• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai bab terakhir, bab ini akan menyajikan secara singkat kesimpulan yang diperoleh dari pembahasan dan juga memuat saran-saran bagi pihak yang berkepentingan untuk pengembangan penelitian lebih lanjut dan untuk memperbaiki kekurangan dalam efektivitas program Kartu Jakarta Pintar di Provinsi DKI Jakarta.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Efektivitas Organisasi 2.1.1 Pengertian Efektivitas

Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi, kegiatan ataupun program. Disebut efektif apabila tercapai tujuan ataupun sasaran seperti yang telah ditentukan. Hal ini sesuai dengan pendapat H. Emerson yang dikutip Soewarno Hendayaningrat S. (1994: 16) yang menyatakan bahwa “Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.”

Menurut Cameron dan Whetten dalam buku (Subhki dan Jauhar, 2003: 256), konsep efektivitas organisasional secara teoritik terletak pada semua model organisasional. Konsep ini tertanam dalam bahasa akademk maupun manajerial. Kemudian, efektivitas secara empiris berfungsi sebagai variabel penting dalam kegiatan riset dan konsep penting dalam penafsiran fenomena organisasional.

Menurut Gibson dalam buku (Subhki dan Jauhar, 2003: 248) efektivitas adalah penilaian yang dibuat sehubungan dengan prestasi individu, kelompok, dan

organisasi. Semakin dekat prestasi mereka terhadap prestasi yang diharapkan (standar), maka penilaiannya menjadi semakin efektif.

Pengertian efektivitas menurut Steers dalam buku Subhki dan Jauhar (2003: 250) dapat dijelaskan dengan memahami 3 konsep yang saling berhubungan, yaitu optimisasi tujuan, sistematika, dan tekanan pada segi perilaku manusia dalam susunan organisasi.

Secara nyata, Stoner dalam Tangklisan (2005:138) menekankan bahwa pentingnya efektivitas organisasi dalam pencapaian tujuan-tujuan organisasi, dan efektivitas adalah kunci kesuksesan suatu organisasi.

Sedangkan Miller dalam Tangkilisan (2005:140) mengemukakan bahwa:

”Effectiveness be define as the degree to which a social system achieve its goals. Effectiveness must be distinguished from efficiency. Efficiency is mainly concerned with goal attainments.” (Efektivitas dimaksud sebagai tingkat seberapa jauh suatu sistem sosial mencapai tujuannya. Efektivitas ini harus dibedakan dengan efesiensi. Efisiensi terutama mengandung pengertian perbandingan antara biaya dan hasil, sedangkan efektivitas secara langsung dihubungkan dengan pencapaian tujuan).

Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa efektivitas adalah segala sesuatu yang terdapat di dalam suatu organisasi, program ataupun kegiatan yang dapat berdaya guna (menghasilkan sesuatu yang bermanfaat) dan kesesuaian dengan tujuan yang diharapkan.

2.1.2 Model Efektivitas

Efektivitas Organisasi memiliki beberapa model menurut Subkhi dan Jauhar (2003: 260), antara lain sebagai berikut:

1. Model Tujuan (Goals Model)

Suatu organisasi diciptakan sengaja untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Model tujuan menyatakan bahwa efektivitas organisasi harus dinilai dalam bentuk pencapaian hasil akhir bukan cara atau prosesnya. Kegunaannya terbatas karena ketergantungannya pada tujuan yang dapat diukur dan terikat pada batas waktu.

2. Model Sumber Daya Sistem (System Resources Model)

Model ini menekankan pandangan tentang organisasi sebagai struktur sosial yang dapat diidentifikasi dan saling ketergantungan antara organisasi dan lingkungannya. Secara ringkas, model ini menekankan akuisisi sumber daya yang dibutuhkan sebagai kriteria penilaian efektivitas.

