• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari penulis mengenai hal-hal yang telah dibahas oleh penulis dalam penelitian ini.

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Pengertian Aktivitas

Aktivitas menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah keaktifan, kegiatan, atau kesibukan atau bisa juga salah satu kegiatan kerja yang dilaksanakan dalam tiap bagian.8

Dalam kegiatan sehari-hari banyak sekali aktivitas, kegiatan, ataupun kesibukan yang dilakukan manusia, namun berarti atau tidaknya kegiatan tersebut bergantung pada individu tersebut. Karena aktivitas sebenarnya bukan sekedar kegiatan, tetapi aktivitas dipandang sebagai usaha mencapai atau memenuhi kebutuhan.

Salah satu kebutuhan manusia adalah menuntut ilmu untuk menjadi pintar dan pandai. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka manusia harus belajar dengan cara bersekolah, mengunjungi majelis-majelis ta’lim atau tempat-tempat ilmu atau bisa juga dengan cara membaca buku, berdiskusi, dan kegiatan lainnya.

B. Dakwah

Kata dakwah berasal dari bahasa arab yang mempunyai arti sebagai berikut:

8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), Cet. Ke-3. hal: 17.

1. Menurut Kamus Al-Munawwir, dakwah berasal dari kata fiil madhi yang mempunyai arti (menyeru, memanggil).9

2. Menurut Kamus Al-Munir diambil dari kata (memanggil ia, menyeru ia akan dia).10

Sedangkan, dakwah secara etimologi (bahasa, lughah) berasal dari kata Arab da’wah, merupakan bentuk mashdar dari kata kerja da’aa (madli), yad’u (mudlari’), berarti seruan, ajakan, atau panggilan. Seruan dan panggilan ini dapat dilakukan dengan suara, kata-kata, atau perbuatan.11 Dalam Al-Quran kata dakwah biasa berarti menyeru kepada kebaikan maupun keburukan:





















Artinya:

“Hai kaumku, Bagaimanakah kamu, aku menyeru kamu kepada keselamatan, tetapi kamu menyeru aku ke neraka?” (QS. Al-Mu’min:41)

Maka secara etimologis memiliki makna yang luas dan netral, karena itu bisa berarti menyeru atau mengajak orang menuju kebaikan juga kejahatan. Akan tetapi dakwah sebagai konsepsi Islam, sepenuhnya mengandung arti menyeru atau mengajak kepada kebaikan, sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai ajaran Islam. Jadi

9 KH. Ali Ma’sum dan KH. Zaenal Abidin Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Daarul Kutub, 1998) h. 406.

10 Ahmad Warsan Munawwar, Al-Munir; Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1993) h. 127.

11 A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah (Jakarta: Penamadani, 2006) Cet.1 h. 144.

seruan atau ajakan kepada kejahatan tidak termasuk dalam konsep dakwah Islam.12

Menurut Toto Tasmara, perkataan dakwah secara etimologis berasal dari bahasa arab yang berarti: seruan-ajakan-panggilan. Seruan atau ajakan tersebut dikenal dengan panggilan daí (orang yang menyeru). tetapi meningat bahwa proses memanggil atau menyeru tersebut juga merupakan suatu proses penyampaian (tabligh) atas pesan-pesan tertentu, maka dikenal pula istilah mubaligh yaitu orang yang berfungsi sebagai komunikator untuk menyampaikan pesan atau message kapada pihak komunikan. dengan demikian, secara etimologis

(lughah) pengertian dakwah dan tabligh itu merupakan proses penyampaian

tabligh atau pesan-pesan tertentu yang berupa ajakan-ajakan/ seruan dengan

tujuan agar orang lain memenuhi ajakan tersebut.13

Sedang menurut Drs. Abdullah Rosyad Shaleh, pengertian dakwah bila dilihat dari segi dakwah berarti: panggilan, seruan, atau ajakan. Bentuk perkataan tersebut dalam bahasa arab disebut masdar, sedang bentuk kata kerja atau fiílnya adalah daá, yadú artinya memanggil, menyeru, mengajak.

