jangka waktu lima tahun ke depan diharapkan BI akan dapat sejajar dengan negaranegara lain dalam penerapan international best practices termasuk 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision. Dari sisi proses penyusunan kebijakan perbankan, dalam waktu dua tahun ke depan, BI diharapkan telah

memiliki sistem penyusunan kebijakan perbankan yang efektif dengan melibatkan pihak-pihak terkait dalam proses penyusunannya.

Ketiga, adalah program perbaikan fungsi pengawasan perbankan oleh BI.

Program ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi BI sebagai otoritas pengawas perbankan. Hal ini dicapai dengan penyempurnaan proses pembuatan kebijakan perbankan, peningkatan koordinasi antar lembaga pengawas, peningkatan kompetensi pemeriksa bank, pengembangan dan penajaman pengawasan berbasis risiko, peningkatan efektivitas enforcement, dan konsolidasi organisasi sektor perbankan di BI. Dalam jangka waktu dua tahun ke depan diharapkan fungsi pengawasan bank yang dilakukan oleh BI akan lebih efektif dan sejajar dengan pengawasan yang dilakukan oleh otoritas pengawas di negara lain.

Keempat, program peningkatan kualitas manajemen dan operasional perbankan. Program ini difokuskan untuk meningkatkan good corporate governance (GCG), kualitas manajemen risiko dan kemampuan operasional manajemen. Semakin tingginya standar GCG dengan didukung oleh kemampuan operasional (termasuk manajemen risiko) yang handal diharapkan dapat meningkatkan kinerja operasional perbankan. Dalam waktu dua sampai lima tahun ke depan kondisi internal perbankan nasional akan menjadi semakin kuat.

Kelima, program pengembangan infrastruktur perbankan. Program ini bertujuan untuk mengembangkan sarana pendukung operasional perbankan yang efektif seperti credit bureau dan lembaga pemeringkat kredit domestik.

Pengembangan credit bureau akan membantu perbankan dalam meningkatkan kualitas keputusan kreditnya dan penggunaan lembaga pemeringkat kredit dalam

publicly-traded debt yang dimiliki akan meningkatkan transparansi dan efektivitas manajemen keuangan bank. Dalam waktu tiga tahun ke depan diharapkan telah tersedia infrastruktur pendukung perbankan yang mencukupi.

Keenam, adalah program peningkatan perlindungan nasabah. Program ini ditujukan untuk menciptakan standar bagi perbankan dalam menyusun mekanisme pengaduan nasabah dan keterbukaan informasi produk perbankan. Selain itu, diharapkan program ini dapat mendorong pembentukan lembaga mediasi independen yang menjembatani nasabah dan perbankan serta mendorong perbankan dalam memberikan edukasi bagi nasabah.

Program-program tersebut diharapkan dalam kurun waktu dua sampai lima tahun ke depan akan lebih meningkatkan kepercayaan nasabah pada sistem perbankan.

5.2.2 Kebijakan Perbankan

Sejak diberlakukan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tanggal 25 Maret 1992 yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 31 tahun 1992, Tambahan Lembaran Negara No. 3472, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan (”Undang-Undang Perbankan”), dan sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tanggal 17 Mei 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang No. 3 Tahun 2004 tentang BI (”Undang-Undang BI”), BI menjadi lembaga Pemerintah utama yang mengawasi sistem perbankan Indonesia.

Namun, efektif sejak tanggal 31 Desember 2013, Pengawasan dan Pengaturan Perbankan di Indonesia dilakukan oleh 2 (dua) lembaga, yaitu Bank Indonesia (BI) yang bertugas untuk melakukan Pengawasan dan Pengaturan

Makroprudensial dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan (microprudential). Hal ini sejalan dengan berlakunya Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tanggal 22 November 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Sesuai dengan Undang-Undang OJK, OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap Lembaga Jasa Keuangan, termasuk Perbankan. OJK dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan:

a. terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel;

b. mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

c. mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor jasa keuangan terutama di sektor Perbankan,maka OJK memiliki wewenang:

a. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank;

b. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank;

c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank; dan d. Pemeriksaan bank.

