• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENILAIAN PETANI TERHADAP SIFAT INOVASI TEKNIK SATU BIBIT PER RUMPUN

Berikut merupakan pembahasan mengenai penilaian petani terhadap sifat inovasi yang terdiri dari keuntungan relatif, kesesuaian, kompleksitas, triabilitas dan observabilitas. Penjelasan secara rinci mengenai jumlah dan persentase penilaian petani terhadap sifat inovasi tersaji dalam Tabel 8.

Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sifat inovasi teknik satu bibit per rumpun di Desa Purwasari tahun 2013

Sifat Inovasi Jumlah Persentase (%)

Keuntungan Relatif Rendah 4 13.3 Tinggi 26 86.7 Kesesuaian Rendah 3 10.0 Tinggi 27 90.0 Kompleksitas Rendah 13 43.3 Tinggi 17 56.7 Triabilitas Rendah 4 13.3 Tinggi 26 86.7 Observabilitas Rendah 2 6.7 Tinggi 28 93.7 Total 30 100.0 Keuntungan Relatif

Tabel 8 menunjukan bahwa 86.7 persen petani menilai teknik satu bibit per rumpun memiliki keuntungan relatif tinggi. Pada dasarnya program SRI secara perhitungan ekonomi menguntungkan. Tanah untuk satu hektar, ternyata cukup menggunakan bibit dengan jumlah 25 kg, dimana sebelumnya lahan satu hektar menggunakan bibit sejumlah satu kuwintal atau paling rendah 50 kg benih. Maka dari itu, petani sudah untung 25 kg benih. Dahulu satu hektar lahan menggunakan 25 kg benih, sekarang hanya menggunakan 15 kg benih per hektar. Sebelum ditanam, benih sudah di seleksi. Tingkat keuntungan relatif akan berkurang ketika hama datang atau mewabah yaitu pada musim hujan.

Harga benih dengan bobot lima kilogram senilai Rp.50 000, dengan demikian petani menghemat pengeluaran bibit Rp.250 000 per hektar. Begitu pun dengan penggunaan pupuk yang biasanya TSP dicampurkan dengan Urea dan KCL. Apabila semuanya dijumlah berat pupuk mencapai 4.5 kw. Setelah petani menerapkan program SRI, pupuk yang digunakan hanya satu kuwintal untuk TSP dan 50 kg untuk Urea. Apabila jumlah pupuk TSP dan Urea dijumlahkan menjadi 1.5 kw atau menurun 33 persen dari biasanya. Produktivitas hasil usahatani pun meningkat hampir mencapai 9 ton/hektar atau meningkat 80 persen, bila dibandingkan dengan sebelumnya yang hanya mencapai 5 ton/hektar. Disamping

40

itu pertumbuhan tanaman pun tergolong cepat. Berdasarkan pengalaman petani, satu rumpunnya pernah mencapai 80 anakan dari satu bibit, dengan perawatan yang intensif. Keuntungan lainnya adalah padinya berisi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu petani bahwa :

“… Tanah untuk 1 ha nih, ternyata cukup bibit dengan 25 kg, sebelumnya mah 1 ha, 1 kw atau paling rendah 50 kg benih itu kan. Berarti kita sudah untung 25 kg, benih juga dulu mah kalau menggunakan pupuk biasanya TSP, kemudian Urea, KCL, semuanya dijumlah 4,5 kw untuk pupuknya. Tapi setelah kita menggunakan secara program SRI itu hanya 1 kw untuk TSP dan 50kg Urea, sudah. Dulu harga bibit Rp. 35 000 1 bungkus 5 kg tapi sekarang Rp. 50 000. Disamping karena pertumbuhannya itu cepet. Rumpunnya itu dulu kita pernah coba sampai 80 tunas/anakan dari satu, kalau kita intensif dalam perawatannya. Alhamdulillah peningkatan dari jaman dulu paling 5 ton/ha kenapa sekarang 9 sampai 10 ton …” (SUH, 48 tahun)

Kesesuaian

Sebanyak 90 persen petani menilai teknik satu bibit per rumpun memiliki tingkat kesesuaian tinggi. Petani menilai teknik ini sesuai untuk ditanam pada lahan sawah irigasi. Teknik satu bibit per rumpun sesuai untuk ditanam dilahan yang petani miliki ataupun lahan garapan. Jika harus menanam 1-2 bibit, petani mengalami kesulitan dalam mengambilnya dari penyemaian. Pada program SRI, pembibitan dilakukan di nampan sehingga dapat dibawa, sedangkan para petani terbiasa melakukan penyemaian langsung dilahan. Penyemaian langsung dilahan membuat bibit mengalami tingakat stress atau kerusakan yang lebih tinggi dibandingkan bila dilakukan penyemaian di nampan. Ketika tahap tandur, petani menggunakan jasa ibu-ibu sekitar lima orang/hektar yang menandur, dikalikan Rp.20 000 per orang untuk setengah hari kerja. Ibu-ibu yang menandur terbiasa menanam empat bibit per rumpun karena mudah digenggam. Hal tersebut berdampak pada waktu tandur yang sedikit lebih lambat namun masih berkisar 1-2 hari sama seperti menanam konvensional. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu petani bahwa :

