KEBIJAKAN PELITA III BIDANG PERTANIAN UNTUK PRODUKSI BERAS
Studi Kasus Pada Masyarakat KonsumenThiwuldi Gunungkidul (1979-1984)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Disusun Oleh:
Nama Mahasiswa : Wahyu Siswantriyani
NIM : 074314009
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
i
KEBIJAKAN PELITA III BIDANG PERTANIAN UNTUK PRODUKSI BERAS
Studi Kasus Pada Masyarakat KonsumenThiwuldi Gunungkidul (1979-1984)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Ilmu Sejarah
Disusun Oleh:
Nama Mahasiswa : Wahyu Siswantriyani
NIM : 074314009
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA
iv
Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. (Roma 12:11)
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
Gunungkidul Handayani...
Bapak Siswowiyarno yang beristirahat kekal di Surga & Mamak Lastri...
Mas Ginawan & keluarga, Mbak Mini & keluarga, Mbak Mugiasih yang menemani Bapak di Surga
& saudaraku semua...
v
Jadilah WAHYU!!!
Wasis,
Asih,
Happy,
Yang Percaya Allah,
Usefull!
P
Skripsi ini mer syarat untuk memperol memuat karya orang kecuali bagian-bagian t
Penulis bertan sumber-sumber yang di
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
erupakan karya sendiri dan belum pernah saya peroleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi. S
ng lain atau suatu lembaga atau bagian dari ka ian tertentu yang dijadikan sumber.
tanggung jawab penuh atas kebenaran fakta-fa g diperoleh dalam penulisan skripsi ini.
Yogyakarta, P
Wahyu S
aya ajukan sebagai i. Skripsi ini tidak i karya orang lain,
-fakta berdasarkan
a, 9 Agustus 2011 Penulis
LEMBAR PERNYA
an di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sa : Wahyu Siswantriyani
hasiswa : 074314009
an ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
LITA III BIDANG PERTANIAN UNTUK asus Pada Masyarakat Konsumen Thiwul di
saya memberikan kepada Perpustakaan Uni uk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk
m bentuk pangkalan data, mendistribusikan kannya di Internet atau media lain untuk kepent
nta ijin dari saya maupun memberikan royal ntumkan nama saya sebagai penulis.
an ini yang saya buat dengan sebenarnya.
viii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke hadirat Tuhan atas berkat dan kasihnya sehingga skripsi yang berjudul: “KEBIJAKAN PELITA III BIDANG PERTANIAN UNTUK PRODUKSI BERAS: Studi Kasus Pada Masyarakat Konsumen Thiwul di Gunungkidul (1979-1984)”bisa diselesaikan dengan baik.
Penulis menghaturkan rasa hormat dan mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M. Hum selaku dosen pembimbing yang bersedia meluangkan waktu dan kesempatan untuk membimbing dan mengoreksi skripsi ini sampai terwujud, motivasi, nasehat, hal-hal bijak, dan bertukar pikiran tentang banyak hal.
Dalam penulisan skripsi ini penulis banyak sekali melibatkan bantuan, dukungan, bimbingan, masukan dan sumbangan pemikiran baik moral maupun materi, secara langsung maupun tidak langsung dari segenap pihak. Oleh karena itu sudah sepantasnya pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan rasa terimakasih yang tidak terhingga dan menjunjung hormat kepada:
1. Romo Dr. Ir. P. Wiryono Priyatamtama, S.J., M.Sc. selaku Rektor Universitas Sanata Dharma yang memberikan kesempatan untuk diwawancarai dan memberikan izin penulisan skripsi ini.
ix
3. Bapak Drs. Silverio R.L Aji S., M. Hum selaku Ketua Program Studi Ilmu Sejarah yang memberikan izin penyusunan skripsi ini dan telah membagikan ilmunya.
4. Romo Dr. FX. Baskara T. Wardaya, S.J. yang membagikan ilmu sejarah terutama bagaimana menjadi seorang penulis yang baik, kedisiplinan, berbagai pengalaman yang membuka wawasan dan mengajak berbagai acara seminar serta dukungan dalam kursus bahasa Inggris.
5. Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso yang telah memberikan gambaran cara berpikir logis dan sistematis.
6. Bapak Dr. Anton Haryono, M.Hum, Bapak Prof. Dr. P. Y. Suwarno, S.H., Drs. Manu Joyoatmojo, Drs. H. Purwanta, M.A., Miss Eny Winarti, dosen-dosen kebanggaanku yang mengajarkan berbagai hal.
7. Mas Try di Sekretariat Fakultas Sastra yang banyak disibukkan keperluan administrasi mahasiswa.
8. Guru-guruku dari TK Theresia Kelor, SD Kelor, SMP 1 Karangmojo & SMK 1 Wonosari.
9. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang setia melayani dan menyediakan berbagai sumber literatur.
10. Kantor BPS Kota Yogyakarta & Gunungkidul yang menyediakan layanan data-data statistik.
x
12. Teman sejarah angkatan 2007 Ligia J. Giay yang cemerlang pemikirannya, Mas Adi (Gokil), Audy (Gayus), Andri, Tian (Idol), Bene, Aryo, Bekti. 13. Teman sejarah angkatan 2006: Tati, Teo, Ismi, Ifa.
14. Teman sejarah angkatan 2008: Gilang, Mana (Suster) Mena dan Angga. 15. Teman angkatan 2009: Ayunda, Deaz, Silvi, dkk.
16. Teman angkatan 2010: Magda ketua HMJ, dkk.
17. Keluarga besar Mitra Perpus: Mbak Bul-bul, Yudha (Co.), Satria (Piningit), Si-Tri, Heni, Mbak Penti, Mbak Nisa, Mbak Bunda Woro, Mbak Nathan, Handika, Mbak Ria, Mas Dony, Fery, Mbak Budi, Mbak Sapoe.
18. Koz Mbah Harjo: Bapak Koz, Mbak Ning (Nong), Mbak Endah, Titin (Atta-Tutun), Mbak Novi, Mbak Rina dan Reni, Mbak Tina.
19. Koz Kolobendono 16: Sar-Winda yang baik hati, Mbak Sari, Mas Aan, Mina, Nia, Mbak Nong, Chandra, Nunung cs, Mas Febri.
20. OMK Kelor yang hepy terutama Mbak Diyan, Mas Teguh, Mbak Woro, Darti, Inggrit, Andre dan Mas Fendy yang mengantarkan aku pertama kali ke jurusan sejarah.
21. Teman SMP: F.Y. Damar, Fita, Laras, Erna, Ning-Tutik, Tari, dll. 22. F. Krisna Adyanti Sanjaya, teman seperjuanganku dalam suka dan duka. 23. Bapak Siswowiyarno yang berada di surga dan Mamak Lastri yang
memberikanku kehidupan yang indah ini serta tidak lelah memberikan nasihat yang berarti.
xi
26. Saudara-saudaraku: Kang Suwadi “Purnama”, Yulia Widiarti, Kang Wasgito “Ardito Glass”, MasNur “Wiyono Putro”,Kang Karno di Depok, Mas Topo, Kang Supri, Iin Rayahu, Kang Sarno, Yu Wasilah, Mbak Anik PUSD dan semuanya saja.
27. Romo Ary, Romo Tri, Romo Wir, Romo Kris, Romo Pri yang berkarya di Kelor.
28. Keluarga kekasihku: Bapak Ign. Supardi dan Ibu, Mbak Mia-Rosa, Mas Hatta, Mbak Lia, Mas Frater Petrus, Andre kecil, Mas Chef Fery.
29. Kekasih Sejatiku: Ignatius Riwi Setiawan yang mencintai setulus hati.
30. Pihak-pihak lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang turut memberikan andil untuk tersusunnya skripsi ini.
Tak ada gading yang tak retak, tiada sesuatu yang sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan itu milik Tuhan sendiri. Oleh karena itu, penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih begitu banyak kekurangannya. Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan sehingga karya ini lebih baik lagi. Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis berharap semoga hasil penulisan ini berguna bagi pembaca yang budiman.
Yogyakarta, 9 Agustus 2011
xiii
H. Metode ... 20
I. Sistematika Penulisan... 21
BAB II KEBIJAKAN PELITA III ORDE BARU: POLITISASI PRODUKSI BERAS... 23
A. Wacana Pembangunan Nasional Sampai Isu Krisis Pangan Menjadi Salah Satu Penyebab Jatuhnya Soekarno... 24
B. Peningkatan Produksi Beras Melalui Pelita I (1969-1974)... 30
C. Peningkatan Produksi Beras Berlanjut Pada Pelita II (1974-1979).. 37
D. Pemantapan Peningkatan Produksi Beras Pada Pelita III Untuk Mencapai Swasembada (1979-1984)... 43
BAB III PERTANIAN DI GUNUNGKIDUL DALAM PELITA III... 52
A. Geografis Gunungkidul... 52
1. Pegunungan Baturagung... 53
2. Plato Wonosari (Zona Ledoksari)... 54
3. Zona Pegunungan Seribu (Zuider Gebergton)... 55
B. Kepercayaan Masyarakat Gunungkidul... 57
C. Masyarakat Petani Gunungkidul... 59
D. Pelaksanaan Pelita III di Gunungkidul ... 65
1. Pelita III Bermasalah... 65
2. Panca Usaha Tani... 71
BAB IV DAMPAK PELITA III PADA MASYARAKAT KONSUMEN THIWUL... 78
A. Peningkatan Konsumsi Beras... 78
B. Ketergantungan Pupuk Kimia... 90
xiv
D. Hilangnya Pengetahuan Pertanian Tradisional... 95
BAB V PENUTUP...
