• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

KEBUDAYAAN MASYARAKAT MAENAMÖLÖ

2.1. Geografi Maenamölö

Secara geografi, Maenamölö terletak pada 0° 33’ 25” LS dan 1° 4’ 5” LU serta 97° 25’ 59” dan 98° 48’ 29” BT. Berbatasan dengan:

฀ Sebelah Utara : Kecamatan Aramö

฀ Sebelah Selatan : Samudera Hindia

฀ Sebelah Timur : Kecamatan Telukdalam

฀ Sebelah Barat : Kecamatan Mazinö

Topografi Maenamölö sebagaian besar berbukit-bukit dan terjal dengan ketinggian mencapai 800 meter di atas permukaan laut dan dataran yang rendah terdapat lembah dikelilingi oleh Samudera Hindia yang membentang langsung ke Afrika di Barat dan Antartika di Selatan.

Iklim di daerah Maenamölö antara 17,0°-32,60° celcius dan rata-rata kelembaban udara antara 80 - 90%. Kecepatan angin mencapai 14 hingga 16 knot per jam menyebabkan musim kemarau dan musim hujan datang dengan silih berganti. Curah hujan perbulan rata-rata 298,60 mili meter, diperkirakan lebih banyak hari hujan daripada kemarau setiap bulan. Dengan demikian, kondisi alamnya menjadi sangat lembab dan basah sehingga mengakibatkan sering terjadinya longsor di sana-sini bahkan daerah aliran sungai yang berpindah- pindah. Hal ini sering kali dibarengi dengan badai besar. Badai laut biasanya terjadi antara bulan Maret, Juni, September dan November setiap tahun tetapi

terkadang badai bisa berubah secara mendadak. Akibat kondisi alam yang demikian melahirkan aliran sungai kecil, sedang dan besar ditemui di seluruh wilayah.

2.2. Asal Usul Maenamölö

Secara etimologi, kata ‘Maenamölö’ dibagi menjadi Mae, artinya citra, seperti, menyerupai, penjelmaan, inkarnasi. Na, adalah singkatan dari seseorang yang dituakan. Mölö adalah nama pribadi leluhur yang pernah bertransmigrasi ke

Böröfösi pada masa lalu. Sebelum peristiwa pemekaran Kecamatan Maniamölö,

seluruh desa di wilayah ini masih menyebutnya Maenamölö. Argumentasi tersebut dibuktikan dengan pendirian nama kampung Bawömaenamölö, Hilimaenamölö yang berada di wilayah Kecamatan Maniamölö hingga saat ini masih menyebut dirinya sebagai Maenamölö Tou. Demikian juga warga kampung Hilinawalö Fau, Onohondrö dan Siwalawa yang berada di wilayah Kecamatan Fanayama, menyebut identitas sebagai Maenamölö atas. Jadi dapat didefinisikan Maenamölö merupakan sekumpulan masyarakat beberapa kampung yang memiliki hubungan darah dalam satu garis keturunan leluhur yang sama bernama

Mölö di wilayah Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias.

Menurut Sökhiaro Welther Mendröfa, (1980:63-137), bahwa nenek moyang masyarakat suku Nias diturunkan dari Teteholi Ana’a,16

16Teteholi Ana’a, artinya langit lapisan ke-9, tempat dewa dewa pencipta bertahta, rahim sang ibu, suatu negeri yang sangat indah dan permai.

disanalah Sirao Uwu Jihönö bertahta. Raja tersebut memiliki tiga orang permaisuri dan masing-

masing dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Permaisuri yang pertama adalah bernama Mburutio Rao Gawe Zihönö. Anaknya laki-laki bernama Baewadanö,

La’indrö Lai Sitambaliwö, Balugu Luo Mewöna. Permaisuri yang kedua adalah bernama Nawaöndru Ere Gowasa. Anaknya laki-laki bernama Lasoro Gae Sitölu Ndraha, Gözö Tuuha Zangaröfa, Hia Walani Adu. Permaisuri yang ketiga adalah bernama Zi’adulo Rao Ana’a. Anaknya laki-laki bernama Lahari Sofusö Kara,