Muhammad Natsir, dalam tulisannya yang berjudul Fungsi Dakwah Islam; Dalam Rangka Perjuangan mendefinisikan: “Usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan dan seluruh umat konsepsi Islam tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini, yang meliputi amar ma’ruf

12 Irfan Helmy, Dakwah bil Hikmah. (Yogyakarta: Mitra Pustaka, Februari 2002) h. 9-10. 13 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah. (Jakarta: Gaya Media Pratama 1997) h.31.

nahi munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya dalam prikehidupan bernegara”.14

Dalam bukunya Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah, H. S.M. Nasaruddin Latif mendefinisikan dakwah sebagai setiap usaha atau aktivitas dengan lisan atau tulisan lainnya, yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan menta’ati Allah SWT, sesuai dengan garis-garis aqidah dan syari’at serta akhlak Islamiyah.15

C. Dakwah Bi Al-Qalam

Dari pengertian tentang definisi dakwah di atas dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah kegiatan baik secara lisan maupun tulisan, menyeru kepada kebaikan dan melarang kemunkaran sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits, agar manusia mendapatkan kebahagiaan baik di dunia dan akhirat.

Sedangkan pengertian Al-Qalam secara etimologis, berasal dari bahasa Arab berakar kata dengan huruf qaf, lam, dan mim yang berarti memperbaiki sesuatu sehingga menjadi nyata dan seimbang.16 Banyak pendapat para pakar tafsir mendefinisikan pengertian Al-Qalam, diantaranya:

14

Abdul Rasyad Saleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997) h. 7.

15 H.S.M. Nasaruddin Latif, Teori dan Praktek Dakwah Islamiyah, (Jakarta:Firmadara) h.11

16 Suf Kasman, Jurnalisme Universal; Menelusuri Prinsip-Prinsip Da’wah Bi Al-Qalam dalam Al-Quran, (Jakarta: Teraju 2004) h.117.

Pertama, Jalaluddin Abdurahman Assuyuthi mendefinisikan bahwa

Äl-Qalam adalah alat yang digunakan Allah SWT untuk menulis takdir yang baik

maupun yang buruk, yang bermanfaat atau yang berbahaya. Kedua, M. Quraish Shihab menyatakan bahwa Al-Qalam adalah segala macam alat untuk tulis menulis sampai kepada mesin tulis dan cetak yang canggih. Ketiga, Al-Qurtubi mengartikan bahwa Al-Qalam adalah suatu penjelasan sebagaimana lidah dan

qalam yang dipakai menulis (Allah) baik yang ada di langit maupun di bumi.17

Jika tadi dilihat dari definisi terpisah antara “dakwah” dan “al-qalam” maka sekarang akan dilihat definisi dakwah bi al-qalam dengan menggabungkan kedua kata tersebut.

Mengutip Fakhrurrazi, Hamka mengatakan bahwa para malaikat melahirkan sebuah dakwah bi al-qalam. Hal ini digambarkan dalam Al-Qur’an surat Al-Infithar mulai ayat 10, 11, dan 12. di ayat itu, disebutkan tentang malaikat-malaikat mulia yang ditugaskan Allah untuk menuliskan amalan manusia dan memeliharanya. Malaikat itu mengetahui apa yang dikerjakan oleh manusia di dunia ini. Di dalam surat Al-Jatsiyah ayat 29 Allah berfirman, ”Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan kepadamu dengan sebenarnya.

Sesungguhnya Kami menyuruh (kalian) apa-apa yang telah kalian kerjakan.”18

17 Suf Kasman, Jurnalisme Universal; Menelusuri Prinsip-Prinsip Da’wah Bi Al-Qalam dalam Al-Quran, (Jakarta: Teraju 2004) h.116.

18

Menurut Suf Kasman, ayat di ataslah yang kemudian membuat nabi Sulaiman mempelopori “dakwah bi al-qalam” sebagaimana ditulis al-Maraghi dalam tafsirnya bahwa surat Sulaiman merupakan surat bercorak dakah yang pertama kali dimulai dengan kalimat, “Bismillahirrahmanirrahim.”19

Sedangkan menurut Ali Yafie, dakwah bi al-qalam pada dasarnya adalah, Menyampaikan informasi tentang Allah, tentang alam, makhluk-makhluk dan tentang hari akhir/ nilai keabadian hidup. Dakwah model ini merupakan dakwah tertulis lewat media cetak.20

Senada dengan mantan ketua umum Majelis Ulama Indonesia itu, Jalaluddin Rakhmat, pakar komunikasi dari Universitas Padjadjaran dalam bukunya Islam Aktual mengatakan bahwa, Dakwah bi al-qalam adalah dakwah melalui media cetak, mengingat kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan seseorang berkomunikasi secara intens dan menyebabkan pesan dakwah bisa menyebar seluas-luasnya, maka dakwah lewat ulisan mutlak dimanfaatkan oleh kemajuan informasi.21

Dari beberapa definisi di atas, ada kesimpulan yang bisa kita petik yaitu,

dakwah bi al-qalam adalah ajakan kepada manusia lewat perantaran pena untuk

membawa manusia kepada jalan Allah.

