ADOPSI PROGRAM
SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION
TEKNIK SATU BIBIT PER RUMPUN
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Adopsi Program System of Rice Intensification Teknik Satu Bibit per Rumpun adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK
ADHI PAMUNGKAS. Adopsi Program System of Rice Intensification Teknik Satu Bibit per Rumpun. Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS.
Teknik satu bibit per rumpun merupakan salah satu inovasi untuk meningkatkan produktivitas padi sawah yang ramah lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi faktor individu dan sifat-sifat inovasi yang berhubungan terhadap keputusan petani untuk adopsi pertanian teknik satu bibit per rumpun pada petani di Desa Purwasari, Kabupaten Bogor. Responden diambil secara acak dengan bantuan MS. Excel dengan jumlah 30 orang. Hasil penelitian menunjukan umumnya petani berusia tua, berlahan sempit, lulusan SD, pernah mengikuti penyuluhan, memiliki pengalaman bertani organik dan konvensional, memiliki perilaku komunikasi interpersonal dan karakteristik petani tidak berhubungan dengan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumput. Sifat inovasi berupa keuntungan relatif, kesesuaian, kompeksitas, triabilitas, dan observabilitas berhubungan dengan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumput.
Kata kunci: Teknik satu bibit per rumpun, sifat inovasi, dan adopsi inovasi
ABSTRACT
ADHI PAMUNGKAS. Adoption One Seedling per Clump Technique on System of Rice Intensification Program. Supervised byDJUARA P. LUBIS.
One seedling per clump technique is one of the innovations to increase rice productivity which is environmentally friendly. The purpose of this study is to explore individual factors and innovation attributes relating to the innovation adoption decision of farmers to one seedling per clump technique on Purwasari village, Bogor District. Respondents were drawn at random by MS. Excel with the number 30. The results showed generally old aged farmers, rural landless, primary school graduates, had attended counseling, have organic and conventional farming experience, have interpersonal communication and behavioral characteristics not related to farmer adoption decisions one seedling per clump technique. The nature of innovation in the form of relative advantage, compatibility, complexity, trialability, and observability techniques associated with the adoption of one seedling per clump technique.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
ADOPSI PROGRAM
SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION
TEKNIK SATU BIBIT PER RUMPUN
ADHI PAMUNGKAS
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Adopsi Program System of Rice Intensification Teknik Satu Bibit per Rumpun
Nama : Adhi Pamungkas NIM : I34090019
Disetujui oleh
Dr Ir Djuara P Lubis, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah penyuluhan, dengan judul Adopsi Program System of Rice Intensification Teknik Satu Bibit per Rumpun.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Djuara P Lubis, MS selaku pembimbing, yang telah banyak memberi saran dan juga perbaikan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staff pemerintah Desa Purwasari mulai dari Kepala Desa, Sekretaris Desa, Ketua Kelompok Tani Mekarsari, Ketua Kelompok Tani Hegar Sari, Ketua Kelompok Tani Rawa Sari, Ketua Kelompok Tani Dewasa Lemah Duhur (Pak Aneng) dan anggota Kelompok Tani Dewasa Lemah Duhur serta seluruh responden yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, dan juga teman-teman tercinta atas segala doa dan kasih sayangnya. Beribu terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh rekan mahasiswa angkatan 46, utamanya teruntuk rekan satu bimbingan Dea Rizky Kapriani dan Meilisa Asriani atas perjuangan dan doanya. Serta tidak lupa kepada teman-teman KPM khususnya Jajang, Rangga, Echa, Icha, Cici, Nindy, Intan, Resti, Selvi, dan Ebi yang selalu memberi doa dan dukungan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
TINJAUAN PUSTAKA 7
Penyuluhan Pertanian 7
System of Rice Intensification 7
Inovasi 12
Karakteristik Petani 13
Keuntungan Relatif 14
Kompabilitas 14
Kompleksitas 16
Triabilitas 16
Observabilitas 16
Adopsi Inovasi 16
Model Pengambilan Keputusan Adopsi Inovasi 17
Kerangka Pemikiran 19
Hipotesis 20
Definisi Operasional 20
METODE 25
Lokasi dan Waktu Penelitian 25
Pengumpulan Data 25
Penentuan Sampel 25
Prosedur Analisis Data 26
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 29
Kondisi Geografi 29
Kondisi Sosial Budaya 30
Keadaan Ekonomi 30
Gambaran Umum Gabungan Kelompok Tani Mekarsari 31
Penyuluhan SRI 32
Karakteristik Responden 36
PENILAIAN PETANI TERHADAP SIFAT INOVASI TEKNIK SATU BIBIT
PER RUMPUN 39
Keuntungan Relatif 39
Kesesuaian 40
Kompleksitas 40
Triabilitas 41
Observabilitas 42
KEPUTUSAN ADOPSI TEKNIK SATU BIBIT PER RUMPUN DAN
FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 43
Adopsi Teknik Satu Bibit per Rumput 43
Hubungan Karakteristik Individu dengan Sifat Inovasi 45 Hubungan Karakteristik Individu dengan Adopsi Teknik Satu Bibit per
Rumpun 52
Hubungan Sifat Inovasi dengan Adopsi Teknik Satu Bibit per Rumpun 55
Ikhtisar 57
SIMPULAN DAN SARAN 59
Simpulan 59
Saran 59
DAFTAR PUSTAKA 61
LAMPIRAN 63
DAFTAR TABEL
1 Beberapa hasil penelitian tentang SRI menurut sumber penelitian 11
2 Aspek dalam program dan ukuran untuk SRI 12
3 Klasifikasi faktor internal dan eksternal adopsi inovasi SRI oleh petani 12 4 Tahap dalam proses pengambilan keputusan adopsi inovasi Rogers
sesuai dengan lima tahap perubahan Porchska 19
5 Luas lahan dan persentase menurut penggunaannya di Desa Purwasari
tahun 2011 29
6 Jumlah dan persentase penduduk menurut mata pecaharian di Desa
Purwasari tahun 2011 31
7 Frekuensi dan persentase responden dilihat berdasarkan karakteristik
individu 36
8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sifat inovasi teknik satu
bibit per rumpun di Desa Purwasari tahun 2013 39
9 Jumlah dan persentase responden berdasarkan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun di Desa Purwasari tahun 2013 43 10 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara variabel karakteristik individu
petani dengan sifat inovasi teknik satu bibit per rumpun di Desa
Purwasari tahun 2013 45
11 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara variabel karakteristik individu petani dengan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun di Desa
Purwasari tahun 2013 53
12 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara variabel sifat inovasi dengan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun di Desa Purwasari tahun
2013 55
13 Hasil uji korelasi Rank Spearman antara variabel independen karakteristik petani dan sifat inovasi dengan variabel dependen keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun di Desa Purwasari tahun
2013 57
DAFTAR GAMBAR
1 Model tahapan proses keputusan adopsi (Rogers 2003) 18 2 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik individu dan sifat-sifat
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kerangka sampling petani di Desa Purwasari tahun 2013 63
2 Peta Administrasi Desa Purwasari tahun 2013 64
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat yang membangun berkepentingan dengan inovasi baik berupa gagasan, tindakan atau barang-barang baru. Rogers (2003) menyebutkan, jika kepada masyarakat di desa diperkenalkan bibit padi unggul dan diadopsi oleh petani, dengan segera akan terlihat perubahan-perubahan di sana. Produksi para petani itu meningkat, dan meningkat pula konsumsinya, aspirasinya terhadap hiburan, perubahan gaya hidup dan sebagainya. Di abad ilmu pengetahuan dan teknologi maju seperti sekarang, penciptaan inovasi bukan hal yang langka. Hampir setiap saat muncul penemuan-penemuan baru, yang satu belum berdiri tegak sudah disusul penemuan lain yang menggantikannya. Usaha penggalian dan penemuan tentunya diharapkan untuk dapat merubah dunia, memperbaharuinya ke arah yang lebih baik. Penemuan-penemuan tidak banyak artinya jika tidak tersebar penggunaanya ke sebagian besar anggota masyarakat (Rogers 2003).
Perkembangan penggunaan teknologi pertanian sangat pesat dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk memenuhi bahan pangan sebagai salah satu kebutuhan pokok hidup manusia yang terus bertambah. Bahan pangan diperlukan dalam jumlah yang cukup dan berkualitas untuk memenuhi kecukupan gizi dan meningkatkan kesehatan individu atau masyarakat dunia yang semakin modern. Penerapan teknologi pertanian baik dalam kegiatan prapanen maupun pasca panen, menjadi penentu dalam mencapai kecukupan pangan baik kuantitas maupun kualitas produksi. Teknologi pertanian telah berperan untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas usahatani komoditas pangan di negara-negara maju dan negara-negara-negara-negara berkembang termasuk Indonesia (Mosher 1970).
