FAMADAYA HARIMAO
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MAENAMÖLÖ
KABUPATEN NIAS SELATAN KEPULAUAN NIAS
(KAJIAN SEJARAH SENI)
TESIS
OLEH,
ANTONIUS HARITA
NIM. 117037008
PROGRAM STUDI
MAGISTER (S.2) PENCIPTAAN DAN PENGKAJIAN SENI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PESETUJUAN
Judul Tesis : FAMADAYA HARIMAO DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MAENAMÖLÖ KABUPATEN NIAS SELATAN KEPULAUAN NIAS (KAJIAN SEJARAH SENI)
Nama : ANTONIUS HARITA
Nomor Pokok : 117037008
Program Studi : Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara Tanggal Lulus :
Menyetujui Komisi Pembimbing,
Pembimbing I, Permbimbing II,
Dr. Budi Agustono, M.S. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si NIP. 196008051987031001 NIP. 196003251986012001
Program Studi:
Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya
Ketua, Dekan,
PANITIA PENGUJI
Ketua : Drs. Irwansyah, M.A. ( )
NIP. 196212211997031001
Sekretaris : Drs. Torang Naiborhu, M.Hum ( )
NIP. 196212211997031001
Komisi Pembimbing I : Dr. Budi Agustono, M.S ( )
NIP. 196008051987031001
Komisi Pembimbing II : Dr. Asmyta Surbakti, M.Si ( )
NIP. 196003251986012001
Penguji : Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si ( )
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : ANTONIUS HARITA
NIM : 117037008
Program Studi : Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul Famada
Harimao Dalam Kehidupan Masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan
Kepulauan Nias adalah hasil karya penulis sebagai salah satu ketentuan guna
untuk meraih gelar Magister Seni pada Program Magister (S.2) Penciptaan dan
Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
Bilamana dikemudian hari ternyata ditemukan bahwa tesis ini bukanlah
hasil karya penulis atau plagiat, maka penulis bersedia menerima sanksi
pencabutan gelar sesuai dengan norma, kaidah dan kepatutan akademik serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku di wilayah NKRI.
Medan, 23 Juli 2014
Penulis,
Materai 6000
ABSTRAK
Salah satu seni budaya tradisional yang paling unik dan nyaris tidak terdokumentasi sebagai bagian yang utuh dalam sejarah adalah “Famadaya
Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan
Kepulauan Nias.”
Famadaya Harimao merupakan seni pertunjukan yang berfungsi sebagai
sarana upacara adat istiadat dan ritual keagamaan dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias pada masa lalu. Selain keunikannya tidak pernah ditemukan di seluruh penjuru etnis suku bangsa lain di dunia, didalamnya terkandung makna kearifan yang sangat mengagungkan sehingga tak jarang bila setiap orang menjulukinya sebagai sebuah pertunjukan yang sangat spektakuler.
Seiring dengan gerakan perubahan zaman, yakni sejak masuknya misi penginjilan yang dibawa oleh kaum Puritanisme dari Eropa secara bergelombang, ternyata melarang keras setiap warga lokaluntuk mengikuti upacara adat tertentu karena dianggap mengandung berhala, padahal semuanya itu merupakan budaya yang sudah mendarah daging, sementara pesan-pesan moral yang terkandung di dalam patung-patung itu sama sekali tidak dihiraukan. Ratusan tahun kemudian baru disadari bahwa tindakan pemusnahan sarana upacara adat dan religi kuno yang dilakukan oleh para misionar pada masa lalu bahkan masa kini merupakan kesalahan yang sangat merugikan etnis suku bangsa Nias, terutama penghancuran identitas dan pembunuhan kreativitas seni yang dahulu mengalir begitu deras dalam darah masyarakat Maenamölö sejak zaman dahulu.
Dalam rangka pelestarian Famadaya Harimao sebagai kebanggaan masa lalu, maka dibutuhkan prakarsa revitalisasi sehingga warisan budaya yang nyaris terlupakan, pada akhirnya dapat dikemas menjadi grand skenario guna mendukung pembangunan daerah.
ABSTRACT
One of the traditional arts and culture of the most unique and barely documented as an integral part of the history is "Famadaya Harimao in public life Maenamölö South Nias Nias Islands."
