DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Budiarto, M., Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Atas Hak-Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980.
Cassese, Antonio, International Law, 2nd ed., Oxford University Press Inc., United States, 2005.
de Rover, C., To Serve & To Protect – Acuan Universal Penegakan HAM, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000.
Gardiner, Richard K., International Law, Pearson Education Limited, England, 2003.
Green, N A Maryan, International Law, 3rd ed., Pitman Publishing, Great Britain, 1987.
Hood, Roger, The Death Penalty – A Worldwide Perspective, 3rd ed., Oxford University Press, United States, 2002.
Jessup, Phillip C., A Modern Law of Nations – An Introduction, The MacMillan Company, New York, 1956.
Kusumaatmadja, Mochtar & Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, P.T. Alumni, Bandung, 2003.
Lubis, Todung Mulya dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati – Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, Kompas, Jakarta, 2009.
Mauna, Boer, Hukum Internasional – Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, P.T. Alumni, Bandung, 2008.
Oppenheim, L., ‘International Law - A Treatise’, 8th ed., Longmans, Green and Co Ltd., United Kingdom, 1955.
Parthiana, I. Wayan, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Penerbit Alumni, Bandung, 1983.
Schabas, William A., The Abolition of Death Penalty in International Law, 3rd ed., Cambridge University Press, United Kingdom, 2002.
Shaw, Malcolm N., International Law, 5th ed., Cambridge University Press, United Kingdom, 2003.
Starke, J. G., Pengantar Hukum Internasional 1, Edisi Ke-10, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
Starke, J. G., Pengantar Hukum Internasional 2, Edisi Ke-10, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.
Soekanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
2. Jurnal
Dugard, John & Christine Van den Wyngaert, “Reconciling Extradition with Human Rights”, 92. A. J. I. L. 187, (1998).
Kelly, Michael J., “Aut Dedere Aut Judicare and the Death Penalty Extradition Prohibition”, 10 Int’l Legal Theory 53, (2004).
Michelle Mckee, “Tinkering with the Machinery of Death: Understanding Why the United State's Use of the Death Penalty Violates Customary International Law”, 6 Buff. Hum. Rts. L. Rev. 153, (2000).
Oberg, Marko Divac, “The Legal Effects of Resolutions of the UN Security Council and General Assembly in the Jurisprudence of the ICJ”, 16 Eur. J. Int’l L. 879, (2006).
Schabas, William A., “International Law and Abolition of the Death Penalty”, 55 Wash. & Lee L. Rev. 797, (1998).
3. Instrumen Hukum Internasional
African Charter on Human and Peoples’ Rights.
American Convention on Human Rights.
Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment.
European Convention on Human Rights.
International Covenant on Civil and Political Rights.
Protocol No. 6 to the 1950 Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms.
Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty.
Statute of the International Court of Justice.
Universal Declaration of Human Rights.
Vienna Convention on the Law of Treaties.
4. Resolusi PBB
Annex to Economic and Social Council Resolution 1984/50 of 25 May 1984, Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty, E.S.C. res. 1984/50, annex, 1984 U.N. ESCOR Supp. (No. 1) at 33, U.N. Doc. E/1984/84 (1984).
General Assembly Resolution 62/149 of 18 December 2007, Moratorium on the use of the death penalty, A/62/439/Add.2.
UN Commission on Human Rights, Human Rights Resolution 2005/59: The Question of the Death Penalty, 20 April 2005, E/CN.4/RES/2005/59, available
at:
pada tanggal 14 October 2010)
5. Putusan Nasional
Reference re Secession of Quebec, 2 S.C.R, 217, (1998).
6. Berita
UN News Centre, “General Assembly committee backs global moratorium against
2007,
(diakses pada tanggal 14 Oktober 2010).
7. Kamus
Gifis, Steven H., Law Dictionary, 5th ed., Barron’s Educational Series, Inc., New York, United States of America, 2003.
BAB III
PENERAPAN DAN PENGHAPUSAN HUKUMAN MATI DI DUNIA DALAM KAITAN DENGAN INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL
YANG MENGATURNYA
A. Penerapan dan Penghapusan Hukuman Mati di Dunia
Pada abad pertengahan, legitimasi hukuman mati didukung oleh banyak
pemikir besar pada zaman Ressainance dan Reformation. Grotius menyatakan
bahwa hukuman mati dapat dibenarkan dengan merujuk pada Alkitab dan adat
Kristen dan bahkan menggunakan persetujuan terhadap hukuman mati ini untuk
membenarkan legalitas perang. Thomas Hobbes dan John Locke juga mengakui
bahwa hukuman mati dapat dibenarkan.94
Jean-Jacques Rousseau memegang pandangan bahwa dalam suatu
masyarakat, seorang manusia memiliki hak untuk tidak dibunuh selama dia tidak
membunuh orang lain. Di lain sisi, penerangan juga terjadi dengan munculnya
kaum abolisionis parsial. Contohnya, Montesquieu, yang menghimbau adanya
pembatasan pada hukuman mati hanya terhadap pembunuhan, percobaan terhadap
pembunuhan, berbagai jenis pembantaian terhadap manusia dan beberapa
kejahatan terhadap harta benda, walaupun dia tidak mengikatkan diri pada paham
penghapusan penuh.95
Suara yang menghendaki hapusnya hukuman mati pada dasarnya baru
muncul sejak tahun 1764. Cesare Beccaria, seorang Kriminologis Italia, dalam
bukunya On Crimes and Punishment menulis uraian sebagai berikut:
94
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 4.
95
“Capital punishment, was both inhumane and ineffective: an unacceptable weapon for a modern enlightened state to employ, and less effective than the certainty of imprisonment. Furthermore, that capital punishment was counterproductive if the purpose of law was to impart a moral conception of the duties of citizens to each other. For, if the state were to resort to killing in order to enforce its will, it would legitimize the very behavior which the law sought to repress, namely the use of deadly force to settle disputes.” 96
Hasil karya dari Beccaria berhasil meyakinkan para negarawan seperti
Voltaire, Jefferson, Paine, Lafayette dan Robespierre bahwa hukuman mati tidak
berguna dan tidak berperikemanusiaan, dan bahkan berhasil menghapuskan
hukuman mati di Austria dan Toscany dalam waktu yang sangat singkat. Terjemahan dalam bahasa Indonesia:
“Hukuman mati, yang tidak berperikemanusiaan dan tidak efektif: merupakan suatu senjata yang tidak dapat diterima untuk digunakan oleh suatu negara modern yang telah tercerahkan, dan bahkan lebih tidak efektif daripada kepastian dalam hukuman penjara. Lebih lagi, hukuman mati mendatangkan efek sebaliknya apabila tujuan hukum adalah untuk mengutarakan suatu pemikiran moral tentang kewajiban sesama warga negara. Karena, jika suatu negara sampai menggunakan pembunuhan demi melaksanakan kehendaknya, ini akan mengesahkan suatu tingkah laku yang awalnya berusaha ditekan oleh hukum, yakni penggunaan kekerasan yang mematikan untuk menyelesaikan sengketa.)
97
Pada tahun 1846, negara bagian Amerika Serikat, Michigan, menjadi
yurisdiksi pertama di masa modern yang menghapus hukuman mati untuk
kejahatan pembunuhan, diikuti oleh Rhone Island dan Wisconsin. Pada awal Abad
ke-20, beberapa negara-negara Eropa telah menghapus hukuman mati di masa
damai seperti Portugis, Belanda, Norwegia dan lain-lain, begitu juga dengan
beberapa negara di Amerika Selatan setelah mencapai kemerdekaan, seperti
96
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal 11.