19 Suf Kasman, Jurnalisme Universal; Menelusuri Prinsip-Prinsip Da’wah Bi Al-Qalam dalam Al-Quran, (Jakarta: Teraju 2004) h.121.

20 Ali Yafie, Dakwah Komunikatif; Membangun Kerangka Dasar Ilmu Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Al-Qalam, 2004) h.36.

Jadi, dakwah bi al-qalam bisa dilakukan oleh kita semua. Kita bisa berdakwah lewat menulis di media cetak, buku, majalah, koran, selebaran, pamflet bahkan sms yang isinya dakwah. Yang paling penting dalam dakwah lewat tulisan ini adalah materi (content) yang akan kita sampaikan sesuai dengan kaidah Islam, namun juga tetap mengandung unsur seni tulisan yang indah dibaca dan menarik.

D. Da’i dan Mad’u

1. Da’i

Da’i merupakan salah satu unsur penting dalam proses dakwah bi

al-qalam. Sebagai pelaku dan penggerak kegiatan dakwah, da’i menjadi salah satu

faktor penentu keberhasilan atau kegagalan dakwah. Da’i pada dasarnya adalah penyeru ke jalan Allah, pengibar panji-panji Islam, dan pejuang yang mengupayakan terwujudnya sistem Islam dalam realitas kehidupan umat manusia.22

Seorang da’i bi al-qalam wajib mengetahui bahwa dirinya adalah seorang da’i. Artinya, sebelum menjadi da’i dia perlu mengetahui apa tugas-tugas da’i, modal, syarat-syaratnya, bekalnya, senjatanya, serta bagaimana akhlak yang harus dimiliki oleh seorang da’i.

Dalam Al-Quran dan Sunnah, terdapat penjelasan tentang amar ma’ruf

nahi munkar dan perintah terhadap mereka yang layak untuk membawa bendera

22 A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah (Jakarta: Penamadani, 2006) Cet.1 h. 311.

dakwah Islam. Merekalah yang mampu mengajar agama, baik melalui tulisan, ceramah maupun pengajaran sehingga individu dan masyarakat dapat memahaminya. Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang menyatakan pengikut Nabi Muhammad SAW hendaknya menjadi seorang da’i, dijalankan sesuai hujjah yang nyata dan kokoh.23

Da’i bi al-qalam juga harus bisa memberikan solusi, terhadap problema yang dihadapi manusia. Juga metode-metode yang dihadirkannya untuk menjadikan agar pemikiran dan prilaku manusia tidak salah dan tidak melenceng. Berkaitan dengan hal-hal ilmu dan keterampilan khusus, memang kewajiban berdakwah terpikul dipundak orang-orang tertentu. Seperti dalam surat An-Nahl ayat 43:































Artinya:

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami

beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai

pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Menurut M. Masyhur Amin, da’i harus memiliki kredibilitas dalam berdakwah dan mempunyai ilmu pengetahuan yang mendalam, maka bagi seorang da’i harus memperhatikan syarat-syarat tertentu:

a. Syarat yang bersifat akidah. Mereka harus beriman terlebih dahulu dengan iman yang mantap sebelum mereka mengajak orang lain untuk ikut beriman. Dalam surat Al-Baqarah ayat 285:























































Artinya”

“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari

Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan Kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat kembali."(QS. Al-Baqarah: 285)

Ayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang pertama kali beriman, mempercayai wahyu ilahi yang turun kepadanya

sebelum mengajak orang lain beriman kepada wahyu dan agama yang dibawanya.

b. Syarat yang bersifat akhlakul karimah. Para da’i dituntut untuk membersihkan hatinya dari kotoran-kotoran yang bersifat amoral, seperti

hasud, takabbur, dan sebagainya. Serta harus mengisi hatinya dengan

sifat-sifat sabar, syukur, dan lain-lain.

