• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DAMPAK PELITA III PADA MASYARAKAT KONSUMEN

A. Peningkatan Konsumsi Beras

Kesamaan antara Orde Lama dan Orde Baru yaitu dalam komitmen untuk mencapai swasembada beras ditingkat nasional. Melalui program Kesejahteraan Kasimo (1952-1956), Orde Lama mendirikan Yayasan Bahan Makanan (BAMA) dan diganti Yayasan Urusan Bahan Makanan (YUBM) pada tahun 1953-1956, dan Yayasan Badan Pembelian Padi (YBPP) pada 1956. Program Kasimo

152

Andreas Maryoto. Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya dan Masa

bertujuan mencapai swasembada tahun 1956. Akan tetapi realisasi dari program Kasimo tidak berjalan efektif, pemerintah melanjutkan program Sentra Padi (1956-1965) sebagai kelanjutan untuk mencapai swasembada beras tersebut. Sedangkan ketika Orde Baru, strateginya melalui Pelita dalam bidang pertanian.

Acara-acara panen padi pada masa Orde Baru disetting sedemikian rupa sehingga Soeharto terkesan pembela kaum tani. Sebagai contoh acara Presiden Soeharto ketika panen padi, ia turun ke sawah memakai caping dan memotong padi kemudian mengangkatnya. Setelah itu, ia tersenyum sambil terus mengangkat padi. Pada saat bersamaan, wartawan mengambil gambarnya

berkali-kali untuk dimuat di media massa.153

Selain itu, acara sambung rasa kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca dan pirsawan) yang disertai pemberian hadiah dan bahkan hak untuk datang ke istana presiden, suatu tempat yang sangat mewah bagi petani di daerah menjadikan saat dimana petani bisa mengeluarkan keluh kesahnya kepada presiden. Acara seperti ini melengkapi sikap hormat petani terhadap presidennya. Hal ini semua dilakukan seolah Soeharto memahami soal pertanian. Soeharto memang berasal dari keluarga yang lekat dengan pertanian di Desa Kemusuk,

DIY. Ayahnya adalah pengatur irigasi desa atau disebut ulu-ulu.154

Kedudukan Beras dalam ekonomi nasional adalah begitu penting dan lebih-lebih lagi bagi penduduk pedesaan sangat erat kaitannya dengan naik turunnya produksi padi. Bahkan antara lain karena pertimbangan inilah dalam

153

Ibid. Hal: 131-132.

154

anggaran pembangunan dimulai 1 April tiap tahun bersesuaian dengan panen raya beras terutama di Jawa.

William Collier dan kawan-kawan secara langsung mengkaitkan analisa pembangunan pedesaan dengan cenderung mengikuti tren produksi beras.

Misalnya mereka membaginya seperti berikut:155

1850-1965 : Tidak ada pembangunan pedesaan, produksi padi rata-rata naik

3% per tahun hanya sedikit lebih tinggi daripada pertumbuhan penduduk.

1966-1968 : Produksi padi rata-rata naik 4,4% pertahun. Keadaan ekonomi

lebih stabil, tetapi pembangunan pedesaan belum menunjukkan kemajuan nyata.

1969-1973 : Pelita I. Produksi padi mulai meningkat lebih cepat lagi yaitu

4,7% per tahun.

1974-1978 : Hama wereng yang menyerang tanaman padi secara luas

menyebabkan kemakmuran pedesaan dan kemunduran dalam usaha-usaha pembangunan pedesaan. Produksi padi naik rata-rata 3,5% per tahun.

1979-1981 (tahun awal Pelita III)

: Kemajuan yang amat menonjol dalam pembangunan pedesaan sebagai akibat langsung dari peningkatan produksi padi yaitu rata-rata 10,2% per tahun.

155

Mubyarto dan Sartono Kartodirjo, Pembangunan Pedesaan di

Selama pemerintahan Orde Baru khususnya sejak pelita I dana-dana pembangunan pedesaan yang dialirkan cukup besar, tetapi karena program utamanya peningkatan produksi padi maka tingkat kesejahteraan masyarakat

pedesaan diukur dengan hasil produksi tersebut.156

Metode Bimas (Bimbingan Massal) yang diperkenalkan Orde Baru tidak saja terkenal di Indonesia, tetapi juga di negara-negara tetangga lain sebagai pendekatan terpadu dalam upaya peningkatan produksi beras. Metode ini telah diterapkan pula pada berbagai komoditi lain misalnya palawija, ayam dan ternak potong, industri kecil dan lain-lain. Namun pelaksanaan yang paling lengkap dan

jauh adalah pada tanaman padi.157

Metode Bimas sebenarnya hampir sama dengan pola Comilla di Bangladesh yaitu terutama melalui penyediaan sarana produksi padi yang lengkap dan penyuluhan-penyuluhan, sehingga keseluruhannya mencakup apa yang dikenal dengan Panca Usaha yaitu penyediaan bibit unggul, pemupukan, pengairan, pemberantasan hama, dan metode bercocok tanam yang dikatakan lebih baik.