101 DAFTAR PUSTAKA...
106 LAMPIRAN...
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1979 Tentang Rencana Pembangunan Lima
xvi
DAFTAR PETA
Peta 1. Topografi Gunungkidul... 54 Peta 2. Konsumen Gaplèk di Jawa dari Buku The Cassava Economy
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Sejarah Kebijakan Pangan Indonesia Sejak 1952... 116 Tabel 2. Produksi Pertanian Pangan Indonesia Terpenting... 117
Tabel 3. Luas Tanah Sawah dan Tanah Kering Menurut Kabupaten/Kotamadya di Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta... 118 Tabel 4. Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kotamadya di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta... 118 Tabel 5. Rata-rata Produksi Per Hektar Tanaman Bahan Makanan
Menurut Jenis dan Kabupaten/Kotamadya di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta... 119 Tabel 6. Luas Tanah Sawah, Tegal dan Pekarangan di Kabupaten
Gunungkidul Tahun 1978-1983... 120 Tabel 7. Banyaknya Alat-alat Pertanian di Kabupaten Gunungkidul
tahun 1978-1983... 121 Tabel 8. Banyaknya Alat-alat Prosesing/Pengolahan Padi dan
Pompa Air di Kabupaten Gunungkidul Tahun 1979-1983. 122 Tabel 9. Susunan Kalori dan Protein Rata-rata Perkapita Sehari
yang Terdapat Dalam Bahan Makanan yang Dimasak
Penduduk Kabupaten Gunungkidul Tahun 1979... 123 Tabel 10. Prosentase Struktur Ongkos Usaha Pertanian Tanaman
Bahan Makanan diperinci Per Jenis Tanaman Rata-rata Per Hektar di Kabupaten Gunungkidul Tahun 1981-1982.
(padi dan ubi kayu)... 124 Tabel 11. Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Padi Sawah
Per Kecamatan Tahun 1974-1983... 127 Tabel 12. Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Padi Ladang
(Gogo) Per Kecamatan Tahun 1974-1983... 128 Tabel 13. Luas Panen, Produksi dan Rata-rata Produksi Ubi Kayu
xviii
xix
DAFTARCHART
xx
DAFTAR FOTO
Foto 1. Petani Daerah Ponjong, Gunungkidul Mengupas
Singkong... 131 Foto 2. GaplèkKualitas Kurang Baik MenghasilkanThiwulBerwarna
Hitam... 131 Foto 3. Thiwul Dengan Kualitas Baik Pada Umumnya Berwarna
Cokelat... 132 Foto 4. Kenduri Pada Upacara Rasulan Sebagai Wujud Syukur
xxi ABSTRAK
Penulisan skripsi dengan judul “Kebijakan Pelita III Bidang Pertanian untuk Produksi Beras: Studi Kasus Pada Masyarakat Konsumen Thiwul di Gunungkidul (1979-1984)” ini bertujuan untuk menganalisis latar belakang kebijakan Pemerintah Orde Baru dalam Pembangunan Lima Tahun (Pelita) ketiga yang menekankan pembangunan sektor pertanian dan penyediaan beras, bagaimana pelaksanaannya dan dampaknya terutama bagi konsumen thiwul Gunungkidul yang notabene adalah petani.
Metode sejarah digunakan dari tahap pemilihan topik sampai rekonstruksi. Pendekatan yang dipakai bersifat multidimensional guna mendapatkan penjelasan yang komprehensif. Teori yang digunakan adalah teori Miriam Budiarjo tentang kekuasaan dan teori James C. Scott tentang petani subsisten.
Hasil penelitian ini adalah Pemerintah pada Pelita III beralasan untuk menyejahterakan rakyat terutama petani dengan meningkatkan penghasilan mereka dan mencukupi kebutuhan pangan berupa beras yang menjadi bahan pangan pokok nomor satu saat itu. Pemerintah semakin gencar mengintroduksi dan memacu masyarakat untuk memproduksi bahan pangan ini. Penerapan teknologi pertanian dan penggunaan pupuk kimia juga semakin meningkat. Pemerintah mengklaim selama Pelita III berhasil mewujudkan swasembada pangan.
xxii ABSTRACT
The Thesis is entitled “Kebijakan Pelita III Bidang Pertanian untuk Produksi Beras: Studi Kasus Pada Masyarakat KonsumenThiwuldi Gunungkidul (1979-1984)”. The purpose of this thesis is toanalyze the Background of the New Order Policy in the Pelita III which stresses on the development of the agricultural sector and the supply of rice, the implementation and the effect of it to the thiwul consumers in Gunungkidul who are mostly peasants.
Historical method is used from the topic slection to reconstruction. The multidimensional approach is used to get comprehensive explanation. The theories that are used are the theory of power from Miriam Budiardjo and the subsistence peasant theory of James C. Scott.
The result of this study shows that during the Pelita III, the goverment intends to bring welfare to the society especially peasants by increasing their income and fulfilling the need of food especially rice which become the primary food at that time. The Government became increasingly enthusiastic to introduce and stimulate people to produce this food. The implementation of agricultural technology and chemical fertilizer usage were increased. The Goverments claims that during the Pelita III, Indonesia was able to self-sufficient in food (swasembada pangan).
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah mempunyai karakteristik tersendiri dalam menentukan kebijakannya.Pemerintah sebagaipublic actor harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan dan berorientasi kepada kepentingan rakyat. Kebijakan diartikan suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem pencapaian tujuan yang diinginkan, upaya dan tindakan dimaksud bersifat strategis yaitu berjangka
panjang dan menyeluruh.
Kebijakan publik adalah suatu keputusan berdasarkan hubungan kegiatan
yang dilakukan oleh aktor politik guna menentukan tujuan dan mendapat hasil berdasarkan pertimbangan situasi tertentu. Kebijakan publik diartikan pula segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah. Kebijakan tersebut
harus mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil juga sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan. Kebijakan publik yang
dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengatur kehidupan bersama untuk mencapai visi dan misi yang telah disepakati. Meskipun demikian, pasti ada yang
diuntungkan dan ada yang dirugikan.1
1
PemerintahOrde Baru2 identik sekali dengan kebijakan-kebijakan yang
dilakukan Soeharto. Soeharto muncul menggantikan Sukarno melalui usaha kudeta 1965, kemungkinan usaha itu tidak bisa sukses tanpa bantuan pihak asing
mengingat konteks Perang Dingin3 pada waktu itu yang dikemas secara rapi bahkan sampai saat ini mengenai peristiwa 1965 masih menjadi misteri. Peristiwa 1965 begitu mengkambinghitamkan PKI (Partai Komunis Indonesia) dan
turunnya Sukarno dari jabatan masih menjadi bahan perdebatan.Dalam waktu beberapa tahun tampuk kepemimpinan Indonesia berganti kepada Orde Baru, elit
Orde Baru intinya terdiri atas fraksi militer mampu mengubah tatanan. Terdapat persamaan antara kebijakan Orde Baru pada dekade awal dan kebijakan periode Politik Etis pemerintahan Kolonial Belanda, Orde Baru juga berjanji akan
membangun ekonomi nasional dan meningkatkantaraf pendidikan dan kesejahteraan. Orde Baru memang mampu membangun ekonomi nasional, tetapi
tidak mampu meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan. Orde Baru mengembangkan gaya pemerintahan yang paternalistik, namun juga menindas. Orde Baru berusaha mencari keterlibatan rakyat untuk mendapatkan legitimasi,
tetapi hanya lewat cara-cara yang dikendalikan dengan cermat. Sebagian
2
Orde Baru adalah sebutan bagi pemerintahan Soeharto. Soeharto memang menamakan pemerintahannya demikian dengan konotasi yang positif yang dianggap lebih baik dari pemerintahan Sukarno. Pemerintahan Sukarno dinamakan Soeharto sebagai Orde Lama yang tentunya memberikan kesan yang lama itu jelek dan seakan perjuangan Sukarno terhapuskan begitu saja.
3
pembangunan ekonomi nasional bergantung pada perusahaan asing dan hanya
terjadi pertumbuhan kecil pada industri pribumi.4
Orde Baru ini mengklaim diri gencar untuk mengoreksi total
penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama, penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia, “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dan menyusun kembali kekuatan
bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa”.
