• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penolakan Ekstradisi Atas Kejahatan yang Diancam Hukuman Mat

SUATU NEGARA

B. Penolakan Ekstradisi atas Kejahatan yang Diancam Hukuman Mati sebagai Instrumen untuk Mendorong Penghapusan Hukuman Mat

2. Penolakan Ekstradisi Atas Kejahatan yang Diancam Hukuman Mat

Untuk mengatasi perbedaan ancaman hukuman antara negara-peminta dan negara-diminta, negara-negara melakukan kompromi dalam perjanjian ekstradisi. Apabila menurut hukum negara-diminta, kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahan tidak diancam hukuman mati, tetapi menurut hukum negara-peminta kejahatan tersebut diancam dengan hukuman mati. Penyerahan tetap dapat dilakukan melalui prosedur ekstradisi, tetapi dengan persyaratan bahwa negara-peminta tidak boleh menjatuhkan hukuman mati atas diri si pelaku kejahatan tersebut.239

Dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi yang merumuskan pengaturan kompromi tersebut pun terdapat beberapa perbedaan. Perbedaan mana terletak pada bagian penekanannya. Ada penekanan yang terletak pada hak-hak negara- diminta untuk menolak permintaan penyerahan, ada yang menekankan pada kewajiban negara-peminta untuk tidak menjatuhkan hukuman mati dan ada yang berusaha untuk memelihara atau menekankan pada keseimbangan antara keduanya itu.240

Sejak abad ke-19, perjanjian-perjanjian ekstradisi mulai memuat klausula yang menyatakan bahwa negara anggota boleh menolak mengekstradisi terpidana kejahatan berat ke negara pemohon kecuali ada jaminan bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan. Pengaturan seperti ini dapat dilacak kembali pada tahun

239

I Wayan Parthiana, 1, op.cit, hal. 105.

240

1889 dalam South American Convention, dalam perjanjian ekstradisi tahun 1892 antara Inggris dan Portugis, dalam perjanjian ekstradisi tahun 1908 antara Amerika dan Portugis, dan dalam perjanjian tahun 1912 yang dipersiapkan oleh

International Commission of Jurists. Klausula-klausula ini telah menjadi kalimat baku dalam hukum internasional dan dimuat dalam berbagai model perjanjian ekstradisi yang digunakan beberapa organisasi internasional termasuk PBB.241

“If the offence for which extradition is requested carries the death penatty under the law of the Requesting State, unless that State gives such assurance as the Requested State considers sufficient that the death penalty will not be imposed or, if imposed, will not be carried out.”

Dalam Model Perjanjian Ekstradisi dari PBB 1990, Pasal 4 butir d (Optional Grounds for Refusal) yang merupakan salah satu alasan yang bersifat fakultatif untuk menolak mengekstradisikan orang yang diminta, menyatakan sebagai berikut:

242

Selama beberapa dekade, negara-negara Uni Eropa telah menolak untuk mengekstradisi tersangka pidana untuk diperiksa di peradilan Amerika Serikat –

(Jika kejahatan yang terhadapnya dimintakan ekstradisi memuat hukuman mati di bawah hukum Negara-Peminta, kecuali bila Negara tersebut memberikan jaminan yang menurut Negara-Diminta telah cukup bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan atau, jika dijatuhkan, tidak akan dilaksanakan).

241

William A. Schabas, 2, op. cit.