“… Waktu tandur lebih cepet soalnya kan di kepel biasanya 4. Kalau misalnya 2, ambilnya juga susah. Nanti kalau mau tandur miara ibu-ibu sekitar 5 orang yang nandur, dikaliin Rp. 20 000 per orang setengah hari …” (SAI, 56 tahun)

Kompleksitas

Pada tabel 8 sebanyak 56.7 persen petani menilai teknik satu bibit per rumpun memiliki tingkat kompleksitas tinggi. Kompleksitas tinggi di sini bermakna teknik tersebut tidak sulit diterapkan. Para petani mendapatkan tidak mendapatkan kesulitan dalam menanam teknik satu bibit per rumpun. Petani menilai teknik satu bibit per rumpun mudah dimengerti, praktis untuk diterapkan,

41 tidak memerlukan keterampilan khusus, dan tidak memerlukan waktu yang banyak. Belum banyak petani yang terampil menggunakan teknik caplak namun meminta bantuan kepada ketua kelompok tani untuk mencaplak lahannya atau petani lain yang sudah terampil. Petani menilai teknik satu bibit per rumpun memiliki tingkat kerumitan tinggi jika terdapat hama keong mas. Hama keong mas dapat mengakibatkan banyak bibit yang mati. Terlebih keong lebih mudah menyerang bibit yang muda karena batangnya masih lunak. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu petani bahwa :

“…. Karena faktor itu dek. Kerumitan itu tinggi kecuali kalo keong mas itu ga ada, kalau ada pestisida atau pengendaliannya terus disemprot. Barang kali saya mah cocok-cocok saja melakukan SRI. Disamping karena pertumbuhannya itu cepet. …” (SUH, 48 tahun)

Menanam dengan teknik satu bibit per rumpun tidak dapat dibilang mudah karena jika bibit tersebut diserang hama keong mas berarti petani harus tandur lagi atau menyulamnya. Petani mendapatkan pekerjaan tambahan harus mengisi rumpun yang kosong karena bibit dimakan oleh keong. Jika banyak bibit yang diserang hama keong, tidak menutup kemungkinan petani harus mengeluarkan biaya tandur lagi. Hal tersebut juga berdampak pada waktu panen yang tidak serempak.

Triabilitas

Tabel 8 menunjukan 86.7 persen petani menilai teknik satu bibit per rumpun memiliki tingkat tiabilitas tinggi. Teknik satu bibt per rumpun sudah dilaksanakan melalui demplot SRI. Pembuatan demplot sendiri memiliki tujuan untuk memberikan percontohan kepada para petani mengenai teknik baru. Ketika petani mencoba teknik satu bibt per rumpun tidak menggangu pertumbuhan tanaman lainnya. Petani pun memiliki lahan untuk mencoba menanam teknik satu bibt per rumpun.

Teknik ini menggunakan pengaturan air yang memiliki peranan penting karena berubah-ubah sesuai dengan periode tanam. Teknik satu bibt per rumpun sesuai untuk diterapkan dilahan para petani di Desa Purwasari. Hal ini dikarenakan ditempat ini lahan yang ada menggunakan sistem irigasi teknis. Petani dapat mengatur keluar masuknya air di lahan yang mereka miliki sesuai periode tanam. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu petani bahwa :

“… Artinya gini, nanem padi itu kan perlu aer, dikasih aer terus, yang namanya tanem ya pasti perlu aer tetapi tidak, istilahnya dikasih air terus kadang kala 3 hari. Asal macak-macak aj sebetulnya. Itu bagus. Istilahnya keluar tunsa-tunasnya gitu. Sebetulnya dek, terus terang aj. Kita ngebentuk demplot, demplot itu artinya gini kan, untuk salah satu percontohan barang kali 100 m, 1000 m, jadi penanaman percontohan…” (SUH, 48 tahun)

42

Observabilitas

Sebanyak 93.7 persen petani menilai teknik satu bibit per rumpun memiliki tingkat observabilitas tinggi. Secara fisik, induk dan anakan tanaman terikat kuat dalam satu rumpun. Rumpun yang kuat membuat tanaman tidak mudah roboh ketika tertiup angin, meskipun hal ini juga tergantung pada jenis varietas yang sedang ditanam. Bentuk daun padi pun lebih terbuka, yang menunjukan bahwa tanaman tersebut mendapatkan paparan sinar matahari yang cukup. Paparan sinar matahari yang cukup membuat tanaman optimal dalam berfotosintesis. Umumnya ukuran tinggi tanaman hampir sama saja tergantung benih yang digunakan, misalnya IR, Ciherang, dan Mekongga memiliki tinggi tanaman yang sama. Selain berbeda secara fisik, hasil teknik satu bibit per rumpun ini dapat diamati hasilnya oleh orang lain karena banyak petani lain yang bertanya mengenai teknik baru ini. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu petani bahwa :

“… Secara fisik tanaman kuat secara kesatuannya sudah mengikat jadi si padi bentuknya sreett (menunjukan bentuk daun yang lebih terbuka). Sebetulnya untuk ukuran tinggi tanaman hampir sama saja tergantung benih seperti IR, Ciherang, Mekongga sama saja ketinggiannya. Justru orang-orang itu bertanya, orang sebelah nih...pak kenapa sih punya bapak rumpunya banyak amat, padahal saya tahu tanamnya hanya 2 dan 3 …” (SUH, 48 tahun)

KEPUTUSAN ADOPSI TEKNIK SATU BIBIT PER RUMPUN

Dokumen terkait