• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP UPAYA HUKUM PEMBATALAN PUTUSAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA NOMOR 431/XI/ARB/-BANI/2011 OLEH PEMERINTAH KOTA SAMARINDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS YURIDIS TERHADAP UPAYA HUKUM PEMBATALAN PUTUSAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA NOMOR 431/XI/ARB/-BANI/2011 OLEH PEMERINTAH KOTA SAMARINDA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL BERAJA NITI ISSN : 2337-4608 Volume 3 Nomor 3 (2014)

http://e-journal.fhunmul.ac.id/index.php/beraja © Copyright 2014

ANALISIS YURIDIS TERHADAP UPAYA HUKUM PEMBATALAN

PUTUSAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA NOMOR

431/XI/ARB/-BANI/2011 OLEH PEMERINTAH KOTA SAMARINDA

Erickson Jhones Nababan 1

(ericksonnababan@rocketmail.com) Mahendra Putra Kurnia2

(mp_sheva@yahoo.co.id) Nur Arifudin3 (nurarifudin@yahoo.co.id) Abstrak

Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada Perjanjian Arbritrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Penelitian ini bertujuan untuk Untuk melakukan analisis hukum terhadap upaya hukum pembatalan putusan BANI oleh Pemerintah Kota Samarinda dan Untuk memberikan solusi alternatif kepada Pemerintah Kota Samarinda dalam menyikapi putusan BANI nomor 431/XI/ARB/-BANI/2011.

Berdasarkan penelitian ini penulis menyarankan bahwa Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase, pasal 3 menyatakan kewenangan Pengadilan Negeri menyelesaikan sengketa yang telah terikat perjanjian arbitrase tidak dapat dilakukan, pasal 60 menyatakan putusan Arbitrase merupakan putusan final dan binding, dan pasal 70 menyatakan dapat melakukan pembatalan putusan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri, maka perlu adanya harmonisasi penyusaian pasal agar tidak kontradiktif. Dalam pasal 3, pasal 60 dan pasal 70 Undang-undang nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa seharusnya diperbaiki agar dapat diperkuat lagi atau diperjelas lagi. Antara pasal 3, pasal 60, pasal 70 Undang-undang nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diperlukan independensi pasal. Bahwa perlu adanya sebuah lembaga ekstorial tertinggi agar putusan Arbitrase tetap Final dan Mengikat.

Kata Kunci: Upaya Hukum, Pembatalan, Putusan Arbitrase

1

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 2

Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 3

(2)
(3)

JURIDICAL ANALYSIS REMEDIES CANCELLATION OF INDONESIA

NATIONAL BOARD OF ARBITRATION NUMBER

431/XI/ARB/-BANI 2011 BY SAMARINDA CITY GOVERNMENT

Erickson Jhones Nababan 4 (ericksonnababan@rocketmail.com)

Mahendra Putra Kurnia5

(mp_sheva@yahoo.co.id) Nur Arifudin6 (nurarifudin@yahoo.co.id) Abstract

Arbitration is a way of resolving civil disputes outside the public courts based on Arbritrase agreement made in writing by the parties to the dispute. This study aimed to perform a legal analysis of the legal effort by the cancellation of the decision of BANI Government of Samarinda and to provide alternative solutions to the Government of Samarinda in response to the decision of BANI Number 431/XI/ARB/-BANI/2011. The author using method of thinking deductive reasoning (way of thinking in drawing conclusions drawn from something of a general nature that have been proved of correctness conclusions are intended for something special).

Based on this study the authors suggest that the Law No. 30 Year 1999 on Arbitration, Article 3 states the authority of the District Court to resolve disputes that have bound the arbitration agreement can not be made, Article 60 states arbitration decision is final and binding decision, and Article 70 states can do cancellation decision made by the District Court, the need for harmonization of article so as not contradictory. In chapter 3, article 60 and article 70 of Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution should be improved in order to be strengthened or clarified. Between chapter 3, article 60, article 70 of Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution clause required independence. That there needs to be an institution of the highest order ekstorial decision remains final and binding arbitration.

