• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan dan saran terhadap rancangan aplikasi yang dibuat. Kesimpulan dan saran-saran ini dibuat dari hasil pembahasan yang telah dilakukan bahwa aplikasi ini dapat digunakan secara maksimal dan efektif.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Sekilas Tentang Ilmu Waris

Kata warisan yang sudah populer didalam bahasa Indonesia asanya dari bahasa arab yaitu “waratsa” yang mengandung pengertian perpindahan berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup. (Drs. Muslich Maruzi : 1981).

Oleh karena ilmu ini lebih banyak membicarakan hak-hak ahli waris yang telah di tentukan kadarnya secara pasti maka di kalangan fuqoha (ahli fiqh) lebih populer dengan nama faraidh yaitu “ilmu fiqh yang berpautan dengan pembagian harta warisan. Pengetahuan tentang cara perhitungan, yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta warisan dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris”. Ini mengandung pengertian bahwa bagian masing-masing ahli waris telah di tetapkan secara pasti oleh nash Al-Qur‟an dan hadits.

Harta warisan atau maurutsun kadang-kadang di artikan sama dengan harta peninggalan atau tirkah. Namun oleh kalangan ulama tirkah mempunyai pengertian yang lebih luas yaitu segala apa yang di tinggalkan oleh simati, yang mencakup seluruh harta dari tanggungan yang berpautan dengan orang lain, termasuk yang digunakan untuk perawatan kematiannya, untuk pelunasan hutang-hutang dan pelaksanaan wasiatnya. Sedang maurust hanya sisa peninggalan setelah digunakan untuk membayar tanggungan-tanggungan tersebut. Sisa inilah yang kemudian dibagikan kepada ahli warisnya.

2.2 Dasar-dasar Pewarisan Islam

Didalam ajaran agama Islam masalah pewarisan telah ditetapkan diantaranya didalam kitab suci al-Qur‟an surat al-ahzab ayat 6 yang artinya: “...dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah sebagiannya adalah lebih berhak daripada sebagian yang lain didalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin muhajirin kecuali kalau kamu ingin berbuat baik kepada saudara-saudaramu...” (Q.S. Al-Ahzab :6)

Adapun dasar-dasar kewarisan menurut hukum islam atau yang disebut juga ashabul Mirats yaitu:

1. Qarabah

Pertalian hubungan darah adalah dasar pewarisan yang utama atau sanak kerabat. Pertalian lurus keatas disebut ushul, yaitu leluhur yang menyebabkan adanya simati, termasuk ibu, bapak, kakek, nenek dan seterusnya. Pertalian lurus kebawah disebut furu’, yaitu anak keturunan dari simati, termasuk anak-anak, cucu, cicit dan

seterusnya. Pertalian menyamping disebut hawasyi, yaitu saudara-saudari, paman, bibi, keponakan, sepupu dan seterusnya.

Ahli waris sebagai akibat hubungan kerabat, bila ditinjau dari segi bagian penerimaannya dapat digolongkan menjadi 4 (empat) macam yaitu :

a. Ashabul Furudhil Nasabiyyah

Yaitu golongan ahli waris yang mendapatkan bagian-bagian tertentu, misalnya 1/2, 1/3, dan seterusnya.

b. Ashabah Nasabiyyah

Yaitu golongan ahli waris yang tidak memperoleh bagian tertentu, tetapi mendapatkan sisa bagian ashabul furudh. Bila ashabul furudh tidak ada, ashobah mendapatkan seluruh harta warisan. Tetapi bila harta warisan habis dibagi oleh ashabul furudh, ashabah tidak mendapatkan apa-apa.

Ada golongan yang mendapatkan ashabul furudh dan ashabah bersama-sama. c. Dzawil Arham

Yaitu kerabat yang agak jauh hubungan nasabnya dengan simati. Golongan ini tidak termasuk golongan tersebut di atas.

1. Semenda (Mushoharoh)

Perkawinan yang syah menurut syariat, menyebabkan adanya saling mewarisi antara suami dan istri, apabila diantara keduanya ada yang meninggal pada waktu perkawinannya masih utuh atau dianggap utuh (talak raj’i yang dalam masih iddah). Suami dan istri mendapat furudhul maqoddaroh yang telah ditetapkan oleh syara’ yakni 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat), 1/8 (seperdelapan)

2. Wala’

Yang dimaksud dengan wala’ disini adalah kerabat menurut hukum yang timbul karena membebaskan buduk-budaknya, berarti ia telah merubah status hukum orang yang semula tidak baik bertindak menjadi bertindak baik, termasuk memiliki dan mengelola harta bendanya sendiri. Oleh karena kenyataannya tidak ada perbudakan lagi maka sudah barang tentu hak wala’ tersebut diatas tidak ada.