97
Brazil, Columbia, Ekuador, dan lain-lain.98
Tentu saja, gerakan ini tidak berjalan mulus. Hukuman mati kembali
diberlakukan di beberapa rezim otoriter di Eropa maupun Amerika Selatan. Di
Italia, misalnya, hukuman mati diberlakukan kembali oleh rezim Fasis Mussolini
pada tahun 1927, dan bahkan dikembangkan di Jerman oleh Nazi. Hancurnya
kedua rezim ini setelah Perang Dunia II diikuti langsung dengan gerakan baru
penghapusan hukuman mati.99
Tetapi perlu diakui, saat UDHR disahkan pada tahun 1948, mayoritas
negara anggota PBB masih memberlakukan hukuman mati dalam sistem hukum
nasionalnya. Demikian juga, pada saat itu hukuman mati juga masih dianggap
sebagai hukuman yang pantas bagi para penjahat perang dan dijatuhkan oleh
pengadilan pasca perang (postwar tribunals) di Nuremberg dan Tokyo.100
Dipandang dari segi penerapan langsung oleh negara, berbagai konstitusi
nasional pada abad-19 dan awal abad ke-20 juga mengakui hak untuk hidup
dengan diikuti dengan frase yang menyatakan bahwa pengecualian terhadap hak
untuk hidup berupa hukuman mati. Contohnya Konstitusi Sweden pada tahun
1809 menyatakan bahwa “the King… shall not deprive anyone or permit anyone
to be deprived of life without legal trial and sentence.” Yang artinya, Raja tidak
boleh merampas nyawa orang atau mengizinkan dirampasnya nyawa orang tanpa
98
Roger Hood, The Death Penalty – A Worldwide Perspective, 3rd ed., (United States: Oxford University Press, 2002), hal. 9-10.
99
Ibid, hal. 10
100
proses peradilan dan penjatuhan hukuman secara sah.101
Namun seiring dengan perkembangan zaman, hukuman mati tampak tidak
begitu meyakinkan lagi dengan semakin dikenalnya norma-norma Hak Asasi
Manusia (HAM) dalam hukum internasional. Dalam lingkungan pengadilan
internasional misalnya, Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal
Tribunals) generasi kedua dan pengadilan Ad Hoc untuk negara bekas Yugoslavia
dan Rwanda (ad hoc tribunals for the former Yugoslavia and Rwanda) menolak
untuk memberlakukan hukuman mati walaupun untuk kejahatan yang paling berat
sekalipun. Selain itu, traktat-traktat hak asasi manusia internasional juga telah
dilengkapi dengan protokol tambahan (additional protocols) yang melarang
hukuman mati.102
Perubahan pendirian dari Pengadilan Internasional berjalan seiringan
dengan perubahan sikap negara-negara di dunia. Pada akhir 1950an, kebanyakan
negara Eropa telah pada jalannya untuk melakukan penghapusan dalam hukum
nasionalnya sendiri. Penghapusan secara de facto menjadi hukum yang berlaku di
Eropa barat. Pada tahun 1980, the Council of Europe mulai menyusun suatu
protokol tambahan terhadap European Convention on Human Rights yang
menghapus hukuman mati pada masa damai. Protocol No. 6 ini mulai berlaku
sejak 1985 dan telah diratifikasi oleh hampir semua dari 43 negara anggota dari
Council of Europe. Council of Europe juga menuntut negara anggota baru untuk
meratifikasi Protokol tersebut, syarat yang diberlakukan ini telah menyebabkan
101
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 10.
102
pengapusan hukuman mati di seluruh Eropa timur.103
Pada tahun 1998, telah ada 51 negara yang terikat dengan norma baru
dalam hukum internasional ini dan menghapus hukuman mati, baik secara de
facto maupun de jure.104 Tentu saja, ada kalanya negara bergerak mundur, misalnya Papua Nugini yang menghapus hukuman mati pada tahun 1975
memberlakukannya kembali pada tahun 1991. Selain itu, Filipina yang telah
menghapus hukuman mati pada tahun 1987 memberlakukannya kembali pada
tahun 1993. Masa penghapusan hukuman mati di Gambia lebih pendek lagi, yaitu
hanya tiga tahun (1993-1995). Negara bagian Amerika Serikat, New York, juga
memberlakukan hukuman mati kembali pada tahun 1995 setelah menghapusnya
selama 30 tahun.105
Asia menunjukkan progres yang paling lambat dalam melakukan
penghapusan. Ini tidak berarti norma hukum internasional mengenai hukuman
mati tidak dapat menyentuh benua ini. Tidak hanya banyak negara Asia yang
merupakan anggota aktif dalam sistem hak asasi manusia, juga telah ada inisiatif
yang penting dari masyarakat internasional yang berupaya untuk membatasi dan
menghapus hukuman mati. Misalnya, Cina pada saat ini masih berusaha
membatasi hukuman mati berhubung negara ini sedang mempersiapkan diri untuk
meratifikasi ICCPR, selain itu, parlemen Eropa mengancam akan menarik status
pengamat dari Jepang di Council of Europe apabila Jepang tidak mengambil
103
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 14.
104
William A. Schabas, 2, op. cit.
105
langkah untuk memenuhi standar hukum internasional.106
Ada berbagai cara yang berbeda yang dapat ditempuh untuk menghapus
hukuman mati. Di beberapa negara, penghapusan hukuman mati bisa dilakukan
dengan pencantuman secara eksplisit dalam konstitusi nasional yang telah
berevolusi menyesuaikan diri dengan konvensi-konvensi internasional. Sementara
di negara-negara lain, penghapusan dilakukan melalui proses peradilan. Para
hakim mengambil landasan hukum dari Konstitusi yang walaupun tidak menyebut
tentang penghapusan hukuman mati, tetapi menjunjung tinggi hak untuk hidup
(right to life) dan melarang adanya hukuman atau perlakuan yang kejam, tidak
manusiawi, dan merendahkan martabat manusia (prohibition of cruel, inhuman,
and degrading treatment or punishment).107
Secara ringkas, jumlah negara yang mempertahankan atau menghapus
hukuman mati pada zaman sekarang dapat dilihat dari data yang dikumpul oleh
Amnesty International pada tahun 2006, yang terbagi dalam empat kategori:108 1. Sejumlah 88 (delapan puluh delapan) negara dan teritori telah
menghapus hukuman mati untuk semua jenis tindak pidana
(abolitionist for all crimes).
2. Sejumlah 11 (sebelas) negara telah menghapus hukuman mati untuk
tindak pidana biasa (abolitionist for ordinary crimes only).
Negara-negara tersebut masih memberlakukan hukuman mati hanya untuk
106
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 15.
107
William A. Schabas, 2, op. cit.
108
kejahatan-kejahatan luar biasa seperti kejahatan-kejahatan yang
dilakukan dalam keadaan luar biasa, misalnya dalam keadaan perang.
3. Sejumlah 30 (tiga puluh) negara telah menghapus hukuman mati
dalam praktiknya (tidak pernah lagi menjatuhkan putusan pidana mati)
walaupun belum secara resmi menghapus hukuman mati (abolitionist
in practice).
4. Sejumlah 68 (enam puluh delapan) negara masih mempertahankan
hukuman mati (retentionist).
Selain sikap daripada negara-negara, tren penghapusan hukuman mati juga
dijumpai pada tribunal-tribunal yang dibentuk oleh PBB untuk mengadili para
pelaku kejahatan luar biasa misalnya genosida atau kejahatan terhadap
kemanusiaan. Apabila dulunya hukuman mati merupakan hukuman yang
digunakan oleh pengadilan internasional untuk kejahatan paling berat dan kejam
menurut hukum internasional, sekarang tidak lagi demikian.109 Hal ini dapat dilihat pada ketentuan yang terdapat pada statute-statuta berikut ini:110
1. Pasal 77 Ayat (1) Statute of the International Criminal Court of 1998
membatasi bahwa hukuman maksimum adalah hukuman seumur
hidup.
2. Pasal 24 Ayat (1) Statute of the International Criminal Tribunal for
the former Yugoslavia of 1993 membatasi bahwa hukuman hanya
dalam bentuk hukuman penjara.
109
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 17.
110
3. Pasal 23 Ayat (1) Statute of the International Criminal Tribunal for
Rwanda of 1994 juga membatasi bahwa hukuman hanya dalam bentuk
hukuman penjara.
4. Pasal 19 Ayat (1) Statute of the Special Court for Sierra Leone of
2002 111
B. Instrumen Hukum Internasional yang Mengatur tentang Hukuman Mati
Instrumen hukum internasional yang mengatur tentang hukuman mati
bermuara dari UDHR, sebagai deklarasi universal, yang kemudian menjadi dasar
pembentukan dari suatu perjanjian multilateral (ICCPR) dan tiga konvensi
regional yang paling utama (European Convention on Human Rights, American
Convention on Human Rights, dan African Charter of Human and People’s
Rights) beserta konvensi-konvensi hak asasi manusia lainnya.
menyatakan bahwa Majelis Hakim harus menjatuhkan
hukuman berupa sejumlah tahun tertentu.