242

I Wayan Parthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional Modern, (Bandung: Yrama Widya, 2009), hal. 296.

bahkan tersangka yang diduga sebagai teroris - sebelum mendapatkan jaminan dari jaksa untuk meniadakan kemungkinan penjatuhan hukuman mati.243

Seperti dalam kasus Jens Soering, yang telah ditangkap di Inggris di bawah extradition warrant atas permintaan Amerika Serikat. Dalam putusan yang dikeluarkan pada tanggal 7 Juli 1989, European Court of Human Rights

menegaskan bahwa kondisi yang dihadapi berkaitan ke hukuman mati akan menimbulkan isu penghormatan larangan terhadap hukuman atau perlakuan yang tidak manusiawi dan kejam, dan memutuskan bahwa jika Inggris mengekstradisi Soering ke Virginia, akan melanggar European Convention on Human Rights.244 Yang menarik dalam kasus ini adalah bahwa Pengadilan tersebut cenderung untuk berlandaskan putusannya pada death row phenomenon dan bukan pada hukuman mati adalah karena hukuman mati tidak dilarang dalam konvensi tersebut, sementara death row phenomenon sebagai hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia dilarang keras.245

Contoh lain misalnya dalam kasus Lei Ch’an Wa, yang diancam ekstradisi dari Macao ke China atas kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati, yakni pengedaran narkotika. Wakil dari media China, yang secara tidak resmi mewakili kepentingan China di Macao, menyatakan bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan, dan menyatakan bahwa ini sesuai dengan hukum ekstradisi Portugis yang pada saat itu berlaku di Macao. Tetapi menurut konstitusi Portugis,

243

Michael J. Kelly, “Aut Dedere Aut Judicare and the Death Penalty Extradition Prohibition”, 10 Int’l Legal Theory 53, (2004).

244

William A. Schabas, 2, op. cit.

245

ekstradisi dilarang untuk kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati di negara- peminta. Dengan kata lain, ekstradisi tersebut dilarang oleh konstitusi, walaupun telah memperoleh jaminan dari wakil China.246

Pada bulan Juni tahun 1996, Mahkamah Konstitusi Italia mengambil tindakan hukum lebih jauh lagi untuk menolak ekstradisi atas capital crimes. Ia menolak untuk mengirim Pietro Venezia ke Amerika Serikat walaupun telah mendapat jaminan dari Jaksa Amerika bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan. Jaminan ini diberikan oleh pemerintah Amerika Serikat pada tanggal 12 Januari 1996 dalam bentuk verbal, tetapi ini tetap saja tidak cukup bagi Mahkamah Konstitusi Italia.247

The extradition of a fugitive indicted for a crime for which capital punishment is provided by the law of the requesting state would violate Articles 2 and 27 of the Italian Constitution, regardless of the sufficiency of the assurances provided by the requesting state that the death penalty would not be imposed or, if imposed, would not be executed.”

Menurut putusan Mahkamah, larangan hukuman mati mempunyai posisi penting yang khusus. Hak untuk hidup adalah hak asasi manusia pertama yang tidak dapat dilanggar. Mengenai ketidakcukupan dari jaminan pihak Amerika Serikat untuk tidak menjatuhkan hukuman mati pada Pietro, Mahkamah Konstitusi Italia menjelaskan bahwa:

248

“Ekstradisi seorang buronan yang dituduh atas suatu kejahatan yang mana hukuman mati diperbolehkan oleh hukum negara-peminta akan melanggar Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:

246

William A. Schabas, 2, op. cit.

247

Ibid.

248

Pasal 2 dan 27 dari Konstitusi Italia, di luar kecukupan jaminan yang diberikan oleh negara-peminta bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan atau, jika dijatuhkan, tidak akan dilaksanakan.”

Lebih lanjut, pengadilan menyatakan bahwa jaminan yang diberikan oleh Amerika Serikat bahwa hukuman mati tidak akan dijatuhkan merupakan suatu jaminan yang tidak memadai, berhubung jaminan yang dibuat oleh bagian eksekutif tidak dapat mengikat kekuasaan judikatif.249

Menurut hukum internasional tidak ada kewajiban untuk menyerahkan juga tidak ada kewajiban untuk tidak menyerahkan. Karena alasan inilah, ekstradisi disebut oleh para penulis sebagai “kewajiban yang tidak sempurna”. Dalam hal tidak adanya traktat atau statuta, maka pemberian ekstradisi bergantung hanya pada asas resiprositas atau kepantasan (courtesy).