Bimas sejak semula menekankan pada upaya meningkatkan produksi beras, karena masalah nasional nomor satu pada akhir tahun enam puluhan memang pada upaya cakupan pangan penduduk.

Program Bimas juga dikenal sebagai Revolusi Hijau meskipun memakan waktu yang relatif lama berhasil mengubah sikap petani, khususnya para petani

156

Ibid.

157

sektor pangan, dari anti teknologi kesikap yang mau memanfaatkan teknologi pertanian modern seperti pupuk kimia, obat-obatan perlindungan, dan bibit padi unggul. Perubahan sikap petani sangat berpengaruh terhadap kenaikan produktivitas sub sektor pertanian pangan sehingga Indonesia mampu mencapai swasembada pangan.

Prasarana dan lembaga pertanian sangat penting peranannya dalam menunjang pembangunan pertanian. Usaha-usaha untuk menyempurnakan prasarana dan kelembagaan pertanian, yang sudah dimulai sejak Pelita I, dan selama Pelita III terus ditingkatkan.

Meskipun Revolusi Hijau mampu mencapai tujuan utamanya untuk meningkatkan produktivitas sub sektor pertanian pangan, namun kenyataannya Revolusi Hijau tersebut telah menimbulkan berbagai masalah tersendiri. Salah satu masalah yang sangat penting adalah terjadinya penyeragaman bibit padi. Semua bibit padi yang boleh ditanam adalah bibit padi unggul yang disediakan pemerintah, sementara pemerintah melarang para petani menanam bibit lokal yang semula banyak ditanam petani. Penyeragaman bibit padi itu berakibat kerentanan dalam sub sektor pertanian pangan Indonesia. Kerentanan itu muncul dalam dua bentuk. Pertama, sektor pertanian Indonesia rentan akan berbagai hama. Meskipun bibit padi unggul itu memiliki produktivitas yang tinggi mereka tidak memiliki ketahanan hidup lama. Seperti pengalaman pada tahun 1970-an sektor pangan Indonesia terserang penyakit hama wereng coklat yang mampu memusnahkan tanaman padi dan mengancam Indonesia menghadapi bahaya kelaparan. Untuk mengatasi hal ini pemerintah harus sering mengadakan

pergantian bibit padi yang diharapkan dapat lebih memiliki ketahanan terhadap

hama.158

Revolusi Hijau membuat petani meninggalkan pengetahuan lokal menyangkut pertanian. Para petani lebih menggantungkan pada paket-paket teknologi pertanian produk industri. Ketergantungan itu menimbulkan suatu kerentanan baru yakni petani Indonesia menjadi obyek dari permainan harga produk-produk itu. Hal itu mengganggu proses produksi pangan karena apabila harga pupuk naik maka petani mengurangi pemakaian pupuk yang berakibat menurunnya produksi. Selain hal tersebut lumbung-lumbung padi yang mereka miliki sudah mulai ditinggalkan. Dari segi ekonomis menyimpan hasil panen juga tidak banyak berguna bagi petani karena harga padi pada musim panen dan paceklik tidak banyak perbedaannya. Pada musim paceklik harga beras tidak banyak berubah karena pemerintah melalui Badan Urusan Logistik (BULOG) mengadakan operasi pasar sehingga jumlah beras di pasar tetap tersedia dalam

jumlah yang memadai sehingga harga beras stabil.159

Revolusi Hijau banyak dilakukan di daerah dataran rendah. Di kawasan ini pemerintah membangun berbagai prasarana guna menunjang program swasembada pangan. Akibatnya adalah muncul kesenjangan antara kawasan dataran rendah dengan kawasan dataran tinggi atau kawasan non padi. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap kawasan dataran tinggi misalnya Gunungkidul membawa akibat pula pada kelestarian dari infrastruktur penunjang Revolusi

158

Loekman Soetrisno, Pertanian pada Abad ke-21 (Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi Departemen pendidikan dan Kebudayaan, 1999). Hal: 10-12. 159