3. Model Konstituensi Ganda (Multiple Constituency Model)

Model ini mengembangkan kriteria penilaian efektivitas organisasi atas dasar berbagai preferensi stakeholder yang berbeda terhadap kinerja organisasi. Ada 4 model konstituensi ganda, yaitu:

a. Model Relevastik, memandang efektivitas bukan sebagai pernyataan tunggal tentang organisasi, tetapi sebagai seperangkat pernyataan, masing-masing mencerminkan kriteria penilaian setiap pihak yang terlibat dengan derajat yang berbeda-beda dalam organisasi.

b. Persepktif Kekuasaan, organisasi efektif adalah yang dapat memuaskan permintaan para anggota koalisi dominan dan paling kuasa sebagai upaya untuk menjamin dukungan mereka yang berkelanjutan agar kelangsungan hidup organisasi terjamin.

c. Perspektif Keadilan Sosial, organisasi disebut efektif apabila mampu menghilangkan kekecewaan anggota terhadap konsekuansi nyata yang mereka alami akibat partisipasi mereka dalam organisasi.

d. Perspektif Evolusioner, memandang penilaian efektivitas organisasi sebagai suatu proses seleksi dalam evolusi masyarakat. Jadi, kinerja efektif merupakan cerminan kemampuan adaptasi organisasi dalam menghadapi berbagai kendala lingkungan.

4. Model Nilai Saingan (Competing Values Model)

Model ini didasarkan pada anggapan bahwa individu-individu menilai efektivitas organisasional dengan membuat trade offs antar tiga dimensi nilai umum, yaitu fokus organisasional, struktur organisasioanal, dan hubungan prasarana dan hasil akhir organisasional.

5. Model Proses Internal (Internal Process Model)

Model proses internal didasarkan pada suatu rangkaian prinsip-prinsip normatif yang mengarahkan tentang bagaimana organisasi seharusnya berfungsi untuk mendorong pertumbuhan dan pengembangan manusia agar dapat mencapai potensi maksimum.

6. Model Legitimasi (Legitimation Model)

Perspektif ini beranggapan bahwa melakukan kerja yang benar jauh lebih penting dibanding melakukan kerja secara benar. Model ini cocok untuk analisis efektivitas di tingkat makro, yaitu dalam penentuan organisasi mana yang selamat, menurun, atau mati.

7. Model Ketidakefektifan (Inefectiveness Model)

Model ketidakefektifan memusatkan pada faktor-faktor yang menghambat sukses kinerja organisasi, bukan faktor-faktor yang menyumbang keberhasilan. Suatu organisasi dinilai bisa mencapai efektivitas tinggi bila bebas dari berbagai karakteristik ketidakefektifan. Keuntungan dasar model ini adalah memberikan kepada para manajer pedoman-pedoman praktis bagi kegiatan diagnosis dan pengembangan.

2.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Organisasi

Dydiet Hardjito dalam Subhki dan Jauhar (2003: 265) mengemukakan bahwa keberhasilan organisasi mencapai tujuannya dipengaruhi oleh komponen-komponen organisasi, meliputi:

1. Struktur; 2. Tujuan; 3. Manusia; 4. Hukum;

5. Prosedur pengoperasian yang berlaku; 6. Teknologi; 7. Lingkungan; 8. Kompleksitas; 9. Spesialisasi; 10.Kewenangan; 11.Pembagian tugas.

Stoner (2003: 251) menekankan pentingnya efektivitas organisasi dalam pencapaian tujuan-tujuan organisasi dan efektivitas adalah kunci dari kesuksesan suatu organisasi. Sharma dalam bukunya Subekhi dan Jauhari (2003: 251) memberikan kriteria atau ukuran efektivitas organisasi yaitu yang menyangkut faktor internal organisasi dan faktor lingkungan organisasi itu berada (eksternal) yaitu:

1. Produktivitas organisasi (output);

2. Fleksibilitas organisasi dan bentuk keberhasilannya menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan dalam dan di luar organisasi;