Pembangunan menjadi kata yang populer pada masa Orde Baru. Pembangunan merupakan upaya untuk memajukan masyarakat yang tinggal dalam suatu negara. Pelita merupakan pembangunan lima tahun yang
dicanangkan oleh Orde Baru. Secara nasional khususnya Pelita III yang menekankan sektor pertanian dan industri juga berdampak pada Gunungkidul
yang mulai merasakan perbaikan ekonomi.
Sektor pertanian memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai sumber pertumbuhan, lapangan kerja,
pendapatan maupun sumber devisa negara. Hal ini terlihat pada sumbangannya dalam pendapatan nasional maupun jumlah penduduk yang bermata-pencaharian
darinya. Pada tahun 1960-an, hampir 60% pendapatan nasional berasal dari pertanian, dengan pangsa tenaga kerja sekitar 60-65%. Dengan posisi sedemikian,
4
tidak dapat disangkal bahwa pertanian merupakan sektor utama dalam
perekonomian nasional.5
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada sektor pertanian
diarahkan guna peningkatan produksi pangan terutama beras, peningkatan produksi ekspor serta perluasan macam hasil-hasil ekspor dan perluasan kesempatan kerja dibidang pertanian. Dengan meningkatnya produktivitas
sektor pertanian maka sektor ini akan merupakan pasaran yang baik bagi sektor-sektor lain terutama sektor industri dan akan memperbesar
kemungkinan pemupukan modal untuk membiayai pembangunan sektor-sektor lain.6
Beras sebagai makanan pokok adalah konstruksi dominan di tingkat
nasional dan mendominasi budget karbohidrat rumah tangga. Penyamaan swasembada beras dengan ketahanan pangan adalah kekeliruan yang sudah lama
terjadi. Ini semacam mitos yang diproduksi ulang dari masa ke masa. Ketersediaan beras di gudang bulog (badan urusan logistik) sering dijadikan basis ketahanan pangan di level propinsi maupun kabupaten.7
Namun sebenarnya ada masyarakat makanan pokoknya bukan beras. Misalnya masyarakat Papua yang mengkonsumsi sagu atau umbi-umbian,
5
Rudi Wibowo, “State Of The Art Ilmu Ekonomi Pertanian Indonesia: Kilas Balik Kerisauan Mubyarto”,http://www.ekonomirakyat.org/edisi_23/ artikel_8.htm diakses tanggal 1September 2010.
6
Bappenas.Repelita III Bab VII: Pertanian dan Irigasi. Hal:13 7
masyarakat Madura yang mengkonsumsi nasi jagung dan masyarakat
Gunungkidul yang mengkonsumsithiwul.
Singkong cocok ditanam di daerah Gunungkidul ini sehingga waktu panen
tersedia melimpah. Masyarakat Gunungkidul pun tidak kehabisan akal untuk mengolah singkong yang tersedia melimpah tersebut salah satunya menjadi
thiwul. Mereka menganggap dengan memakan thiwul rasa kenyang akan lebih lama dan lebih bersemangat bekerja, bahkan jika tidak memakan thiwul rasanya belum makan. Thiwul ini tidak hanya menjadi makanan pokok diGunungkidul tetapi juga di daerah-daerah pegunungan tandus sebelah selatan seperti Pacitan, Ponorogo, Trenggalek dan Wonogiri. Namun, thiwul ini justru identik dengan makanan khas Gunungkidul, thiwul juga pernah berjaya menjadi makanan pokok Gunungkidul pada tahun 1950-1980an.
Menurut pengucapan orang Gunungkidul kata yang tepat adalah thiwul
bukantiwul, oleh karena itu di sini ditulis demikian. Proses membuatthiwul yaitu dari singkong (Manihot Esculenta Crantz)yang telah dijemur dan menjadi kering disebut gaplèk8 dan ditumbuk menjadi tepung baru diinthil9 dan dikukus maka
thiwul siap disajikan. Berbeda dengan daerah lainnya, konsumen thiwul
Gunungkidul masih bisa memenuhi kebutuhan bahan baku gaplèk dari produksi kabupaten sendiri sedangkan daerah lain kadang masih harus mendatangkan dari kabupaten lain.
8
Gaplèk: singkong kering karena proses penjemuran di bawah sinar matahari.
9
Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Stereotipe bahwa Gunungkidul merupakan daerah yang tandus dan miskin dikarenakan kondisi geografis daerah tersebut
berbatu dan sering terjadi kekeringan. Tidak heran bahwa anggapan orang selama ini Gunungkidul kesulitan mendapatkan air. Padahal tidak semua kondisi Gunungkidul demikian. Pada bagian tengah seperti kecamatan Wonosari,
Karangmojo dan Ponjong justru berkelimpahan air.
Masyarakat Gunungkidul sebagian berprofesi sebagai petani yang tidak
memiliki lahan yang cukup luas dan subur. Sistem pertanian mereka masih tradisional yang tergantung pada musim serta masih melestarikan gotong royong untuk mengerjakan lahan pertanian. Tentu hal ini mempengaruhi hasil pertanian
mereka.
Pada tahun 1960-an masyarakat Gunungkidul masih kesulitan
mendapatkan bahan makanan berupa thiwulitu sendiri. Puncak krisis terjadi tahun 1963-1964, bersamaan dengan mewabahnya HO (Honger Oedeem) diartikan sebagai kelaparan. Pada masa itu, masyarakat mendapatkan bantuan nasi kaleng
dari pemerintah Jepang dengan ikan asin yang rasanya apek, ini terkenal dengan namabulgur.10
Masalah kekurangan pangan masih terjadi sampai tahun 1977. Gunungkidul sering terjadi kemarau panjang dan masyarakat tidak memiliki cadangan pangan serta tidak mempunyai barang-barang untuk dijual. Oleh karena
itu, masyarakat sering mencari sisa singkong yang belum dicabut dan dibakar 10
dengan sayur daun-daun seperti kelor (Moringa oleifera Lamk)11, mangga (Mangifera indica), lamtoro (Leucaena leucocephala), daun singkong sendiri, juga bunga turi (Sesbania grandiflora). Belalang (Valanga nigricornis zehntneri krauss)yang dibakar juga telah menjadi bagian dari konsumsi mereka.12 Memang pada masa sulit itu hanya beberapa orang saja yang memiliki cadangan bahan pangan itupun untuk mencukupi kebutuhan keluarga sendiri.
Menurut Haryono Rinardi dalam bukunya Politik Singkong Zaman Kolonial bahwa sampai tahun 1850-an singkong belum menjadi tanaman palawija. Hal itu karena jenis singkong dari Amerika Latin tidak cocok ditanam di tanah Jawa. Kemudian pada tahun 1854, setelah didatangkan varietas singkong dari Kepulauan Antilen Kecil di Karibia, residen di Jawa dan Palembang
diperintahkan Belanda untuk mulai menanamnya. Hingga 1908, setidaknya sudah 22 varietas singkong yang didatangkan ke Hindia Belanda. setelah tahun 1870-an
singkong ditanam secara besar-besaran di Pulau Jawa akibat meningkatnya permintaan dari Perancis yang menjadikan singkong sebagai bahan mentah minuman keras pengganti anggur.13 Dalam hal ini thiwul sama sekali tidak
11
Kelordalam hal ini merupakan pohon berdaun bulat kecil-kecil dengan nama latinnya Moringa Oleifera Lamk. Tanaman kelordi berbagai belahan dunia dianggap sebagai sayuran yang sarat nutrisi dan mempunyai berbagai kegunaan. Ada salah satu desa di Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul mengabadikankelor
sebagai nama desa. 12
Eddy J. Soetopo, “Mencicipi Belalang di Semanu” (Intisari edisi Maret 2011). Hal: 130.
13
disinggung tetapi bisa dikatakan sebagai asal mula singkong dikembangbiakkan
oleh masyarakat Jawa.
B. Identifikasi Masalah
Sekitar tahun 1984, Indonesia dikatakan berswasembada beras bahkan sampai mencapai prestasi tertinggi ketika mendapat penghargaan FAO(Food Agriculture Organization). Namun tahun 1984 yang dikatakan swasembada tersebut apakah merata ke berbagai wilayah di Indonesia? Pemerintah tentu memiliki peranan dalam hal tersebut dan masyarakat juga menanggapinya. Oleh
karena itu, kebijakan pemerintah pada Pelita III tahun 1979-1984 akan dianalisis, bagaimana kesiapan pemerintah dalam melaksanakan program inidan melihat bagaimana pengaruhnya bagi masyarakat konsumen thiwul ini, apakah mereka juga siap melaksanakan program-program yang dibuat.Thiwulpun menjadi bahan ejekan bagi mereka yang bisa memakan beras karena dengan memakan thiwul
maka dianggap belum mengalami kesejahteraan.