Menyebarkan inovasi ke masyarakat itu tidak mudah walaupun kadang-kadang banyak juga inovasi tidak terbendung lagi. Jika ada 100 inovasi yang dalam waktu bersamaan diperkenalkan ke masyarakat, seringkali 90 diantaranya tidak berkelanjutan dan hanya 10 inovasi yang dapat bertahan. Hal tersebut menunjukan bahwa mengkomunikasikan ide-ide baru agar diterima masyarakat dan dipergunakan orang lain secara memuaskan merupakan bukan hal yang sederhana. Seseorang yang bertugas membangun masyarakat berkeinginan agar usahanya berhasil, ide-ide pembaharuan yang dibawanya dapat tersebar, diterima masyarakat, dan digunakan secara betul sehingga mendatangkan ke perubahan sosial yang lebih baik. Kenyataan menunjukan tidak sedikit usaha-usaha penyebaran ide-ide baru gagal dan kandas di tengah jalan (Rogers 2003).
2
inovasi yang terdiri dari keuntungan relatif, kompabilitas, kompleksitas, triabilitas dan observabilitas. Tingkat kecepatan adopsi inovasi pun dipengaruhi karakteristik individu petani seperti umur, pendidikan, pengalaman bertani, dan kekosmopolitan.
Suhendrata (2008) menyebutkan peran inovasi teknologi pertanian akan semakin penting mengingat pemerintah bertekad mewujudkan kembali swasembada pangan (beras) pada 2010 seperti yang pernah dicapai pada tahun 1984. Dalam mencapai swasembada tersebut banyak kendala dan tantangan yang dihadapi diantaranya terjadi pelandaian laju peningkatan produksi padi sawah, alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian, lahan “sakit”, upaya perluasan areal sulit dilakukan dan jumlah penduduk yang terus bertambah. Inovasi berupa varietas unggul baru berhasil meningkatkan produktivitas padi. Hal tersebut menunjukan inovasi pertanian mempunyai peran positif dalam peningkatan produktivitas padi sawah. Di sisi lain, inovasi memiliki dampak negatif seperti program revolusi hijau yang menyebabkan kerusakan lingkungan karena penggunaan bahan kimia dalam budidaya pertanian sulit dihindari oleh petani. Kondisi ini sangat tidak menguntungkan terhadap pendapatan yang diterima petani.
Menurut Husodo (2004) kebutuhan beras nasional mencapai sekitar 36 juta ton pada tahun 2035 dengan jumlah penduduk diperkirakan mencapai sekitar 400 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk 1.6 persen per tahun, sedangkan produksi dalam negeri tahun 2001 hanya mencapai sekitar 29 juta ton. Guna mencapai kecukupan beras yang terus meningkat dihadapkan pada berbagai tantangan seperti, pertambahan penduduk yang relatif masih tinggi, ketersediaan lahan produktif semakin terbatas, petani gurem semakin meningkat, pola usahatani masih tradisional dan subsisten, produktivitas lahan sawah masih rendah, tenaga kerja generasi baru semakin tidak tertarik pada usahatani sawah, adopsi inovasi teknologi pertanian masih terbatas, dan tingkat kesejahteraan petani masih rendah.
Berdasarkan data BPS (2013) pembangunan ekonomi pada sektor pertanian merupakan hal sangat penting untuk mewujudkan pembangunan nasional di bidang pertanian, yaitu peningkatan produksi pangan, terutama menuju pencapaian surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014. Upaya yang sudah dijalankan pemerintah kearah itu adalah dengan menerapkan program intensifikasi, ekstensifikasi, diversivikasi, dan rehabilitasi. Wilayah Jawa Barat memiliki lahan yang dikelompokan menjadi dua kelompok, yaitu lahan pertanian dan lahan bukan pertanian. Karakteristik lahan pertanian inilah yang sangat menentukan naik turunnya produksi hasil pertanian dan juga keragamannya. Lahan pertanian terdiri dari lahan sawah dan lahan bukan sawah (tegal, ladang, hutan, perkebunan, kolam, dll). Jika dibandingkan dengan tahun 2011 luas lahan sawah tahun 2012 naik sedikit dari 942.4 ribu hektar menjadi 942.9 hektar. Pada tahun 2011 luas panen padi mengalami penurunan dibandingkan tahun 2010, hal ini diikuti pula dengan penurunan hasil produksinya. Luas panen turun sekitar 3.5 persen, sedangkan produksi padi turun sebesar 0.08 persen. Luas panen padi sawah mengalami penurunan sebesar 2.9 persen.
3 pupuk kimia. Pupuk organik merupakan keluaran setiap budidaya pertanian sehingga keluaran tersebut menjadi sumber unsur hara makro dan mikro secara cuma-cuma.
Salah satu inovasi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas padi sawah dan ramah lingkungan sekaligus menekan biaya produksi adalah dengan metode System of Rice Intensification yang selanjutnya disingkat SRI. SRI pertama kali ditemukan di Madagascar antara tahun 1983-1984. Usahatani padi sawah organik metode SRI adalah usahatani padi sawah irigasi secara intensif dan efisien dalam pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan kelompok tani dan kearifan lokal serta berbasis pada kaidah ramah lingkungan (Kementan 2012).
Prospek ekonomis dari pertanian ini cukup baik seiring dengan berubahnya pola konsumsi manusia, dimana manusia lebih memilih makanan yang sehat meskipun dengan harga yang lebih mahal (Soetrisno 2002). Rusma (2005) dalam tesisnya menyatakan bahwa beras organik sangat baik bagi kesehatan, karena bebas dari bahan kimia berbahaya jika dibandingkan dengan beras lain, mempunyai aroma yang khas (alami), tidak mudah berair, rasanya enak dan pulen. Hasil penelitian Rusma (2005) menunjukan bahwa manfaat yang dicari dari pembelian beras organik adalah kesehatan bagi yang mengkonsumsi. Manfaat lain yang dicari konsumen adalah mutu yang baik dan higienis.
Pada saat sekarang ini, walaupun pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya untuk menyarankan kepada para petani agar bertani metode SRI namun masih belum banyak petani yang mau menerapkannya. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian terhadap para petani yang sudah lebih dulu menerapkan pertanian metode SRI. Tujuannya adalah mengetahui karakteristik individu petani dan sifat-sifat inovasi yang berhubungan pengambilan keputusan petani untuk bertani dengan metode SRI khususnya teknik satu bibit per rumpun.
Perumusan Masalah
Sejak adanya swasembada beras tahun 1984, tidak lagi terlihat keseimbangan antara kebutuhan beras nasional dengan produksi beras nasional (Syarif dan Agustamar 2007). Syarif dan Agustamar lebih lanjut menerangkan, Indonesia pernah sebagai pengimpor beras terbesar di Asia Tenggara. Tahun 2004, telah terjadi impor beras sebesar 200 ribu ton per bulan. Angka ini setara dengan empat juta ton gabah kering giling per tahun atau setara dengan peningkatan daya hasil sebesar 0.64 ton/hektar sawah berpengairan di Indonesia yang seluas 6.4 juta hektar (Syarif dan Agustamar 2007). Syarif dan agustamar lebih lanjut mengandikan, jika daya hasil semula 4.5 ton/hektar, maka dengan daya hasil 5.14 ton/hektar sudah cukup untuk mengawali swasembada beras. Terlebih daya hasil dapat melebihi angka dimaksud. Dengan demikian Negara dapat mengekspor ke Negara lain yang memerlukannya. Analisis sederhana diatas mengisyaratkan bahwa peluang untuk meningkatkan daya hasil per hektar cukup besar terutama pada sawah yang sudah lama dibudidayakan.