Isu hukuman mati selalu berasosiasi dengan dua norma hak asasi manusia
yang sangat mendasar: hak untuk hidup dan perlindungan terhadap hukuman atau
perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Kedua norma ini dapat dilacak kembali di hukum konstitusional Anglo-American.
Jaminan perlindungan terhadap “hukuman kejam dan tidak lazim (cruel and
unusual punishment)” ditetapkan dalam English Bill of Rights pada tahun 1689.
Sementara “hak untuk hidup” juga dipertahankan oleh kaum revolusionis
111
Amerika dalam kalimat “hak untuk hidup tidak dapat dirampas tanpa due process
of law112” serta mengambil sikap “tidak memberikan pengakuan eksplisit
terhadap legitimasi hukuman mati”.113
Hak untuk hidup (right to life) juga sering disebut sebagai “the supreme
right”, “one of the most important rights”, “the most fundamental of all rights”,
“the primodial right”, “the foundation and cornerstone of all the other rights”,
“the prerequisite of all other rights”, dan “a right which is basic to all human
rights”. Karena keabstrakannya dan kesulitan untuk mendefinisikan dengan kata
yang tepat, ahli hukum Prancis Frederic Sudre menggambarkan hak ini sebagai
hak yang “tidak pasti”, karena apabila dibandingkan dengan yang lain, ini adalah
hak yang isinya berevolusi secara terus menerus, berkembang bersamaan dengan
keragaman tingkah laku manusia seperti hukuman mati, senjata nuklir, aborsi dan
euthanasia.
1. Hak Untuk Hidup
114
Ada dua aliran pendapat dalam interpretasi “hak untuk hidup”. Aliran
yang sempit membatasi ruang lingkupnya dalam isu yang dipertimbangkan oleh
para perumus UDHR dan ICCPR, dan European Convention on Human Rights.
112
The right of due process adalah suatu prinsip dalam hukum pidana yang mempunyai arti bahwa setiap tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan “sesuai dengan hukum acara”. Hak due process dalam melaksanakan tindakan penegakan hukum, bersumber dari cita-cita “negara hukum” yang menjunjung tinggi “Supremasi hukum” (the law is supreme) yang menegaskan “kita diperintah oleh hukum dan bukan oleh orang” (Goverment of law and not of men).
113
William A. Schabas, 2, op. cit.
114
Pandangan yang sempit ini membatasi perlindungan yang ditawarkan hak ini
terhadap isu-isu seperti hukuman mati, aborsi, penghilangan manusia, eksekusi
non-judisial, dan bentuk lain perampasan nyawa yang dilakukan oleh negara baik
secara sengaja ataupun tidak. Di lain sisi, pandangan yang lebih luas mengenai
hak ini yang baru berkembang tidak lama ini berupaya untuk memperkenalkan
suatu isi dalam hal ekonomi dan sosial, yang sering disebut sebagai “hak untuk
menjalani hidup”. Menurut pendekatan ini, hak untuk hidup mencakup hak
terhadap makanan, perawatan medis, dan lingkungan yang sehat. Pandangan ini
juga digunakan oleh Human Rights Committee dalam menafsirkan Pasal 6 dari
ICCPR dan turut didukung oleh berbagai praktik negara.115
UDHR merupakan instrumen internasional yang sangat penting dan oleh
sebagian kalangan dikatakan sebagai cornerstone of comtemporary human rights.
UDHR telah menjadi sumber inspirasi tidak saja bagi badan-badan PBB, tetapi
juga bagi badan-badan lainnya, termasuk pengadilan, baik itu dalam level
nasional, regional, maupun internasional.
Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
116
Penyusun UDHR pada tahun 1948 merujuk pada konstitusi-konstitusi
domestik demi menyusun suatu dokumen yang akan menjadi “a common standard
of achievement for all peoples and all nations”.
117
115
Ibid, hal. 8-9.
116
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 46.
117
Pembukaan Universal Declaration of Human Rights.
dipengaruhi prinsip-prinsip English Bill of Rights, the American Declaration of
Independence, dan Bill of Rights dan French Declaration des droits de l’hommes
et du citoyen. Dan di seluruh instrumen-instrumen hukum ini, bagian yang paling
dijunjung tinggi adalah “hak untuk hidup (right to life)”.118 Rumusan hak untuk hidup kemudian dituangkan dalam Pasal 3 UDHR yang berbunyi, “everyone has
the right to life, liberty and security of person (Setiap orang mempunyai hak untuk
hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas keamanan diri sendiri).”119
Saat isi dari UDHR kemudian diadopsi oleh berbagai instrumen hukum
internasional baik bersifat universal maupun regional, hukuman mati secara
spesifik disebut sebagai suatu pengecualian terhadap hak untuk hidup.
120
“Nothing in this Declaration may be interpreted as implying for any State,
group or person any right to engage in any activity or to perform any act
aimed at the destruction of any of the rights and freedoms set forth
herein”.
Namun
pandangan ini tampaknya bertentangan dengan Pasal 30 dari UDHR, yang
berbunyi:
121
(Tidak sesuatu pun di dalam Deklarasi ini boleh ditafsirkan memberikan
sesuatu Negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam
kegiatan apa pun, atau melakukan perbuatan yang bertujuan merusak
118
William A. Schabas, 2, op. cit.
119
Pasal 3 Universal Declaration of Human Rights.
120
William A. Schabas, 2, op. cit.
121
hak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam
Deklarasi ini.)
Ini kemudian diperjelas oleh Rene Cassin dan Eleanor Rooselvelt, dua di
antara para perumus UDHR, dengan pendapat bahwa hak untuk hidup tidak
mengenal pengecualian, dan tujuan pasal hak untuk hidup itu adalah agar kelak
hukuman mati bisa dihapuskan.122
Berhubung penjelasan UDHR tidak pernah ada, pendapat para perumus
UDHR adalah sumber penjelasan yang tepat.123 Dasar pendapat Rene Cassin dan Eleanor Rooselvelt ini tidak dikarenakan hukum internasional pada masa itu telah
mengambil posisi kuat dalam mendukung penghapusan hukuman mati, tetapi
karena para perumus UDHR melihat adanya tren perlindungan hak asasi manusia
yang mulai muncul di masa itu dan menginginkan agar UDHR bisa tetap menjaga
relevansinya di puluhan tahun ke depan ataupun di abad-abad yang akan
datang.124
Rancangan awal UDHR, yang disusun oleh John P. Humphrey pada awal
tahun 1947, mengenal hak untuk hidup yang “dapat dikesampingkan hanya untuk
orang yang telah terbukti bersalah di bawah general law terhadap beberapa
kejahatan yang dapat dijatuhkan hukuman mati.” Tetapi Eleanor Roosevelt, yang
menjadi ketua komite penyusunan, menunjukkan bahwa telah ada
gerakan-gerakan penghapusan hukuman mati yang telah berlangsung di beberapa negara,
122
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal 13.
123
Ibid.
124
sehingga sebaiknya UDHR tidak melakukan pencantuman eksplisit mengenai
masalah ini. Pendapatnya disetujui oleh delegasi Soviet, Koretsky, yang
berargumen bahwa PBB tidak boleh menunjukkan sikap pengesahan terhadap
hukuman mati. Rene Cassin kemudian mengubah rancangan tersebut dan
menghapus bagian yang menyebut tentang hukuman mati.125
Risalah ini menunjukkan bahwa pada saat penyusunan UDHR, hukuman
mati telah dinilai tidak sesuai dengan gagasan perlindungan terhadap hak untuk
hidup, dan penghapusan hukuman mati, walaupun tidak disimpulkan pada saat itu,
secara implisit telah dijadikan sebagai common standard of achievement bagi
semua negara anggota PBB. Penafsiran demikian turut dilakukan oleh Majelis
Umum dan Dewan Ekonomi dan Sosial dalam resolusi-resolusi yang
dikeluarkannya.126
125
Ibid.
126
Ibid.