Key Words: Remedies, Cancellation, Arbitration Award

4

Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 5

Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Mulawarman 6

(4)

Pendahuluan

Indonesia sebagai Negara Hukum, merupakan negara yang menjunjung tinggi Keadilan baik di ruang lingkup masyarakat, kelompok, suku dan adat bahkan di dalam tubuh Pemerintahan yang berada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menjunjung nilai keadilan tersebut Indonesia memiliki dasar ideologi yang mencakup semua keberagaman yang ada sebagai pemersatu dan sebagai tiang keadilan yaitu dengan menggunakan dasar-dasar dari Pancasila dan berdasarkan Undang-undang sebagai jaminan konstisional terhadap asas kebebasan dan persamaan. Seperti yang di katakan oleh filsafat Aristoteles “Hukum hanya bisa ditetapkan oleh keadilan”, maka untuk menjunjung nilai keadilan pastinya banyak hal yang menjadi masalah, dimana untuk mencari nilai keadilan tersebut harus dengan pengorbanan yang besar dan sulit, tidak seperti membalikan tangan dengan mudah. Keadilan yang dicari harus ada yang menang dan yang kalah, akan tetapi tidak ada satu manusia pun yang ingin kalah, karena manusia dengan hasratnya selalu ingin menang. Jikapun kalah pasti akan melakukan berbagai cara untuk menang, baik secara halus atau kekarasan agar tercapai keinginannya untuk menang.

Dalam mencari keadilan tersebut pastinya ada muncul permasalahan yang terjadi antara orang maupun badan hukum baik dalam bentuk hubungan antarpribadi maupun transaksi bisnis yang dapat menimbulkan reaksi positif dan negatif. Reaksi Positif merupakan reaksi yang tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak sedangkan reaksi negatif merupakan reaksi yang mengakibatkan

(5)

kerugian bagi salah satu pihak sehingga menyebabkan terjadinya sengketa.7 Didalam permasalahan tersebut maka timbulah persengketaan yang terjadi untuk memperjuangkan hak-hak dan persamaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Pada Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan mengenai pembelaan seseorang untuk dapat memperjuangkan haknya, yaitu pada pasal 28C ayat (2) disebutkan bahwa ” Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”. Maka dari itu permasalahan yang ada haruslah diselesaikan dengan bijaksana agar dapat mendukung nilai keadilan yang sesuai dengan hak sesesorang tersebut.

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 33 ayat(1) menyebutkan bahwa ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan” yang berarti bahwa ekonomi di Indonesia haruslah dibangun dengan secara bersama-sama atau kekeluargaan, dimana Indonesia sendiri sebagai salah satu negara yang ekonominya mulai tumbuh. Namun Indonesia tidak pernah lepas dari permasalahan ekonomi, permasalahan ekonomi yang timbul di Indonesia adalah sengketa-sengketa bisnis antara individu atau badan usaha atau dengan badan usaha lain. Permasalahan atau sengketa bisnis tersebut biasanya diselesaikan dengan non litigasi, yang dimana proses penyelesaian sengketa tersebut dapat diselesaikan dengan melalui mediasi. Mediasi adalah Proses penyelesaian sengketa dengan perantaraan pihak ketiga, yakni pihak yang memberikan masukan-masukan kepada para pihak untuk

7

Jimmy Joses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan (Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi & Arbitrase), Visimedia, Jakarta Selatan, halaman 1.

(6)

menyelesaikan sengketa mereka.8 Mediasi dilakukan karena keinginan dari pihak-pihak yang memiliki sengketa yang tidak mengiinginkan penyelesaian tersebut melalui pengadilan atau abritrase. Dengan menunjuk seorang mediator sebagai penengah antara kedua belah pihak yang bersengketa. Mediator sebagai penengah kedua belah pihak yang bersengketa biasanya menyarankan para kedua belah pihak agar menyelesaikan persengketaan tersebut secara 50:50 atau tidak ada yg menang dan tidak ada yang kalah, namun pihak-pihak yang bersengketa tidak harus mengikuti dan menaati apa yang disarankan oleh mediator tersebut. Jika hal tersebut tidak dapat titik temu maka persengketaan yang ada harus dilakukan dengan proses peradilan.