Daeli Bagabölö Lani, Lulu Hada Ana’a. Pada suatu hari terjadi keributan yang sangat sengit diantara ke sembilan putra Sirao Uwu Jihönö untuk merebut mahkota Tetehőli Ana’a. Karena suasana pertengkaran di istana semakin memanas, maka untuk menenangkan keadaan tersebut Sirao Uwu Jihönö

mengundang seluruh rakyat dari berbagai penjuru untuk menyaksikan sayembara memperebutkan mahkota Teteholi Ana’a. Sebelum sayembara dimulai, bangkitlah raja Sirao Uwu Jihönö Uwu Jato seperti seekor singa yang mengaung dihadapan ribuan orang dengan menyerukan barangsiapa diantara kesembilan anak-anakku yang sanggup memanjat dan menari-nari di atas mata tombak yang dipancangkan di halaman istana bagaikan seekor burung yang sedang bertengger di atasnya maka kepadanyalah aku berkenan. Dialah yang akan mewariskan tahta kerajaan di Teteholi Ana’a.’ Kemudian raja Sirao Uwu Jihönö mempersilahkan satu persatu putranya mulai dari yang tertua secara berurutan. Ironisnya, dari delapan orang anaknya tak seorangpun yang berhasil melakukannya. Namun tiba pada giliran si bungsu bernama Luomewöna, dia mengawali dengan bersujud dihadapan ayahnya dan kepada ketiga orang istri ayahnya serta kepada seluruh rakyat memohon restu. Tidak lama kemudian, tiba-tiba suasana sayembara mulai berubah, semua

perhatian tertuju kepadanya. Saat melakukannya, dengan penuh mudah sekali baginya mencapai mata tombak itu dan akhirnya iapun berhasil memenangkan sayembara itu. Maka berseru-serulah raja Sirao dihadapan ribuan orang yang menyaksikan kebolehan Luomewöna bahwa mulai pada hari ini dialah yang akan bertahta di Teteholi Ana’a. Tidak lama setelah dinobatkan menjadi raja menggantikan ayahnya, ke delapan orang abangnya yang kalah dibuang ke bumi kepulauan Nias. Salah satunya adalah bernama Hia Walani Adu dan menjadi leluhur penduduk Nias Selatan.17

Selanjutnya menurut Amos Harefa, (2013), bahwa keberadaan Hia

Walangi Adu di Sifalagö Gomo, dikarunai sembilan orang anak laki-laki. Nama-

namanya dimulai dari yang sulung hingga bungsu, sebagai berikut: Telau, Boto,

Bawa, Mata, Ikhu, Talina, Gahe, Tana, Tara. Pada suatu hari mereka pergi mencari makanan tetapi di tengah hutan menemukan pohon sagu. Telau bertugas menebang pohon sagu itu sedangkan ketujuh adik-adiknya mendapat tugas untuk menayang dari bawah. Karena mereka tidak kuat menayangnya, akhirnya pohon sagu itu menimpa mereka dan matilah Boto, Bawa, Mata, Ikhu, Talina, Kahe dan

Tana hanya Telau dan Tara saja yang beruntung selamat. Pada prinsipnya hidup adalah pilihan, ibarat Haega so mbua geho, gaö möi manugela wofo (dimana ada pohon berbuah ke situlah burung datang bertengger). Demikianlah Telau hidup menetap Sifalagö Gomo tetapi sebelum Tara meninggalkan kota leluhurnya di