Dalam tahun 1979 dan empat tahun berikutnya kebijakanuntuk penyediaan pangan khususnya beras menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan
dalam bidang pertanian. Pada awal Pelita III dari jumlah penduduk Indonesia waktu itu yaitu sekitar 140 juta jiwa juga masih memerlukan beras, jagung,
singkong dan sagu sebagai makanan pokoknya. Namun, gejala yang terjadi selanjutnya adalah perpindahan pola konsumsi dari makanan pokok selain beras keberas, tentu hal ini akan semakin memberatkan penyediaan beras.14
14
Penyediaan pangan memang sesuatu yang vital untuk kelangsungan hidup
masyarakat. Peningkatan produksi pangan juga ditunjang dengan teknologi yang diperkenalkan oleh pemerintah, hal ini dikenal dengan revolusi hijau. Petani yang
subsisten yang sebelumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan sendirikini harus meningkatkan modal mereka dalam memproduksi pangan. Teknologi yang diperkenalkan misalnya untuk pegolahan tanah, pengairan, pembibitan,
pemeliharaan tanaman, panen, pengolahan hasil tanaman, angkutan, penyimpanan dan pemasaran.15
Peningkatan produksi pangan dengan teknologi tersebut tidak jarang menimbulkan berbagai masalah bagi masyarakat yang menerapkannya. Misalnya terjadi peristiwa di Karangasem, Balipada tahun 1976. Menurut persepsi rakyat
pupuk merusak tanah. Selain itu, nasi dari varietas baru tidak sesuai dengan kebiasaan penduduk, maka ada keengganan pula untuk mengubah ritme musiman
yang telah menjadi kebiasaan turun temurun. Di sinilah masalah taste-transfer16
yang nyata-nyata tidak mudah dilaksanakan.17
Kenyataan yang dihadapi bahwa petani kaya di Klaten lebih mampu
memakai input baru sedang petani kecil kurang mempunyai inisiatif untuk
15
Muhammadi Siswosoedarmo, “Strategi Pembangunan Daerah Pedesaan dan Kebutuhan Pengembangan Teknologi Tepat Guna”, Prisma Edisi Juni 1979. Vol. VIII/6. Hal: 31.
16
Taste transfer diartikan sebagai semacam penyesuaian memakan nasi dari padi varietas baru yang berbeda dari kebiasaan turun-temurun penduduk setempat. Padi varietas baru tentunya sudah mengandung bahan-bahan kimia di dalamnya. Hal tersebut telah mempengaruhi rasa dan ketahanan nasi yang diolah. Penduduk membutuhkan proses untuk menyesuaikan keadaan ini.
17
mengusahakan inovasi. Petani kaya memiliki lahan cukup luas sehingga terkadang
memiliki buruh tani yang membantu mengusahakan dan buruh tani atau petani miskin ini juga memiliki lahan sempit untuk diusahakan. Selain itu, secara umum
teknologi pertanian juga merusak struktur sosial karena introduksi mesin penggiling yang menghilangkan tradisi komunal menumbuk padi sehingga banyak orang kehilangan sumber pendapatan tambahan.18
Kabupaten Gunungkidul memiliki 46% dari luas propinsi DIY, tetapi karena kondisi geografis Gunungkidul yang berbukit dan berbatu tidak semua
lahan bisa dimanfaatkan untuk pertanian apalagi ditanami padi.19 Masyarakat harus menyesuaikan diri dengan program pemerintah. Mereka menambah modal mereka untuk memproduksi beras dan pola makan tentu tergeser dengan
gencarnya program-program penyuluhan pemerintah. Benar bahwa hasil-hasil pertanian meningkat, tetapi kemiskinan masyarakat masih saja ditemukan.
Kebijakan ini tidak otomatis memberikan kemakmuran ataupun kesejahteraan kepada seluruh warga.
Seperti telah ditulis di atas pada Pelita III bidang pertanian masih
menimbulkan banyak masalah bagi masyarakat yang menerapkannya. Sebagai contoh, terjadinya taste transfer bagi masyarakat Karangasem, Bali, masyarakat Klaten yang harus mengikuti pola pemerintah harus kehilangan tradisi komunal menumbuk padi dan tentu saja daerah tersebut mulai menggunakan teknologi pertanian modern. Namun, tidak semua upaya itu meningkatkan kemakmuran
18
Ibid.
19
masyarakat karena mereka justru semakin kesulitan mengusahakan lahan
pertanian yang dimiliki. Masyarakat juga harus menambah modal untuk mengusahakan lahan itu. Sebenarnya apa yang melatarbelakangi Pelita III bidang
pertanian, bagaimana pelaksanaannya dan bagaimana dampaknya merupakan masalah yang menarik untuk dibahas kemudian sebagai studi kasus di daerah Gunungkidul.
C. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas maka terdapat pertanyaan yang dipilih untuk
dicari jawabnya adalah sebagai berikut:
1. Apa latar belakang kebijakan Orde Baru pada Pelita III yang menekankan pembangunan sektor pertanian dan penyediaan beras?
2. Bagaimana kebijakan Pelita III dilaksanakan di Gunungkidul?
3. Sejauhmana dampak atas kebijakan tersebut bagi masyarakat konsumen
thiwulGunungkidul?
D. Tujuan 1. Akademis
Penelitian ini berupaya menganalisis mengenai kebijakan pemerintah Orde Baru yang berkaitan dengan penyediaan beras dan bagaimana hal tersebut sampai
2. Praktis
Penelitian ini akan semakin menambah pengetahuan mengenai pelita III, apa yang melatarbelakanginya, bagaimana dinamika pelaksanaannya dan apa hasil
yang didapat baik positif maupun negatif.
Beras juga dekat dengan kebutuhan pokok masyarakat, tetapi tidak banyak yang tahu bahwa hal ini telah mengalami politisasi oleh penentu kebijakan bahkan
penyediaannya telah menggeser pola-pola konsumsi lokal.
E. Manfaat 1. Teoretis
Penelitian ini akan menambah daftar referensi mengenai kebijakan pemerintah dalam pertanian untuk penyediaan pangan bisa mempengaruhi pola
konsumsi lokal khususnya thiwul. Selain itu penelitian ini diharapkan mampu menarik orang lain supaya meneliti tema sejenis dengan aspek yang berbeda.
2. Praktis
Bagi masyarakat pada umumnya akan bertambah pengetahuan mengenai Pelita III. Masyarakat harus semakin mandiri dan lebih selektif terhadap kebijakan
pemerintah. Masyarakat harus berani tampil beda dan tidak perlu tergantung dengan penyediaan pangan pemerintah.
Bagi penentu kebijakan hendaknya semakin adil dan berorientasi kepada rakyat dalam membuat dan melaksanakan kebijakan.
F. Tinjauan Pustaka
kebijakan Orde Baru. Penelitian yang sudah ada mengenai singkong atau dalam
bentukthiwulini adalah:
Buku karya Darmaningtyas terbit tahun 2002 berjudulPulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri di Gunungkidul. Yogyakarta: Salwa Press. Dari buku tersebut secara khusus tidak membahas mengenai thiwul tetapi pulung gantung, namun beberapa hal yang bisa diambil adalah kondisi sosial yang
diutarakan dan bagaimanathiwuljuga sedikit dibahas.
Buku karya Walter P.Falcon terbit tahun 1984 berjudulThe Cassava Economy of Javaterbitan California: Stanford University Press. Falcon membahas mengenai singkong yang menjadi makanan pokok masyarakat dan mempunyai nilai ekonomis pada tahun 1980an dengan studi perbandingan dari tiga daerah di
Jawa yaitu Garut, Gunungkidul, dan Kediri. Setiap tahun Jawa menghasilkan
gaplèk sekitar 1,7 juta ton dan 250.000 ton dihasilkan daerah Lampung atau kurang lebih antara 50-90% gaplek dihasilkan di Jawa sedangkan 20-40% dihasilkan di Lampung.
Di sini diutarakan bahwa Gunungkidul merupakan daerah yang paling
kurang subur dibandingkan dengan Garut dan Kediri tetapi masih baik untuk ditanami singkong dan kemudian dijadikan gaplèk baru bisa diproses sebagai makanan seperti thiwul. Bagi Garut dan Kediri, singkong masih dilihat sebagai komoditas yang bernilai ekonomis, sedangkan di Gunungkidul paling sedikit penjualannya ke luar daerah karena untuk mencukupi kebutuhan masyarakat
ekonomis belum melihat bagaimana singkong dan gaplèk tersebut secara historis serta bagaimana dampak selanjutnya bagi masyarakat dengan adanya kebijakan pangan yang diintroduksikan pemerintah.
Selanjutnya karya Haryono Rinardi terbit tahun 2002 berjudul Politik Singkong Zaman Kolonialterbitan Semarang: Masyarakat Sadar Sejarah. Buku ini merupakan disertasi penulis dari judulnya bisa dilihat bahwa penelitian mengenai
singkong ini periodenya pada masa penjajahan dan bagaimana bisa dikembangbiakan di pulau Jawa dan Madura.
Fadjar Pratikto dalam buku Gerakan Rakyat Kelaparan: Gagalnya Politik Radikalisasi Petani mengambil scope spatial Gunungkidul dan temporal tahun 1960-1964. Gerayak adalah orang-orang yang secara gerombolan melakukan
operasi ke rumah-rumah orang yang berada, lalu (dengan tanpa kekerasan) meminta bahan makanan apa saja yang ada dan dibawa semua.