Hijau. Dam-dam yang dibangun pemerintah menjadi berumur pendek karena

cepat tergenang endapan tanah yang terjadi oleh proses erosi yang cepat.160

Revolusi Hijau atau Bimas telah mampu mendongkrak produktifitas sub-sektor pertanian tanaman pangan sehingga Indonesia untuk kurun waktu tertentu telah mampu mencapai swasembada pangan, khususnya beras. Akan tetapi Revolusi Hijau juga menyebabkan sistem sub sektor tanaman pangan rentan oleh berbagai hama, disamping memunculkan kesenjangan antara daerah/kawasan padi dan kawasan non-padi yakni daerah pegunungan. Konsentrasi pembangunan pertanian pada tanaman pangan juga menimbulkan keterbelakangan pada

pembangunan pertanian hortikultura.161

Beras selain terkait erat dengan pengamanan stabilitas internal negara juga memiliki relasi kuat dengan penciptaan stabilitas eksternal. Kasus di Indonesia, keamanan nasional sangat dipengaruhi oleh ketercukupan pangan. Pangan ditempatkan sebagai salah satu unsur inti kekuatan nasional, yang akan berpengaruh penting terhadap stabilitas keamanan serta kedaulatan suatu negara. Negara yang tidak mampu berswasembada pangan, dipaksa untuk mencurahkan seluruh energi nasional dan politik luar negerinya, guna mencukupi kebutuhan pangan dalam negerinya. Sebagai akibat atas hal tersebut, politik luar negeri harus senantiasa lunak, agar kedermawanan internasional tetap terjaga. Swasembada pangan adalah sebuah kekuatan besar bagi negara, dan sebaliknya, kelangkaan

160

Ibid. Hal: 10-12.

161

pangan yang permanen, akan berimbas pula pada kelemahan permanen politik

internasional suatu negara.162

Perkembangan yang dicapai dalam penyediaan pangan bagi setiap jiwa per hari dicerminkan dalam bentuk Neraca Bahan Makanan (NBM). NBM tahun 1980 menunjukkan bahwa rata-rata persediaan untuk konsumsi penduduk Indonesia telah mencapai 2.570 kalori dan 48,4 gram protein per jiwa per hari. Hal ini berarti sudah melebihi jumlah yang dianjurkan, yaitu sebesar 2100 kalori dan 46 gram protein per jiwa per hari.

Meskipun dalam Pelita III persediaan untuk konsumsi kalori dan protein penduduk telah melampaui rata-rata, tetapi masih terdapat berbagai kelompok masyarakat yang menderita kekurangan gizi. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi pangan masih belum merata, baik antar daerah, antar golongan keluarga

maupun antar anggota keluarga.163

Adapun pola konsumsi pangan di Indonesia sebagian besar penduduk mengkonsumsi beras. Namun polanya tidak merata: di sebagian besar wilayah, beras dikonsumsi sebagai bahan pangan pokok utama, sedangkan sebagian wilayah beras dikonsumsi bersama-sama dengan bahan pangan sumber

karbohidrat lainnya seperti ubi kayu (singkong), jagung, sagu dan ubi jalar.164

Keadaan pola konsumsi seperti tersebut di atas menyebabkan

162

Wahyudi Djafar, “Politisasi Beras Tak Berkesudahan”, http://wahyudi djafar.wordpress.com/2008/11/20/politisasi-beras-yang-tak-berkesudahan/ diakses

tanggal 21 Februari 2011.

163

Bappenas, Repelita IV Bab 10: Pangan dan Perbaikan Gizi. Hal:

499-501. 164

penganekaragaman pola konsumsi pangan dirasakan sangat perlu dan karena itu sejak Pelita II, telah menjadi sasaran dalam pembangunan. Inpres No. 14 Tahun 1974 yang disempurnakan menjadi Inpres No. 20 Tahun 1979 sebagai usaha penganekaragaman tersebut berisi pengarahan-pengarahan atau pedoman-pedoman yang diperlukan. Jadi penganekaragaman pangan pokok telah cukup lama merupakan kebijaksanaan, baik dalam segi produksi maupun konsumsi,

tetapi hasilnya tidak memuaskan.165

Masalah nasional yang dihadapi dalam usaha penyediaan pangan untuk mencapai sasaran swasembada pangan adalah jumlah penduduk yang besar dan terus meningkat serta adanya kecenderungan masyarakat untuk memilih beras sebagai bahan pangan pokok, sehingga konsumsi beras per jiwa per tahun terus