Sifalagö Gomo, ayahnya Hia Walangi Adu mengadakan perjamuan bersama dan

memberinya banyak nasehat sebagai petuah kehidupan termasuk tongkatnya

17 Sökhiaro Welther Mendröfa, (1980), Fondrakö Ono Niha, (Jakarta: Inkultra Foundation Inc),hlm. 63-137

terbuat dari Lewuo hao (sejenis pohon bambu) kapada Tara anaknya. Dimana saja tongkat itu ditancapkan hingga menembus ke dalam tanah maka itulah pertanda bahwa tanah itu yang akan memberi bagimu kesuburan selama-lamanya. Keesokan harinya, sebelum matahari terbit pada pagi hari di ufuk Timur, berangkatlah Tara bersama isterinya. Dari tatapan mata yang sangat dekat, kini semakin mengecil lalu pada akhirnya menghilang karena mereka melintasi lereng- lereng gunung yang tinggi, melewati pinggir jurang yang dalam. Banyak sungai yang dalam dan luas diseberangi hingga menemukan sungai Mejaya di desa

Hili’alawa. Mereka menyusuri ke atas sungai itu hingga di tanah yang agak datar tepatnya di desa Lawindra wilayah Kecamatan Majinö Kabupaten Nias Selatan. Karena isteri Tara sangat letih dan meminta untuk istrahat sejenak untuk memulihkan tenaga yang telah banyak terkuras. Momentum ini dimanfaatkan oleh

Tara untuk memancangkan tongkat milik ayahnya di sekitar tempat itu dan

langsung tertanam hingga ke kedalaman. Maka tersungkurlah Tara ke tanah. Saking girangnya, ia mulai menyair sembari menari-nari di depan istrinya karena telah menemukan tanah perjanjian dan menamainya Lawindra. Setelah terjadi inkulturasi baru di tempat itu, maka Tara mengumpulkan seluruh kaumnya untuk mengadakan Owasa Sebua (pesta besar) dan menobatkannya menjadi ‘Sanaya Bute.’ Pada musim kelaparan mulai tiba, ke empat putra Sanaya Bute bernama

Mölö, Jinö, Tuha Ene dan Lalu pergi berburu dan mencari makanan di tengah hutan belantara, ternyata mereka menemukan berjejeran pohon sagu di tengah hutan belantara. Jinö mendapat tugas untuk menebang batang pohon sagu tetapi ketiga orang lainnya menjaga menayang pucuk. Pada saat pohon sagu tumbang,

Tuha Ene dan Lalu menyelamatkan diri tetapi Mölö hampir terjebak ditimpa pohon sagu itu. Beruntung ia dapat menyelamatkan dirinya dari peristiwa naas itu. Kejadian ini membuat hati Mölö tidak terima dan merasa ditipu oleh adik- adiknya. Dari situlah situasi mulai tidak aman dan lama-kelamaan semakin menegang, kebersamaan yang sudah lama terbina lama-kelamaan semakin memudar, merasa tidak nyaman bila hidup bersama lagi. Rasa senasib dan sepenanggungan yang dulu, kini tinggal kenangan, suasana semakin meruncing. Tak ada pilihan lain mereka harus berpisah. Jinö menetap di Lawindra tetapi Lalu,

Tuha Ene dan Mölö memilih untuk meninggalkan tempat itu. Lalu beserta rombongannya menuju daerah Ono Mönö. Tuha Ene beserta rombongan menuju Hili’amuruta. Selanjutnya, Mölö beserta rombongannya pergi dengan melintasi lereng-lereng gunung yang tinggi, melewati pinggir jurang yang dalam. Akhirnya mereka tiba Böröfösi. Pada mulanya Böröfösi mencerminkan suatu kehidupan yang rukun, damai dan bahagia tetapi seiring dengan berjalannya waktu ke waktu, hubungan kekerabatan yang utuh lama-kelamaan mulai memudar, masing-masing bersaudara saling menonjolkan diri dengan bertepuk dada, suka merampas yang bukan haknya, gemar mencari-cari kesalahan saudaranya dengan menuduh tanpa ampun, merasa susah hati ketika melihat saudaranya berhasil dan amat senang bila melihat saudara kandungnya menderita kesusahan. Para isteri saling irihati, semua saling bertengkar mulut, mengancam mau berlaga, ditambah lagi pada masa ini seringkali mengalami musibah kelaparan. Akhirnya Mölö mengumpulkan seluruh keluarganya untuk bersepakat. Masing-masing ke lima putranya menanam pohon pisang di pusat pekarangan. Mölö memberikan petunjuk bahwa mereka harus