Gerayak sebagai fenomena sosial, adalah salah satu varian dari apa yang biasa disebut radikalisme petani; sebuah ikon tersendiri dalam penulisan sejarah pedesaan. Gerakan petani yang bersifat radikal sebagai respon terhadap sistem
yang berlaku sekaligus sebagai reaksi atas jaring subsistensi yang menjerat leher para petani. Karya ini lebih melihat bagaimana gerayak dikaitkan dengan
partai-partai yang ada pada waktu itu misalnya PKI, tidak dijelaskan mengenai gaplèk
atau thiwul itu sendiri sebagai bagian dari pola konsumsi masyarakat dan jelas sekaliscope temporalberbeda.
Istimewa Yogyakarta. Perubahan yang diuraian terjadi ketika akhir zaman
kolonial Belanda, zaman Jepang, revolusi nasional untuk kemerdekaan dan zaman
nation and character building sampai tahun 1958. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi selama kurun waktu 20 tahun tersebut amat banyak dan meliputi hampir semua bidang kehidupan masyarakat. Selo mengungkapkan bahwa Gunungkidul tidak cocok untuk ditanami padi, biasanya di sana ubikayu
(singkong) dihasilkan lebih dari cukup untuk persediaan masyarakat pedesaan, oleh karena ladang-ladang ubikayu yang luas pada waktu itu ada kalanya tidak
sempat dipanen selama dua tahun atau lebih. Namun tentu saja Selo lebih banyak berbicara Yogyakarta secara provinsial.
Penelitian mengenai Pelita yang sudah ada juga justru mengungkapkan
kekaguman kepada sosok Soeharto karena mendapat penghargaan swasembada beras, strategi-strategi yang dijalankan sampai Soeharto mendapat gelar sebagai
”Bapak Pembangunan”.
Oleh karena itu, penelitian mengenai kebijakan Pelita III dalam bidang pertanian dan penyediaan pangan berupa beras yang mengaitkan dengan thiwul
dan konsumen utamanya belum banyak. Hal inilah menjadi celah untuk menganalisis bagaimana masyarakat mampu bertahan dalam situasi sulit
mendapatkan bahan pangan serta sejauh mana relevansi kebijakan pemerintah pada Pelita III yang gencar untuk memproduksi beras berpengaruh terhadap masyarakat kecil menyangkut makanan pokok mereka. Jika kita melihat
tercukupi kemudian bisa memikirkan hal yang lain-lain. Jika pangan tidak
tercukupi sukar akan diharapkan kemajuan.
G. Landasan Teori
Sejarah yang selama ini dianggap begitu membosankan karena hanya seolah menghafal angka-angka tahun beserta tokohnya akan lebih baik jika diperkenalkan sejarah yang analitis. Sejarah kemudian lebih pada metode berpikir
bagaimana menganalisa suatu peristiwa dan memaknai peristiwa tersebut. Peristiwa yang terjadi baru bisa dipahami ketika mengetahui latar belakang
sejarahnya.
Sejarah yang analitis tidak hanya sekedar naratif yang hanya mengandalkancommon sense tetapi juga membutuhkan pendekatan yang diambil dari ilmu-ilmu sosial lain.20 Perlu diingat bahwa sejarah itu memanjang dalam waktu sedangkan ilmu-ilmu sosial meluas dalam ruang. Oleh karena itu, dalam
penelitian sejarah Pelita III dan dikaitkan dengan konsumen thiwulini tidak akan langsung dipotong begitu saja tetapi akan sedikit melihat narasi sebelumnya ketika Sukarno, Pelita I dan II serta bagaimana dampak Pelita III tersebut
selanjutnya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan yang bersifat multidimensional
seperti pendekatan sosial, politik dan budaya. Dengan titik berat itu, penelitian suatu peristiwa sejarah diharapkan mampu menghasilkan penjelasan sejarah secara komprehensif karena aspek yang satu dan yang lainnya sangat berkaitan.
20
Sartono Kartodirjo,Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah
Dari segi politik, kekuasaan didefinisikan sebagai kemampuan seseorang
atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan
keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.21Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan (relation), dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak yang diperintah (the ruler and ruled); satu pihak yang memberi perintah, satu pihak yang diperintah. Tidak ada persamaan martabat, selalu ada satu lebih tinggi daripada yang lain dan selalu perlu dipakai secara
gamblang, tetapi adanya kemungkinan paksaan itu dipakai. Berhubungan erat dengan masalah kekuasaan adalah pengaruh (influence), sehingga sering dikatakan bahwa pengaruh adalah bentuk lunak dari kekuasaan.22
Dalam hal ini, kekuasaan politik adalah kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum baik terbentuknya maupun akibatnya sesuai dengan
pemegang kekuasaan sendiri. Dengan demikian kekuasaan politik tidak mungkin tanpa penggunaan kekuasaan. Kekuasaan itu harus digunakan dan harus dijalankan. Apabila penggunaan kekuasaan itu berjalan dengan efektif, hal ini
dapat disebut sebagai kontrol (penguasaan/pengendalian).23
Kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan atau cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu. Pada prinsipnya pihak yang
21
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia, 1982). Hal: 35-38.
22
Ibid.
23
membuat kebijakan-kebijakan itu mempunyai kekuasaan untuk
melaksanakannya.24 Cara-cara yang dipakai penguasa bersifat persuasi (meyakinkan), dan jika perlu bersifat coercion (paksaan). Adapun sebagai obyeknya adalah masyarakat sendiri.
Konsep Talcott Parsons yang diambil dari 2 bukunya yang berjudul The Evolusion of Societies (1977) dan The Structure of Social Action (1968) mendefinisikan masyarakat sebagai berikut:
“... Masyarakat itu adalah suatu sistem sosial, yang harus memenuhi empat syarat atau azas untuk setiap sistem itu berfungsi, yaitu (1) penyesuaian masyarakat dengan lingkungan; (2) anggota masyarakat harus sepakat akan ketentuan untuk memilih, mengetahui dan memahami tujuan kolektif dengan menyusun struktur tertentu; (3) dan penentuan anggota masyarakat agar dapat memainkan peranan dan mematuhi nilai-nilai, serta menyelesaikan konflik dalam interaksi; dan (4) terjadi integrasi dari keadaan yang ada dalam masyarakat. Individu dan institusi dikontrol oleh unsur atau bagian tertentu agar sistem sosial terpelihara...”25
Masyarakat sebagai konsumen thiwul itu sendiri merupakan bentuk penyesuaian terhadap lingkungan yang tergolong tandus.
Konsep perencanaan pembangunan ekonomi dan politik mengklasifikasikan masyarakat ke dalam tiga ketegori. Pertama adalah
masyarakat yang masih bersifat traditional, kedua adalah masyarakat bersifat peralihan (transitional) dan yang ketiga adalah masyarakat maju (modern). Sudah barang tentu klasifikasi tersebut memuat berbagai variasi, misalnya ada masyarakat tertentu yang telah mempunyai sektor kehidupan maju tetapi di lain
24
Ibid. Hal:12. 25
pihak ada wilayah-wilayah kehidupan dalam masyarakat yang masih bersifat
traditional. Kategori pertama dan terakhir menggambarkan suatu keadaan keseimbangan, oleh karena itu keadaan mereka relatif stabil. Sedangkan kategori
yang dalam masa peralihan, relatif lebih bersifat sementara, tidak stabil dan pengembangan bidang-bidang kehidupan tertentu masih dalam taraf permulaan sekali.
Apabila dilihat dari segi konteks perkembangan secara menyeluruh yang dilakukan oleh negara-negara berkembang secara khusus Indonesia merupakan
usaha menuju modernitas. Modernitas sendiri sulit dirumuskan maka lebih baik dikemukakan bahwa negara-negara baru berkembang pada umumnya melakukan atau sedang dalam proses perubahan-perubahan sosial yang besar.
Pembangunan kemudian diartikan sebagai proses perubahan dari kondisi kemasyarakatan tertentu kepada suatu keadaan dan kondisi kemasyarakatan yang
dianggap lebih baik (lebih diinginkan).26 Perubahan-perubahan dalam masyarakat itu dikembangkan secara sadar oleh pemerintah, yang sebaiknya pula mewakili kekuatan-kekuatan untuk pembaharuan di dalam masyarakat. Proses tersebut
perlu didukung oleh kekuatan-kekuatan yang ada di dalam masyarakat.