Dalam melaksanakan tugasnya, OJK berkoordinasi dengan BI dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:

a. Kewajiban pemenuhan modal minimum bank;

b. Sistem informasi perbankan yang terpadu;

c. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luarnegeri;

d. Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;

e. Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan f. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.

Undang-Undang Perbankan dan Undang-Undang OJK adalah landasan hukum utama yang mengatur pemberian izin-izin usaha dan pengaturan sektor perbankan.

Perbankan Indonesia juga tunduk pada peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan peraturan pelaksanaan yang diterbitkan oleh OJK, BI dan Menteri Keuangan Republik Indonesia.

5.2.3 Analisis Industri Five Porter’s Analysis

5.2.3.1 Persaingan antar bank dalam industri perbankan

Perkembangan perbankan nasional Indonesia saat ini sejak diberlakukannya Undang-undang No 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No 7 Tahun 1992, perbankan nasional Indonesia telah berkembang dengan menggunakan kerangka dual banking system yang mana selain terdapat perbankan konvensional yang telah lama berkembang, juga tumbuh secara berdampingan sistem perbankan syariah yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Dalam dual banking system, kedua jenis bank tersebut secara sinergis dan bersama-sama memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat terhadap produk dan jasa perbankan. Adanya dual banking system dalam industri perbankan akan menyebabkan terjadinya persaingan antara bank umum konvensional dan bank umum syariah.

Ancaman masuknya pendatang baru Industri perbankan mempunyai barriers to entry yang cukup kuat. Kesulitan terbesar untuk memasuki industri perbankan adalah regulasi dari Bank Indonesia. Berdasarkan peraturan Bank Indonesia No:11/1/PBI/2009 menyatakan bahwa untuk mendirikan bank membutuhkan modal disetor paling sedikit sebesar 3 triliun rupiah. Selain itu, sesuai dengan peraturan PBI No.7/15/PBI/2005 dan PBI No.9/16/PBI/2007 tentang Jumlah Modal Inti Minimum, jumlah modal inti minimum yang harus dipenuhi oleh semua bank umum yang beroperasi di Indonesia sebesar Rp100 miliar yang harus dipenuhi pada akhir tahun 2010. Bank Indonesia juga memberlakukan peraturan untuk membatasi jumlah perbankan asing yang ingin masuk ke pasar Indonesia.

Kendala lainnya untuk memasuki industri ini terletak di peta persaingan perbankan Indonesia yang didominasi oleh 10 bank terbesar yang sudah mempunyai brand image yang kuat di masyarakat yakni Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Bank Central Asia, Bank Negara Indonesia, Bank CIMB Niaga, Bank Danamon, Bank Permata, Bank Panin, Bank Internasional Indonesia dan Bank Tabungan Negara..

5.2.3.2 Kekuatan penawaran dari pembeli

Dalam industri perbankan, pembeli adalah nasabah atau debitur yang menggunakan jasa-jasa perbankan. Nasabah atau debitur tersebut dapat berasal dari korporasi ataupun pengguna perseorangan. Karena Bank ICB Bumiputera pada tahun 2013 merupakan bank Buku 1 yang merupakan Bank dengan modal intinya sampai atau kurang dari satu triliun, maka jumlah nasabahnya juga terbatas jika nasabah tidak dijaga dengan baik kemungkinan mereka akan pindah

Dalam industri perbankan, pembeli adalah nasabah atau debitur yang menggunakan jasa-jasa perbankan. Nasabah atau debitur tersebut dapat berasal dari korporasi ataupun pengguna perseorangan. Karena Bank ICB Bumiputera pada tahun 2013 merupakan bank Buku 1 yang merupakan Bank dengan modal intinya sampai atau kurang dari satu triliun, maka jumlah nasabahnya juga terbatas jika nasabah tidak dijaga dengan baik kemungkinan mereka akan pindah