Famadaya Harimao a performing arts facility that serves as the ceremonial customs and religious rituals in public life Maenamölö South Nias Nias Island in the past. In addition to its uniqueness was never found all over the other ethnic nationalities in the world, meaning it contains highly exalts wisdom so often if everyone called him as a very spectacular show.
Along with the movement of the changing times, since the entry of the mission of which is carried by the Puritanism of Europe in waves, it strictly prohibits any local residents to follow certain traditional ceremonies because they contain idols, since all that is culturally ingrained, while message-moral message contained in the statues were completely ignored. Hundreds of years later it was realized that the means of destruction of ancient religious ceremonies and conducted by the misionar in the past and even today is very detrimental mistake Nias ethnic nationalities, especially the destruction of identity and murder of artistic creativity that once flowed so profusely in the blood community Maenamölö since time immemorial.
In order to conserve the Famadaya Harimao as the pride of the past, then takes initiatives to revitalize the cultural heritage that was almost forgotten, in the end can be packed into the grand scenario to support regional development.
PENGANTAR
Tesis ini berjudul “FAMADAYA HARIMAO DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT MAENAMÖLÖ KABUPATEN NIAS SELATAN
KEPULAUAN NIAS (KAJIAN SEJARAH SENI).”
Tujuan melakukan penelitian dan penulisan serta seminar tesis ini adalah
untuk memenuhi salah satu ketentuan akademik guna untuk meraih gelar Magister
Seni pada Program Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara.
Selama melakukan kegiatan penelitian tesis ini, beragam persoalan yang
dihadapi namun penulis dapat melewatinya dengan sikap yang arif dan rasional
sehingga pada akhirnya dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Ini merupakan kesempatan terbaik bagi penulis untuk menyampaikan
terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut serta dalam mendukung penulis
sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik, sebagai berikut:
1. Bapak Idealisman Dachi, selaku Bupati Nias Selatan Masa Bakti 2011-2016
yang telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor: 890/423/K/2011 Tentang
Tugas Belajar Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Nias Selatan Pada Program
Pendidikan Pascasarjana (S.2) Tahun 2011.
2. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K)
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara
3. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya
4. Bapak Drs. Irwansyah, M.A., selaku Ketua Program Studi Magister (S.2)
Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara.
5. Bapak Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, selaku sekretaris Program Studi
Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
6. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., selaku Komisi Pembimbing I.
7. Ibu Dr. Asmyta Surbakti, M.Si, selaku Komisi Pembimbing II.
8. Bapak Prof. Dr. Ikhwanudin Nasution, M.A., selaku Ketua Penguji.
9. Bapak Prof. Drs. Mauly Purba, M.A., Ph.D, Bapak Drs. Muhammad Takari,
M.A., Ph.D, Bapak Dr. Muhizar Muchtar, M.A., Bapak Drs. Setia
Dermawan Purba, M.Si, Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A., Bapak Drs.
Bebas Sembiring, M.Si, Ibu Dra. Ritha Ony Hutajulu, M.A., Ibu Yusnizar
Eniwaty, ST, M.Hum, Ibu Dra. Heristina, M.Pd, selaku dosen pada Program
Studi Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Sumatera Utara.
10. Bapak Drs. Ponisan, selaku Pegawai Kantor Magister (S.2) Penciptaan dan
Pengkajian Seni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.
11. Bapak Amos Harefa, Bapak Pdt. Bamböwö Laiya, S.Th, M.A., Bapak
Ariston Manaö, Bapak Hikayat Manaö, selaku Informan.
12. Ayahnya († Sitae Harita), Ibunda Bunoria Gaho, atas kesetiaannya
Program Studi Magister (S.2) Penciptaan dan Pengkajian Seni Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Sumatera Utara.
13. Kakak saya Kartina Harita di Lahewa Timur, Kabupaten Nias Utara, abang
Senantiasa Harita di Pekanbaru, abang Meiman Harita di Kabupaten Nias
Selatan dan abang Martinus Harita di Pekanbaru yang mengharapkan
keberhasilan saya dalam meraih masa depan yang lebih baik.
Penulis menyadari bahwa hasil karya ilmiah ini masih belum sempurna. Oleh sebab itu, diharapkan kepada semua pihak untuk menyampaikan kritikan maupun saran guna menyempurnakannya ke arah yang lebih baik lagi.