menunggu pisang itu sampai berbuah kira-kira enam bulan lamanya. Bilamana condong batang dan buah pisangmu, ke situlah engkau pergi dan menetaplah di sana. Sebelum kelima orang putra tersebut berpisah satu sama lainnya, Mölö dan isterinya Nandua Ziliwu menjamu kelima putranya itu dengan menyembelih berpuluh-puluh ekor babi dan ayam. Momentum ini dimanfaatkan untuk memberikan nasehat sebagai petuah serta membagi-bagikan harta warisannya secara adil. Adapun Fau adalah anak sulung mendapat bagian warisan Farada

(emas murni), kemudian bernama Takhi mendapat bagian Adu Zatua (patung leluhur), sedangkan Boto, bagiannya adalah Toho (tombak), dan Maha mendapatkan Tölögu (pedang), Hondrö, mendapat Baluse (perisai) sedangkan Hörözaitö seorang perempuan bungsu mendapat bagian perhiasan emas. Pada akhirnya kedua orangtua mereka memberkati kelima rang anak-anaknya dimanapun mereka berada kelak beroleh kehidupan dalam damai sejahtera. Kesekoan harinya, mereka semua berangkat meninggalkan Böröfösi menuju ke tempat dimana arah condong pisangnya. Laki-laki memikul beban yang berat dan perempuan menggendong keranjang yang bergelantangan dengan melewati banyak gunung-gunung melintasi lereng bukit dan menyusuri berbagai lembah dan menyeberangi hulu sungai yang dalam dan sangat luas. Setelah Fau beserta isterinya Nalai Mbarasi dan anak-anaknya tiba di lokasi itu, bersukacitalah hati

Fau dan mengatakan: ‘Di sinilah petunjuk bagiku, di sinilah arah condong pisangku’. Kemudian semuanya memotong kayu berdahan, menarik akar dan membersihkan dengan membakarnya, meratakan batang puar lalu mulai mendirikan suatu desa bernama Lahusa Fau.Berhubung karena jumlah penduduk

dalam kampung tersebut semakin bertambah sedangkan lahan untuk mendirikan rumah baru sudah mulai terbatas berhubung lahan sudah tidak memadai, demikian juga sudah tidak terjaminnya keamanan kampung akibat bencana alam, musuh sehingga warga kampung setiap saat terancam jiwanya, terjadinya perselisihan pendapat antara keluarga satu keturunan dengan keturunan lainnya, maka mereka memisahkan diri dari kampung induk dan mencari lokasi yang dianggap aman dan nyaman. Pada akhirnya mereka menyebar ke beberapa tempat, ada yang mendirikan kampung Orahili Fau, Hilinawalö Fau, Bawöfanayama dan Hilizondrege’asi. Hal serupa dialami oleh Takhi. Ia membawa isterinya Nawua Geho beserta anak-anaknya. Setibanya di lokasi itu, maka bersukacitalah hatinya, atas kegirangannya yang tak dapat dibendung lagi, pada akhirnya ia menari dan berkata: ‘Di sinilah petunjuk bagiku, di sinilah arah condong pisangku’. Kemudian mereka semua saling bergotong-royong memotong kayu berdahan, menarik akar dan membersihkan dengan membakarnya, meratakan batang puar lalu mulai mendirikan suatu kampung bernama Hili Lawalani tak lama kemudian pindah ke Hili’amaigila. Karena jumlah penduduk dalam kampung tersebut semakin bertambah sedangkan lahan untuk mendirikan rumah baru sudah mulai terbatas belum lagi terjadinya perselisihan pendapat antara keluarga satu keturunan dengan keturunan lainnya, maka mereka memisahkan diri dari kampung induk dan mencari lokasi yang dianggap aman dan nyaman. Pada akhirnya mereka menyebar ke beberapa tempat, ada yang mendirikan kampung Setelah bertahun-tahun lamanya, keturunannya mendirikan kampung Hilisaudanö, Bawögosali, Bawömaenamölö, Hilimaenamölö dan Hilisimaetanö. Berikutnya