Menegaskan pendapat para perumus UDHR, makna yang terkandung
dalam Pasal 3 ini kemudian ditafsirkan “secara implisit” menghendaki
penghapusan hukuman mati. Hal ini dibuktikan dengan dikutipnya Pasal 3 UDHR
dalam konsideran di berbagai instrumen internasional yang bertujuan untuk
menghapus hukuman mati, seperti misalnya bagian konsideran Second Optional
Protocol to the ICCPR, yang disponsori oleh PBB:
Believing that abolition of the death penalty contributes to enhancement of human dignity and progressive development of human rights,
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
Meyakini bahwa penghapusan hukuman mati dapat memberikan sumbangsih bagi meningkatnya harkat dan martabat manusia serta bagi perkembangan progresif hak-hak asasi manusia,
Mengingat Pasal 3 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1948, dan Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang disahkan pada tanggal 16 Desember 1966, 127
Beberapa Resolusi penting dari Majelis Umum dan Dewan Ekonomi dan
Sosial yang mengatur tentang pembatasan dengan tujuan akhir melakukan
penghapusan hukuman mati, menyebutkan pasal 3 UDHR dalam pembukaannya
dan menyatakan bawa Pasal tersebut pada dasarnya mendukung penghapusan.
Dalam Laporan Sekretaris Jenderal PBB pada tahun 1973 tentang hukuman mati,
juga menyatakan bawa Pasal 3 dari UDHR secara tidak langsung mengadung arti
pembatasan dan penghapusan hukuman mati.128
International Covenant of Civil and Political Rights (ICCPR) diadopsi
pada tahun 1966 dan memakan waktu 10 tahun untuk bisa berlaku setelah 35
negara meratifikasinya. Ketentuan “hak untuk hidup” yang dimuat dalam Pasal 6
disusun dalam sesi pembahasan Third Committee dari Majelis Umum PBB pada
tahun 1957. Walaupun usianya hanya 7 tahun lebih muda daripada dibentuknya
bagian European Convention on Human Rights dengan topik pembahasan yang
International Covenant of Civil and Political Rights
127
Pembukaan Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty; Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 48.
128
sama, ICCPR telah menunjukkan suatu evolusi konsep yang sangat besar dan
pesat mengenai hukuman mati.129
Hak untuk hidup dan hukuman mati diatur dalam Pasal 6 ICCPR, yang
bunyinya sebagai berikut:130
1. Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.
2. In countries which have not abolished the death penalty, sentence of death may be imposed only for the most serious crimes in accordance with the law in force at the time of the commission of the crime and not contrary to the provisions of the present Covenant and to the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide. This penalty can only be carried out pursuant to a final judgment rendered by a competent court.
3. When deprivation of life constitutes the crime of genocide, it is understood that nothing in this article shall authorize any State Party to the present Covenant to derogate in any way from any obligation assumed under the provisions of the Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide.
4. Anyone sentenced to death shall have the right to seek pardon or commutation of the sentence. Amnesty, pardon or commutation of the sentence of death may be granted in all cases.
5. Sentence of death shall not be imposed for crimes committed by persons below eighteen years of age and shall not be carried out on pregnant women.
6. Nothing in this article shall be invoked to delay or to prevent the abolition of capital punishment by any State Party to the present Covenant.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: 131
1. Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
2. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, putusan hukuman mati hanya dapat dijatuhkan terhadap beberapa kejahatan yang paling serius sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat
129
William A. Schabas, 2, op. cit.
130
Pasal 6 International Covenant on Civil and Political Rights.
131
dilakukannya kejahatan tersebut, dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan dan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukum Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan atas dasar keputusan akhir yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang.
3. Apabila suatu perampasan kehidupan merupakan kejahatan Genosida, harus dipahami, bahwa tidak satu pun dalam Pasal ini yang memberikan kewenangan pada Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini, untuk mengurangi kewajiban apa pun yang telah dibebankan oleh ketentuan dalam Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman bagi Kejahatan Genosida.
4. Setiap orang yang telah dijatuhi hukuman mati berhak untuk memohon pengampunan atau penggantian hukuman. Amnesti, pengampunan atau penggantian hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus.
5. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilaksanakan terhadap perempuan yang tengah mengandung.
6. Tidak ada satu pun dalam Pasal ini yang boleh dipakai untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara yang menjadi Pihak dalam Kovenan ini.
Memang dalam ICCPR, hukuman mati dianggap sebagai pengecualian
dari hak untuk hidup, kata “penghapusan” (abolition) telah muncul dalam Ayat 2
dan Ayat 6, mengindikasikan bahwa Kovenan tersebut bermaksud untuk
menghapus hukuman mati, walaupun tidak memberikan suatu kewajiban yang
mendesak kepada para negara pihak.132 Oleh sebab itu, jika Pasal 6 ditinjau secara menyeluruh, maka tampak bahwa hak untuk hidup adalah semangat utama yang
harus dihormati sampai nanti ia betul-betul menjadi hak asasi yang absolut, yang
sifatnya non-derogable dalam keadaan apa pun.133
Kehendak ICCPR untuk menghapus hukuman mati tercermin pada
paragraf 6 General Comment No. 6: Article 6 (Right to Life) ICCPR yang
diterbitkan oleh Human Rights Committee yang merupakan suatu badan yang
132
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 47.
133
dibentuk berdasarkan Pasal 28 ICCPR. Berikut kutipan paragraf 6 tersebut:
“The article also refers generally to abolition in terms which strongly
suggest (para. 2(2) and (6)) that abolition is desirable. The committee
concludes that all measures of abolition should be considered as progress
in the enjoyment of the right to life…”
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia:
“Pasal ini juga secara umum ditujukan pada abolisi (penghapusan) dalam pengertian yang sangat jelas (Ayat 2(2) dan (6)) menghendaki terwujudnya penghapusan hukuman mati. Komite menyimpulkan bahwa semua upaya abolisi harus dianggap sebagai kemajuan dalam penghormatan terhadap hak untuk hidup…” 134
“Noting that article 6 of the International Covenant on Civil and Political
Rights refers to abolition of the death penalty in terms that strongly
suggest that abolition is desirable,”
Semangat ICCPR untuk menghapus hukuman mati juga tercermin dalam
konsiderans Second Optional Protocol to ICCPR, aiming at the abolition of the
death Penalty (Second Optional Protocol) pada tahun 1989 yang secara tegas
melarang hukuman mati:
135
Second Optional Protocol merupakan suatu instrumen internasional yang
(Memerhatikan bahwa pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik ditujukan pada penghapusan hukuman mati dalam
pengertian yang sangat jelas menghendaki terwujudnya penghapusan
hukuman mati).
134
Ibid, hal. 50.
135
disponsori oleh PBB yang bertujuan untuk menghapus hukuman mati dalam
keadaan apa pun, baik dalam masa damai maupun dalam masa perang.136
European Convention on Human Rights disahkan dua tahun setelah
pembentukan UDHR. Pengaturan terhadap hukuman mati terdapat dalam Pasal 2
Ayat (1) yang berbunyi, “everyone's right to life shall be protected by law. No one
shall be deprived of his life intentionally save in the execution of a sentence of a
court following his conviction of a crime for which this penalty is provided by
law”. (Hak untuk hidup dari setuap orang harus dilindungi hukum. Tidak ada
seorang pun yang dapat dirampas haknya secara sengaja kecuali dengan
dilaksanakannya suatu hukuman dari suatu pengadilan mengikuti tuntutan atas
suatu kejahatan yang mana hukuman tersebut diperbolehkan oleh hukum.)
European Convention on Human Rights
137
Pada awal tahun 1970an, the Council of Europe mulai mengerjakan
Protokol tambahan terhadap Konvensi tersebut (Protocol No. 6 to the 1950
European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms), yang kemudian diberlakukan pada tahun 1983. Pasal 1 dari Protokol
ini mengubah isi Pasal 2 European Convention on Human Rights dengan
menghapus pemberlakuan hukuman mati di masa damai, “the death penalty shall
be abolished. No-one shall be condemned to such penalty or executed”. (hukuman
136
William A. Schabas, 2, op. cit; Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 51.
137
mati harus dihapuskan. Tidak ada seorang pun yang dapat dijatuhi hukuman
tersebut ataupun dieksekusi)138
Hanya sedikit eksekusi yang dilakukan oleh negara anggota dari the
Council of Europe sejak tahun 1950. Pada tahun 1989, menurut pengamatan the
European Court of Human Rights, hukuman mati telah dihapus secara de facto
oleh negara-negara penanda tangan European Convention on Human Rights.139
Pengaturan terhadap hak untuk hidup terdapat dalam Pasal 4 American
Convention on Human Rights, yang bunyinya sebagai berikut:
American Convention on Human Rights
140
1. Every person has the right to have his life respected. This right shall be protected by law and, in general, from the moment of conception. No one shall be arbitrarily deprived of his life.