Persengketaan yang tidak dapat diselesaikan dengan cara mediasi, dapat diselesaikan dengan litigasi atau peradilan yang lebih mempunyai kekuatan hukum serta mengikat kepada para pihak yang bersengketa karena peradilan merupakan lembaga sah dan resmi yang penyelesaian sengketanya menurut tata cara formal yang diatur dalam hukum acara untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di masyarakat.9 Banyak pihak yang bersengketa melakukan penyelesaian sengketa mereka melalui tata cara formal yaitu di Pengadilan, namun proses penyelesaian sengketa tersebut bukan solusi yang cepat dan hemat, terkadang proses melalui pengadilan di nilai sangat lambat dan terkadang memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa, sehingga dapat menimbulkan kecurigaan KKN terhadap Majelis Hakim untuk memenangkan salah satu pihak.

8 Ibid., halaman 28

9

Suyud Margono, 2010, Penyelesaian Sengketa Bisnis : Alternative Dispute Resolution (ADR), Ghalia Indonesia, Bogor, halaman78

(7)

Jika persengketaan tidak dapat diselesaikan dengan cara mediasi, namun dapat diselesaikan dengan secara litigasi di Pengadilan maka penyelesaian sengketa tersebut seperti diceritakan sebelumnya bukanlah solusi yang cepat. Banyak persengketaan yang berbau uang juga diselesaikan dengan menggunakan cara arbitrase, yang merupakan bagian sistem penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan sama dengan mediasi. Arbitrase merupakan sebuah cara penyelesaian sengketa yang pasti. Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 ”Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarakan pada Perjanjian Arbritrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa” jika para pihak bersengketa atau kedua belah pihak bersengketa dapat menggunakan arbritrase dengan perjanjian yang disepakati bersama. Indonesia sendiri sebagai negara yang besar memiliki sebuah badan yang menangani permasalahan persengketaan yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau dapat disingkat (BANI). BANI merupakan lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi, dan bentuk lain dari penyelesaian sengketa di Luar pengadilan,10 dan banyak penyelesaian sengketa yang ada di Indonesia menggunakan BANI seperti kasus yang penulis angkat adalah sebuah kasus persengketaan antara PT. Nuansa Cipta Realtindo atau NCR versus Pemerintah Kota Samarinda. Progress pekerjaan PT Nuansa Cipta Realtindo (NCR) selaku kontraktor pembangunan Bandara Samarinda Baru di Kelurahan Sungai Siring, Kecamatan Samarinda Utara, yang menjadi sumber masalah memang belum dapat dibuktikan secara

10

http://www.bani-arb.org/bani_main_ind.html, di akses tanggal 16 Juli 2013, pukul 13.37 Wita

(8)

yuridis, karena acuan dari Pemkot adalah hasil audit BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan). PT. Nuansa Cipta Realtindo sebagai kontraktor dalam Pembangunan Bandara Samarinda Baru atau (BSB) merasa dirugikan, pasalnya progres pekerjaan yang sudah dilakukan pada proyek bandara justru tidak sesuai dengan pembayaran yang diterima.11 Atas permasalahan tersebut PT. NCR mengadukan permasalahan tersebut kepada BANI di Jakarta. Setelah itu keluarlah putusan BANI dengan Nomor 431/XI/ARB/-BANI/2011 tertanggal 3 Agustus 2012, yang menyatakan bahwa PT. NCR menang dan Pemkot harus membayar Rp. 137 Miliar kepada PT. NCR. Sementara itu Pemkot Samarinda tidak terima dengan putusan BANI Nomor 431/XI/ARB/-BANI/2011 karena tidak mungkin Pemkot dapat membayar kewajiban sebesar 137 Miliar tersebut. Pemkot Kota Samarinda tidak tinggal diam, Pemkot mengajukan permohonan pembatalan putusan BANI nomor 431/XI/ARB/-BANI/2011 pada tanggal 29 Agustus 2012 ke Pengadilan Negeri Samarinda dengan gugatan nomor perkara 73/pdt.G/ARB/2012/PN Samarinda. Namun Pengadilan Negeri Samarinda yang di ketuai oleh Majelis Hakim Sugeng Hiyanto, SH, MH memutuskan bahwa gugatan Pemkot Samarinda tersebut tidak dapat diterima atau ditolak. 12 Dengan adanya penolakan putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Samarinda maka Pemkot Kota Samarinda memutuskan untuk mengajukan gugatan perkara nomor 73/pdt.G/ARB/2012/PN Samarinda ke Mahkamah Agung dengan harapan permohonan pembatalan putusan BANI nomor 431/XI/ARB/-BANI/2011 dapat