Namun, konsep Ekonomi Moral James C. Scott menyatakan bahwa
masyarakat umumnya tidak memiliki sikap rasional yang berusaha memaksimalkan, melainkan lebih bersikap mementingkan keselamatan karena sifat pertanian mereka yang subsisten. Karena sifat pertanian mereka yangubsisten
itu pula, kadang-kadang petani enggan mengadopsi inovasi baru. Sebagai 26
akibatnya, petani subsisten takut pada kemajuan dan tidak berani mengambil
resiko yang sederhana, Scott (1976) menjelaskan preferensi petani terhadap aransemen ekonomi, sosial, dan politik yang cenderung lebih menyukai “tingkat
pendapatan yang relatif rendah tetapi pasti” daripada hasil yang lebih tinggi tetapi beresiko. Alasannya adalah mereka takut jika “eksperimen” mereka gagal akan bisa membawa mereka pada tingkat kehidupan yang lebih buruk dari marjin
subsistensi. Dalam masyarakat petani subsisten, biasanya mekanisme pasar tidak jalan. Karena mekanisme pasar tidak jalan, sukar diharapkan kemajuan.27 Konsep
tersebut kemudian berguna untuk menjelaskan masyarakat petani atau konsumen
thiwul.
H. Metode
Penelitian (research) merupakan usaha memahami fakta secara rasional empiris yang ditempuh melalui prosedur kegiatan tertentu sesuai dengan cara
yang ditentukan peneliti.28
Sejarah sebagai ilmu yang bertujuan untuk menggambarkan, memahami dan menjelaskan berbagai peristiwa penting yang terjadi di masa lampau, juga
memiliki metode yang dikenal luas sebagai metode sejarah. Maka, penelitian ini akan ditempuh dengan menggunakan metode sejarah.
Metode sejarah adalah cara-cara yang ditempuh untuk mengkaji obyek studi yaitu peristiwa sejarah. Pertama, memilih topik mengenai thiwul dan
27
Deliarnov, Ekonomi Politik: Mencakup Berbagai Teori dan Konsep yang Komprehensif(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006). Hal: 154.
28
dikaitkan dengan kebijakan serta merumuskan permasalahan. Merumuskan
permasalahan yaitu mencari permasalahan yang belum pernah dibahas dan hal ini menunjukkan suatu keaslian karya yang belum pernah diteliti orang lain.
Kedua, mengumpulkan sumber yang berhubungan dengan topik. Dalam pengumpulan sumber, sumber lisan didapatkan melalui hasil interview, secara garis besar tujuaninterviewadalah agar narasumber menceritakan pengalamannya atau memberi informasi yang diperlukan. Oleh karena itu apa yang ada di buku benar-benar ada relevansinya bagi masyarakat dan terkadang untuk melengkapi
informasi yang belum terpublikasi di dalam buku. Narasumber yang dipilih paling banyak berasal dari Kecamatan Karangmojo dan Semin dengan alasan daerah mereka bisa ditanami padi hasil laboratorium dan mudah dijangkau oleh peneliti.
Selanjutnya sumber dianalisis dan diinterpretasikan karena sumber yang masuk harus disesuaikan dengan topik dan pendekatannya dari landasan teori yang
diajukan. Proses ini untuk mengurangi subyektifitas dari fakta-fakta yang diperoleh.
Ketiga yaitu merekonstruksi sejarah atau tahap penulisan.Penulisan
merupakan penuangan ide-ide atau gagasan menjadi sebuah karya sejarah berdasarkan sumber-sumber yang didapat.
I. Sistematika Penulisan
Guna mempermudah penulisan maka skripsi ini dibagi menjadi lima bab, yaitu:
penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
Bab II berisi tentang latar belakang kemunculan Pelita III dan
penekanannya pada pembangunan pertanian.
Bab III berisi gambaran umum Gunungkidul dan bagaimana pelaksanaan Pelita III di Gunungkidul.
Bab IV berisidampak pelita III pada masyarakat terutama konsumen
thiwuldi Gunungkidul.
Bab V sebagai penutup dari skripsi ini akan memaparkan kesimpulan yang dapat diambil setelah menjabarkan Bab I hingga Bab IV tetapi tidak menutup kemungkinan adanya permasalahan baru yang memerlukan penelitian lebih
lanjut. Selain itu, pada bab terakhir ini juga akan diisi dengan hal-hal bijak yang dapat diambil dari topik yang ditulis kali ini, agar dapat bermanfaat bagi semua
23 BAB II
KEBIJAKAN PELITA III ORDE BARU: POLITISASI PRODUKSI BERAS
Kebijakan tidak muncul begitu saja tanpa ada latar belakangnya. Selama
Pra Orde Baru sampai Orde Baru beras sudah masuk ke ranah politik,
pengadaannya juga digunakan untuk mencukupi kebutuhan pokok masyarakat dan
seringkali dijadikan basis ketahanan pangan masyarakat. Indonesia sendiri
dikategorikan sebagai negara berkembang yang masih perlu belajar untuk menata
kehidupannya. Pada tahun 1979-1984 atau dikenal masa Pembangunan Lima
Tahun Ketiga (Pelita III) didominasi oleh kebijakan-kebijakan pangan yang dibuat
Orde Baru yang berkuasa. Orde Baru tidak jarang mengadopsi kebijakan pangan
dari negara lain dengan kemasan yang sedikit berbeda dengan dalih untuk
menyejahterakan rakyat. Selain itu, situasi politik global ikut berpengaruh dalam
pengambilan kebijakan-kebijakan tersebut.
Beras semakin mendominasi kebutuhan pangan penduduk. Dominasi beras
atas sumber daya pangan lainnya di Indonesia juga dapat ditemukan dalam
istilah-istilah lokal seperti “palawija” (Sansekerta, phaladwija) yang harafiahnya berarti
sesuatu yang bukan beras atau pangan kelas dua dan yang terkonstruksi secara
budaya.
Beras sebagai makanan pokok mempunyai nilai strategis dan vital untuk
menggerakkan aktivitas pembangunan. Beras tidak hanya menjadi komoditas
yang memiliki nilai ekonomis semata, akan tetapi telah menjadi suatu komoditas
ekonomi, dan politik, sehingga negara perlu terlibat dalam pengaturan beras.29
Melalui berbagai macam produk kebijakan, pemerintah yang berkuasa berperan
penting dalam menjamin suatu kondisi kecukupan pangan, khususnya beras.
Kebijakan sektor pangan, terutama beras, akan berkaitan erat dengan kemajuan
sektor lainnya, yang berimplikasi pada cepatnya gerak pembangunan ekonomi.
Efek lebih lanjut, keberhasilan pembangunan sektor pangan bermanfaat dalam
menjaga stabilitas perekonomian negara, khususnya melalui kebijakan
pengendalian inflasi dan politik harga. Berikut adalah narasi dari Sukarno
berperan dalam membangun ekonomi untuk tidak menggantungkan diri pada
negara asing dan kemudian pada Orde Baru sampai latar belakang Pelita III untuk
produksi beras.
A. Wacana Pembangunan Nasional Sampai Isu Krisis Pangan Sebagai Salah Satu Penyebab Jatuhnya Sukarno
Wacana pembangunan terkenal sebagai paham atau aliran modernisasi,
berawal dari pidato Harry S. Truman pada saat dikukuhkan sebagai presiden
Amerika Serikat tanggal 20 Januari 1939. Truman dalam pidatonya
mengemukakan pentingnya untuk memberikan perhatian secara serius terhadap
apa yang disebutnya dengan negara-negara yang tergolong underdeveloped areas
yang umumnya terletak di bagian selatan katulistiwa. Dengan kata lain Truman
memperkenalkan sebuah kategorisasi “Negara-negara Utara” vs “Negara-negara
29
Wahyudi Djafar, “Politisasi Beras yang Tak Berkesudahan”,
Selatan”. Negara-negara Utara adalah negara-negara industri maju, terutama
Eropa Barat dan Amerika Utara, sementara Negara-negara Selatan adalah
negara-negara miskin yang terdapat di Afrika, Asia termasuk Hindia Belanda dan
Amerika Selatan. Negara-negara Utara diidentikkan sebagai negara yang telah
memiliki tradisi demokrasi liberal, sementara Negara-negara Selatan termasuk
Nusantara dianggap masih hidup dalam tradisi politik otoritarian, bahkan belum
mengenal sistem politik modern. Truman telah memposisikan Amerika Serikat
sebagai pelopor pembangunan, dan sekaligus memberlakukan sebuah paham
bahwa ukuran kemajuan peradaban manusia terletak pada tingkat produktivitas
suatu negara. Negara-negara Selatan dalam kacamata Truman harus dibantu
teknologi dan modal, disamping dorongan untuk melakukan demokratisasi
politik.30
Kelahiran Bank Dunia danInternational Monetary Fund(IMF) pada tahun 1944, lima tahun setelah pidato presiden Harry Truman, memperlihatkan adanya
perkembangan baru yang ditandai oleh tekanan dari negara-negara kaya terhadap
negara-negara miskin untuk menjalankan program restrukturisasi ekonomi agar
dapat mengikuti irama produktivitas global, dan secara bertahap melakukan
berbagai penyesuaian dan pengurangan kemiskinan yang diderita sebagaian besar
penduduknya. Negara-negara Barat melalui mekanisme Bank Dunia dan IMF,
30
melakukan penetrasi terhadap negara-negara miskin, dan kenyataan bantuan
ekonomi tidak mungkin dilepaskan dari kepentingan politik.31
Indonesia memiliki potensi pembangunan yang besar dari kekayaan alam,
keadaan iklim dan geografi yang menguntungkan, bersama dengan tenaga kerja
yang cukup. Pada masa penjajahan, potensi ini hanya dikembangkan secara
terbatas bagi kepentingan penjajah, dengan mengolah pertanian, khususnya
perkebunan, yang hasilnya untuk diolah di luar negeri.