2. In countries that have not abolished the death penalty, it may be imposed only for the most serious crimes and pursuant to a final judgment rendered by a competent court and in accordance with a law establishing such punishment, enacted prior to the commission of the crime. The application of such punishment shall not be extended to crimes to which it does not presently apply.
3. The death penalty shall not be reestablished in states that have abolished it.
4. In no case shall capital punishment be inflicted for political offenses or related common crimes.
5. Capital punishment shall not be imposed upon persons who, at the time the crime was committed, were under 18 years of age or over 70 years of age; nor shall it be applied to pregnant women.
6. Every person condemned to death shall have the right to apply for amnesty, pardon, or commutation of sentence, which may be granted in all cases.
138
Pasal 1 Protocol No. 6 to the 1950 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms.
139
William A. Schabas, 2, op. cit.
140
Capital punishment shall not be imposed while such a petition is pending decision by the competent authority.
Terjemahan dalam Bahasa Indonesia :
1. Setiap orang berhak untuk memperoleh penghormatan atas hidupnya. Hak tersebut harus dilindungi hukum, dan secara umum, sejak awal. Tidak ada seorang pun yang dapat dirampas hidupnya secara sewenang-wenang. 2. Di negara-negara yang belum menghapus hukuman mati, hukuman mati
hanya dapat dijatuhkan pada kejahatan yang paling serius dan sesuai dengan putusan akhir yang diberikan oleh suatu pengadilan yang kompeten dan sesuai dengan hukum yang menetapkan hukuman tersebut, yang telah diundangkan sebelum perbuatan jahat tersebut. Implementasi hukuman ini tidak dapat diperluas hingga mencakup kejahatan yang pada saat ini tidak dihukum dengan hukuman mati.
3. Hukuman mati tidak dapat diberlakukan kembali di negara-negara yang telah menghapusnya.
4. Tidak diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman mati pada pelanggaran-pelanggaran politik atau kejahatan umum yang terkait.
5. Hukuman mati tidak dapat diberlakukan terhadap orang yang, pada saat melakukan kejahatan, berumur di bawah 18 tahun atau di atas 70 tahun; hukuman mati juga tidak dapat berlaku pada wanita hamil.
6. Setiap orang yang dijatuhi hukuman mati harus memiliki hak untuk mengajukan pengampunan, grasi, atau perubahan hukuman, yang berkemungkinan untuk dikabulkan dalam semua kasus. Hukuman mati tidak dapat diberlakukan saat permohonan tersebut belum diputuskan oleh kekuasaan yang berwenang.
Konvensi ini disahkan pada tahun 1969 tetapi baru mulai berlaku sejak
tahun 1978. Dengan menjadikan ICCPR sebagai contoh, American Convention on
Human Rights memperketat pembatasan penggunaan hukuman mati dan secara
eksplisit menyatakan bahwa negara-negara tidak boleh memberlakukan kembali
hukuman mati sekali mereka telah menghapusnya. Pengaturan ini jelas
menegaskan posisi konvensi tersebut sebagai instrumen abolisionis. 141
Pada tahun 1990, sebuah Protokol Abolisionis yang dirancang berdasarkan
contoh dari Second Optional Protocol dari ICCPR disahkan dalam sistem
141
Amerika. Pasal 1 dalam Protokol tersebut menuntut negara-negara untuk tidak
menggunakan hukuman mati, tetapi tidak mewajibkan mereka untuk
menghapusnya dalam sistem hukum masing-masing.142
African Charter on Human and Peoples’ Rights disahkan pada tahun 1981
dan mulai berlaku sejak tahun 1986. Konvensi ini juga menjunjung tinggi hak
untuk hidup, seperti yang tercantum dalam Pasal 4, yang berbunyi, “human beings
are inviolable. Every human being shall be entitled to respect for his life and the
integrity of his person. No one may be arbitrarily deprived of this right.”
(Manusia tidak dapat diganggu gugat. Setiap manusia berhak memperoleh
penghormatan atas hidupnya dan integritas dirinya. Tidak ada seorang pun yang
dapat dirampas hak ini secara sewenang-wenang).
African Charter on Human and Peoples’ Rights
143
Tetapi berbeda dengan konvensi lainnya baik yang universal maupun
yang regional seperti European dan American Convention on Human Rights,
Piagam ini tidak menyebutkan hukuman mati sebagai pembatasan ataupun
pengecualian hak untuk hidup, tidak ada pula bahan hukum lainnya yang
menerangkan pasal-pasal hak untuk hidup dalam African Charter on Human and
Peoples’ Rights ini, menyebabkan adanya kekosongan posisi Piagam yang
membingungkan interpretasi regulasi tersebut. 144
142
Roger Hood, op.cit, hal. 15.
143
Pasal 4 African Charter on Human and Peoples’ Rights.
144
Ada dua pendapat yang mengisi kekosongan tersebut. Sebagian ahli
merujuk pada praktik negara-negara Afrika yang mayoritasnya masih
memberlakukan hukuman mati, dan menyimpulkan bahwa African Charter on
Human and Peoples’ Rights tidak melarang huku man mati. Sementara itu,
pendapat lain menyatakan bahwa interpretasi terhadap Charter ini harus
dilakukan sesuai dengan instrumen hukum internasional lainnya, termasuk UDHR
dan intrumen-instrumen lainnya yang disahkan oleh PBB, dan setidak-tidaknya,
pembatasan-pembatasan dan larangan penggunaan hukuman mati yang terdapat
dalam ICCPR harus berlaku. Beberapa negara Afrika telah menghapus hukuman
mati, yang terbaru adalah Afrika Selatan. Perkembangan ini jelas akan
mempengaruhi interpretasi instrumen hukum ini ke depannya.145
Instrumen-instrumen hukum internasional yang melindungi hak untuk
hidup juga menjamin perlindungan dari penyiksaan (torture), hukuman ataupun
perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia (cruel,
inhuman and degrading treatment or punishment). Apabila diamati dari berbagai
bahan hukum, hukuman mati tidak lepas dari pertimbangan “kejam, tidak
manusiawi, dan merendahkan martabat manusia” yang dapat merupakan
pelanggaran terhadap norma-norma internasional.
2. Perlindungan dari Hukuman atau Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia
146
Awalnya, pertimbangan bahwa hukuman mati dapat juga terkait dengan
145
Ibid.
146
norma yang melarang perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan
merendahkan martabat manusia, tidak menjadi pembahasan dalam perancangan
instrumen-instrumen hukum internasional. Tetapi karena instrumen-instrumen
hukum internasional ini kelihatan seperti menyetujui hukuman mati, maka kaum
abolisionis memilih untuk menyerang hukuman mati secara tidak langsung
dengan menggunakan norma ini. Tantangan-tantangan seperti ini terutama
ditujukan terhadap isu “metode eksekusi”, “keterlambatan dalam memberitahukan
penangguhan hukuman mati, “death row phenomenon”, dan lain sebagainya.147 Hukuman yang “kejam” bukanlah suatu istilah yang bermakna statis,
karena ia mencerminkan “standar yang berubah” yang menandai perkembangan
masyarakat yang semakin dewasa.” Selain itu, banyak tribunal internasional yang
menyatakan bahwa norma-norma hak asasi manusia harus diinterpretasi dengan
sikap yang terus berkembang dan dinamis. Oleh sebab itu, sekalipun hukuman
mati tidak dianggap “kejam” pada tahun 1948, 1957, ataupun 1969, ia mungkin
bisa dianggap kejam pada masa sekarang ataupun tahun-tahun yang akan
mendatang.148
1. Pasal 5 UDHR yang berbunyi “no one shall be subjected to torture or to
cruel, inhuman or degrading treatment or punishment”. (Tidak ada
seorang pun yang boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara Pengaturan mengenai perlindungan ini disebutkan dalam berbagai
Konvensi Internasional:
147
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 19.
148
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia).149
2. Pasal 7 ICCPR yang berbunyi “no one shall be subjected to torture or to
cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no
one shall be subjected without his free consent to medical or scientific
experimentation.” (Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan
atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat. Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan
obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan
secara bebas).150
3. United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman,
and Degrading Treatment or Punishment, yang disahkan oleh Majelis
Umum pada tahun 1984.