3. Tidak adanya ketegangan dalam organisasi atau hambatan-hambatan konflik diantara bagian-bagian organisasi.

Menurut Jones dalam bukunya Subhki dan Jauhar (2003: 249), pemahaman para manajer mengenai efektivitas organisasi sangat mempengaruhi kemampuannya guna memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk mencapai hasil. Semakin produktif dan efisien suatu organisasi untuk memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya, semakin tinggi nilai yang akan dicapainya. Jones mengemukakan bahwa kontrol (pengendalian), innovation (penemuan), dan efficiency merupakan 3 penekanan dalam top management yang akan menentukan efektivitas organisasi. Pertama, kontrol atau pengendalian merupakan kemampuan suatu organisasi untuk mengendalikan lingkungan eksternal sekaligus untuk menarik sumber daya dan pelanggannya. Kedua, inovasi merupakan pengembangan dan peningkatan keahlian suatu organisasi untuk menemukan cara-cara dan hasil baru dalam proses pelayanan. Inovasi juga berarti penerimaan atau pembentukan nilai-nilai baru yang lebih konstruktif agar suatu organisasi dapat meningkatkan kemampuannya, menyesuaikan diri, dan meningkatkan mekanisme kerjanya. Ketiga, efiksasi merupakan rasio antara input dan output. Ini merupakan penerapan cara-cara untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi (rasio input dan output).

Weisbord dalam Subhki dan Jauhar (2003: 264) memberikan model untuk mendiagnosa organisasi yang sering dikenal dengan model enam kotak Weisbord yang terdiri dari:

1. Tujuan; 2. Struktur;

3. Sistem penghargaan; 4. Mekanisme tata kerja; 5. Tata hubungan; 6. Kepemimpinan

Secara tidak langsung disebutkan bahwa keberhasilan organisasi dipengaruhi oleh keenam unsur diatas, sehingga keenam unsur tersebut perlu didiagnosa lebih lanjut untuk mengetahui penyebab ketidakberhasilan organisasi mencapai tujuannya.

Adapun kriteria atau indikator daripada efektivitas (Tangkilisan, 2005: 314) yakni diantaranya:

1. Pencapaian Target

Maksud pencapaian target disini diartikan sejauh mana target dapat ditetapkan organisasi dapat terealisasikan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari sejauh mana pelaksanaan tujuan organisasi dalam mencapai target sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.

2. Kemampuan adaptasi (fleksibelis)

Keberhasilan suatu organisasi dilihat dari sejauh mana organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi baik dari dalam organisasi dan luar organisasi.

3. Kepuasan kerja

Suatu kondisi yang dirasakan oleh seluruh anggota organisasi yang mampu memberikan kenyamanan dan motivasi bagi peningkatan kinerja organisasi. Yang menjadi fokus elelmen ini adalah antara antara pekerjaan dan kesesuaian imbalan/sistem insentif yang diberlakukan bagi anggota organisasi yang berprestasi dan telah melakukan pekerjaan melebihi beban kerja yang ada.

4. Tanggung Jawab

Organisasi dapat melaksanakan mandat yang telah diembannya sesuai dengan ketentuan yang telah dibuat sebelumnya, dan dan bisa menghadapi serta menyelesaikan masalah yang terjadi dengan pekerjaan.

2.1.4 Ukuran Efektivitas

Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sangat sederhana, karena efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan tergantung pada siapa yang menilai serta menginterpretasikannya. Bila dipandang dari sudut produktivitas, maka seorang manajer produksi memberikan pemahaman bahwa efektivitas berarti kualitas dan kuantitas (output) barang dan jasa.

Tingkat efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan antara rencana yang telah ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika usaha atau hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat sehingga menyebabkan tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu dikatakan tidak efektif.

