BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Virus Avian Influenza
2.2.6 Penularan
Virus AI berkembang biak pada jaringan tropisma seperti saluran pernapasan, pencernaan, pembuluh darah, limfosit, syaraf, ginjal dan atau sistem reproduksi. Virus dapat diisolasi dari feses dan dari saluran pernapasan dalam jumlah yang cukup besar dari burung-burung terkena infeksi. Dengan asumsi yang logis karena virus terdapat dalam sekresi, penyebaran penyakit dapat berlangsung melalui air minum yang tercemar. Burung-burung dapat terinfeksi melalui masuknya virus ke dalam kantung konjungtiva, hidung ,atau tenggorokan. Bukti laboratorium dan lapangan menunjukan bahwa virus dapat diambil dari permukaan dan dalam telur (Rahardjo, 2004).
Penularan virus AI dapat terjadi melalui kontak langsung antara unggas sakit dengan unggas yang peka. Unggas yang terinfeksi virus AI mengeluarkan virus dari saluran pernafasan, konjungtiva dan feses. Penularan dapat juga terjadi secara tidak langsung misalnya melalui udara yang tercemar material atau debu yang mengandung virus AI (aerosol), makanan atau minuman, alat atau perlengkapan peternakan, kandang, pakaian, kendaraan, peti telur, eggtray, burung, mamalia, dan insekta yang mengandung virus AI (Tabbu, 2000).
Virus AI dari burung migran yang menjadi reservoir akan disebarkan melalui feses yang jatuh dipeternakan unggas dan dapat menjangkiti peternakan- peternakan unggas lain melalui sumber air minum yang terkontaminasi. Burung migran juga dapat menyebarkan virus AI pada burung lain yang juga dikenal sebagi reservoir virus (Isa dkk., 2001).
Transmisi virus AI yang menyerang peternakan terjadi melalui mekanisme : a) Transmisi langsung dari sekresi (feses, sekresi saluran respirasi) dari burung yang terinfeksi. b) Telur yang terkontaminasi virus dalam inkubator dan pecah dapat menginfeksi anak ayam yang sehat (OIE, 2002). c) Peralatan kandang seperti tempat telur, truk pengangkut pakan, pakaian dan sepatu dari pekerja. d) Tempat air minum ternak yang terkontaminasi. e) Tempat sampah di peternakan yang telah terinfeksi virus AI (Rahardjo, 2004).
2.2.7 Patogenesis
Proses infeksi tahap pertama terjadi secara inhalasi (menghirup) atau ingesti (memakan) virus AI. Enzim tripsin dan protease lainnya dalam sel tropisma terutama pada epitel saluran pernapasan, paru-paru dan trakea tersedia untuk pembelahan protein hemaglutinin (Harder and Werner, 2006).
Tahap kedua, virion masuk ke dalam sel secara endositosis. Virus mengalami replikasi dalam sel endotel dan menyebar melalui sistem peredaran darah atau sistem limfatik untuk menginfeksi dan replikasi dalam bermacam- macam tipe sel organ visceral, otak dan kulit. Gejala klinis dan kematian disebabkan karena kegagalan multiplikasi organ .Kerusakan yang disebabkan oleh virus AI ini berasal dari satu dari tiga proses berikut: (1) proses perbanyakan virus secara langsung dalam sel, jaringan dan otak. (2) efek secara tidak langsung dari produksi mediator seluler seperti sitokin. (3) Iskemik yaitu suplai darah yang tidak mencukupi akibat adanya thrombus dalam jantung atau pembuluh darah (Harder and Werner, 2006).
Tahap ketiga dari pathogenesis penyakit AI yaitu replikasi virus yang biasanya terbatas pada saluran pernapasan atau pencernaan. Virus AI bisa juga menyebar secara sistemik, memperbanyak diri dan menimbulkan kerusakan pada ginjal dan sel-sel organ yang lain (Harder and Werner, 2006).
Gambaran dari tahap masuknya dan berkembangnnya AI ke dalam sel secara skematis : (1) Mula-mula virion menempel pada reseptor sel tropisma melalui protein Hemagluitinin. (2) Proses endositosis akan berlangsung beberapa waktu. Berdasarkan pengamatan laboratorium, diketahui selama 10 menit, proses endositosis dan pelepasan selubung telah mencapai lebih dari 50%, proses ini sampai semua segmen RNA ke luar ke dalam sitoplasma. (3) Segmen-segmen tersebut masuk ke dalam inti sel (nukleus) dan mengalami transkripsi, untuk merubah bentuk (-) RNA menjadi (+) RNA. (4) Sebagian segmen keluar kembali ke sitoplasma untuk mempersiapkan protein selubung untuk dipakai oleh virus baru yang akan dihasilkan. Protein yang dimaksud meliputi protein Hemaglutinin, Neuraminidase, Matriks dan Protein Nonstruktural. (5) Delapan segmen yang berada di inti sel ditambah dengan segmen RNA yang masih tersisa di sitoplasma melakukan replikasi, yaitu perbanyakan RNA. Berbeda dengan virus RNA lainnya, di mana replikasinya terjadi diluar inti sel. Dengan berlangsung di dalam inti sel, AI menggunakan bahan yang diperlukan dari dalam inti sel inang. Proses ini yang memudahkan terjadi proses Antigenic drift dan Antigenic shift. (6) Segmen RNA yang sudah mengalami replikasi, keluar ke sitoplasma untuk dibungkus dengan protein HA, NA dan M, serta NS, menjadi anak AI yang siap dilepas dari sel inang. Untuk bisa keluar dari sel inang, virus baru ini akan
menempel pada reseptor yang terdapat di dalam sel inang. Penempelan ini dilakukan oleh protein neuraminidase, bukan hemaglutinin seperti pada saat masuk ke sel. Proses ini bisa berlangsung selama dua jam sejak infeksi (Rahardjo, 2004).