Pada tahun 1945 bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya, maka
terbukalah harapan bahwa dalam alam kemerdekaan ini dapat diusahakan
pembangunan yang sungguh-sungguh membawa rakyat Indonesia pada
peningkatan taraf hidup dan kemajuan termasuk dalam penyediaan kebutuhan
pangan seperti beras.
Sukarno dalam kepemimpinannya sangat anti imperialis, beliau
mengiginkan Indonesia menjadi satu bangsa yang bebas merdeka, berdaulat
penuh, bermasyarakat adil makmur, satu bangsa besar atau hanyakrawati, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja, otot kawat balung wesi, ora tedas
tapak palune pande, ora tedas gurindo. Pada tahun 1953, dilakukan nasionalisasi terhadap Bank Java dan kemudian namanya berubah menjadi ”Bank Indonesia”
dan juga perusahaan-perusahaan yang vital. Indonesia bahkan berani menyatakan
keluar dari Bank Dunia.
Dalam Ekonomi Terpimpin, kegiatan perekonomian ditekankan pada
konsep gotong royong dan kekeluargaan sebagaimana dirumuskan dalam
31
Pasal 33 UUD 1945. Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan ekonomi pada
masa itu juga dilandaskan atas strategi dasar ekonomi Indonesia yang
diamanatkan dalam Deklarasi Ekonomi (DEKON) oleh Presiden Sukarno pada
tanggal 28 Maret 1963. Dalam pidato yang berjudul “Banting Stir untuk
Berdikari” di depan sidang umum MPRS tanggal 11 April 1965, Sukarno
menyerukan kepada seluruh kekuatan pokok revolusi: buruh, petani, mahasiswa
progresif, perempuan, termasuk etnis Tionghoa untuk memperbesar kekuatan
ekonomi Indonesia agar lepas dari kepentingan asing.32 Namun, ada kebijakan
Presiden Sukarno seperti mencari dukungan politik guna memproteksi
kekuasaannya dengan cara memasukkan beras sebagai komponen gaji bulanan
pegawai negeri sipil dan militer mengingat vitalnya bahan pokok ini.33 Melalui
program Kesejahteraan Kasimo (1952-1956), ataupun swasembada beras dan
Program Sentra Padi (1956-1965) Sukarno juga sebenarnya telah merintis untuk
memproduksi padi secara lebih baik guna penyediaan pangan penduduk.
Kemunculan Soeharto sebagai orang kuat di Indonesia yang berhasil
membasmi komunisme merupakan faktor penting bagi strategi politik Blok Barat,
khususnya Amerika Serikat. Soeharto kemudian mampu menggantikan Sukarno
melalui usaha kudeta 1965, usaha itu tentu tidak bisa sukses tanpa bantuan pihak
32
Anonim, “Berdikari”, http://papernas.org/berdikari/index.php?/option= com_content&task=view&id=42&Itemid=44 diakses tanggal 31 Agustus 2010.
33
asing34dan dikemas secara rapi sehingga sampai saat ini mengenai peristiwa 1965
dan turunnya Sukarno dari jabatan masih menjadi perdebatan.
Soeharto mendapat legitimasi pertamanya melalui Supersemar. Surat
Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) begitu kontroversial, bahkan menurut
kesaksian pembantu utama Sukarno Supersemar hanyalah rekayasa Soeharto dan
ini tidak pernah ditandatangani oleh Sukarno.35 Namun, isinya dipercaya
menugaskan Soeharto untuk menjaga keamanan negara dan institusi
kepresidenan. Setelah pertanggungjawaban Presiden Sukarno ditolak Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum keempat tahun
1967, ia diberhentikan dari jabatan presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada
tahun yang sama kemudian mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden
Republik Indonesia. Soeharto menamakan pemerintahannya dengan Orde Baru
dan menyebut pemerintahan Sukarno sebagai Orde Lama. Hal ini memberi kesan
pemerintahan Soeharto itu lebih baik. Dalam waktu beberapa tahun berkuasa, elit
Orde Baru intinya terdiri atas fraksi militer.
Di luar spekulasi soal penyebab peristiwa G30S 1965 hingga kemudian
Sukarno diturunkan dari kekuasaannya 1967, masalah pangan khususnya beras
saat itu memang sangat berat. Inflasi bahan makanan pada tahun tersebut
mencapai 685,36 persen. Harga beras naik 900 persen.36 Meski demikian, hingga
sekarang masih muncul perdebatan tentang krisis pangan saat itu. Ada pendapat
34
Pihak asing yang disebutkan bisa saja Amerika.
35
Baskara T. Wardaya, Mencari Supriyadi: Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno.(Yogyakarta: Galang Press, 2008). Hal: 144-145.
36
bahwa krisis pangan memang benar-benar terjadi dan sangat menyengsarakan
rakyat. Kondisi itu kemudian mengilhami gerakan mahasiswa agar pemerintah
segera menurunkan harga sebagai bagian dari tiga tuntutan rakyat (Tritura).
Namun, tidak sedikit pendapat bahwa krisis pangan saat itu merupakan
hasil rekayasa oleh kekuatan tertentu. Penampilan gambar antrian beras juga
kelaparan disebutkan sebagai bagian dari rekayasa itu. Cara-cara ini digunakan
untuk menurunkan kepercayaan rakyat terhadap Sukarno yang lebih memberi
angin kepada komunisme. Mereka yang mempunyai dugaan ini yakin kondisi saat
itu tidak separah seperti yang digambarkan.37
Kebijakan Orde Baru dan kebijakan periode politik etis pemerintahan
kolonial Belanda pada dekade awal memiliki kesamaan, Orde Baru juga berjanji
akan membangun ekonomi nasional dan meningkatkan taraf pendidikan dan
kesejahteraan. Orde Baru memang mampu membangun ekonomi nasional, tetapi
tidak mampu meningkatkan taraf pendidikan dan kesejahteraan.
Orde Baru mengembangkan gaya pemerintahan yang paternalistik38, dan
menindas. Orde Baru berusaha mencari keterlibatan rakyat untuk mendapatkan
legitimasi, tetapi hanya melalui cara-cara yang dikendalikan dengan cermat.39
Orde Baru seolah mengoreksi penyimpangan yang dilakukan pada masa
Orde Lama seperti “penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa,
dan negara Indonesia, melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
37
Ibid.
38
Paternalistik dalam hal ini seperti seorang ayah yang harus ditaati.
39
konsekuen dan menyusun kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan
stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa”.40
B. Peningkatan Produksi Beras Melalui Pelita I (1969-1974)
Selain tidak bisa lepas dari bantuan Amerika, model kebijakan
pembangunan lima tahun Soeharto sebenarnya bukan hal yang baru, bisa saja ia
terinspirasi dari pembangunan Stalin Uni Soviet yang lebih dahulu ada. Stalin
mempunyai tugas untuk menata kembali ekonomi Soviet. Salah satu cara yang
paling signifikan untuk memperkuat ekonomi Soviet adalah dengan
dikenalkannya Five Years Plans 1928 dan mampu membawa perubahan yang
monumental bagi ekonomi Soviet.41 Stalin juga mendapat dukungan yang kuat
dalam militer sama halnya Soeharto.
Oleh karena itu, jika istilah five year plans diadaptasikan di Indonesia
mirip dengan Pembangunan Lima Tahun Soeharto, tetapi dikatakan bahwa
pembangunan Indonesia tidak bisa disamakan dengan negara lain. Indonesia tidak
bersifat liberal, kapitalis sebagaimana Amerika dan komunistis seperti Uni Soviet
tersebut melainkan berdasarkan Pancasila.42
“... Pembangunan haruslah dilakukan secara bertahap dan berencana dan didasarkan pada kenjataan dan kemampuan jang ada. Kemampuan kita dewasa ini masih sangat terbatas, sungguhpun secara potensiil kita miliki potensi-potensi jang besar. Dalam keadaan jang serba terbatas ini maka kita tidak memiliki kesempatan untuk mengejar pelbagai macam kebutuhan secara serentak. Justru karena itulah maka diperlukan
pemba-40
M.C Ricklefs,ibid.