Medan, 23 Juli 2014 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : ANTONIUS HARITA
IDENTITAS
NIP : 197810222010011007
Tempat, Tanggal Lahir : Bawoganowo, 22 Oktober 1978
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Guru
Alamat Rumah : Genasi Hill, Km. 14. Desa Bawoganowo
Kecamatan Toma Kabupaten Nias Selatan
Telepon : 081263446210, 082273697202
1984 - 1990 : SD Negeri No. 071109 Bawoganowo, Kabupaten Nias Selatan PENDIDIKAN
1990 - 1993 : SMP Negeri Hilisatarö, Kabupaten Nias Selatan
1993 - 1996 : SMA Negeri 3 Gunungsitoli, Kabupaten Nias
2010 : Guru SD Negeri Nomor 075072 Hilindrasoniha Kecamatan Toma PENGALAMAN PEKERJAAN
Kabupaten Nias Selatan
2010 : Kepala Sekolah SMP Negeri 3 Toma Kabupaten Nias Selatan
2011 : Guru SMK Negeri 2 Dharma Caraka Telukdalam Kabupaten Nias
Selatan
2011 : Guru SMK Negeri 1 Kecamatan Toma Kabupaten Nias Selatan
2011 : Tugas Belajar Pegawai Negeri Sipil Pada Program Pendidikan
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
2010 - 2011 : Penggagas dan Pendiri SMP Negeri 3 Kecamatan Toma PENGALAMAN ORGANISASI
Kabupaten Nias Selatan
2011 - 2015 : Ketua Umum Pengurus Persatuan Catur Seluruh Indonesia
(PERCASI) Kabupaten Nias Selatan
2011 - 2016 : Sekretaris Dewan Pakar Gabungan Pendidik dan Tenaga
Pendidikan (GP. Tendik) Indonesia Kabupaten Nias Selatan
2012 - 2015 : Ketua Persekutuan Kasih Alumni SETIA (PERKAKAS)
DAFTAR ISI
Halaman
PERSETUJUAN ... i
PANITIA PENGUJI ... ii
PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
ABSTRACT ... v
PENGANTAR ... vi
RIWAYAT HIDUP ... ix
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN……… 1
1.1. Latar Belakang Masalah ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5
1.3.1. Tujuan Penelitian ... 5
1.3.2. Manfaat Penelitian ... 5
1.4. Tinjauan Pustaka ... 6
1.5. Konsep dan Landasan Teori ... 8
1.5.1. Konsep ... 8
1.5.2.1. Teori Fungsionalisme ... 9
1.5.2.2. Teori Semiotik ... 11
1.6. Metodologi Penelitian ... 14
1.7. Sistematika Penulisan ... 19
BAB II KEBUDAYAAN MASYARAKAT MAENAMÖLÖ... 21
2.1. Geografi Maenamölö ... 21
2.2. Asal Usul Maenamölö ... 22
2.3. Sistem Kepercayaan Masyarakat Maenamölö ... 29
2.3.1. Sanömba Nadu ... 29
2.3.2. Katolik ... 33
2.3.3. Kristen Protestan... 35
2.3.4. Islam ... 37
2.4. Sistem Pemerintahan Maenamölö ... 49
2.4.1. Masa Pra Penjajahan ... 39
2.4.2. Masa Penjajahan ... 49
2.4.2.1. Pemerintah Kolonial Belanda ... 49
2.4.2.2. Pemerintah Jepang ... 51
2.4.3. Masa Kemerdekaan Republik Indonesia ... 52
2.4.3.1. Kabupaten Tk. II Nias ... 52
2.4.3.2. Kabupaten Nias Selatan ... 53
2.5. Sistem Pencaharian Masyarakat Maenamölö ... 61
2.5.2. Pertanian ... 64
2.5.3. Nelayan ... 66
2.5.4. Peternakan ... 67
2.6. Kesenian Masyarakat Maenamölö ... 68
2.6.1. Megalitikum ... 69
2.6.2. Bolanafo... 71
2.6.3. Li Niha ... 74
2.6.4. Hoho ... 75
2.6.5. Fahombo Batu ... 77
2.6.6. Faluaya ... 79
2.6.7. Arsitektur ... 82
BAB III SEJARAH, FUNGSI DAN MAKNA FAMADAYA HARIMAO 85 3.1. Sejarah Famadaya Harimao ... 85
3.2. Fungsi Famadaya Harimao ... 87
3.3. Makna Famadaya Harimao ... 102
3.3.1. Busana dan Asesoris ... 102
3.3.2. Musik ... 104
3.3.2.1. Teks Lagu ... 108
3.3.2.2. Transkripsi Teks Lagu ... 108
3.3.2.3. Tangga Nada ... 109
3.3.2.4. Nada Dasar ... 110
3.3.2.6. Jumlah Nada ... 112