adalah Boto. Ia membawa isterinya bernama Silini Hösi dan anak-anaknya, mendirikan kampung bernama Hili Lalimboto sebagai desa induk. Keturunannya mendirikan kampung Hilifalawu, Hilifalawu, Hilimböwö, Hilihöru, Hiligombu, Botohösi. Kemudian Maha juga mengalami hal yang serupa. Ia memiliki seorang istri Rai Balaki, pada akhirnya meninggalkan Böröfösi menuju Ulimbawa. Lama- kelamaan keturunannya mendirikan beberapa kampung yang baru, diantaranya adalah kampung Siwalawa, Hiligeho, Lahömi, Bawölowalani, Hili’ana’a, Hilisondrekha. Demikian pula Hondrö, memiliki isteri bernama Siholai. hidup dan menetap di Huluhösi. Kemudian keturunannya mendirikan kampung Onohondrö. Karena Hörözaitö adalah anak si bungsu perempuan, maka ia harus menetap bersama orangtuanya. Berhubung karena Nandua Jiliwu lebih dahulu meninggal dunia, pada akhirnya Mölö pergi berkelana sebagai musafir di Tanoi Disana mempersuntung anak seorang bangsawan dan mempunyai anak laki-laki bernama

Sebua Tendroma. Di tempat dimana ia tinggal disebut orang Ono Namölö Laraga Tumöri, di tempat itulah Mölö nantinya dikuburkan.18

2.3. SistemKepercayaan Masyarakat Maenamölö

2.3.1. Sanömba Nadu

Menurut Johannes Maria Hämmerle, (1990:201), bahwa sebelum datangnya agama Katolik, Protestan, Islam, Hindu dan Budha bersebar di seluruh

pelosok kepulauan Nias, sistem kepercayaan masyarakat suku Nias bersifat

Politheisme, Naturisme, Fetisisme, Dinamisme, Animisme.19

Sesembahan suku Nias termasuk di dalamnya penduduk Maenamölö sejak zaman dahulu adalah Inada Samihara Luo selaku dewa pencipta dan berkuasa atas seluruh kehidupan yang bertahta di atas langit lapisan ke sembilan,

Latura Danö selaku dewa yang berkuasa di bumi, Silewe Najarata selaku dewi yang berkuasa menengahi Inada Samihara Luo dengan Latura Danö. Selain itu juga mereka juga percaya kepada dewa-dewa yang menampakkan diri sebagai gejala-gejala alam, seperti; matahari, bulan, bintang, pohon besar, arwah nenek moyang, Sigelo Danö sebagai dewa yang menjaga gua atau lubang-lubang yang dalam, Laöhö sebagai dewa yang berkuasa atas angin topan, Fauhesa sebagai dewa yang menjaga gua atau lubang-lubang yang dalam, Luaha Goholu sebagai dewa yang menjaga sungai, Anonatö sebagai dewa yang memberikan kekuatan untuk mengalahkan musuh pada saat terjadi perang dan sebagainya. bahwa dewa pujaan orang Nias lainnya adalah. Semua itu dipersonifikasikan ataupun dimanifestasikan dalam bentuk patung dari bahan batu ataupun kayu dan mengganggapnya bahwa di dalam patung-patung itu akan ditempati oleh para dewa ataupun roh.