meningkat.166

Pada tahun-tahun terakhir Pelita III, terutama setelah digencarkannya Intensifikasi Khusus (Insus) dan Operasi Khusus (Opsus), produksi padi telah meningkat hingga melampaui sasaran. Meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat disertai dengan harga beras yang umumnya berada dalam jangkauan daya beli masyarakat sehingga telah mendorong konsumsi rata-rata beras per jiwa per tahun meningkat sampai 130 kg. Di beberapa tempat seperti Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, konsumsi beras per jiwa bahkan mencapai rata-rata 150 kg dan tidak terlihat tanda-tanda akan menurun. Selain itu, penduduk di Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya yang sebelumnya

165

Ibid.

166

memilih jagung, ubi-ubian, dan sagu sebagai bahan pangan pokoknya, kini telah mengubah pola konsumsinya sehingga konsumsi beras semakin meningkat. Pada satu sisi perkembangan konsumsi tersebut merupakan sesuatu yang

menggembirakan tetapi disisi lain hal tersebut menunjukkan adanya

kecenderungan masyarakat Indonesia untuk semakin tergantung pada satu jenis

pangan.167

Revolusi Hijau yang dijalankan Orde baru telah memaksa Indonesia untuk melakukan pemenuhan pangan pada satu komoditas saja yaitu beras. Sebagai akibatnya, pangan-pangan lokal yang biasa dikonsumsi masyarakat ditiadakan, diseragamkan dengan beras. Dampak lebih lanjut, pemenuhan hak atas pangan tidak pernah berjalan maksimal, sebab mereka dipaksa mengkonsumsi beras.

Ketergantungan pada beras sebenarnya dapat dikurangi atau bahkan

dilepaskan sama sekali, melalui politik diversifikasi pangan atau

penganekaragaman pangan yang dijalankan secara besar-besaran.168 Namun,

usaha ini tidak maksimal karena pemerintah lebih memicu masyarakat untuk memproduksi beras bahkan petani diberi kredit benih dan pupuk. Inpres dan peraturan yang mengatur diversifikasi pangan hanya menjadi ironi dan tidak dijalankan secara serentak sehingga hasilnya tidak dirasakan. Selain itu, dibandingkan dengan palawija harga beras lebih stabil dan menguntungkan apabila dijual membuat masyarakat lebih memilih memproduksi komoditas ini.

167

Ibid.

168

Sama halnya di daerah Gunungkidul yang semula memenuhi kebutuhan

pangannya dengan thiwul juga mampu memproduksi padi gogo kini harus

mengupayakan tanahnya untuk memproduksi padi unggul hasil laboratorium dengan modal yang lebih besar. Dengan demikian mereka juga harus mengikuti pola umum untuk mengkonsumsi beras itu sendiri.

Pada tahun 1983, areal sawah berpengairan di Gunungkidul sendiri telah meningkat seluas 1.500 hektar. Meluasnya areal sawah berpengairan ini berasal dari oncoran sumur pompa disel seluas 904,20 hektar dan Cek Dam seluas 596 hektar. Meluasnya sawah berpengairan ini telah mengakibatkan menurunnya areal sawah tadah hujan. Sementara itu luas areal pekarangan meningkat dan mengakibatkan menurunnya tanah tegal. Penurunan ini karena semakin bertambahnya jumlah penduduk, sehingga banyak membutuhkan areal

pemukiman baru.169

CHART1. PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN PANGAN DI GUNUNGKIDUL DIHITUNG TIAP AKHIR TAHUN PELITA I-III

DALAM TON.

Sumber: BPS, Gunungkidul Dalam Angka Tahun 1983. Hal:146-154.

169

Sudijono,op.cit.Hal: 44.

0,00 100.000,00 200.000,00 300.000,00 400.000,00 500.000,00 P a d i sa w a h

Sama halnya di daerah Gunungkidul yang semula memenuhi kebutuhan

pangannya dengan thiwul juga mampu memproduksi padi gogo kini harus

mengupayakan tanahnya untuk memproduksi padi unggul hasil laboratorium dengan modal yang lebih besar. Dengan demikian mereka juga harus mengikuti pola umum untuk mengkonsumsi beras itu sendiri.