2.2.8 Gejala Klinis
Gejala klinik hewan yang terserang virus AIdi lapangan bervariasi. Masa inkubasi virus AI bervariasi antara tiga sampai tujuh hari tergantung dari isolat virus, dosis virus, spesies, dan umur burung (Beard, 1998). Tingkat keganasan virus AI (HPAI dan LPAI) merupakan faktor utama yang mempengaruhi gambaran gejala klinis yang sangat bervariasi tergantung faktor spesies yang terserang, umur, jenis kelamin, kekebalan tubuh dan faktor lingkungan (Tabbu,2000).
Bentuk akut (HPAI) ditandai dengan adanya proses penyakit yang cepat disertai mortalitas tinggi, gangguan produksi telur (berhenti atau menurun secara drastis), gangguan pernapasan (batuk, bersin, ngorok), lakrimasi (leleran dari mata) berlebihan, sinusitis, edema di daerah kepala dan muka, pendarahan jaringan subkutan yang diikuti sianosis pada kulit (terutama di daerah kaki, kepala, dan pial), diare dan gangguan saraf. Pada kasus tertentu, penyakit ini dapat berlangsung sangat cepat, unggas dapat mati mendadak tanpa didahului gejala tertentu dan dapat mencapai 100% (Tabbu, 2000).
Bentuk ringan (LPAI) yaitu bentuk avirulen terjadi, tidak diikuti infeksi sekunder. Pada bentuk ini akan terlihat adanya penurunan atau produksi telur
rendah tetapi cenderung meningkat. Jika terdapat infeksi sekunder oleh bakteri atau unggas dalam keadaan stress akibat lingkungan maka gejala klinis yang timbul dapat menjadi parah. Infeksi dengan tingkat keganasan LPAI pada unggas liar tidak menimbulkan gejala klinis atau penyakit timbul bersifat ringan (Tabbu, 2000).
Tabel 2.1 Perbandingan Antara LPAI dan HPAI
LPAI HPAI
Subtipe H1-H15 H5-H7
Tempat Replikasi Saluran pernapasan dan
pencernaan Semua organ Asam amino pada
pembelahan H Arginin tunggal Banyak asam amino Mortalitas Rendah Tinggi (sampai 100%) HA dipecah oleh protease Tidak Dipecah oleh protease Gejala klinis Tidak jelas atau ringan:
pernapasan, depresi, diarrhea, produksi telur turun.
Sistemik dengan tanda: depersi, lesu, mata bengkak, produksi telur berhenti, respirasi
terganggu, banyak leleran hidung, sinusitis, edema kepala, muka, leher dan kaki, sianosis pada kulit, terutama jengger, pial dan terganggunya sistem syaraf.
2.2.9 Patologi Anatomi
Perubahan patologi anatomi yang ditemukan pada unggas sangat bervariasi tergantung lokasi lesi, derajat keparahan, tergantung spesies unggas, dan pathogenesis virus influenza (Tabbu, 2000). Perubahan patologi anatomi yang biasanya tampak dan bersifat spesifik pada penyakit flu burung atau AI adalah: warna biru pada kulit , edema pada wajah dan jengger, hemorrhagis pada trakhea, eksudat dan hemorrhagis pada paru-paru, hemorrhagis pada ginjal, ptechie pada daging dan kaki (Nidom, 2005; Soejoedono dan Handharyani, 2005).
Pada bentuk ringan terjadi radang nekrotik proventrikulus dekat perbatasan ventrikulus.Daerah pankreas sering berwarna merah tua dan kuning muda (Rahardjo, 2004). Pada sinus ditemukan adanya salah satu atau campuran eksudat kataralis, fibrinus, serofibrinus, mukopurulen atau kaseus. Trakea menunjukan adanya edema yang disertai oleh pembentukan eksudat yang bervariasi dari serus sampai kaseus. Kantung udara menebal dan maengandung eksudat fibrinus atau kaseus. Peritoneum ditemukan adanya peritonitis fibrinus dan egg peritonitis. Pada sekum atau usus ditemukan adanya enteritis kataralis sampai fibrinous (Tabbu, 2000).
2.2.10 Diagnosa
Sehubungan dengan adanya gejala klinik dan perubahan patologi yang bervariasi makan diagnosa definitif hanya didasarkan atas isolasi dan identifikasi virus. Diagnosis dapat didasarkan atas riwayat kasus, gejala klinik, perubahan patologi dan tidak adanya penyakit pernapasan lain.Isolasi virus dapat dilakukan
dengan pengambilan dari hewan hidup (feses, usapan kloaka dan hidung) atau hewan mati (trakea, paru-paru, limpa, ginjal dan usus) (Tabbu, 2000).
Pemeriksaan serologi dapat dilakukan untuk mengetahui adanya pembentukan antibodi terhadap virus AI yang dapat diamati pada hari ke tujuh sampai ke sepuluh pasca infeksi. Pemeriksaan serologi yang sering dipakai adalah uji hemaglutinasi inhibisi (HI) untuk mengetahui adanya antibodi terhadap hemaglutinin (H) (OIE,2012).
2.2.11 Diagnosa Banding
Penyakit yang mirip AI adalah New Castle Disease (ND), Pigeon Paramyxovirus, Infectious Bronchitis (IB), Swollen Head Syndrome (SHS), Avian Mycoplasmosis, Infectious Laryngotracheitis (ILT). Selain itu AI juga mirip penyakit bakterial akut misalnya kolera dan colibacillosis (Tabbu, 2000).