2.2.1 Rukun dan Syarat Kewarisan

Adapun rukun atau sesuatu yang harus ada dari kewarisan ada 3 (tiga) yaitu: 1. Al-Muwarits, yaitu orang yang meninggal dunia, baik haqiqi maupun mati hukini

yaitu suatu kematian yang dinyatakan oleh hakim karena adanya beberapa pertimbangan.

2. Al-warits, yaitu orang yang akan mewarisi harta warisan simati karena memilki dasar atau sebab kewarisan, seperti karena adanya hubungan nasab atau perkawinan atau hak perwalian dengan simati.

3. Mauruts, yaitu harta peninggalan simati yang sudah bersih setelah dikurangi untuk biaya wasiatnya yang tidak lebih dari 1/3 dari harta warisan.

Adapun syarat-syarat kewarisan yaitu agar ahli waris berhak menerima warisan ada 3 (tiga), yaitu:

1. Matinya Muwarrits (orang yang mewariskan)

Sebagai akibat kematian muwarrits ialah bahwa warisannya beralih dengan sendirinya kepada ahli warisnya degan persyaratan tertentu.

Ahli waris yang akan menerima harta warisan disyaratkan ia harus benar-benar hidup pada saat muwarritsnya meninggal dunia. Persyaratan ini penting artinya terutama pada ahli waris yang mafqud (hilang tidak diketahui beritanya) dan anak yang masih dalam kandungan ibunya, apakah ketika muwarritsnya meninggal dunia dia sudah hidup didalm kandungan muwarrits atau belum.

3. Tidak adanya penghalang-penghalang mewarisi

Ahli waris yang akan menerima warisan harus diteliti dahulu apakah dia ada yang menggugurkan haknya yang berupa salah satu dari “mawani’il irsyi” yakni perbudakan, pembunuhan, berbeda agama.

2.2.2 Hal-Hal Yang Menggugurkan Hak Mewarisi

Mawani’il irsyi atau penghalang hak mewarisi adalah hal-hal yang dapat menggugurkan hak ahli waris untuk mewarisi harta warisan pewarisnya, ada tiga macam, yaitu:

1. Pembunuhan

Para ulama sepakat pendapatnya bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya.

2. Berlainan agama

Dasar hukum berlainan agama sebagai mawani’il irsyi adalah hadits Rasul yang berbunyi “orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafirpun tidak dapat mewarisi harta orang muslim”. Yang dimaksud kafir adalah berlainan agama.

3. Perbudakan

Seorang budak statusnya tidak bisa menjadi ahli waris, karena dipandang tidak baik mengurusi harta dan telah putus hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak statusnya sebagai harta milik tuannya. Dan ia juga tidak dapat mewariskan harta peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya adalah milik tuannya.

2.2.3 Harta Peninggalan Sebelum Dibagi

Harta peninggalan seseorang yang mati sebelum di bagikan kepada ahli warisnya, terlebih dahulu harus dibersihkan dari keperluan tertentu yaitu:

1. Biaya perawatan jenazah (tahjiz)

Biaya-biaya yang diperlukan untuk perawatan jenazah mulai dari saat meninggalnya sampai penguburannya seperti biaya untuk memandikan, kafan, mengusung dan menguburkannya diambilkan dari harta peninggalan simati. 2. Hak-hak yang terkait dengan harta waris

Termasuk dalam hak-hak ini adalah hutang yang digadaikan, diyah jinayah (denda tindakan kriminal) seorang budak, dan zakat yang diwajibkan pada harta benda sebelum menjadi tirkah

3. Pelunasan hutang-hutang simati

Pelunasan hutang-hutang simati yang belum sempat dibayar sampai saat meninggalnya, maka harta peninggalannya harus digunakan untuk melunasi hutang-hutangnya. Hutang harus segera dibayar setelah selesai biaya tahjiz

4. Pelaksanaan wasiatnya

Yang dimaksud wasiat disini adalah pemberian sesuatu secara kebaikan yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah sipemberi meninggal dunia. Sesuatu itu berupa harta atau manfaat yang diambilkan dari harta peninggalannya setelah tahjiz selesai dan hutang-hutangnya dilunasi. Pelaksanaan wasiat tersebut jumlahnya tidak boleh lebih dari 1/3 hartanya, meskipun barangkali simati menghendaki lebih dari itu.