c. Syarat yang bersifat ilmiah. Para da’i harus mempunyai kemampuan ilmiah yang luas lagi mendalam, terutama yang menyangkut materi dakwah yang hendak disampaikan kepada khalayak.

d. Syarat yang bersifat jasmani. Selayaknya para da’i itu mempunyai kondisi fisik yang baik dan sehat.

e. Syarat yang bersifat kelancaran berbicara. Sebagai da’i yang lebih layak mempergunakan bahasa kata-kata untuk menyampaikan pesannya tentang kebenaran Islam dan ajaran-ajarannya. Selayaknya apabila para da’i itu mempunyai kemampuan berbicara yang lancar lagi fasih seirama dengan aturan-aturan logika yang cepat diterima akal dan mampu menembus dan menyentuh perasaan para pendengarnya.

f. Syarat yang bersifat mujahadah. Artinya para da’i hendaknya mempunyai semangat berdedikasi kepada masyarakatnya di kalan Allah SWT dan semangat berjuang untuk menegakkan kebenaran, yaitu, kalimatullah hiyul ulya. Dalam hal ini para da’i diharapkan menjadi contoh sebagai seorang

mujahid yang baik, melalui perjuangan dan pengorbanannya sebagai bakti dan ujian atas kadar keimanannya.24

2. Mad’u

Mad’u adalah objek dakwah, yaitu manusia, mulai dari individu, keluarga, kelompok, golongan, kaum, massa. Setiap orang yang normal biasanya mempunyai cita-cita mencapai kebahagiaan hidup, dengan demikian pesan dakwah mesti mengarah kepada persoalan hidup manusia seluruhnya.25

Objek dakwah bi al-qalam pada intinya adalah manusia, baik individu maupun kelompok (masyarakat). Pemahaman mengenai masyarakat sangatlah beragam, sangat tergantung dari cara memandangnya, sebab dari sudut sosiologi masyarakat mempunyai struktur yang selalu mengalami perubahan sebagai akibat interaksi yang terjadi di dalamnya ataupun antar kelompok lainnya. Sebagai objek dakwah seharusnya da’i dapat memahami terlebih dahulu permasalahan yang ada di masyarakat.26

Dalam hal ini dapat dikemukakan tiga tingkatan manusia yang mesti disikapi guna kelancaran pencapaian dakwah bi al-qalam, antara lain:

a. Golongan Cendikiawan. Biasanya golongan ini mendapat julukan kaum terpelajar (intelektual) yang mempunyai data kritis yang tinggi dan

24 M. Masyhur Amin, Dakwah Islam dan Pesan Moral. (Yogyakarta: Al-Amin Press 1997) h.70-71.

25 Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah, (Surabaya: Offset Indah, 1993), h. 32. 26 Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. (Ciputat: Logos Wacana Ilmu 1997) h. 35.

memiliki ilmu pengetahuan untuk membantingkan dari pengalaman yang banyak ditempatnya terutama dari aspek penglihatannya yang peka.

b. Golongan Awam. Golongan ini biasanya berfikir lemah, jelas pemahaman yang diberikan golongan ini lebih dikhususkan pada pemahaman yang mudah, yakni dengan membawanya kepada rasa berfikir.

c. Golongan Menengah. Dalam menghadapi golongan ini jangan terlalu menonjolkan ilmu dan rasio, tetapi jangan pula seperti golongan awam, namun dititikberatkan kepada bertukat pikiran secara mudah, diskusi dalam meningkatkan pengertian dan keyakinan dalam lehidupan masyarakat.27

Memahami berbagai tingkatan manusia sebagai objek dakwah bi al-qalam, memberikan gambaran yang spesifik bagi setiap da’i untuk mengantisipasi pelaksanaan dakwahnya dan berusaha untuk menerapkan cara dan metode yang tepat, begitu pula dalam menghadapi kaum intelektual yang berfikir kritis dan praktis.