Gibson (1996: 50) dalam bukunya Ismail Nawawi (2013: 188-189) mengemukakan kriteria efektivitas organisasi ada lima yaitu, produksi, efisiensi, kepuasan, keadaptasian, dan kelangsungan hidup.

(1) Produksi

Produksi sebagai kriteria efektivitas mengacu pada ukuran keluaran utama organisasi. Ukuran produksi mencakup keuntungan, penjualan, pangsa pasar, dokumen yang diproses, rekanan yang dilayani dan sebagainya. Ukuran ini berhubungan secara langsung dengan yang dikonsumsi oleh pelanggan dan rekanan organisasi yang bersangkutan.

(2) Efisiensi

Efisiensi sebagai kriteria efektivitas mengacu pada ukuran penggunaan sumber daya yang langka oleh organisasi. Efisiensi adalah perbandingan antara keluaran dan masukan. Ukuran efisiensi terdiri dari keuntungan dan modal, biaya per unit, pemborosan, waktu terluang, biaya per orang, dan sebagainya. Efisiensi diukur berdasarkan rasio antara keuntungan dengan biaya atau waktu yang digunakan.

(3) Kepuasan

Kepuasan sebagai kriteria efektivitas mengacu kepada keberhasilan organisasi dalam memenuhi kebutuhan karyawan dan anggotanya. Ukuran kepuasan meliputi sikap karyawan dan anggotanya, penggantian karyawan, absensi, kelambanan, keluhan, kesejahteraan dan sebagainya. (4) Keadaptasian

Keadaptasian sebegai kriteria efektivitas mengacu kepada tanggapan organisasi terhadap perubahan eksternal dan internal. Perubahan eksternal seperti persaingan, keinginan pelanggan, dan kualitas produk. Perubahan internal seperti ketidakefisienan, ketidakpuasan, dan sebagainya merupakan adaptasi terhadap lingkungan.

(5) Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup sebagai kriteria efektivitas mengacu kepada tanggung jawab organisasi atau perusahaan dalam memperbesar kapasitas dan kompetensinya untuk berkembang.

Adapun kriteria atau ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau tidak, sebagaimana dikemukakan oleh S.P. Siagian (2005:77), yaitu:

a) Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksdukan supaya karyawan dalam pelaksanaan tugas mencapai sasaran yang terarah dan tujuan organisasi dapat tercapai.

b) Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa strategi adalah “pada jalan” yang diikuti dalam melakukan berbagai upaya dalam mencapai sasaran-sasaran yang ditentukan agar para implementer tidak tersesat dalam pencapaian tujuan organisasi.

c) Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap, berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai dan strategi yang telah ditetapkan artinya kebijakan harus mampu menjembatani tujuan-tujuan dengan usaha-usaha pelaksanaan kegiatan operasional.

d) Perencanaan yang matang, pada hakekatnya berarti memutuskan sekarang apa yang dikerjakan oleh organisasi dimasa depan.

e) Penyusunan program yang tepat suatu rencana yang baik masih perlu dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat sebab apabila tidak, para pelaksana akan kurang memiliki pedoman bertindak dan bekerja.

f) Tersedianya sarana dan prasarana kerja, salah satu indikator efektivitas organisasi adalah kemamapuan bekerja secara produktif. Dengan sarana dan prasarana yang tersedia dan mungkin disediakan oleh organisasi.

g) Pelaksanaan yang efektif dan efisien, bagaimanapun baiknya suatu program apabila tidak dilaksanakan secara efektif dan efisien maka organisasi tersebut tidak akan mencapai sasarannya, karena dengan pelaksanaan organisasi semakin didekatkan pada tujuannya.

h) Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik mengingat sifat manusia yang tidak sempurna maka efektivitas organisasi menuntut terdapatnya sistem pengawasan dan pengendalian.