2.3 Para ahli waris dan bagian-bagiannya 2.3.1 Para ahli waris

Para ahli waris adalah orang-orang yang berhak atas warisan orang yang meninggal dunia. Tetapi tidak seluruh ahli waris yang ada menerima harta warisan sebab para ahli waris yang lebih dekat kepada simati, dan ada yang lebih jauh.

Para ahli waris jumlahnya ada 25 orang. Lima belas laki-laki dan sepuluh orang perempuan

Lima belas orang ahli waris laki-laki urutannya adalah sebagai berikut: 1. Anak laki-laki

2. Bapak 3. Suami

4. Cucu laki-laki 5. Kakek

6. Saudara laki-laki sekandung 7. Saudara laki-laki sebapak 8. Saudara laki-laki seibu

9. Anak laki-laki dari saudara (keponakan) sekandung 10. Anak laki-laki dari saudara (keponakan) seayah 11. Saudara laki-laki bapak (paman) yang sekandung 12. Saudara laki-laki bapak (paman) sebapak

13. Sepupu (misan) laki-laki sekandung, yaitu anak laki-laki paman yang sekandung 14. Sepupu (misan) laiki-laki sekandung yaitu anak laki-laki paman yang sebapak 15. Orang laki-laki yang memerdekakan budak

Jika ahli waris yang tersebut diatas semuanya ada, yang mendapat warisan dari mereka hanya tiga saja, yaitu:

1. Anak laki-laki 2. Bapak

3. Suami

Ahli waris perempuan jumlahnya ada sepuluh orang, dengan urutan sebagai berikut:

1. Anak perempuan

2. Cucu perempuan dari garis anak laki-laki 3. Ibu

4. Istri

5. Saudara perempuan sekandung 6. Nenek dari garis ibu

7. Nenek dari garis bapak 8. Saudara perempuan sebapak 9. Saudara perempuan seibu

Jika ahli waris perempuan yang tersebut diatas semuanyaada, maka yang mendapatkan warisan dari mereka hanya lima orang, yaitu:

1. Anak perempuan 2. Cucu perempuan 3. Istri

4. Ibu

5. Saudara perempuan sekandung

Dan jika seluruh ahli waris yang jumlahnya 25 orang semuanya ada, maka hanya lima orang saja yang mendapat bagian sebagai ahli waris utama, yaitu:

1. Suami/Istri 2. Anak lelaki 3. Anak perempuan 4. Bapak

5. Ibu

2.3.2 Hijab dan Mahjub

Hijab artinya dinding atau penutup atau penghalang bagi ahli waris yang semestinya mendapat bagian warisan menjadi tidak mendapat atau berkurang dari bagian warisan menjadi tidak mendapat atau berkurang dari bagian yang semestinya, karena masih ada ahli waris yang lebih dekat pertaliannya dengan orang yang meninggal itu.

Orang yang menjadi penghalang disebut hajib, yaitu ahli waris yang lebih dekat dengan simati daripada yang terhalang. Orang yang menjadi terhalang di sebut nahjab.

Hijab ada 2 (dua) macam, yaitu: 1. Hijab Nuqson

Yaitu dinding yang mengurangi bagian ahli waris tertentu, karena ada ahli waris yang lain. Misalnya: bagian suami menjadi berkurang karena ada anak. Suami berhak mendapat bagian 1/2 harta almarhum istrinya, tetapi karena ada anak yang ditinggalkan bagian suami hanya 1/4 saja.

2. Hijab Hirman

Yaitu dinding yang menyebabkan seseorang ahli waris tidak mendapat bagian sama sekali karena ada ahli waris yang lebih dekat. Misalnya: cucu laki-laki tidak mendapat bagian sama sekali selama masih ada anak laki-laki.