4
10-15 ton/ha atau 3-4 kali lipat dari cara konvensional (Syarif dan Agustamar 2007). Defeng dikutip Syarif dan Agustamar (2007) menyebutkan, keunggulan dari metode SRI adalah suatu metode yang bekerja secara sinergi antara tanaman, tanah, unsur hara dan air. Empat pokok yang bersinergi berupa bibit semai lebih muda 12-15 hari, satu bibit per rumpun, lebar jarak tanam 30x30 cm hingga 50x50 cm, masukan bahan organik sebagai pengganti pupuk kimia, dan adanya proses aerobik (pengeringan) pada fase vegetatif. SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara konvensional. Pada SRI, semua unsur potensi dalam tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai dengan pertumbuhan mereka. Perlakuan-perlakuan yang berbeda ini diharapkan dapat memberikan produktivitas yang lebih baik, dan juga lebih menghemat air. Pertanian metode SRI merupakan upaya untuk mengurangi dampak negatif dan ketergantungan petani dari penggunaan input anorganik dalam usahataninya khususnya pada komoditi padi. Pada penelitian ini, inovasi dari SRI yang akan di teliti khusus pada satu bibit per rumpun karena hal ini diduga banyak diabaikan oleh petani padi organik. Metode ini membuat jumlah bibit yang digunakan untuk bertani lebih sedikit karena hanya satu bibit per rumpun. Penggunaan bibit yang sedikit berdampak pada pengeluaran biaya usahatani untuk bibit lebih rendah (Saragih 2011). Berdasarkan penelitian Rangkuti (2007) ukuran untuk kompabilitas teknologi sesuai dengan kondisi lahan dan ketersediaan air. Penanaman satu bibit per rumpun ditanam di sawah irigasi seperti kondisi pada pertanian konvensional. Trubus (2008) menyatakan bahwa dengan menanam satu bibit per lubang berarti menghindari perebutan cahaya atau hara dalam tanah sehingga sistem perakaran dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Sebaliknya jika penanaman terdiri atas sembilan bibit per lubang menyebabkan terjadinya kompetisi hara pada tanaman.
Pertanian organik seperti metode SRI memberikan dampak yang baik bagi kesejahteraan kehidupan petani, karena harga dan kualitasnya yang bermutu tinggi. Kegiatan pertanian organik perlu diadopsi oleh petani untuk keberlanjutan usahatani. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengantisipasi bahaya pestisida bagi kesehatan manusia, beragam informasi yang disampaikan seputar bahaya pestisida dan berbagai bentuk kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas pertanian disebarluaskan melalui kegiatan penyuluhan, organisasi, dan kelompok tani, dan serta tidak ketinggalan yaitu media massa. Pada kenyataanya, kebiasaan para petani yang melakukan pertanian konvensional tersebut sulit untuk diubah dan digantikan oleh teknik baru berdasarkan sistem pertanian SRI. Teknik konvensional telah dibuktikan dapat menghasilkan produksi petanian yang secara kuantitas relatif menguntungkan dan sampai saat ini masih diterapkan secara dominan dalam pengelolaan usahatani padi.
5
sehingga penilaian terhadap sifat inovasi pun akan berbeda pada masing-masing individu yang akan berdampak pada adopsi satu bibit per rumpun.
Beberapa pertanyaan pokok yang berkaitan dengan karakteristik individu, sifat inovasi, dan adopsi satu bibit per rumpun untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas pertanian padi sawah. Sehubungan dengan hal tersebut, maka permasalahan yang akan diuraikan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana adopsi satu bibit per rumpun pada program SRI oleh petani?
2. Sejauh mana karakteristik individu petani yang berhubungan dengan keputusan adopsi satu bibit per rumpun pada pertanian SRI? dan 3. Sejauh mana hubungan antara sifat inovasi dengan keputusan adopsi
satu bibit per rumpun pada pertanian SRI oleh petani? Tujuan Penelitian
Mengarah pada rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis proses adopsi satu bibit per rumpun pada program SRI oleh petani.
2. Menganalisis hubungan karakteristik individu dengan keputusan petani untuk adopsi satu bibit per rumpun pada program SRI.
3. Menganalisis hubungan antara sifat-sifat inovasi dengan keputusan adopsi satu bibit per rumpun pada program SRI oleh petani.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini berguna:
1. bagi akademisi, penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.
2. bagi pemerintah, dengan diketahuinya karakteristik individu petani yang berhubungan dengan keputusan adopsi inovasi pada pertanian SRI, maka karakteristik individu tersebut dapat ditindaklanjuti untuk memperluas skala adopsi inovasi SRI di wilayah setempat. Penelitian diharapkan dapat mendorong pengembangan adopsi inovasi tersebut lebih lanjut ke skala yang lebih luas.
TINJAUAN PUSTAKA
Pendekatan Teoritis
Penyuluhan Pertanian
Sastraatmadja (1993) menyatakan, penyuluhan pertanian adalah sebagai pendidikan nonformal yang ditujukan kepada petani dan keluarganya dengan tujuan jangka pendek untuk mengubah perilaku termasuk sikap, tindakan dan pengetahuan kearah yang lebih baik, serta tujuan jangka panjang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Setiana (2005) menyebutkan, penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan pengertian umun, maka penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu sistem pendidikan yang bersifat nonformal di luar sistem sekolah yang biasa. Penyuluh pertanian adalah cara atau usaha pendidikan nonformal bagi petani dan keluarganya di perdesaan (Samsudin 1994). Penyuluh pertanian adalah aktivitas pendidikan di luar sekolah yang mengandung sifat khusus (Mosher 1987). Terdapat empat sifat khusus dalam penyuluh pertanian. Sifat pertama, berhubungan dengan masalah petani di pedesaan dan sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan pada waktu tertentu dan berkaitan erat dengan mata pencaharian. Sifat kedua, menggunakan cara atau metode atau teknik pendidikan khusus yang disesuaikan dengan sifat, perilaku dan kepentingan petani. Sifat ketiga, keberhasilan pelaksanaannya memerlukan bantuan berbagai aktivitas yang langsung maupun tidak langsung menunjang pendidikan. Sifat keempat, pelaksanaanya dalam suasana kooperatif, toleransi, dan musyawarah untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Titik berat dari proses penyuluhan sebagai proses penyebarluasan informasi adalah, masyarakat desa diharapkan dapat memperoleh informasi yang berkaitan dengan usahatani mereka, bagaimana mereka sebaiknya berusaha tani yang benar, melakukan budidaya yang tepat dan baik sehingga porduktivitas meningkat (Setiana 2005). Proses untuk memberi penerangan kepada masyarakat tentang segala sesuatu yang belum diketahui untuk dilaksanakan atau diterapkan sebagai bagian dari penerangan kepada masyarakat yang tidak tahu atau belum mengetahui. Masalah yang timbul dan belum dipahami masyarakat desa menyangkut usahatani mereka, terutama inovasi yang perlu dikembangkan atau diterapkan di wilayah tersebut (Setiana 2005).
System of Rice Intensification
8
kesuksesan pada tahun 1983 s/d 1984. Pada tahun 1990 dibentuk Asociation Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development.
SRI telah diuji di Cina, India, Indonesia, Filipina, Sri Langka, dan Bangladesh dengan hasil yang positif (Mutakin 2007). SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan persentasi SRI di Indonesia dan beberapa Negara lainnya yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar diantaranya adalah Bangladesh, Benin, Kamboja, Kuba, Gambia, Guinea, India, Laos, Mali, Mozambique, Myanmar, Nepal, Pakistan, Peru, Philipina, Senegal, Sierra Leone, Srilanka, Thailand, dan Vietnam. Berdasarkan hasil pengembangan program SRI di beberapa negara, di peroleh hasil produktivitas yang cukup signifikan. Hasil produksi tanaman padi dapat dilihat sebagai berikut:
1. China (2004), hasil naik dari 3 ton/ha menjadi 7,5 ton/ha dengan hasil tertinggi 20,4 ton/ha dan penghematan air sebesar 42 persen. Saat ini produktivitas padi sekitar 13 ton/ha.
2. India (50 petani, 2003-2004), hasil meningkat dari 7,1 ton/ha menjadi 9,7 ton/ha dengan produktivitas tertingginya adalah sebesar 15 ton/ha.
3. Kamboja (5 propinsi, 2004), hasil naik sebesar 41 persen dan pendapatan naik sebesar 74 persen.
4. Sri Langka, hasil naik sebesar 50 persen, efisiensi air 90 persen, pendapatan bersih 112 persen, dan pengurangan biaya produksi sebesar 17 – 27 persen.
5. Indonesia oleh Agency for Agricultural Research and Development (AARD, 2004), dengan hasil rata-rata 7 s/d 9 ton. Hasil uji coba petani terbaru SRI memberikan hasil 10 s/d 18 ton/ha.