151
4. Pasal 3 European Convention on Human Rights yang berbunyi “no one
shall be subjected to torture or to inhuman or degrading treatment or
punishment.” (Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau
perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat).152
5. Pasal 5 Ayat (2) American Convention on Human Rights yang berbunyi
“no one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman, or degrading
punishment or treatment. All persons deprived of their liberty shall be
149
Pasal 5 Universal Declaration of Human Rights.
150
Pasal 7 International Covenant on Civil and Political Rights
151
William A. Schabas, 1, loc cit.
152
treated with respect for the inherent dignity of the human person.” (Tidak
seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau
hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Semua orang yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan dengan
penghormatan terhadap martabat yang melekat pada dirinya sebagai
manusia). 153
Pengertian United Nations Convention Against Torture and Other Cruel,
Inhuman, and Degrading Treatment or Punishment secara harafiah akan
memberikan kesimpulan bahwa hukuman mati tidak masuk dalam ruang
lingkupnya, karena Pasal 1 yang mendefinisikan torture atau penyiksaan juga
mencantumkan pengecualian terhadap rasa sakit atau kesengsaraan yang berasal
dari hukuman yang sah, (“It does not include pain or suffering arising only from,
inherent in or incidental to lawful sanctions.”).154 Pada awal kerja Committee Against Torture juga menyebutkan bahwa hukuman mati secara teori tidak masuk
dalam mandat Committee tersebut. Sedangkan dalam laporan observasinya yang
lebih baru lagi, Committee mengekspresikan keprihatinannya terhadap
penggunaan hukuman mati yang masih berlanjut. Lebih lanjut dalam berbagai
kesimpulan dan rekomendasi dalam laporan periodiknya, Committee ini sering
mengekspresikan kepuasannya terhadap upaya-upaya yang dilakukan negara demi
mendorong penghapusan hukuman mati secara total.155
153
Pasal 5(2) American Convention on Human Rights
154
Pasal 1 Ayat (1) Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment.
155
Pada tahun 1989, mayoritas dari European Court of Human Rights
menolak untuk menyimpulkan bahwa hukuman mati sendiri merupakan hukuman
yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia yang dilarang
dalam Pasal 3 dari European Convention on Human Rights dalam kasus Soering
v. United Kingdom.156
Pada saat itu, Amnesty International, sebagai amicus curiae157 dalam kasus tersebut, berpendapat bahwa walaupun Pasal 2 Ayat (1) dari European
Convention on Human Rights memperbolehkan hukuman mati sebagai
pengecualian dari hak untuk hidup. Hukum tersebut menjadi tidak berlaku
dikarenakan isi Pasal 3 yang telah memiliki makna yang berkembang, yang
melarang hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.158 Pengadilan tersebut kemudian merujuk pada praktik-praktik negara demi
mencari elemen yang mendukung interpretasi tersebut. Sesuai pengamatan
pengadilan, pada tahun 1980an, negara-negara anggota dari Council of Europe
telah memilih untuk memasukkan isu penghapusan hukuman mati dalam bentuk
Optional Protocol atau Additional Protocol dan bukan Mandatory Protocol
ataupun Amending Protocol. Oleh sebab itu, European Court of Human Rights
menyimpulkan bahwa tidak tepat menyatakan bahwa European Convention on
156
William A. Schabas, 2, op. cit.
157
Amicus Curiae merupakan konsep hukum yang berasal dari tradisi hukum Romawi, yang kemudian berkembang dan dipraktikkan dalam tradisi common law, yang mengizinkan pengadilan untuk mengundang pihak ketiga untuk menyediakan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar. Amicus Curiae yang dalam bahasa Inggris disebut "friend of the court", diartikan: "someone who is not a party to the litigation, but who believes that the court's decision may affect its interest".
158
Human Rights pada saat itu bermaksud untuk melarang hukuman mati.159
Namun demikian, pengadilan tersebut tetap saja menemukan jalan lain
untuk menerapkan larangan atas hukuman yang tidak manusiawi dan
merendahkan martabat manusia terhadap hukuman mati. Kasus Soering
melibatkan ancaman ekstradisi dari Inggris ke Amerika, dimana individu tersebut
akan dieksekusi. Bukan hukuman matinya yang dipermasalahkan oleh European
Court of Human Rights sebagai pelanggaran atas European Convention on Human
Rights, tetapi “death row phenomenon” yang menjadi pelanggaran, dimana
terpidana harus menunggu datangnya kematiannya selama bertahun-tahun, dalam
kondisi yang tersiksa, baik secara fisik maupun psikologi.160
Death row phenomenon, telah menjadi salah satu dari isu yang
mengkhawatirkan bagi badan-badan adjudikatif hak asasi manusia international.
Dalam hal ini, European Court of Human Rights telah mengambil sikap yang
lekas untuk mengkritiknya. Tetapi di sisi lain, Human Rights Committee
mengambil sikap yang berbeda. Terhadap huku man mati sendiri, Committee
memegang pandangan yang sama dengan European Court bahwa hukuman mati
tidak dapat disebut “kejam” dan melanggar Pasal 7 dari ICCPR, tepatnya karena
itu diperbolehkan sebagai pengecualian terhadap hak untuk hidup dalam Pasal 6
ICCPR.161
Sedangkan mengenai death row phenomenon, menurut Human Rights
159
Ibid.
160
Ibid.
161
Committee, penundaan dalam pelaksanaan hukuman mati tidak dapat dianggap
sebagai hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat
manusia tepatnya karena Pasal 6 ICCPR menjadikan penghapusan total sebagai
tujuannya, sebab itu lebih baik bagi terpidana hukuman mati untuk sebisa
mungkin memperoleh lebih banyak waktu sebelum dieksekusi.162 Pendapat serupa juga dapat dilihat dari sikap Special Rapporteur yang selalu ragu untuk
menyatakan bahwa “death row phenomenon” bertentangan dengan norma
internasional, karena ini dapat mendorong pemerintah untuk melaksanakan
eksekusi lebih cepat.163
Namun demikian, metode eksekusi dengan sendirinya bisa dianggap
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Human Rights
Committee telah menyatakan bahwa penggunaan kamar gas di negara bagian
California melibatkan kesakitan yang berlebihan dan memakan waktu lama
sehingga melanggar Pasal 7 ICCPR. Tetapi pernyataan ini mendorong badan ini
ke posisi yang sulit untuk mendefinisikan cara apa yang lebih “manusiawi” untuk
membunuh seseorang. Committee ini kemudian menyatakan bahwa eksekusi
dengan cara suntik mati tidak melanggar hukum tersebut, walaupun beberapa riset
juga menunjukkan bahwa metode eksekusi yang modern ini juga dapat
mengakibatkan kesakitan yang luar biasa.164
Kejamnya hukuman mati lebih jelas dideskripsikan oleh Mahkamah
162
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 141.
163
Ibid, hal. 209.
164
Konstitusi Afrika Selatan ketika menghapus hukuman mati dari sistem hukum
nasionalnya dalam kasus S v Makwanyane (1995). Dalam kasus ini, Ketua
Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan, Hakim Chaskalson mendeskripsikan
hukuman mati sebagai berikut (terjemahan bahasa Indonesia):
Kematian adalah bentuk hukuman yang paling ekstrem yang dapat dijatuhkan terhadap seorang terpidana. Begitu dieksekusi, hukuman ini langsung bersifat final dan tidak dapat diubah lagi. Hukuman tersebut mengakhiri tidak hanya hak untuk hidup itu sendiri, tetapi juga semua hak pribadi lainnya yang telah melekat pada almarhum berdasarkan Bab Tiga Konstitusi. Hukuman mati itu tidak meninggalkan apa-apa kecuali ingatan pada orang-orang lain mengenai apa yang telah terjadi serta harta benda yang diwariskan kepada para ahli waris almarhum. Singkatnya, tidak diragukan lagi bahwa hukuman mati adalah bentuk hukuman yang kejam. Sekali dijatuhkan, si terpidana pun berada dalam baris penunggu kematian, dengan ditemani oleh terpidana-terpidana mati lainnya, menjalani proses banding hingga grasi. Selama periode ini, mereka, orang-orang yang berada dalam barisan penunggu kematian, digantung dalam ketidakpastian sang nasib, tanpa mengetahui akahkah hukuman mereka ditangguhkan ataukah mereka akhirnya benar-benar diseret ke tiang gantungan. Kematian adalah sebuah hukuman yang kejam, dan proses-proses hukum untuk menentukan dibatalkan atau dilaksanakannya hukuman, semakin menambah kekejaman tersebut. Hukuman mati juga berada di luar batas perikemanusiaan, karena “… dengan sendirinya merupakan pengingkaran terhadap kemanusiaan yang bersangkutan”. Hukuman mati juga merendahkan harkat yang bersangkutan karena hukuman mati menghapus segala harkat dan martabat apa pun yang dimiliki si terpidana. Ia diperlakukan sebagai obyek yang harus dieliminasi oleh negara.” 165
Keputusan-keputusan yudisial nasional dapat dipandang sebagai
preseden-preseden berbobot, atau pun menjadi sumber-sumber yang mengikat, sesuai
dengan pernyataan Marshall C.J. dari Mahkamah Agung Amerika Serikat,
“keputusan pengadilan setiap negara menunjukkan bagaimana hukum
internasional, dalam hal-hal tertentu, dimengerti di negara-negara tersebut”. Selain
itu, keputusan pengadilan nasional juga dapat menimbulkan perkembangan
165
kaidah-kaidah kebiasaan hukum internasional.166
Pada dasarnya, hukum internasional masih tetap diwarnai dengan
konsep-konsep seperti kedaulatan nasional dan kedaulatan teritorial, dan konsep-konsep
persamaan penuh serta kemerdekaan negara-negara.