11

http://www.sapos.co.id/index.php/berita/detail/Rubrik/17/41613, di akses tanggal 19 Juli 2013, pukul 00.13 Wita

12

http://cts.pn-samarinda.go.id/perdata_gugatanview.php?id=3717, di akses tanggal 19 Juli 2013, pukul 00.54 Wita

(9)

banding atau dapat dibatalkan mengingat jika putusan tersebut diterima dengan lapang dada oleh pemkot maka Pemkot harus membayar 137 Miliar kepada PT. NCR. Permasalahan yang diteliti adalah Apakah upaya hukum Pemkot Samarinda dalam permohonan pembatalan putusan BANI nomor 431/XI/ARB/-BANI/2011 dapat dibenarkan secara hukum dan Apa upaya hukum yang seharusnya dilakukan oleh Pemkot Samarinda dalam menyikapi putusan BANI nomor 431/XI/ARB/-BANI/2011. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis hukum terhadap upaya hukum pembatalan putusan BANI oleh Pemerintah Kota Samarinda, memberikan solusi alternatif kepada Pemerintah Kota Samarinda dalam menyikapi putusan BANI nomor 431/XI/ARB/-BANI/2011.

Peneltian ini menggunakan memakai jenis penelitian Yuridis Normatif yaitu, penelitian hukum yang mengkaji hukum, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan, mengikat suatu Undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasi.13 Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif (cara berpikir dalam penarikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa kebenaran dari kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus).

13

Muhammad Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta, Halaman 102.

(10)

Pembahasan

Sesuai dengan Pasal 70 Undang-undang No 30 Tahun 1999 Tentang Alternatif Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa secara jelas mengatakan terhadap putusan Arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur :

a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu ;

b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;

c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pemeriksaan sengketa.

Seperti yang dijelaskan pasal 70 pengajuan pembatalan putusan seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Samarinda ke Pengadilan Negeri Samarinda sedikit membingungkan karena dasar yang dilakukan adalah surat dokumen yang dinyatakan palsu dan hasil tipu muslihat kompetensi Absolut yang diajukan Pemerintah Kota Samarinda dengan mengajukan Pembatalan Putusan ke

Pengadilan Negeri Samarinda dengan permohonan Nomor

73/Pdt.G/Arb/2012/PN.Smda yang merupakan tata cara persidangan perdata namun jika dilihat dalam seperti pernyataan pasal 70 Undang-undang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa tersebut malah mengarah ke Pidana. Didalam pasal 378 KUHP yang mengatakan Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan,

(11)

menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Pemerintah Kota Samarinda mengajukan Pembatalan Putusan Arbitrase ke Pengadilan Negeri Samarinda dengan alasan Pasal 70 Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak dapat dibenarkan secara hukum karena jika dengan dasar pasal 70 tersebut maka ada pasal yang mengarah kepada penipuan, sedangkan penipuan jika benar-benar dilakukan oleh PT.NCR dan BANI seperti yang diajukan dengan permohonan tersebut maka seharusnya Pemerintah Kota Samarinda melakukan pelaporan ke Pihak berwajib dengan dasar penipuan tersebut dan menunjukan bukti-bukti yang dikatakan penipuan, akan tetapi ialah apa yang dilakukan Pemerintah Kota Samarinda malah mengajukan kearah perdata, bukan ke pidana hal ini merupakan perkara yang membingungkan disuatu sisi yang memiliki kewenangan untuk mengadili merupakan perdata namun pengajuan yang dilakukan seperti mengarah ke pidana seperti pasal 378 KUHP.