3. Tujuan Dakwah

Pada dasarnya dakwah dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan (sa’adah) bagi umat manusia baik dalam kehidupan mereka di dunia maupun di akhirat kelak.28 Sebab tanpa tujuan maka segala bentuk pengorbanan

27 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah. (Jakarta: Gaya Media Pratama 1997) h.102. 28 A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah (Jakarta: Penamadani, 2006) Cet.1 h. 140.

dalam rangka kegiatan dakwah bi al-qalam itu menjadi sia-sia belaka. Karena itu, tujuan dakwah bi al-qalam harus jelas dan konkrit, agar usaha dakwah itu dapat diukur berhasil atau gagal. Kalau ditilik dari segi objek dakwah, maka tujuan

dakwah bi al-qalam itu dapat dibagi menjadi empat macam:

a. Tujuan perorangan, yaitu terbentuknya pribadi muslim yang mempunyai iman yang kuat. Berprilaku sesuai dengan hukum-hukum yang disyariatkan Allah SWT dan berakhlak karimah. Diharapkan agar pribadi-pribadi umat manusia itu menjadi muslim secara tuntas.

b. Tujuan untuk keluarga, yatu terbentuknya keluarga bahagia penuh ketentraman dan cinta kasih antara anggota keluarga.

c. Tujuan untuk masyarakat, yaitu terbentuknya masyarakat sejahtera yang penuh dengan suasana keislaman. Suatu masyarakat di mana anggota-anggota mematuhi peraturan-peraturan yang disyariatkan oleh Allah SWT, baik yang berkaitan antara hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia sesama manusia, maupun manusia dengan alam sekitarnya, saling bantu-membantu, penuh rasa persaudaraan, persamaan, dan senasib sepenanggungan.

d. Tujuan untuk umat manusia seluruh manusia, yaitu terbentuknya masyarakat dunia yang penuh dengan kedamaian dan ketenangan dengan tegaknya keadilan, persamaan hak dan kewajiban, tidak adanya diskriminasi dan eksploitasi, saling tolong-menolong dan saling hormat

menghormati. Dengan demikian alam semesta ini seluruhnya dapat menikmati Islam sebagai rahmat bagi mereka.29

Tujuan ini, dengan demikian, tidak dapat dicapai tanpa memperkuat aqidah seseorang itu sendiri. Untuk itu, sasaran utama dakwah, menurut Sayyid Quthub, berpusat pada dua hal pokok. Pertama, memperkenalkan kepada manusia Tuhan mereka yang sebenar-benarnya yaitu Allah SWT dan membimbing mereka agar menyembah hanya kepada-Nya. Kedua, dakwah menghendaki agar manusia menjadi Islam, yaitu sikap berserah diri serta tunduk dan patuh kepada Allah SWT dengan melepaskan diri dari penuhanan terhadap sesama manusia dan hanya menuhankan Allah semata.30

4. Materi Dakwah

Dakwah yang berarti mengajak dan menyeru manusia agar mengamalkan ajaran Islam, tentu berisi pesan-pesan ajaran Islam yang harus disampaikannya. Materi dakwah bi al-qalam bersumber dari Al-Quran dan Al-Hadits, penjabarannya terbagi ke dalam tiga kelompok bahasan yaitu: aqidah, syariah, dan akhlaq. Semua unsur itulah yang menjadi materi pokok bahasan dakwah.31

29

Hasanuddin, Hukum Dakwah;Tinjauan Aspek Hukum Dalam Berdakwah di Indonesia, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), cet. Ke-1, h. 15.

30 A. Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Quthub; Rekonstruksi Pemikiran Dakwah Harakah (Jakarta: Penamadani, 2006) Cet.1 h. 141.

31 Ahmad Subandi, Ilmu Dakwah;Pengantar ke Arah Metodologi, (Bandung: Yayasan Syahida, 1994) h. 48.

Sebagai materi pokok Al-Quran dan Al-Hadits, hendaknya seorang da’i mampu menyampaikannya kepada orang lain sesuai dengan bahasa yang dipahaminya. Di dalamnya terkandung petunjuk, pedoman, hukum, sejarah, permasalahan, keyakinan, peribadatan, pergaulan, dan akhlak serta ilmu pengetahuan.

Secara umum pokok kandungan Al-Quran meliputi berbagai aspek yang menuntun manusia untuk dapat memahami, meyakini, dan sekaligus mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari, antara lain yaitu: aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlaq, sejarah, dasar-dasar ilmu pengetahuan dan teknologi serta uraian mengenai anjuran, janji, dan ancaman.

Secara garis besar, meteri dakwah adalah seluruh ajaran Islam secara

kaffah yang tidak dapat dipisahkan atau dipecah-pecah, sebagaimana yang

dijabarkan dalam Al-Quran dan Al-Hadits serta dikembangkan secara luas lagi sesuai kultur Islam yang murni serta bersumber dari keduanya. Sekalipun demikian, harus disadari bahwa dalam penyampaian materi dakwah juga memerlukan prioritas-prioritas lainnya, seperti situasi dan kondisi masyarakat.