9 di Ciamis sebanyak 30 persen. Dilaporkan bahwa pada awalnya produktivitas padi yang hanya menerima pupuk organik pada tanah Ultisols dan Inceptisols di lokasi pengkajian turun 30-50 persen. Pada musim keempat (setelah satu setengah tahun), akibat pemupukan organik terus-menerus, hasil semakin bertambah menyamai produktivitas awal ketika hanya dipupuk anorganik. Rata-rata jumlah pupuk organik (kompos) yang diberikan oleh petani adalah 4.7 ton/hektar di Garut dan 7.5 ton/hektar di Ciamis. Menurut petani SRI, peningkatan hasil tersebut disebabkan oleh penggunaan bibit muda berumur 7-10 hari, yang ditanam satu bibit per rumpun, jarak tanam renggang, irigasi basah kering bergantiansetiap 7-10 hari, dan penggunaan bahan organik. SRI mampu menghemat saprodi berupa benih, pupuk dan insektisida, tetapi pengunaan kompos sangat tinggi. Kurang tersedianya pupuk kandang merupakan kendala bagi pengembangan SRI. (Kementan 2012)
Berdasarkan beberapa hasil penelitian SRI, berkembangnya sistem pertanian organik berasal dari keinginan petani untuk mereduksi pupuk kimia. Pupuk kimia mengakibatkan pencemaran lahan pertanian, sehingga sebagian petani mulai banyak yang beralih pada pertanian organik. Pertanian organik hanya menggunakan pupuk yang berasal dari alam, sehingga para petani dapat membuat pupuk sendiri dengan memanfaatkan bahan-bahan disekitarnya. Selain itu, dari aspek pengelolaan air secara terus-menerus, di lain pihak ketersediaan air semakin terbatas maka efisiensi penggunaan air diperlukan dalam usahatani.
Program SRI adalah suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, air, dan nutrisinya. Metode tersebut memberikan kontribusi terhadap kesehatan tanah, tanaman, dan memelihara mikroba tanah yang beraneka ragam melalui bahan organik, tanpa pupuk kimia dan tanpa pestisida kimia, serta dapat menghemat penggunaan air. Sebagai upaya untuk mengurangi dampak negatif dan ketergantungan petani dari penggunaan input anorganik dalam usahatani khususnya pada komoditi padi, saat ini muncul berbagai format pertanian alternatif salah satunya yaitu padi ramah lingkungan metode SRI. Program SRI lebih menekankan pada penerapan pertanian organik mulai dari pembenihan dan pembibitan, hingga penggunaan pupuk. Sejalan dengan perkembangan pertanian, teknik budidaya padi ramah lingkungan SRI yang berbasis pada kearifan lokal mulai diadopsi oleh petani lainnya diluar anggota kelompok tani meskipun hanya dalam hal penggunaan jenis input produksinya yang organik (Ubaydillah 2008).
10
fisiologis, tinggi air dipertahankan 5 cm. Ketiga adalah penggunaan bahan organik sampai batas normal kadar bahan organik tanah. Keempat adalah pengaturan jarak tanam yang renggang yaitu 30x30 cm dan penanaman satu bibit per rumpun (titik tanam). Cara konvensional yang sudah dijalani menggunakan bibit lebih banyak dipersemaian dengan umur pindah 21 hari. Air selalu menggenang dalam petakan setinggi 5 cm pada masa vegetatif. Selama masa reproduktif, air menggenang 5-7 cm dan tidak ada masukan bahan organik. Jarak tanam yang digunakan ukuran 20x20 cm dan menggunakan jumlah bibit yang banyak yaitu lima bibit per titik tanam. Penggunaan pupuk buatan dosis anjuran yaitu Urea, TSP, dan KCL pun cukup besar yaitu 300, 150 dan 100 kg/Ha yang diberikan berturut-turut pada saat tanam. Urea diporsi dua kali pada awal tanam dan umur 30 hari secara sebar.
Perawatan terhadap tanaman di lapangan perlu dilakukan karena gulma lebih mudah tumbuh akibat metode SRI yang terkondisi lembab bahkan kering. Setiap satu minggu hingga masuknya fase berbunga dilakukan penyiangan dengan rotary weeder sehingga tata udara tanah menjadi lebih baik. Sedangkan pada metode konvensional, penyiangan langsung dengan tangan dan di lakukan sebulan sekali. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan jika serangannya merugikan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.
Program SRI menghasilkan komoditas pertanian berupa beras organik. Beras organik merupakan produk dari pertanian padi dengan sistem budidaya organik. Beras organik sangat baik bagi kesehatan, karena bebas dari bahan kimia berbahaya jika dibandingkan dengan beras lain, mempunyai aroma yang khas (alami), tidak mudah berair, rasanya enak dan gurih. Kelebihan yang terdapat pada beras organik menjadikan beras ini semakin banyak disukai oleh konsumen. Harga beras organik yang tergolong mahal, menyebabkan hanya kalangan menengah ke atas yang mampu membeli. Harga beras organik yang relatif mahal ini, disebabkan oleh besarnya manfaat beras organik bagi kesehatan (bebas dari kandungan bahan kimia berbahaya), juga karena relatif tingginya faktor resiko dalam produksi (usahatani) yang dihadapi oleh petani akibat tidak menggunakan pestisida dan pupuk anorganik.
Pertanian metode SRI menggunakan jumlah bibit padi yang lebih rendah sehingga dapat menguntungkan petani. Penggunaan bibit yang sedikit harus dibarengi dengan penggunaan jumlah tenaga kerja dan pupuk organik yang lebih banyak. Metode SRI memberikan kontribusi terhadap kesehatan tanah, tanaman, dan memelihara mikroba tanah yang berankeka ragam melalui bahan organik, tanpa pupuk kimia dan tanpa pestisida kimia, serta dapat menghemat penggunaan air. Hasil produksi padi metode SRI lebih tinggi diikuti harga jual gabah kering panen yang lebih tinggi pula.
Tingkat produktivitas serta harga yang tinggi membuat pendapatan petani meningkat yang diniali dari total pendapatan dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan. Meskipun demikian ada pula fakta yang menyatakan setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan oleh petani padi organik metode SRI hanya akan memberikan penerimaan lebih rendah dari penerimaan yang diperoleh petani padi konvensional. Hal tersebut dimungkinkan karena peningkatan produktivitas padi baru akan terlihat ketika setelah dua kali musim tanam.
11 sungguh merupakan dampak yang sangat berharga bagi petani sebagai suatu unit sosial yang basis dalam pertanian. Demikian pula, dampak ekonomi berupa meningkatnya volume produksi serta keuntungan petani SRI. Adapun beberapa hasil penelitian SRI disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Beberapa hasil penelitian tentang SRI menurut sumber penelitian Sumber Hasil Penelitian
Saragih (2011) 1. Jumlah benih padi yang digunakan lebih rendah. 2. Penggunaan pupuk lebih besar.
3. Jumlah tenaga kerja yang digunakan lebih besar. 4. Hasil produksi lebih tinggi.
5. Harga jual Gabah Kering Panen lebih tinggi. 6. Penghematan penggunaan air.
Rachmiyanti (2009) 1. Jumlah benih yang digunakan lebih rendah. 2. Penggunaan pupuk lebih besar.
3. Jumlah tenaga kerja yang digunakan lebih besar. 4. Hasil R/C diketahui Rp. 1.98
Ubaydillah (2008) 1. Membutuhkan biaya usahatani yang lebih besar. 2. Lembaga pemasaran yang menerima keuntungan
paling besar yaitu petani (100 persen)
Suriadi (tanpa tahun) 1. Dampak sosial berupa peningkatan kesadaran tentang pentingnya hemat air, kemampuan merajut norma, serta menguatnya rasa memiliki terhadap prasarana jaringan irigasi.
2. Dampak ekonomi berupa meingkatnya volume produksi serta semakin meningkatnya keuntungan petani
Kurniadiningsih (2012)
1. Peningkatan hasil padi berkisar antara 40 persen. 2. Peningkatan hasil hanya dialami oleh petani yang
telah melakukan kegiatan SRI lebih dari dua musim,
3. Hasil R/C sebesar 2.95
12
Berikut, aspek dalam evaluasi dan ukuran evaluasi dalam program SRI disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Aspek dalam program dan ukuran untuk SRI
Aspek Ukuran
Input 1. Jumlah benih
2. Jumlah tenaga kerja 3. Jumlah pupuk 4. Volume air
Output 1. Peningkatan produktivitas
Outcome 1. Peningkatan pendapatan
Impact 1. Sosial
2. Ekonomi
Tingkat adopsi inovasi program SRI dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari umur, pengetahuan dan sikap yang dimiliki petani. Program SRI tidak dapat berdiri sendiri. Sama halnya dengan program lain, program SRI perlu didukung baik dengan program lain ataupun dukungan dari pemerintah. Faktor eksternal berasal dari luar program SRI seperti program-program yang menggalakan peningkatan produksi beras nasional, adanya sarana pendidikan, dan dukungan dari pemerintah daerah. Klasifikasi faktor internal dan eksternal adopsi inovasi pertanian metode SRI tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi faktor internal dan eksternal adopsi inovasi SRI oleh petani
Faktor Adopsi inovasi SRI
Internal 1. Umur
2. Pengetahuan 3. Sikap
Eksternal 1. Adanya program Peningkatan Produksi Beras Nasional
2. Adanya Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu
3. Adanya kebijakan Pemda Inovasi
Pengertian inovasi menurut Rogers dan Shoemaker 1971 yang dikutip Setiana (2005) diartikan sebagai ide-ide baru, paktik-praktik baru atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyuluhan. Lionberger dan Gwin 1982 dikutip Setiana (2005), mengartikan inovasi sebagai sesuatu yang dinilai baru atau sesuatu yang dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat lokalitas atau komunitas tertentu.