Adapun kriteria untuk mengukur efektivitas suatu organisasi ada tiga pendekatan yang dapat digunakan, seperti yang dikemukakan oleh Martani dan Lubis (1987) dalam Siagian (2005: 55), yakni:

1. Pendekatan Sumber (resource approach) yakni mengukur efektivitas dari input. Pendekatan mengutamakan adanya keberhasilan organisasi untuk memperoleh sumber daya, baik fisik maupun nonfisik yang sesuai dengan kebutuhan organisasi.

2. Pendekatan proses (process approach) adalah untuk melihat sejauh mana efektivitas pelaksanaan program dari semua kegiatan proses internal atau mekanisme organisasi.

3. Pendekatan sasaran (goals approach) dimana pusat perhatian pada output, mengukur keberhasilan organisasi untuk mencapai hasil (output) yang sesuai dengan rencana.

Sedangkan Duncan yang dikutip Richard M. Steers (1985:53) dalam bukunya “Efektivitas Organisasi” mengatakan mengenai ukuran efektivitas, sebagai berikut:

1. Pencapaian Tujuan

Pencapaian adalah keseluruhan upaya pencapaian tujuan harus dipandang sebagai suatu proses. Oleh karena itu, agar pencapaian tujuan akhir semakin terjamin, diperlukan pentahapan, baik dalam arti pentahapan pencapaian bagian-bagiannya maupun pentahapan dalam arti periodisasinya. Pencapaian tujuan terdiri dari beberapa faktor, yaitu kurun waktu dan sasaran yang merupakan target konkrit. (Wahyu, 2014: 8)

2. Integrasi

Integrasi yaitu pengukuran terhadap tingkat kemampuan suatu organisasi untuk mengadakan sosialisasi, pengembangan konsensus dan komunikasi dengan berbagai macam organisasi lainnya. Integrasi menyangkut proses sosialisasi. Integrasi dapat merupakan kesatuan sistem yang digunakan dalam menjalankan aktivitas organisasi, dapat dikatakan efektif apabila terdapat keseragaman sistem atau penyatuan sistem. (Wahyu, 2014: 10)

3. Adaptasi

Adaptasi adalah kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Untuk itu digunakan tolak ukur proses pengadaan dan pengisian tenaga kerja. Adaptasi menekankan pada sikap dan perilaku agen pelaksana program yang mendukung atau menghambat berjalannya program yang diharapkan dapat berjalan dengan efektif dan efisien. (Wahyu, 2014: 11)

2.2 Pengelolaan Pendidikan

2.2.1 Pengertian Pengelolaan Pendidikan

Pengelolaan pendidikan atau manajemen pendidikan adalah serangkaian kegiatan usaha kerja sama yang dilakukan dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Menurut Mulyani A Nurhadi (1983) dalam Sudjana (2004: 2-5) manajemen adalah kegiatan yang dilakukan oleh dan untuk manusia. Kegiatan yang dilakukan merupakan proses mengelola kegiatan pendidikan bersifat kompleks dan unik, berbeda dengan tujuan perusahaan. Tujuan yang dimiliki tidak terlepas dari tujuan pendidikan umumnya dan yang ditetapkan bangsa.

2.2.2 Fungsi Pengelolaan Pendidikan

Fungsi Manajemen menurut Moris (1976) Dalam Sudjana (2004: 48) adalah rangkaian berbagai kegiatan wajar yang telah ditetapkan dan memiliki hubungan saling ketergantungan antara satu dengan yang lainnya dan dilaksanakan oleh orang-orang, lembaga atau bagian-bagiannya yang diberi tugas untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.

Manajemen pendidikan nonformal terdiri atas enam fungsi (Sudjana, 2004: 53). Keenam fungsi tersebut adalah perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pembinaan, penilaian, dan pengembangan.