41
Joseph Stalin's Five Year Plan, http://www.buzzle.com/articles/joseph stalins-five-year-plan.html diakses tanggal 14 Desember 2010
42
ngunan secara berencana untuk mengejar secara bertahap pemenuhan kebutuhan itu.43
O1eh karena itu, pembangunan tidaklah segera akan memberi kepuasan dan pemenuhan secara menjeluruh. Lain daripada itu perlu pula kemukakan bahwa ikhtiar pembangunan tidaklah identik dengan hasil pembangunan. Semua orang menghasrati pembangunan untuk memetik hasil-hasil dan manfaat pembangunan. Akan tetapi mengusahakan pembangunan memerlukan sikap hidup jang berani mengurangi konsumsi, berani menabung dan memupuk modal serta rela untuk dipajak ...”44
Dari beberapa dokumen Bappenas di atas jelas bahwa pemerintah
mengetahui ketertinggalan Indonesia di antara negara lain. Oleh karena itu,
pemerintah berupaya mengejar ketertinggalan Indonesia dengan menyerukan
pembangunan. Pemerintah juga menyadari pembangunan tidak bisa dilakukan
dalam waktu singkat maka dibuat pembangunan bertahap terencana. Sasaran
pembangunan yang akan dicapai oleh Orde Baru secara umum yaitu pangan,
sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasaan lapangan pekerjaan
dan kesejahteraan rohani.45Hal tersebut merupakan kebutuhan pokok masyarakat
Indonesia.
Indonesia di bawah Soeharto menerima bantuan ekonomi dari Barat,
kemudian yang terjadi bahwa pembangunan ekonomi nasional bergantung pada
perusahaan asing dan hanya terjadi pertumbuhan kecil pada industri pribumi.46
Soeharto penguasa Orde Baru dalam otobiografinya menulis sebagai berikut:
43
Bappenas, Repelita I buku I Bab I tentang tujuan, sasaran dan kebijaksanaan, (Djakarta, 30 Desember 1968). Hal: 12-15.
44
Ibid.
45
Ibid.
46
“... Pada tanggal 1 April 1969 saya melakukan pancangkulan pertama sebagai tanda dimulainya Repelita I.
Pada prinsipnya kita melaksanakan pembangunan ini dengan kekuatan sendiri. Akan tetapi kita menyadari pula kemampuan kita itu serba terbatas. Maka untuk mempercepat pembangunan itu, kita memanfaatkan prinsip kerjasama dengan bangsa-bangsa lain secara saling menguntungkan. Tetapi bantuan dari luar itu tetap kita tempatkan sebagai pelengkap. Kita sudah berjaga-jaga jangan sampai bantuan itu nanti membuat kita sengsara. Jangan sampai hal itu mengurangi kemampuan kita sendiri.
Karena itu kita sendiri menentukan persyaratan mengenai bantuan asing itu. Bukan mereka yang menentukan. Kita yang menentukan. Benar bantuan itu kita butuhkan tetapi untuk memperkuat kemampuan kita sendiri.
Syarat-syarat yang kita tentukan: Pinjaman jangka panjang dengan bunga rendah, dan angsurannya dimulai setelah 10-15 tahun. Bantuan yang tidak sesuai dengan persyaratan yang kita tetapkan, tidak kita terima. Kita tolak. Memang ada disodorkan kepada kita bantuan dari blok Timur, tetapi bantuan itu tidak memenuhi persyaratan yang kita tetapkan. Ia tidak bisa memberikan jangka panjang 30 tahun, tidak bisa memberikan batas angsuran yang baru dilakukan sesudah 10 tahun dan tidak bisa memberikan bunga 2 atau 3% ...”47
Menurut tulisan Soeharto itu, modal asing berpeluang masuk ke Indonesia
terutama dari Amerika meskipun tidak disebutkan secara eksplisit. Masa
pemerintahan Soeharto juga meneruskan hal yang sama dengan Sukarno dalam
gaji bulanan PNS yang memasukkan unsur beras. Bisa dibayangkan dukungan
beras untuk memberi makan 4,6 juta PNS dan 0,5 juta militer waktu itu akan
berdampak pada hasil voting dalam pemilu. Kondisi menjadi lebih buruk ketika
beras dibaptis menjadi barometer ekonomi pembangunan tetapi pada saat yang
sama berfungsi sebagai alat politik.
Pelita I akhirnya lahir menurut keputusan Soeharto nomor 319 tahun 1968.
Dengan menimbang hal-hal sebagai berikut:
47
1. bahwa tujuan perjuangan Orde-Baru adalah meningkatkan tingkat kehidupan
Rakyat Indonesia, yang hanya dapat dicapai dengan pelaksanaan
pembangunan bertahap rencana;
2. bahwa hasil-hasil yang telah dicapai dalam program stabilisasi politik dan
ekonomi, dewasa ini telah merupakan landasan yang cukup kuat guna
pelaksanaan pembangunan;
3. bahwa berdasarkan Ketetapan MPRS No.XLI/MPRS/1968, penyusunan dan
pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun menjadi salah satu tugas
Kabinet Pembangunan juga pemerintah telah berhasil menyiapkan Rencana
Pembangunan Lima Tahun 1969-1974, yang akan menjadi landasan dan
pedoman bagi pemerintah dalam melaksanakan Ketetapan MPRS tersebut
tahun demi tahun.48
Pembangunan Lima Tahun (Pelita) tersebut sebagai acuan perencanaan
yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru. Setiap lima tahunnya memiliki tujuan
pokok tersendiri. Pelita I (1969-1974) pada dasarnya bertujuan memenuhi
kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian yang
berkelanjutan.
Pemerintahan Orde Baru berusaha untuk menghentikan proses
kemerosotan ekonomi dan membina landasan yang sehat bagi pertumbuhan
ekonomi yang wajar. Usaha untuk mewujudkannya diperlukan terlebih dahulu
pengendalian laju inflasi dan usaha rehabilitasi ekonomi. Hanya apabila laju
inflasi telah dapat dikendalikan dan suatu tingkat stabilisasi tercapai, maka dapat
48
diharapkan pulihnya kegiatan ekonomi yang wajar serta terbukanya kesempatan
bagi peningkatan produksi.49
“... Dalam melaksanakan pembangunan ini maka titik beratnja dipusatkan pada bidang pertanian. Dengan demikian medan-juang jang dipilih adalah medan pertanian. Disinilah sasaran sentral diletakkan, ichtiar dipusatkan dan hasil diharapkan.50
Pilihan pada sektor pertanian bukanlah sekedar pilihan belaka. Pilihan didasarkan pada strategi pembangunan untuk mendobrak keterbelakangan ekonomi kita melalui proses pembaharuan dibidang pertanian ...”51
Pelita pada sektor pertanian yang berkelanjutan diarahkan guna
peningkatan produksi pangan terutama beras, peningkatan produksi ekspor
serta perluasan macam hasil-hasil ekspor dan perluasan kesempatan bekerja
dibidang pertanian. Dengan meningkatnya produktivitas sektor pertanian maka
sektor ini akan menjadi pasaran yang baik bagi sektor-sektor lain terutama
sektor industri dan akan memperbesar kemungkinan pemupukan modal untuk
membiayai pembangunan sektor-sektor lain.52
Pembangunan itu dibiayai dari sumber-sumber keuangan dan tabungan
pemerintah, kredit jangka menengah dan kredit jangka panjang dari perbankan,
penanaman modal dan investasi dari perusahaan swasta nasional, perusahaan
asing dan perusahaan negara serta bantuan luar negeri berupa bantuan proyek dan
digunakan untuk pembangunan sektor-sektor listrik, perhubungan dan pariwisata,
industri, pertambangan, pertanian dan keluarga berencana. Bantuan program
adalah bantuan berupa beras, tepung terigu, gandum danbulgur. Bantuan itu telah berhasil membantu stabilisasi harga pangan pokok. Selain itu ada pula bantuan
program non pangan seperti kapas, benang tenun dan pupuk.53
Perlu diketahui bahwa tiga perempat pengeluaran pada Pelita I dibiayai
pinjaman asing, yang jumlahnya membengkak hingga US $ 877 juta pada akhir
periode. Pada tahun 1972, hutang asing baru yang diperoleh sejak tahun 1966
sudah melebihi pengeluaran saat Sukarno berkuasa. Pada tahun 1969, pulihnya
nama Indonesia di dunia antikomunis ditandai dengan kunjungan dari beberapa
kepala negara asing termasuk Presiden Amerika Richard Nixon. Menyusul
kunjungan Nixon itu, bantuan militer Amerika untuk Indonesia pun meningkat
tajam, mencapai US $ 40 juta pada tahun 1976.54
Pelita I berakhir tanggal 31 Maret 1974. Secara keseluruhan pelita itu
berhasil dilaksanakan sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai, meskipun ada
masalah yang menghambat. Pada akhir 1972 dan awal 1973 terjadi kenaikan
harga beras, sedangkan ekonomi dunia memperlihatkan keadaan yang tidak sehat
yang disebabkan oleh ketidakstabilan di dalam sistem pembayaran internasional,
kelangkaan dalam persediaan pangan, krisis energi dan bahan baku serta inflasi
yang melanda banyak negara.
53
Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Jilid VI(Jakarta: Penerbit Balai Pustaka, 1984). Hal: 445.
54