C. Pengaruh Instrumen Hukum Internasional terhadap Hukum Nasional dalam Penerapan dan Penghapusan Hukuman Mati
167
Praktik hukum
internasional memberikan cukup banyak bahan atau contoh untuk menyimpulkan
bahwa pada masa dan tingkat perkembangan masyarakat internasional dewasa ini
hukum internasional cukup memiliki pengaruh terhadap hukum nasional untuk
mengatakan bahwa umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum nasional
itu pada hakikatnya tunduk pada hukum internasional.168 Hukum internasional terutama sebagai rangkaian prinsip-prinsip yang di dalamnya memuat hak-hak
tertentu, atau kewajiban-kewajiban tertentu yang dibebankan kepada
negara-negara.169
Dalam konstitusi masa kini (modern) ada kecenderungan mencantumkan
secara tegas bahwa hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional,
yang akan mengatasi atau mengalahkan hukum nasional dalam hal terjadi
pertentangan. Suatu contoh yang jelas menggambarkan keadaan seperti itu ialah
166
J. G. Starke, 1, op. cit, hal. 59.
167
Ibid, hal. 8.
168
Mochtar Kusumaatmaja & Etty R. Agoes, op. cit, hal. 64.
169
konstitusi Jerman yang dalam Pasal 25 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan
hukum internasional merupakan bagian dari hukum nasional Jerman. Ketentuan
demikian lebih tinggi kedudukannya dari undang-undang nasional dan langsung
menimbulkan hak dan kewajiban bagi penduduk wilayah Federasi Jerman.170
Selain itu, dalam praktik negara-negara tertentu juga secara tegas
memperlakukan hukum internasional sebagai kaidah yang memiliki kekuatan
yang sama seperti hukum biasa yang mengikat warga-warga negara mereka.
Menurut Konstitusi Amerika Serikat, misalnya, traktat-traktat adalah “hukum
negara tertinggi” (the supreme law of the land, dinyatakan dalam ketentuan Pasal
VI, ayat 2).171
Walaupun tidak langsung tercantum dalam undang-undang, pengaruh
hukum internasional tetap ada sebagai sumber hukum bagi para hakim dalam
pengadilan domestik. Betul bahwa kelemahan klasik dari hukum hak asasi
manusia internasional sebagai cabang hukum internasional adalah alat
implementasinya. Tetapi, dengan semakin meningkatnya pemberlakuan hukum
hak asasi manusia internasional oleh pengadilan-pengadilan dalam negeri, ini jelas
menambah keefektifannya. Di beberapa negara, hukum hak asasi manusia
internasional bahkan lebih diutamakan daripada hukum dalam negerinya yang
dianggap tidak cocok. Di negara lain, hukum hak asasi manusia internasional
digunakan pengadilan untuk membantu dalam menerjemahkan ruang lingkup
norma hukum kebiasaan yang pada umumnya terinspirasi oleh instrumen
170
Mochtar Kusumaatmaja & Etty R. Agoes, op. cit, hal. 87.
171
internasional.172
Salah satu contohnya seperti dalam Kasus Quebec, suatu propinsi yang
ingin memisahkan diri dari Kanada, Mahkamah Agung Kanada dalam putusannya
merujuk pada hukum internasional. Menurut Mahkamah Agung Kanada, dalam
berbagai kasus, Pengadilan domestik perlu merujuk pada hukum internasional
untuk menentukan hak dan kewajiban yang dimiliki para pelaku dalam sistem
hukum Kanada.
173
Khususnya dalam kaitan dengan isu hak asasi manusia dalam hukuman
mati, pengadilan dari berbagai negara, termasuk Afrika Selatan, Zimbabwe,
Kanada, Tanzania dan Inggris juga telah merasakan kemanfaatan dari hukum
internasional terutama dalam hal interpretasi bahan hukum mengenai hak untuk
hidup dan larangan terhadap hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan
merendahkan martabat manusia. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Afrika
Selatan yang menyatakan hukuman mati tidak sesuai dengan hak untuk hidup dan
perlindungan terhadap hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan
martabat manusia, tertulis di dalamnya, “The international and foreign authorities
are of value because they analyze arguments for and against the death sentence
and show how courts of other jurisdictions have dealt with this vexed issue. For
that reason alone they require our attention.” (Otoritas internasional dan luar
negeri sangat penting oleh karena mereka menganalisis argumen baik yang
mendukung maupun yang bertentangan dengan hukuman mati dan menunjukkan
172
William A. Schabas, 2, op. cit.
173
bagaimana pengadilan-pengadilan dari yurisdiksi lain menangani masalah yang
rumit ini. Dengan alasan tunggal ini mereka pantas mendapat perhatian dari
kita).174
Deklarasi PBB mengenai hak asasi manusia yang paling utama dan paling
tua, UDHR, selain menjadi inspirasi bagi diterbitkannya instrumen-instrumen
hukum hak asasi manusia yang diprakarsai oleh PBB seperti ICCPR maupun
Second Optional Protocol to the ICCPR,
175
juga menjadi kerangka normatif untuk
instrumen-instrumen hak asasi manusia regional lainnya seperti European
Convention on Human Rights, American Convention on Human Rights, dan
African Charter of Human and People’s Rights, dan lain-lain.176
UDHR yang ditetapkan oleh Majelis Umum pada tanggal 10 December
1948 disahkan dengan tidak ada satu pun suara penolakan.
177
Deklarasi ini sering
disebut sebagai suatu pernyataan atau kodifikasi dari hukum kebiasaan
internasional, atau sebagai suatu interpretasi otoritatif terhadap klausula hak asasi
manusia dalam Piagam PBB.178
Pada bulan Juni tahun 1993, the World Conference on Human Rights yang
diselenggarakan di Vienna menegaskan bahwa UDHR yang membentuk suatu
common standard of achievement untuk semua manusia dan semua negara, adalah
sumber inspirasi dan telah menjadi dasar bagi PBB dalam mendorong kemajuan
174
William A. Schabas, 2, op. cit.
175
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 46.
176
William A. Schabas, 2, op. cit.
177
William A. Schabas, 1, op. cit, hal. 39.
178
penetapan standar yang terkandung dalam instrumen hak asasi manusia
internasional yang ada pada saat ini.179
Di lain sisi, ICCPR merupakan suatu “binding treaty” (perjanjian yang
mengikat).180 Berdasarkan sifatnya yang universal, perjanjian ini bersama UDHR bisa dikategorikan sebagai “law-making treaties” (perjanjian yang membuat
hukum).181 Hanya saja bedanya, UDHR tidak bertujuan untuk menciptakan treaty obligations yang bersifat mengikat,182 sementara ICCPR dapat dikategorikan sebagai “Framework Convention” yang membebankan kewajiban-kewajiban pada
negara untuk menetapkan perundang-undangan, atau menetapkan pilihan-pilihan,
dalam kaitan mana negara-negara harus menetapkan prinsip-prinsip yang
ditetapkan di dalam Kovenan tersebut.183
Mengenai perjanjian regional lainnya seperti European Convention on
Human Rights dan American Convention on Human Rights, kaidah-kaidah
regional memang tidak perlu tunduk kepada kaidah hukum internasional umum,
tetapi bisa saja saling mengisi atau saling berkaitan.184 Misalnya Pasal 4 Ayat (3)
American Convention on Human Rights yang mengatur bahwa negara yang telah
menghapus hukuman mati tidak boleh memberlakukannya kembali,185
179
Ibid, hal. 24.