1. Perencanaan (Planning)

Perencanaan mencakup rangkaian kegiatan untuk menentukan tujuan umum (goals) dan tujuan khusus (objective) suatu organisasi atau lembaga penyelenggara pendidikan nonformal. Setelah tujuan ditetapkan, perencanaan berkaitan dengan penyusunan pola, rangkaian, dan proses kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

2. Pengorganisasian (Organizating)

Siagian (1982: 4-5) memberi batasan tentang pengorganisasian sebagai keseluruhan proses pengelompokkan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, tanggung jawab dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan.

3. Penggerakan (Motivating)

Penggerakan (motivating) dapat diartikan sebagai upaya pimpinan untuk menggerakkan (memotivasi) seseorang atau kelompok orang yang dipimpin dengan menumbuhkan dorongan dalam diri orang-orang yang dipimpin untuk melakukan tugas atau kegiatan yang diberikan kepadanya sesuai dengan rencana dalam rangka mencapai tujuan organisasi. (Sudjana, 2004: 146)

4. Pembinaan (Conforming)

Dalam manajemen pendidikan nonformal, pembinaan dilakukan agar kegiatan atau program yang sedang dilaksanakan selalu sesuai dengan rencana atau tidak menyimpang dari rencana yang telah ditetapkan. Pembinaan dapat diartikan sebagai rangkaian upaya pengendalian secara professional terhadap semua unsur organisasi agar unsur-unsur tersebut berfungsi. Unsur-unsur organisasi itu mencakup peraturan, kebijakan, tenaga penyelenggara, sfat dan pelaksana, bahan atau alat, biaya, dan perangkat lainnya. (Sudjana, 2004: 209)

5. Penilaian (Evaluating)

Penilaian didefinisikan sebagai kegiatan sistematis untuk mengumpulkan, mengolah, menganalisis, mendeskripsikan, dan menyajikan data atau informasi yang diperlukan sebagai masukan untuk pengambilan keputusan. Batasan ini mengandung tiga unsur penting yaitu kegiatan sistematis, data atau informasi, dan pengambilan keputusan. (Sudjana, 2004: 251)

6. Pengembangan (Developing)

Pengembangan diambil dari istilah bahasa Inggris yaitu development. Menurut Moris, dalam The American Herritage Dictionary of the English Language, dikemukakan bahwa “Development is the act of developing” (perbuatan pengembangan). Developing itu sendiri diberi arti “To expand or realize the potentialities of; bring gradually to a fuller, greater, or better

state”…” To progress from earlier to later or from simpler to more complex stages of evolution” (Moris, 1976: 360-361)

Artinya, pengembangan adalah upaya memperluas atau mewujudkan potensi-potensi, membawa suatu keadaan secara bertingkat kepada suatu keadaan yang lebih besar atau lebih baik. (Sudjana, 2004: 253)

2.3 Kebijakan Pendidikan Gratis

Pendidikan gratis adalah program yang dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai tindak lanjut dari amanat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dimana dalam pasal 31 disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. Pasal 31 Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2003 kemudian menegaskan bahwa setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

Salah satu janji yang paling dinantikan oleh masyarakat DKI Jakarta adalah tentang pendidikan gratis terutama dalam kaitannya mewujudkan program Wajib Belajar 12 Tahun yang telah dirintis sejak tahun 2007. Janji tersebut memang menjadi

salah satu program andalan dari para calon Gubernur yang bersaing dalam pemilihan Gubernur Provinsi DKI Jakarta periode 2012-2017 lalu.

Pendidikan gratis di DKI Jakarta merupakan program prioritas Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017. Program ini merupakan janji Gubernur terpilih pada saat Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) 2012 yang sudah seharusnya diimplementasikan dalam masa kepemimpinannya. Olehnya itu telah dibuat Peraturan Gubernur Nomor 27 Tahun 2013 tentang Bantuan Biaya Personal Pendidikan Bagi Peserta Didik Dari Keluarga Tidak Mampu Melalui Kartu Jakarta Pintar.