13 keputusan adopsi. Terdapat lima ciri umum inovasi yang menunjukan bagaimana persepsi seseorang terhadap sifat-sifat itu yang mungkin bermanfaat untuk memperkirakan adopsinya, serta menganalisa kasus overadopsi. Menurut Rogers (2003), terdapat lima macam sifat inovasi. Setiap sifat secara empiris mungkin selalu berhubungan satu sama lain tetapi secara konseptual mereka itu berbeda. Pengemukaan lima sifat inovasi berdasarkan pada tulisan dan riset-riset yang telah ada, dan berdasarkan hipotesa. Lima sifat tersebut ialah keuntungan relatif, kompabilitas, kompleksitas, triabilitas, dan observabilitas. Sifat-sifat inovasi tersebut berdasarkan pengamatan penerima, bukan menurut para ahli atau agen pembaharu. Sifat-sifat itulah yang mempengaruhi kecepatan inovasi. Seperti halnya keindahan, inovasi hanya ada dalam pandangan penontonnya saja dan persepsi penonton itulah yang mempengaruhi tingkah lakunya (Rogers 2003).
Menurut Setiana (2005) sifat inovasi dapat digolongkan lagi kedalam sifat dari dalam sifat inovasi itu sendiri, yang dikenal dengan istilah intrinsik dan sifat yang datangnya dari luar inovasi, yang disebut sebagai sifat ekstrinsik. Sifat intrinsik meliputi informasi ilmiah yang melekat pada inovasi tersebut, nilai keunggulan inovasi, tingkat kerumitan inovasi, mudah tidaknya inovasi tersebut dikomunikasikan, dan mudah tidaknya inovasi tersebut diamati. Sifat ekstrinsik terdiri dari kesesuaian inovasi dengan lingkungan setempat, tingkat keunggulan relatif inovasi dibanding dengan teknologi yang sudah ada atau yang telah berkembang di daerah tersebut.
Karakteristik Petani
Cepat atau tidaknya proses adopsi inovasi tergantung dari faktor intern dari adopter itu sendiri. Latar belakang sosial, ekonomi, budaya, atau politik sangat berpengaruh dalam proses tersebut. Beberapa hal penting lain yang mempengaruhi proses adopsi inovasi adalah (Soekartawi, 2005) :
Umur
Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu, sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi.
Pendidikan
Mereka yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi relatif lebih cepat melaksanakan adopsi inovasi daripada mereka yang berpendidikan rendah.
Keberanian mengambil resiko
Biasanya petani kecil berani mengambil resiko kalau adopsi inovasi itu benar-benar telah mereka yakini.
Pola hubungan
Biasanya petani yang berada dalam pola hubungan kosmopolit, lebih cepat melakukan adopsi inovasi daripada petani yang berada dalam pola hubungan lokalitas.
Sikap terhadap perubahan
Kebanyakan petani kecil lamban dalam mengubah sikapnya terhadap perubahan karena sumberdaya yang mereka miliki, khususnya sumberdaya lahan terbatas. Motivasi berkarya
14
Fatalisme
Apabila adopsi inovasi menyebabkan resiko yang tinggi, maka jalannya proses adopsi inovasi akan berjalan lebih lamban atau bahkan tidak terjadi sama sekali. Sistem kepercayaan tertentu
Makin tertutup sistem sosial dalam masyarakat terhadap sentuhan luar, maka semakin sulit juga anggota masyarakatnya untuk melakukan adopsi inovasi. Karakteristik psikologi
Apabila karakter calon adopter sedemikian rupa sehingga mendukung situasi yang memungkinkan adanya adopsi inovasi, maka proses adopsi inovasi tersebut akan berjalan lebih cepat.
Kecepatan dalam mengadopsi suatu inovasi antara satu individu dengan indivdu lain berbeda, hal ini sangat tergantung karakter individu bersangkutan. Fakta yang ditemukan Setiana (2005) dalam adopsi inovasi diantaranya adalah luas usaha tani, tigkat pendapatan, keberanian mengambil risiko dan umur, tingkat partisipasi dalam kelompok atau organisasi diluar lingkungan sendiri, ativitas dalam mencari informasi dan ide-ide baru, dan berbagai sumber informasi yang dapat dimanfaatkan sampai ke tempat tersebut.
Keuntungan Relatif
Keuntungan relatif adalah tingkatan dimana suatu ide baru dianggap lebih baik daripada ide-ide yang ada sebelumnya. Tingkat keuntungan relatif seringkali dinyatakan dalam bentuk keuntungan ekonomi. Keuntungan relatif juga dapat diukur dengan cara lain, yaitu dilihat dari keuntungan inovasi misalnya metode mengontrol hama tanaman lebih sederhana atau mudah bagi pekerja (Rogers 2003). Dalam suatu segi, keuntungan relatif menunjukan intensitas imbalan atau hukuman yang ditimbulkan oleh pengadopsian suatu inovasi. Ada beberapa sub-dimensi keuntungan relatif yang tidak diragukan lagi, ialah tingkat keuntungan ekonomis, rendahnya biaya permulaan, resiko nyata lebih rendah, kurangnya ketidaknyamanan, hemat tenaga dan waktu, dan imbalan yang segera diperoleh. Faktor yang terakhir itu mungkin yang menjelaskan kenapa inovasi yang preventif biasanya kecepatan adopsinya rendah seperti ide ikut asuransi, penggunaan cara KB, suntik-an pencegah wabah penyakit, dan sebagainya. Keuntungan relatif dari inovasi preventif semacam itu sulit didemonstrasikan kepada kliennya, karena hasilnya baru dapat dirasakan pada masa yang akan datang atau tidak segera (Rogers 2003). Pada SRI, salah hal baru yang ditawarkan kepada petani adalah satu bibit per rumpun. Memanam padi menggunakan metode satu bibit per rumpun memiliki keuntungan yaitu efisien dalam hal waktu dan jumlah bibit. Sebagaimana penelitian Rangkuti (2007) mengenai introduksi traktor tangan, dimana ukuran yang digunakan untuk melihat keuntungan adalah waktu dan tenaga. Disisi lain, memiliki kelemahan yaitu membutuhkan jumlah tenaga kerja yang banyak.
Kompabilitas
15 membuat itu lebih berarti baginya. Suatu inovasi mungkin kompatibel dengan nilai-nilai kepercayaan sosiokultur, ide-ide yang telah diperkenalkan lebih dulu, kebutuhan klien terhadap inovasi, dan keterhubungan dengan nilai-nilai. Kurang adanya kompabilitas konsumsi daging sapi dengan nilai budaya yang ada di India telah mencegah pengadopsian “makan daging” karena sapi dianggap hewan yang suci di masyarakat India. Ahli-ahli nutrisi Amerika memperkenalkan susu kambing sebagai ganti susu sapi pada tahun 1964, karena makanan kambing hanya seperempat makanan sapi dan relatif lebih banyak menghasilkan susu. Susu kambing ini tidak kompatibel dengan masyarakat India karena ternak kambing sebagai usaha “orang Paria” saja, yang menduduki tingkat strata sosial yang paling rendah. Status sosial seseorang diukur dengan berapa banya ia punya sapi.
Kompabilitas suatu inovasi tidak hanya dengan nilai kultural yang tertanam kokoh di masyarakat. tetapi juga dengan ide-ide yang telah dterima sebelumnya dapat mempercepat atau menghambat kecepatan adopsi. Ide lama adalah alat untuk mengukur ide baru. Seseorang tidak dapat mengkaitkan inovasi dengan situasi dirinya kecuali berdasar sesuatu yang telah mereka kenal dan telah lama diketahui. Jika suatu ide baru selaras dengan praktek yang ada, maka tidak ada inovasi. Dengan kata lain, suatu inovasi yang kompatibel adalah yang hanya menampakan sedikit perubahan dari kebiasaan sebelumnya. Pengenalan inovasi yang kompatibel sangat berguna jika inovasi dilihat sebagai langkah pertama dari serangkaian inovasi yang dimasukkan agen pembaru secara berurutan. Inovasi yang kompatibel akan meratakan jalan untuk inovasi berikutnya yang kurang kompatibel.