180
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal. 48.
181
J. G. Starke, 1, op. cit, hal. 52.
182
William A. Schabas, 2, op. cit.
183
J. G. Starke, 1, op. cit, hal. 53.
184
Ibid, hal. 7.
185
Pasal 4 Ayat (3) American Convention on Human Rights.
turut dicantumkan dalam Resolusi 62/149 yang ditetapkan Majelis Umum tentang
Moratorium on the use of the death penalty.186
Selain itu, perjanjian-perjanjian internasional yang menjujung tinggi hak
asasi manusia tersebut berlaku pada negara-negara penanda tangan berdasarkan
asas Pacta Sunt Servanda,
Ini menandakan adanya suatu
kaidah yang tengah berkembang secara konsisten dalam sumber hukum
internasional universal dan regional.
187
yang merupakan dalil absolut dari sistem hukum
internasional.188
Harus diakui bahwa upaya penghapusan hukuman mati masi harus
menempuh jalan yang panjang. Kewajiban menghapus hukuman mati tidak
disebutkan dalam batang tubuh berbagai perjanjian internasional yang utama,
sementara berbagai Protokol Abolisionis yang disahkan setelahnya masih bersifat
additional ataupun optional, sehingga hanya negara yang secara suka rela
menandatangai Protokol Abolisionis tersebut yang memiliki kewajiban
menghapus hukuman mati.
Sebab itu, perjanjian-perjanjian internasional tersebut sangat
mempengaruhi sikap negara dalam menghadapi isu penerapan hukuman mati.
189
Begitu juga, penghapusan hukuman mati belum bisa dikategorikan sebagai
186
General Assembly Resolution 62/149 of 18 December 2007, Moratorium on the use of the death penalty, A/62/439/Add.2.
187
Pasal 26 Vienna Convention on the Law of Treaties; Prinsip pacta sunt servanda ini sangat fundamental dalam hukum internasional dan menjadi norma imperatif dalam praktik perjanjian internasional. Dalam Pasal 26 Konvensi Wina dirumuskan pengertian pacta sunt servanda, bahwa setiap perjanjian mengikat terhadap pihak-pihak pada perjanjian itu harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
188
J. G. Starke, 1, op. cit, hal. 27.
189
hukum kebiasaan internasional oleh karena tidak memenuhi syarat menjadi
kebiasaan umum dan kebiasaan tersebut harus diterima sebagai hukum.190 Dengan jumlah 68 negara yang masih mempertahankan hukuman mati,191 sulit bagi hukum internasional untuk menerima penghapusan hukuman mati sebagai suatu
kebiasaan, walaupun penghapusan tersebut dikehendaki oleh hukum internasional.
Oleh sebab itu, saat ini masih prematur untuk menyatakan hukuman mati dilarang
oleh hukum kebiasaan internasional.192
Tetapi perlu diketahui, jumlah negara yang menghapus hukuman mati
terus meningkat dari tahun ke tahun. Data pada tahun 1981 menunjukkan baru ada
63 negara yang telah menghapus hukuman mati melalui sistem hukum maupun
praktik, angka tersebut meningkat hingga 129 negara dalam waktu 25 tahun, yaitu
pada tahun 2006.
193
Selain itu, bisa saja terjadi sebuah traktat yang pada mulanya dibentuk
hanya di antara sejumah peserta terbatas dimana kaidah yang dimuat dalam traktat
itu kemudian digeneralisasikan dengan adanya penerimaan atau dipakai secara
umum sebagai kaidah yang berdiri sendiri.
194
Seperti dalam Pasal 4 Ayat (3) dari
American Convention on Human Rights disebutkan bahwa suatu negara yang
telah menghapus hukuman mati tidak boleh memberlakukannya kembali,195
190
Mochtar Kusumaatmaja & Etty R. Agoes, op. cit, hal. 144.
191
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal 60.
192
William A. Schabas, 2, op. cit.
193
Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, op. cit, hal 61.
194
J. G. Starke, 1, op. cit, hal. 56.
195
kaidah ini kemudian turut ditegaskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB,
Moratorium on the use of death penalty.196
Mengingat jumlah negara abolisionis yang terus bertambah, juga semangat
hukum internasional yang mengarah ke penghapusan hukuman mati, seperti yang
tercermin dalam risalah penyusunan UDHR, 197
Isu hukuman mati dapat diparalelkan dengan penganiayaan dan
perbudakan. Perbudakan merupakan praktik umum dalam sejarah, dan
pelarangannya, bahkan di negara-negara beradab pun seperti Inggris dan Amerika
pun, baru dilakukan pada tahun 1800an. Penganiayaan pernah diterima secara
umum dan diakui dalam berbagai situasi, sampai pada selesainya Perang Dunia II.
Kedua bentuk kebiadaban ini sekarang dilarang keras dalam hukum hak asasi
manusia internasional, tidak hanya dalam bentuk norma konvensional tetapi juga
dalam norma kebiasaan. Kedua norma ini juga telah memperoleh status sebagai
preemptory norms, rules of jus cogens, yang diagungkan dalam kebiasaan maka dapat disimpulkan,
walaupun hukuman mati saat ini tidak dilarang secara keras dalam hukum
internasional, tetapi suatu corong penghapusan telah disediakan untuk
negara-negara yang berkomitmen untuk menghapus hukuman mati, yaitu Protokol
Abolisionis. Bagi negara-negara yang masih memberlakukan hukuman mati,
selain dibebani oleh berbagai kewajiban di bawah ICCPR maupun konvensi
regional lainnya, juga akan menghadapi tekanan yang semakin besar seiring
dengan berkembangnya pengakuan internasional terhadap hak asasi manusia.
196
General Assembly Resolution 62/149 of 18 December 2007, Moratorium on the use of the death penalty, A/62/439/Add.2.
197
internasional. Bukan tidak mungkin bagi penghapusan hukuman mati untuk
menjadi pengikut larangan perbudakan dan penganiayaan dalam waktu beberapa
dekade ke depan.198
198
BAB IV
UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA SECARA INTERNASIONAL DALAM PENERAPAN HUKUMAN MATI OLEH
SUATU NEGARA
A. Berbagai Perlindungan dalam Penerapan Hukuman Mati
Sejak tahun 1957, dengan memerhatikan bahwa penghapusan hukuman
mati tidak ada pada agenda internasional dalam waktu dekat, PBB memfokuskan
upayanya pada pembatasan ruang lingkup dengan, misalnya, mengurangi jumlah
kejahatan yang dapat diancam hukuman mati, dan menetapkan beberapa
kelompok manusia sebagai pengecualian dari ruang lingkupnya, dan menuntut
adanya procedural control (pengendalian prosedural) yang ketat saat hukuman
mati dipergunakan. Badan-badan yang terlibat dalam kerja ini termasuk the
Commission on Human Rights, Dewan Ekonomi dan Sosial, Majelis Umum, the
Committee on Crime Prevention and Control, serta the Congress on the
Prevention of Crime and the Treatment of Offenders.199
The Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of those Facing the
Death Penalty dirancang oleh Committee on Crime Prevention and Control dalam
sesi tahun 1984. Safeguards ini merupakan hasil penambahan dari pembatasan
penggunaan hukuman mati yang tercantum dalam Pasal 6 dari ICCPR,
1. The Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of those Facing the Death Penalty
200
199
Ibid, hal. 13.
200
William A. Schabas, 2, op. cit.
walaupun mengenal hukuman mati sebagai pengecualian dari hak untuk hidup,
tetapi juga mencantumkan pembatasan-pembatasan.201
Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the
Death Penalty ini kemudian dicantumkan dalam lampiran Resolusi Dewan
Ekonomi dan Sosial pada tahun 1984, yang isinya sebagai berikut:202
1. In countries which have not abolished the death penalty, capital punishment may be imposed only for the most serious crimes, it being understood that their scope should not go beyond intentional crimes with lethal or other extremely grave consequences.
2. Capital punishment may be imposed only for a crime for which the death penalty is prescribed by law at the time of its commission, it being understood that if, subsequent to the commission of the crime, provision is made by law for the imposition of a lighter pen