Permasalahan berikutnya ialah berkaitan dengan Pasal 3 dan Pasal 60 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang tertulis sebagai berikut pada Pasal 3 Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian Arbitrase dan pada Pasal 60 Putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai hukum tetap dan mengikat para pihak. Dalam Pasal 60 tersebut menjelaskan bahwa setiap putusan sengketa melalui arbitrase tidak dapat

(12)

diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. Akan tetapi dalam kenyataannya Pemerintah Kota Samarinda melakukan Permohonan Pembatalan tersebut ke Pengadilan Negeri Samarinda, padahal jelas Pasal 60 menjelaskan tidak dapat melakukan pembatalan dan pada Pasal 3 menjelaskan Pengadilan Negeri tidak memiliki kewenangan dalam mengadili sengketa yang sudah terikat perjanjian Arbitrase. Maka dari itu seharusnya Pemerintah Kota Samarinda sudah mengerti apa yang dimaksud didalam Pasal 3 dan Pasal 60 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut karena tidak mungkin mengajukan Pembatalan tetapi dengan jelas Pasal 60 melarang demikian juga pada Pasal 3 yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang dalam mengadili perkara arbitrase.

Seharusnya pihak Pemerintah Kota Samarinda sudah mengetahui hal tersebut dan menjalankannya dan mau tidak mau menerima kekalahan. Tetapi apakah Antara Pasal 3, Pasal 60 dan Pasal 70 Undang-undang No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa saling bertentangan dan kontradiktif karena disuatu sisi dengan jelas dalam Pasal 3 Pengadilan Negeri tidak berwenang dan Pasal 60 mengatakan Putusan Arbitrase merupakan Putusan final dan Mengikat tidak dapat diajukan, banding, kasasi, atau peninjauan kembali namun disisi lain pasal 70 menyatakan pembatalan putusan dapat dilakukan dengan alasan-alasan yang terdapat dipasal tersebut atau ketiga pasal tersebut merupakan sebuah langkah proses untuk menegakan keadilan di Republik Indonesia.

(13)

Antara Pasal 3, Pasal 60 dan Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa perlu dilakukan harmonisasi penyusaian agar tidak kontradiktif. Ketiga pasal tersebut jika perlu diperbaiki agar diperkuat lagi maksud dan tujuannya jika diperkuat maka tidak akan adalagi alasan atau tindakan yang melawan keputusan yang diberikan.

Bahwa bila Pemerintah Kota Samarinda tetap bersikukuh dengan dasar penipuan atau perbuatan curang tersebut maka Pemerintah Kota Samarinda dapat mengajukan ke perkara Pidana dengan dalil-dalil yang sesuai dengan pembuktian yang menyangkut pasal 70 Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tetapi sesuai dengan pasal 378 KUHP dengan begitu perkara tersebut dapat diselesaikan dengan tata cara peradilan pidana dan mungkin dapat putusan pengadilan untuk menjadi prasayarat permohonan pembatalan putusan. Namun proses untuk melakukan pembatalan tersebut dapat mungkin memiliki hambatan karena Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tetap menyatakan pada pasal 60 putusan arbitrase putusan final dan mengikat. Maka dari itu sebenarnya harus ada harmonisasi penyusaian pasal yang terjadi antara Pasal 70 Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan Pasal 378 KUHP agar konteks antara Perdata dan Pidana dapat dilakukan sesuai jalurnya, sehingga tidak akan muncul kesalahpahaman dalam proses peradilan.