Menurut Nenden Artistiana, (2011:23), berpendapat bahwa pada acara pemujaan, Ere sebagai perantara selalu membunyikan atau memukul-mukul

Fondrahi (tambur) dan pada saat menyampaikan permohonan dalam bentuk Hoho

(syair-syair kuno) atau mantera-mantera, Ere juga mempersiapkan sesajen dalam

19 Johannes Maria Hämmerle, OFMCap, Asal Usul Masyarakat Nias Suatu Interoretasi, (Gunungsitoli: Yayasan Pusaka Nias: 1990), hlm. 201.

bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai kepingan emas juga diberikan supaya segala sesuatu yang dimohonkan itu dapat dikabulkan. Kemudian persembahaan dalam bentuk korban makanan dapat dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan tetapi setelah ritual selesai, uang, emas dan barang-barang berharga lainnya sebagai persembahan warga akan menjadi hak Ere.20

Menurut Johannes. M. Hämmerle, (15 Maret 2009), bahwa pemikiran masyarakat Nias yang menganut kepercayaan Sanömba Nadu, sebagai berikut: 1. Manusia mempunyai Boto (tubuh), Noso (nafas) dan Lumö-Lumö

(bayangan). Setelah seseorang mati maka Boto akan menjadi ke tanah, Noso

akan kembali ke Teteholi Ana’a (sorga) dan Lumö-Lumö (bayangan) akan menjadi Bekhu (roh). Agar bisa sampai ke Tetehõli Ana’a, setiap roh harus menyeberangi suatu jembatan antara dunia orang hidup dan orang mati. Bila roh itu berjalan tetapi jembatannya semakin mengecil bagaikan rambut, pertanda bahwa selama hidupnya banyak melakukan kejahatan. Pada akhirnya ia akan jatuh dan masuk ke dalam api yang menyala-nyala. Sebaliknya, seseorang yang selama hidupnya banyak berbuat baik, jembatannya semakin melebar dan perjalanannyapun lancar hingga ke

Teteholi Ana’a dengan selamat.

2. Mereka yang telah meninggal akan diwariskan Tõi (nama) dan Lakõmi

(kemuliaan). Apabila selama hidupnya telah berbuat yang terbaik dan sangat mengharumkan bagi keluarga bahkan masyarakat umum dengan bukti-bukti yang otentik, dia akan dikenang sepanjang masa. Maka untuk mengenang

20 Nenden Artistiana, (2011), Menelisik Keunikan Budaya Tanö Niha, (Jakarta: PT. Multazam Mulia Utama), hlm. 23

jasa-jasanya di dunia ini maka dibuatlah suatu patung yang menyerupai sehingga arwahnya dapat menjelma melalui patung tersebut dan meletakkan patungnya di tempat yang strategis serta selalu merawatnya dengan baik. Jikalau tidak menghormati rohnya maka janganlah heran bila mereka yang masih hidup akan menerima berbagai ganjaran malapetaka dan dapat tertular bagi banyak orang tetapi apabila taat dan menghormati orangtuanya maka anak itu pasti akan menjumpai banyak berkat-berkat seumur hidupnya. Untuk menangkal semua itu, setiap keluarga segera mengundang

Ere untuk mengadakan acara sesajen.

3. Kalau dulu semasa hidup dia adalah seorang raja maka di dunia seberang

Tetehõli Ana’a juga ia akan tetap menjadi raja dan yang miskin akan tetap miskin.

4. Dunia Teteholi Ana’a keadaanya terbalik. Apa yang baik di dunia ini, di sana akan jadi buruk. Maka ada kebiasan, orang-orang Nias, bila menitipkan baju dan barang-barang lainnya, semua barang itu dirusak. Jika di sini siang di sana malam demikian juga kalimat dalam bahasa di sana adalah serba terbalik. 21

Namun semenjak terjadinya penyebaran agama kristen yang dibawa oleh kaum puritanisme dari Eropa dan akibat perkembangan zaman, pada akhirnya tradisi kepercayaan Sanömba Nadu perlahan-lahan mulai ditinggalkan.