Salah satu indikasi kompabilitas inovasi adalah sejauh mana inovasi tersebut dapat memenuhi kebutuhan yang dirasakan klien. Salah satu taktik bagi agen pembaru tentu saja dengan menentukan lebih dulu apa kebutuhan klien mereka, kemudian menyarankan suatu inovasi untuk memenuhi kebutuhan itu. Di situasi ini agen pembaru harus memiliki tingkat empati yang tinggi dan akrab dengan klien mereka agar dapat memperkirakan kebutuhan secara tepat. Seringkali klien tidak tahu bahwa mereka membutuhkan suatu inovasi karena mereka tidak mengetahui adanya ide baru itu dan atau efek apa yang ditimbulkan inovasi itu. Pada kasus ini agen pembaru dapat berusaha menyadarkan kebutuhkan diantaranya kliennya, tetapi ini harus dilakukan dengan hati-hati karena jika tidak, dikhawatirkan kebutuhan itu lebih banyak merupakan kebutuhan agen pembaru bukan kebutuhan kliennya. Jika kebutuhan yang dirasakan bisa terpenuhi dengan inovasi, maka tempo pengadopsiannya akan terjadi lebih cepat.
16
Kompleksitas
Kompleksitas adalah tingkat dimana suatu inovasi dianggap relatif sulit untuk dipahami dan diterapkan. Suatu ide baru mungkin dapat digolongkan ke dalam kontinum “rumit sederhana”. Inovasi-inovasi tertentu mudah dipahami oleh sebagian penerima, sedangkan orang lainnya tidak. Kerumitan suatu inovasi menurut pengamatan anggota sistem sosial, berhubungan negatif dengan kecepatan adopsinya. Ini berarti makin rumit suatu inovasi bagi seseorang, maka akan lambat pengadopsiannya (Rogers 2003). Metode satu bibit per rumpun dapat disebut teknik yang sederhana. Istilah rumpun sendiri sudah dikenal oleh petani konvensional. Hal yang berbeda adalah jumlah bibit yang ditanamkan pada satu rumpun. Petani perlu mengurangi jumlah bibit yang harus ditanam menjadi satu bibit saja dengan harapan dapat member kemudahan pada petani. Rangkuti (2007) dalam penelitiannya menghasilkan data bahwa petani biasa mencoba menjalankan inovasi pada lahannya. Petani merasakan kemudahan dengan menerapkan inovasi. Triabilitas
Rogers (2003) triabilitas adalah suatu tingkatan dimana suatu inovasi dapat dicoba dengan skala kecil. Ide baru yang dapat dicoba biasanya diadopsi lebih cepat daripada inovasi yang tak dapat dicoba lebih dulu. Suatu inovasi yang dapat dicoba akan memperkecil resiko bagi adopter. Teknik satu bibit per rumpun tidak memiliki aturan khusus pada luasan lahan yang harus dipergunakan untuk pertanian. Roger lebih lanjut menjelaskan bahwa, ketersediaan sarana dan prasarana cukup menentukan dalam triabilitas. Rangkuti (2007) sebanyak 46.3 persen merasa tidak pernah mencoba inovasi terlebih dahulu dalam mengadopsi inovasi. Sebanyak 33 persen pernah mencoba inovasi terlebih dahulu sebelum adopsi inovasi karena mereka termasuk perintis, seperti petani kaya yang memiliki lahan sawah relatif luas.
Observabilitas
Rogers (2003) observabilitas adalah tingkatan dimana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain. Hasil inovasi-inovasi tertentu mudah dilihat dan dikomunikasikan kepada orang lain sedangkan beberapa lainnya tidak. Menanam satu bibit per rumpun membuat bibit yang digunakan hanya sedikit. Tanaman padi akan tampak jarang pada suatu lahan pertanian dan tidak terlihat rapat seperti pada pertanian konvenisonal. Teknik menanam satu bibit per rumpun ini sebaiknya sederhana untuk dikomunikasikan ke petani lain apabila menginginginkan tingkat adopsi yang cepat. Petani dapat belajar dari petani lainnya yang sudah terlebih dahulu menerapkannya. Penelitian Rangkuti (2007) petani merasa inovasi tersebut mempunyai keuntungan teknis ekonomis begitu pula dengan 61,3 persen pengamatan petani lainnya.
Adopsi inovasi
17 di mana salah satu tujuannya adalah agar terjadi perubahan sikap dan perilaku yang mengarah pada tindakan. Proses terjadinya adopsi inovasi yang bertahap seringkali tidaklah sama pada setiap individu. Pada kenyataannya, tahapan proses adopsi pada setiap orang berbeda karena berbagai faktor. Tahapan dalam proses adopsi terjadi tanpa berurutan, artinya proses adopsi inovasi terjadi demikian cepatnya seakan-akan melompat pada kondisi mengerti atau sadar langsung melompat pada tahapan menerapkan tanpa melalui pertimbangan yang matang. Sebaliknya ada pula tahapan yang berhenti pada tahapan menaruh minat saja tanpa kelanjutan pada tahap berikutnya.
Model proses pengambilan keputusan adopsi inovasi
Rogers (2003) menyebutkan, para ahli difusi telah lama mengenali bahwa keputusan individu tentang inovasi bukanlah suatu tindakan yang seketika. Proses keputusan inovasi adalah proses individu melewati beberapa tahap, mulai dari pengetahuan inovasi, membentuk sebuah sikap terhadap inovasi, keputusan untuk mengadopsi atau menolak, implementasi ide baru, dan untuk konfirmasi keputusan. Proses ini terdiri dari lima tahap yaitu pengetahuan, ketika individu terpapar inovasi mengenai keberadaan inovasi dan memperoleh pemahaman tentang bagaimana fungsi inovasi. Persuasi, ketika individu membentuk sikap menyukai atau tidak menyukai terhadap inovasi. Pengambilan keputusan, ketika individu yang terlibat dalam kegiatan yang mengarah ke pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi. Implementasi, ketika individu menerapkan inovasi. Konfirmasi, ketika individu berusaha mencari penguatan atas pengambilan keputusan inovasi yang sudah dibuat tetapi dapat membalikkaan keputusan jika mendapat pesan yang bertentangan tentang hal itu.
Beberapa pengamat mengklaim bahwa individu memainkan peran yang relatif pasif ketika mendapatkan kesadaran-pengetahuan tentang inovasi. Jika seorang individu menjadi sadar inovasi secara tidak disengaja, individu bisa tidak aktif mencari inovasi. Orang lain dapat memperoleh kesadaran-pengetahuan tentang inovasi melalui perilaku yang mereka mulai, sehingga kesadaran-pengetahuan mereka bukanlah aktivitas pasif. Individu ini cenderung untuk mengekspos diri mereka untuk ide-ide yang sesuai dengan minat mereka, kebutuhan, dan sikap yang sudah ada. Individu sadar atau tidak sadar menghindari pesan yang bertentangan dengan kecenderungan mereka yang sudah ada. Kecenderungan itu disebut selektif eksposur, yang didefinisikan sebagai kecenderungan untuk menghadiri pesan komunikasi yang konsisten dengan sikap dan keyakinan individu yang ada.
18
Pengadopsi lebih lamban mungkin untuk menghentikan inovasi dari pengadopsi awal.