Ahli waris yang menjadi mahjub karena adanya hijab hirman adalah: 1. Kakek mahjub oleh bapak

2. Nenek garis ibu, mahjub oleh ibu

Nenek garis bapak, mahjub oleh ibu dan juga bapak 3. Cucu laki-laki mahjub oleh anak laki-laki

Cucu perempuan mahjub oleh anak laki-laki dan oleh anak perempuan lebih dari seorang (jika tidak bersama cucu laki-laki)

4. Saudara kandung (laki-laki atau perempuan) mahjub oleh: a. Anak laki-laki

b. Cucu laki-laki c. Bapak

5. Saudara sebapak (laki-laki atau perempuan) mahjub oleh: a. Anak laki-laki

c. Bapak

d. Saudara kandung laki-laki

e. Saudara sekandung perempuan beserta anak atau cucu perempuan 6. Saudara seibu (lak-laki atau perempuan) mahjub oleh:

a. Anak (laki-laki atau perempuan) b. Cucu (laki-laki atau perempuan) c. Bapak

d. Kakek

7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung mahjub oleh: a. Anak laki-laki

b. Cucu laki-laki c. Bapak

d. Paman

e. Saudara laki-laki sekandung f. Saudara laki-laki sebapak

g. Saudara perempuan sekandung atau sebapak yang menjadi ashobah ma’al ghoir

8. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak mahjub oleh: a. Anak laki-laki

b. Cucu laki-laki c. Bapak

d. Paman

e. Saudara laki-laki sekandung f. Saudara laki-laki sebapak

g. Saudara perempuan sekandung atau sebapak yang menjadi ashobah ma’al ghoir

9. Paman sekandung mahjub oleh: a. Anak laki-laki

b. Cucu laki-laki c. Bapak

d. Kakek

e. Saudara laki-laki sekandung f. Saudara laki-laki sebapak

g. Saudara perempuan sekandung atau sebapak yang menjadi ashobah ma’al ghoir

10. Paman sebapak mahjub oleh: a. Anak laki-laki

b. Cucu laki-laki c. Bapak

d. Kakek

e. Saudara laki-laki sekandung f. Saudara laki-laki sebapak

g. Anak laki-laki saudara sekandung h. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak i. Paman sekandung (dengan bapak)

j. Saudara perempuan sekandung atau sebapak yang menjadi ashobah ma’al ghoir

a. Anak laki-laki b. Cucu laki-laki c. Bapak

d. Kakek

e. Saudara laki-laki sekandung f. Saudara laki-laki sebapak

g. Anak laki-laki saudara sekandung h. Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak i. Paman sekandung

j. Paman sebapak

k. Saudara perempuan sekandung atau sebapak yang menjadi ashobah ma’al ghoir

12. Anak laki-laki dari paman sebapak mahjub oleh:

Sebelas orang tersebut diatas ditambah dengan anak laki-laki dari paman sekandung

2.3.3 Ahli Waris Yang Menjadi Ashobah

Ashobah menurut pengertian adalah ahli waris yang berhak menerima harta warisan sisa dengan tidak ditentukan bagiannya. Dengan demikian ia mungkin dapat menerima seluruh harta warisan bila tidak ada ahli waris lainnya atau mungkin hanya sisanya atau tidak mendapat sama sekali karena harta benda telah habis dibagikan oleh ashabul furudh.

Ashobah ada 3 (tiga) macam, yaitu: 1. Ashobah binafsihi

Yaitu orang yang karena dirinya sendiri berhak menerima warisan selaku ashobah, terdiri dari 14 (empat belas) orang, yaitu:

a. Anak laki-laki b. Cucu laki-laki c. Bapak

d. Kakek (dari pihak bapak) e. Saudara laki-laki sekandund f. Saudara laki-laki sebapak

g. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung h. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak i. Paman yang sekandung dengan bapak j. Anak laki-laki dari paman yang sekandung k. Anak laki-laki dari paman sekandung l. Anak laki-laki dari paman sebapak

m. Mu’tiq atau mu’tiqoh (orang yang memerdekakan hamba) n. Ashobah dari mu’tiq atau mu’tiqoh

2. Ashobah bilghoiri

Yaitu orang yang menjadi ashobah beserta orang lain yang telah menjdi ashobah. Kalau orang lain tidak ada maka ia tidak menjadi ashobah. Kalau orang lain tidak ada maka ia tidak menjadi ashobah, melainkan menjadi ashabul furudh biasa, diantaranya:

b. Cucu perempuan beserta cucu laki-laki

c. Saudara perempuan sekandung beserta saudara laki-laki sekandung 3. Ashobah ma’al ghoiri