Pada tahun 1983, areal sawah berpengairan di Gunungkidul sendiri telah meningkat seluas 1.500 hektar. Meluasnya areal sawah berpengairan ini berasal dari oncoran sumur pompa disel seluas 904,20 hektar dan Cek Dam seluas 596 hektar. Meluasnya sawah berpengairan ini telah mengakibatkan menurunnya areal sawah tadah hujan. Sementara itu luas areal pekarangan meningkat dan mengakibatkan menurunnya tanah tegal. Penurunan ini karena semakin bertambahnya jumlah penduduk, sehingga banyak membutuhkan areal

pemukiman baru.169

CHART1. PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN PANGAN DI GUNUNGKIDUL DIHITUNG TIAP AKHIR TAHUN PELITA I-III

DALAM TON.

Sumber: BPS, Gunungkidul Dalam Angka Tahun 1983. Hal:146-154.

169

Sudijono,op.cit.Hal: 44.

tahun 1974 P a d i sa w a h P a d i la d a n g Ja g u n g U b i k a y u (s in g k o n g ) U b i ja la r K e d e la i K a ca n g t a n a h C a n te l tahun 1974 tahun 1978 tahun 1983 Sama halnya di daerah Gunungkidul yang semula memenuhi kebutuhan

pangannya dengan thiwul juga mampu memproduksi padi gogo kini harus

mengupayakan tanahnya untuk memproduksi padi unggul hasil laboratorium dengan modal yang lebih besar. Dengan demikian mereka juga harus mengikuti pola umum untuk mengkonsumsi beras itu sendiri.

Pada tahun 1983, areal sawah berpengairan di Gunungkidul sendiri telah meningkat seluas 1.500 hektar. Meluasnya areal sawah berpengairan ini berasal dari oncoran sumur pompa disel seluas 904,20 hektar dan Cek Dam seluas 596 hektar. Meluasnya sawah berpengairan ini telah mengakibatkan menurunnya areal sawah tadah hujan. Sementara itu luas areal pekarangan meningkat dan mengakibatkan menurunnya tanah tegal. Penurunan ini karena semakin bertambahnya jumlah penduduk, sehingga banyak membutuhkan areal

pemukiman baru.169

CHART1. PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN PANGAN DI GUNUNGKIDUL DIHITUNG TIAP AKHIR TAHUN PELITA I-III

DALAM TON.

Sumber: BPS, Gunungkidul Dalam Angka Tahun 1983. Hal:146-154.

169

Sudijono,op.cit.Hal: 44.

tahun 1974 tahun 1978 tahun 1983

Dalam chart tersebut terlihat bahwa komoditas pertanian semakin meningkat yaitu padi sawah, padi ladang, jagung, kedelai, kacang tanah dan singkong. Singkong pun masih mendominasi produksi pertanian masyarakat. Sedangkan ubi jalar dan cantel sangat sedikit jumlahnya. Gejala yang timbul jika

pola konsumsi menjadi beras maka akan terjadi defisit bahan makanan ini.170

Pada Pelita III ini telah memberi dampak yang signifikan kepada

masyarakat konsumen thiwul di Gunungkidul dan daerah Pegunungan Selatan

yang lain karena telah sedikit banyak mengubah pola konsumsi thiwul mereka

dengan beralih ke beras. Hal tersebut tentu akan semakin memberatkan penyediaan beras bagi pertanian ladang.

Oleh sebab itu, demi menghapus dominasi dan politisasi beras yang tidak berkesudahan, perlu diserahkan kepada rakyat atas pangan. Hal tersebut berarti bahwa harus ada hak rakyat untuk menentukan kebijakan dan strategi atas produksi, distribusi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan, dan ada jaminan pemenuhan hak atas pangan bagi seluruh warga negara. Keragaman dan kearifan budaya harus pula dijunjung tinggi, khususnya terkait dengan apa yang biasa dikonsumsi oleh masing-masing kelompok masyarakat, serta bagaimana cara pemenuhannya. Misalnya di daerah Gunungkidul dan daerah pegunungan selatan

Jawa yang mengkonsumsi thiwul itu, biarkan mereka meneruskan kebiasaannya.

Melalui cara tersebut, setidaknya hegemoni beras bisa ditiadakan, dan upaya pemenuhan hak atas pangan pun diharapkan dapat berjalan lebih baik, sekaligus

170

menjadi ikhtiar untuk mengembalikan kedaulatan nasional secara penuh.171 Di samping untuk memenuhi kebutuhan pangan, kebijaksanaan ini ditujukan pula untuk mengurangi ketergantungan rakyat kepada beras dan sekaligus meningkatkan keadaan gizi rakyat.

Dokumen terkait