Gambar 1 Model tahapan proses keputusan adopsi (Rogers 2003)
Model yang mirip tahap proses keputusan adopsi inovasi diusulkan pula oleh Profesor James O. Prochaska, seorang peneliti kesehatan preventif di Universitas Rhode Island yaitu lima tahap perubahan Prochaska. Proschaska, DiClemente, dan Noreross (Rogers 2003) mendefinisikan lima tahap perubahan (Stage of Change disingkat S-O-C) yaitu prekontemplasi, kontemplasi, persiapan, aksi, dan pemeliharaan. Prekontemplasi, ketika seorang individu menyadari bahwa masalah yang ada dan mulai berpikir tentang mengatasi itu. Kontemplasi, ketika seorang individu menyadari bahwa proplem ada dan serius thingking Konfirmasi Pengetahuan Persuasi Keputusan Implementasi
19 tentang mengatasi hal itu tetapi belum belum membuat komitmen untuk mengambil tindakan. Persiapan, tahap di mana seorang individu berniat untuk mengambil tindakan di masa depan yang langsung tapi tidak belum melakukan hal. Aksi, ketika seorang individu perubahan perilaku untuk mengatasi masalah. Pemeliharaan, tahap di mana seorang individu mengkonsolidasikan dan terus mengubah perilaku yang dibuat sebelumnya
Table 4 Tahap dalam proses pengambilan keputusan adopsi inovasi Rogers sesuai dengan lima tahap perubahan Porchska
Tahap dalam proses pengambilan keputusan Tahap perubahan Porchaska
I. Tahap pengetahuan 1. Mengingat informasi 2. Memahami pesan
3. Keahlian untuk adopsi inovasi secara efektif
Prekontemplasi
II. Tahap persuasi 1. Menyukai inovasi
2. Diskusi tentang perilaku baru dengan orang lain 3. Penerimaan pesan tentang inovasi
4. Pembentukan gambaran positif pesan dan inovasi 5. Dukungan untuk perilaku inovasi dari sistem
Kontemplasi
III. Tahap pengambilan keputusan
1. Niat untuk mencari informasi tambahan tentang inovasi
2. Niat untuk mencoba inovasi
Persiapan
IV. Tahap implementasi
1. Akuisisi informasi tambahan tentang inovasi 2. Penggunaan inovasi secara teratur
3. Melanjutkan menggunakan inovasi
Aksi
V. Tahap konfirmasi
1. Pengakuan manfaat menggunakan inovasi
2. Integrasi dengan inovasi untuk menjadi aktivitas rutin
3. Mempromosikan inovasi ke orang lain
Pemeliharaan
Kerangka Pemikiran
20
X1 Karakteristik Individu
X1.1 Umur
X1.2 Luas lahan
X1.3.Tingkat pendidikan formal
X1.4 Tingkat pendidikan
non-formal
X1.5. Pengalaman bertani
konvensional X1.6. Pengalaman bertani
organik
X1.7 Perilaku komunikasi
X2 Sifat Inovasi
X2.1 Tingkat keuntungan
relatif
X2.2 Tingkat kompabilitas
X2.3 Tingkat kompleksitas
X2.4 Tingkat triabilitas
X2.5 Tingkat observabilitas
Keterangan:
: hubungan
Gambar 2 Kerangka pemikiran hubungan karakteristik individu dan sifat-sifat inovasi terhadap keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dirumuskan, maka dapat disusun hipotesis penelitian sebagai berikut:
a. Terdapat hubungan antara karakteristik individu dengan keputusan adopsi SRI teknik satu bibit per rumpun, yang dijabarkan dalam hipotesis-hipotesis berikut:
1. Terdapat hubungan antara umur individu terhadap keputusan adopsi inovasi teknik satu bibit per rumpun.
2. Terdapat hubungan antara luas lahan individu terhadap keputusan adopsi inovasi teknik satu bibit per rumpun.
3. Terdapat hubungan antara pendidikan formal individu terhadap keputusan adopsi inovasi teknik satu bibit per rumpun.
4. Terdapat hubungan antara pendidikan non-formal individu terhadap keputusan adopsi inovasi teknik satu bibit per rumpun.
5. Terdapat hubungan antara pengalaman bertani konvensional individu terhadap keputusan adopsi inovasi teknik satu bibit per rumpun.
21 6. Terdapat hubungan antara pengalaman bertani organik individu
terhadap keputusan adopsi inovasi teknik satu bibit per rumpun.
7. Terdapat hubungan antara perilaku komunikasi individu terhadap keputusan adopsi inovasi teknik satu bibit per rumpun.
b. Hubungan antara sifat inovasi dengan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun, yang dijabarkan dalam hipotesis-hipotesis berikut:
8. Terdapat hubungan antara tingkat keuntungan relatif dengan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun.
9. Terdapat hubungan antara tingkat kesesuaian dengan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun.
10. Terdapat hubungan antara tingkat kerumitan dengan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun.
11. Terdapat hubungan antara tingkat triabilitas dengan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun.
12. Terdapat hubungan antara tingkat observabilitas dengan keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun.
Definisi Operasional
Definisi operasional adalah penjelasan atau pengertian dari peubah-peubah dengan maksud untuk membatasi lingkup makna peubah agar lebih mengarah pada objek pengamatan/penelitian sehingga dapat dilakukan pengukuran (Singarimbun dan Effendi, 1989). Definisi operasional merupakan suatu kegiatan untuk memberikan nilai/skor kepada suatu obyek berkaitan dengan satuan variabel tertentu atau sebagai petunjuk tentang bagaimana suatu variabel diukur. Adapun definisi operasional dalam penelitian ini, diuraikan berdasarkan variabel, dan indikator, sebagai berikut:
X1.1 Umur adalah identitas yang melekat pada responden yang menunjukkan
lamanya hidup terhitung sejak lahir hingga penelitian ini dilakukan sesuai dengan yang tertera pada KTP atau identitas lainnya. Usia diukur menggunakan skala rasio, yaitu dalam satuan tahun dengan pembulatan ke bawah atau pada waktu ulang tahun terakhir. Indikator yang digunakan adalah jumlah tahun. Umur dikategorikan berdasarkan teori Havighurst (1972) yaitu:
1. Dewasa awal : 18-29 tahun 2. Dewasa tengah : 30-50 tahun 3. Tua : 50 tahun ke atas
X1.2 Luas lahan adalah jumlah panjang dikalian lebar sawah yang digarap oleh
responden ketika penelitian dilakukan. Indikator yang digunakan adalah jumlah panjang dikalikan lebar dalam satuan meter persegi. Luas lahan diukur menggunakan skala rasio. Digolongkan menjadi:
1. Sempit : < 13,200 m2 2. Sedang : 13,201 – 26,400 m2 3. Luas : 26,401 – 40,000 m2
X1.3 Tingkat pendidikan formal adalah jenjang pendidikan formal yang pernah
22
1. Rendah : tidak tamat SD 2. Sedang : tamat SD 3. Tinggi : tamat SMA
X1.4 Tingkat pendidikan non formal adalah penyuluhan organik dan atau SRI
yang pernah diikuti oleh responden. Indikator yang digunakan adalah banyaknya jenis penyuluhan pertanian yang pernah diikuti. Tingkat pendidikan non formal diukur menggunakan skala ordinal.
1. Rendah : tidak pernah mengikuti penyuluhan 2. Sedang : 1 jenis penyuluhan
3. Tinggi : ≥ 2 jenis penyuluhan
X1.5.Pengalaman bertani konvensional adalah lamanya petani mengelola usahatani padi secara mandiri dengan teknik konvensional. Indikator yang digunakan adalah jumlah tahun. Pengalaman bertani konvensional diukur menggunakan skala ordinal.
1. Rendah : 1 – 17 tahun 2. Sedang : 18 – 34 tahun 3. Tinggi : 35 – 50 tahun
X1.6 Pengalaman bertani organik adalah lamanya petani mengelola usahatani padi
secara mandiri dengan teknik organik, dihitung dari awal berusahatani organik sampai penelitian dilakukan atau sampai beralih ke pertanian konvensional. Indikator yang digunakan adalah jumlah tahun. Pengalaman bertani organik diukur menggunakan skala ordinal.
1. Rendah : 0 – 3 tahun 2. Sedang : 4 – 8 tahun 3. Tinggi : 9 – 13 tahun
X1.7 Perilaku komunikasi adalah kegiatan untuk mendapatkan informasi pertanian
melalui berbagai saluran komunikasi. Indikator yang digunakan adalah jenis media yang digunakan yaitu interpersonal dan media massa. Perilaku komunikasi diukur menggunakan skala ordinal.
1. Rendah : hanya 1 jenis sumber interpersonal 2. Sedang : lebih dari 1 jenis sumber interpersonal 3. Tinggi : Interpersonal dan media massa
X2.1 Tingkat keuntungan relatif adalah sejauh mana pandangan petani terhdap
keuntungan teknik satu bibit per rumpun secara ekonomis dan lingkungan dibandingkan dengan teknik konvensional. Indikator yang digunakan adalah penggunaan benih, pengeluaran usaha tani, produktivitas, pemeliharaan, dan jumlah tenaga. Tingkat keuntungan relatif diukur menggunakan skala ordinal.
1. Rendah : skor 5 – 12 2. Tinggi : skor 13 – 20
X2.2.Tingkat kesesuaian adalah sejauh mana teknik satu bibit per rumpun dianggap sesuai dengan nilai-nilai yang ada, pengalaman, masa lalu dan kebutuhan petani. Indikator yang digunakan adalah sesuai dengan kebutuhan, sesuai dengan kondisi lingkungan, sesuai dengan lahan, sesuai dengan kondisi ekonomi. Tingkat kesesuaian diukur menggunakan skala ordinal. 1. Rendah : skor 5 – 12
23
X2.3.Tingkat kompleksitas adalah sejauh mana dimana teknik satu bibit per
rumpun dianggap relatif sulit untuk dipahami dan diterapkan. Indikator yang digunakan adalah Penggunaan benih, pengeluaran usaha tani, produktivitas, pemeliharaan, dan jumlah tenaga. Tingkat kompleksitas diukur menggunakan skala ordinal.