Yaitu orang yang menjadi ashobah disebabkan ada orang lain yang bukan ashobah. Orang lain tersebut tidak ikut menjadi ashobah. Tetapi kalau orang lain tadi tidak ada, maka ia menjadi ashabul furudh biasa, yaitu:

a. Saudara perempuan sekandung

Apabila ada ahli waris perempuan sekandung bersamaan dengan anak perempuan atau cucu perempuan, maka saudara perempuan sekandung tadi menjadi ashobah ma’al ghoir. Sesudah ahli warislain mengambil bagian masing-masing, sisanya menjadi bagian saudara perempuan tersebut.

b. Saudara perempuan sebapak

Apabila ada ahli waris saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersamaan dengan anak perempuan atau bersamaan dengan cucu perempuan maka saudara perempuan sebapak menjadi ashobah ma’al ghoir.

2.3.4 Bagian Masing-Masing Ahli Waris

1. Anak kandung bagiannya adalah:

a. 1/2, jika anak perempuan sendirian tanpa laki-laki

b. 2/3, jika anak perempuan 2 atau lebih dan tidak ada anak laki-laki c. Ashobah, jika ada anak laki-laki

 Jika anak laki-laki lebih dari seorang maka seluruh ashobah dibagi rata diantara mereka.

 Jika anak laki-laki lebih dari seorang dan anak perempuan maka bagian seluruh ashobah dibagi diantara mereka dengan ketentuan bagian untuk seorang laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan

2. Cucu bagiannya sebagai berikut:

a. 1/2 , jika cucu perempuan sendirian tanpa cucu laki-laki

b. 2/3, jika cucu perempuan 2 orang atau lebih dan tidak ada cucu laki-laki c. 1/6, jika cucu perempuan bersama dengan seorang anak perempuan (sebagai

penyempurnaan jumlah bagian 1/2), tanpa cucu laki-laki. Jika bersamaan dengan dua orang anak perempuan maka cucu perempuan tidak mendapat bagian.

d. Ashobah, jika ada cucu laki-lakinya

 Jika cucu laki-laki sendirian maka ia mendapat bagian ashobah seluruhnya

 Jika cucu laki-laki lebih dari seorang maka bagian seluruh ashobah dibagi rata diantara mereka

 Jika ada cucu laki-laki dan perempuan maka bagian seluruh ashobah dibagi diantara mereka dengan ketentuan bagian seorang cucu laki-laki sama dengan bagian dua orang cucu perempuan

3. Suami dan istri

Bagian suami adalah:

a. 1/2, jika tidak ada anak atau cucu b. 1/4, jika ada anak atau cucu

Bagian istri adalah:

b. 1/8, jika ada anak atau cucu 4. Bapak dan ibu

Bagian bapak adalah:

a. 1/6, jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki

b. 1/6 + ashobah, jika ada anak perempuan atau cucu perempuan tanpa ada anak laki-laki

c. Ashobah, jika tidak ada anak atau cucu Bagian Ibu adalah:

a. 1/6, jika ada anak atau cucu

b. 1/6, jika ada saudara lebih dari seoarang

c. 1/3, jika tidak ada anak atau cucu atau saudara lebih dari seorang Bagian bapak bersama ibu adalah:

a. Masing-masing 1/6, jika ada anak atau cucu atau saudara lebih dari seorang b. Ibu 1/3 dan bapak ashobah, jika tidak ada anak atau cucu atau saudara lebih

dari seorang

c. Merupakan kekecualian dan ketentuan utama, yaitu apabila ahli warisnya terdiri dari bapak, ibu dan suami atau istri, dalam hal ini setelah di kurangi oleh bagian suami 1/2 atau bagian istri 1/4, maka ibu mendapat bagian 1/3 dari sisa dan bapak 2/3 dari sisa, masalah ini dinamakan al-gharawain artinya dua yang sangat terang.