Pergub No. 27 Tahun 2013 ini menjadi pembuka jalan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menjamin seluruh warga usia sekolah untuk mendapatkan pelayanan pendidikan minimal sampai jenjang pendidikan menengah dengan kebijakan pemberian dana Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dan Bantuan Biaya Personal Pendidikan (BBPP) guna membantu mereka agar tetap dapat mengikuti pembelajaran di sekolah dengan baik. Khusus untuk BBPP teknis penyalurannya dilakukan melalui Program Kartu Jakarta Pintar (KJP). Bantuan Biaya Personal Pendidikan bagi peserta didik dari keluarga tidak mampu yang melalui Program Kartu Jakarta Pintar diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 174 Tahun 2015. (Agryan, 2014: 35)

2.4 Program Kartu Jakarta Pintar

2.4.1 Pengertian Kartu Jakarta Pintar

Kartu Jakarta pintar (KJP) adalah kartu yang disediakan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta bekerja sama dengan Bank DKI untuk diberikan kepada peserta didik dari keluarga tidak mampu sebagai sarana pengambilan Bantuan Biaya Personal Pendidikan. Sasaran penerima KJP adalah peserta didik dari keluarga tidak mampu, kurang mampu, dan setengah mampu yang berdomisili dan bersekolah pada Satuan Pendidikan di Jakarta. KJP berfungsi sebagai bukti penerima bantuan Biaya Personal Pendidikan dan kartu untuk pengambilan dana bantuan Biaya Personal Pendidikan secara elektronik atau non tunai. (Buku Pedoman Progam KJP 2013: 5)

Program Kartu Jakarta Pintar adalah program yang dibuat oleh Pemerintah Daearah Provinsi DKI Jakarta dengan dibantu oleh Dinas Pendidikan DKI Jakarta dalam memberikan bantuan biaya personal pendidikan (BBPP) kepada peserta didik dari keluarga tidak mampu, kurang mampu, dan setengah mampu.

Program Kartu Jakarta Pintar dilaksanakan di seluruh sekolah di DKI Jakarta. Tujuan diselenggarakannya program KJP ini antara lain :

1. Mendukung terselenggaranya wajib belajar 12 tahun;

2. Meningkatkan akses layanan pendidikan secara adil dan merata;

4. Meningkatkan kualitas hasil pendidikan.

2.4.2 Latar Belakang Program Kartu Jakarta Pintar

Program Bantuan Biaya Personal Pendidikan melalui Kartu Jakarta Pintar telah menjadi program unggulan Gubernur Jokowi (sekarang Presiden RI) dan sekaligus ikon baru strategi pembangunan Jakarta yang berpihak pada warga marjinal ibukota. Di samping itu, anggaran yang telah dicanangkan untuk program Kartu Jakarta Pintar (KJP) ini juga sangat besar, dimana untuk tahun 2015 telah dianggarkan sebesar 2,3 triliun rupiah. Program KJP merupakan janji politik Jokowi-Ahok pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang disertai dengan adanya kegiatan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) tahun 2013-2017.

Program KJP diharapkan mampu menjamin peserta didik agar dapat melanjutkan pendidikan sampai tamat pendidikan dasar hingga menengah dan menarik siswa putus sekolah atau tidak melanjutkan pendidikan agar kembali mendapatkan layanan pendidikan.

Program KJP adalah pemberian bantuan biaya personal pendidikan untuk pemenuhan kebutuhan peserta didik dengan menggunakan kartu. Ini khusus diperuntukkan bagi anak usia SD hingga SMA atau yang sederajat yang berasal dari keluarga yang tidak mampu.

2.4.3 Dasar Hukum Program Kartu Jakarta Pintar

Beberapa dasar hukum yang melatarbelakangi dibuatnya program Kartu Jakarta Pintar (Pergub No 174 Tahun 2015), antara lain:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan

2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;

3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Standar Nasional Pendidikan;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan;

6. Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan;

7. Peraturan Gubernur Nomor 133 Tahun 2014 tentang Pembentukan

Dokumen terkait