21Johannes. M. Hämmerle

2.3.2. Katolik

Menurut Fries yang dikutip oleh Johannes M. Hämmerle, (1985:3-7), bahwa masuknya misi Katolik Roma di kepulauan Nias ditandai dengan kedatangan pastor muda bernama Fr. Jean Pierre Vallon yang diutus oleh Society Misionaries Khatolik Perancis di bawah pimpinan Uskup Florens dari Perancis pada 14 Desember 1831 dan tiba di kepulauan Nias pada bulan Maret 1832. Ia tinggal di kampung Lasara dan memulai pelayanannya namun Tuhan berkehendak lain, di bulan Juni 1832 beliau meninggal dunia karena makanannya diracuni oleh warga. Tidak lama setelah itu datanglah Pastor Fr. Jean Laurent Bërard untuk menggantikannya namun dalam waktu tidak terlalu lama ia juga mati keracunan. Kemudian pada tahun 1834, Henry Lyman berkebangsaan Amerika yang diutus oleh Society Misionaries Khatolik Perancis melakukan pelayanan di Nias Selatan tetapi gagal dan kembali. Kemudian tahun 1854, datang lagi Pastor Caspar de Hesellse (missionaris Belanda). Ia tinggal di Sogawu-gawu

namun tak juga bertahan lama meninggal dan dikubur 31 Agustus 1854 di Hilihati, Gunungsitoli.22

Setelah Perang Dunia Kedua, Misi Katolik tumbuh dan menyebar dari Gunungsitoli ke bagian utara Nias dan dari Telukdalam ke bagian selatan Nias. Saat ini para Xaverian melayani beberapa Paroki. Salah satunya adalah di kota Telukdalam. Umat umumnya berasal dari jemaat BNKP.

Sebagaimana diuraikan oleh Menurut Marianus Amsal, (Oktober 2013), bahwa beberapa langkah-langkah yang ditempuh untuk mengembangkan

22 Johannes M. Hämmerle, (1985), Sejarah Gereja Katolik di Pulau Nias, (Telukdalam: Yayasan Pusaka Nias), hlm.3-7

pelayanan pastoral, antara lain; perayaan Ekaristi harian dan mingguan sebagai tanda dan ungkapan persatuan umat dengan Tuhan Yesus, mengusahakan dialog dan kegiatan ekumenis dengan umat beragama Kristen, mengusahakan komunio dengan perhatian pada orang-orang miskin lewat seksi sosial, mengadakan pendalaman iman paad momen-momen tertentu pada tingkat basis, serta mempromosikan Gereja kon-katedral sebagai pusat ziarah bunda Maria bagi seluruh umat Nias. Dalam bidang kegiatan oikumene para Xaverian mempunyai andil besar. Hal itu terlihat dari adanya beberapa kegiatan ekumene yang telah berjalan lancar dan adanya persaudaraan yang cukup akrab di antara para pemimpin Katolik dan para pendeta, mengusahakan kunjungan stasi bisa lebih dari 3 kali dalam setahun, memperkuat peranan awam dengan mendidik katekis paroki dan membentuk katekis wilayah, membangun struktur yang cukup kuat di tingkat paroki (dewan paroki inti). Pada wilayah dan stasi, mengusahakan pemberdayaan umat melalui berbagai kursus seperti: kursus para pemuka jemaat, katekis wilayah, mudika, guru-guru sekolah minggu, mengadakan kerja sama dengan komisi-komisi untuk pembinaan umat seperti komisi kateketik dan komisi sosial ekonomi (CU), mengusahakan oikumene di tingkat wilayah/ stasi dan melaksanakan katekese/ homili agar iman Kristiani semakin mengakar di hati umat sehingga nilai-nilai adat yang merugikan mereka dapat semakin berkurang. Karya yang telah dilakukan para Xaverian di Nias yang berusaha menghadirkan Kabar Gembira Injil dalam kehidupan nyata umat sehingga lama-kelamaan keterlibatan umat dalam kehidupan menggerja bisa sungguh semakin nyata.

Dokumen terkait