5. Saudara sekandung

Jika tidak mahjub, maka bagian saudara sekandung adalah:

b. 2/3, jika saudara sekandung perempuan 2 orang atau lebih tanpa ada saudara sekandung laki-laki

c. Ashobah, jika ada saudara sekandung laki. Jika saudara sekandung laki-laki sendirian maka ia menerima seluruh bagian ashobah

 Jika saudara sekandung laki-laki lebih dari seorang maka bagian seluruh ashobah dibagi diantara mereka

 Jika ada saudara sekandung laki-laki dan perempuan maka bagian seluruh ashobah, dibagi diantara mereka dengan ketentuan bagian seorang saudara laki-laki sekandung sama dengan bagian dua orang saudara perempuan sekandung.

6. Saudara sebapak

Kedudukan saudara sebapak adalah dibawah kedudukan saudara sekandung (sebagaimana kedudukan cucu dibawah anak, sehingga bagiannyapun serupa), yaitu jika tidak mahjub:

a. 1/2, jika saudara sebapak perempuan sendirian tanpa saudara sebapak laki-laki

b. 2/3, jika saudara sebapak perempuan dua orang atau lebih tanpa ada saudara sebapak laki-laki

c. Ashobah, jika ada saudara sebapak laki-laki. Jika saudara sebapak laki-laki sendirian maka ia menerima seluruh bagian ashobah

 Jika saudara sebapak laki-laki lebih dari seorang maka bagian seluruh ashobah dibagi diantara mereka

 Jika saudara sebapak laki-laki dan perempuan maka bagian seluruh ashobah dibagi diantara mereka dengan ketentuan bagian seorang saudara

sebapak laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan sebapak

d. Saudara sebapak permpuan menjadi ashobah ma’al ghoir jika ada anak perempuan atau cucu perempuan tanpa laki-laki

e. Saudara sebapak perempuan (tanpa ada yang laki-laki) mendapat 1/6, jika ada seorang saudara sekandung perempuan (tanpa ada yang laki-laki). Ini dimaksud sebagai pelengkap mencapai bagian 2/3 sebagaimana cucu perempuan bersama dengan seorang anak perempuan. Jika saudara perempuan lebih dari seorang maka saudara perempuan sebapak tidak mendapat bagian

7. Saudara seibu

Saudara seibu yang laki-laki maupun yang perempuan kedudukan dan bagiannya sama saja. Kalau tidak mahjub saudara seibu mendapat:

a. 1/6, jika hanya seorang

b. 1/3, jika ada dua orang atau lebih

c. Merupakan pengecualian apabila ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, saudara sekandung dan saudara seibu, maka bagian suami 1/3, ibu 1/6 dan sisa (1/3). Menurut sahabat Umar dan sebagian fuqoha sisa tersebut dibagi rata diantara saudara-saudara tersebut.

8. Kakek dan Nenek

Bagian kakek jika tidak mahjub oleh bapak adalah: a. 1/6, jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki

b. 1/6 + ashobah, jika ada anak perempuan atau cucu perempuan tanpa ada nak laki-laki

c. Ashobah, jika tidak ada anak atau cucu

d. Merupakan pengecualian dalam masalah muqosamah dengan saudara sekandung atau sebapak

Adapun bagian nenek apabila tidak mahjub adalah: a. 1/6, jika nenek seorang diri

b. 1/6 dibagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya 9. Anak-anak saudara (keponakan laki-laki), paman-paman dan anak-anak paman

(saudara sepupu laki-laki) sekandung maupun sebapak sampai jauh keatas mendapatkan ashobah jika tidak termahjub atau terhalang.

2.3.5 Masalah ‘Aul dan Rodd 2.3.5.1 Masalah ‘Aul

‘Aul maksudnya meningkatkan (membesarkan) angka asal masalah sehingga menjadi sama dengan jumlah angka pembilang dari bagian-bagian ahli waris yang ada. Masalah ‘aul terpaksa dilakukan dalam keadaan dimana jumlah bagian yang harus diterima oleh para ahli waris adalah lebih banyak daripada jumlah harta warisan yang ada.

2.3.5.2 Masalah Radd

Masalah Radd adalah kebalikan dari masalah ‘aul yaitu terjadi dalam keadaan dimana jumlah semua bagian ahli waris ternyata lebih sedikit daripada jumlah harta warisan yang ada (harta warisan lebih banya daripada jumlah bagian-bagian ahli

waris). Sisa harta harus dikembalikan kepada ahli waris sehingga harta warisan menjadi habis tak tersisa.

Antara permasalahan ‘aul dan radd mempunyai penyelesaian yang sama

Dokumen terkait