1. Rendah : skor 5 – 12 2. Tinggi : skor 13 – 20
X2.4 Tingkat triabilitas adalah sejauh mana suatu inovasi dapat dicoba dengan
skala kecil. Indikator yang digunakan adalah kemungkinan dibuat dalam skala kecil, memiliki lahan untuk mencoba teknik satu bibit per rumpun, tidak menggangu tanaman lain, kemungkinan untuk membuat lahan sawah dengan ketinggian 1 cm. Tingkat triabilitas diukur menggunakan skala ordinal.
1. Rendah : skor 5 – 12 2. Tinggi : skor 13 – 20
X2.5 Tingkat observabilitas adalah derajat kemudahan inovasi diamati petani
mengenai hasil-hasil teknik satu bibit per rumpun yang dapat dilihat oleh responden. Indikator yang digunakan adalah jumlah butir padi per tanaman, warna daun, tinggi tanaman. Tingkat observabilitas diukur menggunakan skala ordinal.
1. Rendah : skor 5 – 12 2. Tinggi : skor 13 – 20
Y. Keputusan adopsi teknik satu bibit per rumpun adalah ketika individu terlibat dalam kegiatan yang mengarah ke pilihan untuk menerapkan inovasi. Indikator yang digunakan adalah responden menerapkan teknik satu bibit per rumpun ketika penelitian dilakukan. Keputusan adopsi diukur menggunakan skala ordinal.
1. Rendah : tidak menerapkan teknik 1 bibit per rumpun
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja (purposive). Lokasi ini di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga dipilih sebagai tempat penelitian karena di lokasi ini terdapat kelompok tani yang pernah menerapkan pertanian metode SRI. Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu kurang lebih satu bulan yang dimulai dari bulan Februari hingga Juli 2013. Waktu tersebut digunakan untuk penyusunan proposal skripsi, memperoleh data dan keterangan dari petani sebagai responden, memperoleh keterangan dari instansi-instansi terkait lainnya, analisis data, penyusunan draft skripsi, perbaikan skripsi dan penggandaan skripsi.
Pengumpulan Data
Metode penelitian yang digunakan untuk menggali data dan informasi dilapangan adalah pendekatan kuantitatif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif, hal ini dilakukan untuk mendapatkan hasil yang kuat dan akurat. Data kuantitatif dikumpulkan dengan metode survei, yaitu melalui kuisoner dan pertanyaan terstruktur, sebagai instrumen utama penelitian untuk mengumpulkan informasi tentang orang yang jumlahnya besar, dengan cara mewawancarai sejumlah kecil dari populasi tersebut. Data kualitatif digunakan sebagai pendukung penelitian. Berdasarkan sumbernya, data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari responden melalui pengisian kuisioner dan hasil wawancara. Kuisioner dan wawancara berisi sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan karakteristik, sifat-sifat inovasi dan keputusan adopsi pertanian SRI khususnya teknik tanam satu bibit per rumpun kepada petani. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam terhadap informan maupun responden. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui dokumentasi dari PPL dan kantor desa. Hal ini guna memenuhi kebutuhan untuk informasi mengenai gambaran umum lokasi penelitian. Selain itu data sekunder juga diperoleh melalui data-data yang terkait dengan lokasi atau hasil di lapangan.
Penentuan Sampel
26
pertimbangan keterwakilan sampel terhadap populasi yang relatif homogen. Diantara petani di Desa Purwasari tidak ditemukan stratifikasi atau pembeda. Semakin seragam populasi maka semakin kecil sampel yang dapat diambil.
Pemilihan responden dalam penelitian ini berdasarkan pertimbangan bahwa responden merupakan petani yang merupakan anggota dari kelompok tani di Desa Purwasari. Cara menentukan 30 sampel dari 42 populasi dihitung menggunakan rumus Slovin. Rumus Slovin digunakan karena ukuran populasi diketahui dan asumsi bahwa populasi berdistribusi normal (Hasan, 2002). Rumus persamaan. Slovin yang digunakan adalah sebagai berikut:
Keterangan : n = besaran sampel N = besaran populasi
e = nilai kritis atau batas ketilitian yang ditentukan Prosedur Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian, baik secara kuantitatif maupun kualitatif diolah dengan cara mereduksi bagian-bagian terpenting sehingga menjawab masalah penelitian yang diajukan. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan tabel frekuensi, tabulasi silang, dan Rank Spearman. Pengolahan data dilakukan untuk mengukur karakteristik petani dan sifat inovasi serta hubungannya dengan keputusan adopsi inovasi teknik satu bibit per rumpun. Pengolahan data ini menggunakan program komputer SPSS 15.0 for Windows dan Microsoft Excel 2007 untuk mempermudah dalam proses pengolahan data. Teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan perlakuan yang berbeda sesuai dengan jenis data yang diperoleh.
Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk melihat hubungan yang nyata antar variabel dengan data berbentuk ordinal, seperti untuk menentukan hubungan antara kedua variabel yang menggunakan skala ordinal pada penelitian ini. Rumus korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut:
Dimana :
ρ atau rs : koefisien korelasi spearman rank di : determinan
27
Kaidah pengambilan keputusan tentang hubungan antar variabel dalam uji korelasi Rank Spearman adalah melalui nilai signifikansi atau probabilitas atau α yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antar variabel yang diteliti. Signifikansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebesar α (0,05), artinya hasil penelitian mempunyai kesempatan untuk benar atau tingkat kepercayaan sebesar 95 persen dan tingkat kesalahan sebesar 5 persen. Dasar pengambilan keputusan dirumuskan sebagai berikut:
a. Jika angka signifikansi hasil penelitian < 0.05 maka H0 ditolak. Jadi hubungan
kedua variabel signifikan; dan
b. Jika angka signifikansi hasil penelitian > 0.05 maka H0 diterima. Jadi
hubungan kedua variabel tidak signifikan.
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Sejarah berdirinya Desa Purwasari
Desa Purwasari merupakan desa hasil pengembangan (pemekaran) dari Desa Petir Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor pada tahun 1978/1979 yang dijabat oleh seorang pejabat sementara yang bernama Drs. H. Moch. Sarnata. Pada tahun 1980 Kecamatan Ciomas terpecah tiga bagian, yaitu Kecamatan Ciomas, Kemantren Taman Sari, dan Kemantren Dramaga dimana Desa Purwasari berada pada bagian wilayah Kemantren Dramaga. Desa Purwasari diambil dari bahasa sangsekerta yang terdiri dari dua kata yaitu purwa yang berarti awal atau pertama dan kata sari yang berarti rasa, jadi purwasari berarti rasa yang pertama atau yang pertama merasa. Dikatakan demikian karena Desa Purwasari adalah desa pertama hasil pemekaran di Kecamatan Ciomas. Pada tahun 1983 Kemantren Dramaga resmi menjadi Kecamatan Dramaga dan dipimpin seorang Camat yang bernama Drs. Junaedi.
Kondisi Geografi
Menurut data monografi desa, sebelah utara Desa Purwasari berbatasan dengan Desa Petir, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sukajadi, sebelah timur berbatasan dengan Desa Petir, sebelah barat berbatasan dengan Desa Situ Daun. Keadaan topografi Desa Purwasari adalah daerah yang berada di daratan rendah. Desa ini terletak di 568 m diatas permukaan air laut. Berdasarkan data iklimnya, desa ini memiliki curah hujan 2,000-2,500 mm/tahun dan suhu udara rata-rata 28-30oC. Padi merupakan komoditas utama yang diusahakan di Desa Purwasari. Produksi padi di Desa Purwasari merupakan yang terbesar di Kecamatan Dramaga. Produksinya mencapai 1,962.4 ton atau sebesar 23.93 persen dari total produksi padi di Kecamatan Dramaga yang menghasilkan 8,050 ton. Produktivitas Desa Purwasari juga merupakan yang tertinggi di Kecamatan Dramaga, yaitu sebesar 6.4 ton/hektar. Komoditas unggulan lainnya adalah tanaman palawija seperti ubi jalar dan ubi kayu serta pembesaran ikan mas dan gurame.
Tabel 5 Luas lahan dan persentase menurut penggunaannya di Desa Purwasari tahun 2011
No. Penggunaan lahan Jumlah (ha) Persentase (%)
1 Persawahan 211.016 50.9
2. Perkebunan 158.233 38.2
3 Kehutanan 8. 290 2.0
4 Pemukiman 34. 998 8.5
5 Perkantoran 0. 15 0.0
6 Pekarangan 1. 441 0.4