5. Metode dan Media Dakwah

A. Metode Dakwah

Ushlub (metode) menurut tinjauan bahasa berarti jalan dan seni.

Sedangkan yang dimaksud dengan Ashalibud Da’wah (metode dakwah) adalah ilmu yang menghantarkan seseorang kepada pengetahuan tentang cara

penyampaian dakwah (ilmu tentang dakwah melalui tulisan), sekaligus menghilangkan rintangan-rintangan dari jalan dakwah tersebut.32

Berbicara mengenai pemahaman tentang metode dari sejumlah cara memberikan gambaran untuk mengambil metode secara tepat yang mengarah kepada sasaran dakwah itu sendiri.

Abdurrahman A-Roisi, mengemukakan beberapa metode yang bisa diterapkan dalam berdakwah, antara lain:

a. Dakwah bil Hikmah. Yang mana mempunyai pengertian perkataan yang

benar, lurus dan disertai dengan penggunaan dalil-dalil yang menyatakan akan kebenaran dan menghilangkan keraguan.

b. Dakwah bil Mau’idzatil Hasanah. Tutur kata yang baik penuh kelembutan yang dapat menyentuh hati, selaras dengan ajaran-ajaran Al-Quran dan tidak membebani manusia, kecuali dengan kemampuan sendiri.

c. Dakwah bil Mujadalah. Bertukat pikiran dengan cara yang terbaik dalam

upaya menguak tentang kebenaran yang dapat diambil nilai kebenarannya secara utuh, terutama hal ini yang berhubungan dengan nilai Islam, juga dapat diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.33

32 Said bin Ali Al-Qathtani, Dakwah Islam Dakwah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994) h. 101.

33 Abdurrahman Ar-Roisi, Laju Zaman Menentang Dakwah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), h.3.

Beberapa pemahaman mengenai ragam metode, ternyata semuanya merujuk kepada landasan pokok, yakni Al-Quran dan Al-Hadits sehingga apapun bentuk yang digunakan atau yang dipakai tidak satu pun yang keluar dari pokoknya yang utama tersebut, dipahami pula bahwasanya penerapan metode akan lebih mengena pada objek sasarannya.

B. Media Dakwah

Salah satu unsur dakwah yang dapat memberikan sumbangsihnya terhadap suksesnya dakwah adalah penggunaan media yang tepat. Mengenai pembahasan tentang media ini dapat di bagi ke dalam tiga fase atau golongan, yaitu:

a. Media Tradisional. Bahwa masing-masing dipahami tentang masyarakat tradisional yang pada kenyatannya selalu menggunakan media yang disesuaikan dengan kebudayaannya, sesuai dengan komunikasi yang terjadi di dalamnya.

b. Media Modern. Hal ini biasanya sejalan dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di mana kita ketahui masyarakat di zaman sekarang telah menemukan dan sekaligus memakai berbagai fasilitas guna dimanfaatkan untuk mencapai tujuannya, begitu juga halnya seperti Radio, Televisi, Telepon, Internet, Fax, serta lainnya bisa digunakan sebagai media dakwah sejalan dengan cara pemanfaatannya secara tepat.

c. Perpaduan antara media tradisional dengan media modern menghasilkan satu tujuan, agar bagaimana penyampaian dakwah tepat pada sasaran yang dikehendakinya.34

Melihat kenyataan yang berkembang di masa modern, tentu efektivitas media lebih diperlukan sesuai dengan dan tepat untuk dipakai, di mana kemajuan ilmu, teknologi yang dapat manusia pergunakan ternyata memberikan nilai tambah yang lebih berarti dan bermakna.

Adapun yang dimaksud dengan media dakwah ialah alat objektif yang menjadi saluran, yaitu menghubungkan ide dengan umat, satu elemen yang vital dan merupakan urat nadi di dalam totalitas dakwah.35

Baik media elektronik maupun media cetak keduanya mempunyai peran dalam upaya menyampaikan pesan dalam upaya menyampaikan pesan dakwah di tengah-tengah masyarakat. Pembagian media yang merupakan sarana di dalam penyampaian dakwah dapat dilihat sebagai berikut:

a. Media Auditif. Yaitu alat-alat yang di operasionalkan sebagai sarana

Dokumen terkait