Proses yang dilakukan Pemerintah Kota Samarinda sampai ke tingkat Mahkamah Agung yang meminta Pembatalan Putusan Arbitrase Nomor 431/XI/ARB/-BANI/2011 oleh Pemerintah Kota Samarinda berujung ditolak oleh

(14)

Mahkamah Agung. Padahal jika Pemerintah Kota Samarinda menyadari kelemahan yang berujung kekalahan, alangkah baiknya jika Pemerintah Kota Samarinda menerima kekalahan atas PT. NCR dan melakukan Renegoisasi ulang dalam penyelesaian Bandara Samarinda Baru tersebut dengan Perjanjian Kontrak yang baru sehingga tetap dapat menyelesaikan Bandara Samarinda Baru tersebut serta dapat munculnya hubungan timbal balik antara Pemerintah Kota Samarinda dan PT. NCR. Sehingga tidak akan ada lagi permasalahan yang sama yang menyangkut antara Pemerintah dan Kontraktor dalam pengerjaan proyek Pemerintah.

Penutup

Kesimpulan dari penelitian ini sebagai berikut :

1. Bahwa upaya hukum pembatalan Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Nomor 431/XI/Arb/-BANI/2011 yang dilakukan Oleh Pemerintah Kota Samarinda sesuai dengan Pasal 70 Undang-undang No 30 Tahun 1999 Tentang Alternatif Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa secara jelas mengatakan terhadap putusan Arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur :

a) Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu ;

b) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;

(15)

c) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pemeriksaan sengketa.

Namun jika dilihat Pasal 70 tersebut dapat menunjukan kearah Pidana yang tertulis di Pasal 378 KUHP tentang perbuatan curang atau penipuan dimana bukti-bukti yang dikatakan palsu harusnya kearah pidana bukan kearah perdata dengan demikian menjadi sulit dimengerti ketika harusnya perdata akan tetapi malah kearah pidana. Demikian juga pada Pasal 3, Pasal 60 dengan Pasal 70 Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terlihat seperti saling bertentangan karena didalam Pasal 3 menjelaskan pengadilan negeri tidak berwenang dalam mengadili sengketa yang terikat dengan perjanjian arbitrase dan pasal 60 menjelaskan putusan arbitrase merupakan putusan final dan tidak dapat diajukan, banding dan kasasi atau peninjauan kembali namun didalam pasal 70 tersebut pengajuan pembatalan putusan dapat dilakukan dengan syarat yang bukti-bukti palsu. Bahwa dengan antara pasal 3, pasal 60 dan pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sedikit bersinggungan dan kontradiktif ataupun disebut proses yang dimana pasal 3 menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang atau ikut campur dalam sengketa yang memiliki perjanjian arbitrase, sedangkan pasal 60 melarang adanya banding dan kasasi atau peninjauan kembali di putusan arbitrase tetapi dipasal 70 memperbolehkan pengajuan pembatalan yang dapat dilakukan di Pengadilan Negeri.

(16)

2. Bahwa langkah yang dilakukan Pemerintah Kota Samarinda dalam mengajukan Pembatalan putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia ke Pengadilan Negeri Samarinda dan melakukan banding ke Mahkamah Agung, dapat dikatakan sia-sia karena dengan alasan Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dagang lebih mengarah ke pidana seperti pasal 378 KUHP, tentang perbuatan curang atau penipuan, maka dari diselesaikan dulu dengan tata cara pidana jika tetap ingin melakukan pembatalan putusan. Bila Pemerintah Kota Samarinda mengakui kekalahannya dan mau tetap membayar kepada PT. NCR. 137 Milyar maka Pemerintah Kota Samarinda membuat atau mengajukan renegoisasi ulang untuk Pembangunan Bandara Samarinda Baru tersebut walaupun rugi tetapi pengerjaan Bandara tersebut tetap berjalan serta dapat menimbulkan hubungan timbal balik.

Saran

1. Bahwa berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase, pasal 3 menyatakan kewenangan Pengadilan Negeri menyelesaikan sengketa yang telah terikat perjanjian arbitrase tidak dapat dilakukan, pasal 60 menyatakan putusan Arbitrase merupakan putusan final dan binding, dan pasal 70 menyatakan dapat melakukan pembatalan putusan yang dilakukan oleh Pengadilan Negeri, maka perlu adanya harmonisasi penyusaian pasal agar tidak kontradiktif.

(17)

2. Bahwa pasal 3, pasal 60 dan pasal 70 Undang-undang nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa seharusnya diperbaiki agar dapat diperkuat lagi atau diperjelas lagi.

3. Bahwa antara pasal 3, pasal 60, pasal 70 Undang-undang nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diperlukan independensi pasal.

4. Bahwa perlu adanya sebuah lembaga ekstorial tertinggi agar putusan Arbitrase tetap Final dan Mengikat.

Daftar Pustaka A. Buku

Abdulkadir, Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta.

Abdurrasyid, Priyatna, 2011, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT. Fikahati Aneska, Jakarta.

Elkoury, Frank & Elkoury, Edna, 1974, How Arbritration Work , dikutip oleh M. Hussyen dan A. Supriyani Kardono, 1992, Kertas Kerja Hukum Ekonomi, Hukum dan Lembaga Arbritrase di Indonesia.

Margono, Suyud, 2010, Penyelesaian Sengketa Bisnis : Alternative Dispute Resolution (ADR), Ghalia Indonesia, Bogor.

Poerwosutjipto, H., M., N.,, 1992, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Djambatan, Jakarta.

Safa’at, Rachmad, 2011, Advokasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Surya Pena Gemilang, Malang

Sembiring, Jimmy Joses, 2011, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan (Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi & Abritrase), Visimedia, Jakarta Selatan. Subekti, 1992, Abritrase Perdagangan, Bina Cipta, Bandung.

______,1997, Hukum Acara Perdata, Bandung, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman.

(18)

B. Undang-undang

Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbritrase.

C. Artikel Jurnal Ilmiah, Artikel Koran, Artikel Internet, dan Makalah Seminar

http://www.bani-arb.org/bani_main_ind.html, di akses tanggal 16 Juli 2013, pukul 13.37 Wita.

http://www.sapos.co.id/index.php/berita/detail/Rubrik/17/41613, di akses tanggal 19 Juli 2013, pukul 00.13 Wita.

http://cts.pn-samarinda.go.id/perdata_gugatanview.php?id=3717, di akses tanggal 19 Juli 2013, pukul 00.54 Wita.

Abdurrasyid, H. Priyatna, 1996, Penyelesaian Sengketa Komersial (Nasional dan International) di luar pengadilan, Makalah.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap makna yang terdapat pada puisi “Ilā Syā‘irin Syābbin” dalam antologi puisi Lā Urīdu Lihāżī al-Qaṣīdati An Tantahiya

Pada gambar 3.1 bagian a, bisa dilihat secara visual bahwa ritme sinyal pada gelombang tidak berada pada garis isoline(garis 0), sehingga padda bagian durasi tertentu

Berdasarkan pengujian penghambatan terhadap aktivitas xantin oksidase oleh akar tanaman Acalypha indica L, semua subfraksi hasil kromatografi kolom fraksi n-butanol merupakan

[r]

Pulau Sempu adalah kawasan cagar alam yang terletak di sebelah selatan Kabupaten Malang. Selain fungsinya sebagai kawasan konservasi ekosistem alami, Pulau Sempu juga menjadi

1. Prosedur pelayanan yang diberikan mudah dipahami dan tidak berbelit-belit, serta adanya petunjuk mengenai prosedur pelayanan publik dengan aparat Kecamatan

Demikian Adendum Dokumen Pengadaan ini disampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.. SUB PEKERJAAN TRAFO DISTRIBUSI

Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui zonasi daerah yang rawan terhadap kebakaran di Kecamatan Mariso yang terbagi menjadi tiga zona yaitu zona tingkat