3.3.2.7. Interval ... 112
3.3.2.8. Kontur ... 113
3.3.3. Prosesi Famadaya Harimao ... 114
3.3.4. Transkripsi Famadaya Harimao ... 117
BAB IV UPAYA PELESTARIAN FAMADAYA HARIMAO ………… 124
4.1. Konsep Kebudayaan ... 124
4.1.1. Pengertian ... 124
4.1.2. Konsep Kebudayaan ... 124
4.2. Upaya Pelestarian Famadaya Harimao ... 126
4.2.1. Pemerintah Kabupaten Nias Selatan ... 128
4.2.1.1. Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Nias Selatan ... 129
4.2.1.2. Dinas Pariwisata Kabupaten Nias Selatan ... 132
4.2.2. Non Government Organization (NGO) ... 134
4.2.2.1. Sanggar Seni Budaya ... 135
4.2.2.2. Yayasan Pusaka Nias ... 139
4.2.3. Infrastruktur ... 139
4.2.3.1. Transportasi ... 141
BAB V PENUTUP ... 147
5.1. Kesimpulan ... 147
5.2. Saran ... 147
DAFTAR PUSTAKA ... 149
INFORMAN ... 153
GLOSARIUM ... 157
ABSTRAK
Salah satu seni budaya tradisional yang paling unik dan nyaris tidak terdokumentasi sebagai bagian yang utuh dalam sejarah adalah “Famadaya
Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan
Kepulauan Nias.”
Famadaya Harimao merupakan seni pertunjukan yang berfungsi sebagai
sarana upacara adat istiadat dan ritual keagamaan dalam kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias pada masa lalu. Selain keunikannya tidak pernah ditemukan di seluruh penjuru etnis suku bangsa lain di dunia, didalamnya terkandung makna kearifan yang sangat mengagungkan sehingga tak jarang bila setiap orang menjulukinya sebagai sebuah pertunjukan yang sangat spektakuler.
Seiring dengan gerakan perubahan zaman, yakni sejak masuknya misi penginjilan yang dibawa oleh kaum Puritanisme dari Eropa secara bergelombang, ternyata melarang keras setiap warga lokaluntuk mengikuti upacara adat tertentu karena dianggap mengandung berhala, padahal semuanya itu merupakan budaya yang sudah mendarah daging, sementara pesan-pesan moral yang terkandung di dalam patung-patung itu sama sekali tidak dihiraukan. Ratusan tahun kemudian baru disadari bahwa tindakan pemusnahan sarana upacara adat dan religi kuno yang dilakukan oleh para misionar pada masa lalu bahkan masa kini merupakan kesalahan yang sangat merugikan etnis suku bangsa Nias, terutama penghancuran identitas dan pembunuhan kreativitas seni yang dahulu mengalir begitu deras dalam darah masyarakat Maenamölö sejak zaman dahulu.
Dalam rangka pelestarian Famadaya Harimao sebagai kebanggaan masa lalu, maka dibutuhkan prakarsa revitalisasi sehingga warisan budaya yang nyaris terlupakan, pada akhirnya dapat dikemas menjadi grand skenario guna mendukung pembangunan daerah.
ABSTRACT
One of the traditional arts and culture of the most unique and barely documented as an integral part of the history is "Famadaya Harimao in public life Maenamölö South Nias Nias Islands."
Famadaya Harimao a performing arts facility that serves as the ceremonial customs and religious rituals in public life Maenamölö South Nias Nias Island in the past. In addition to its uniqueness was never found all over the other ethnic nationalities in the world, meaning it contains highly exalts wisdom so often if everyone called him as a very spectacular show.
Along with the movement of the changing times, since the entry of the mission of which is carried by the Puritanism of Europe in waves, it strictly prohibits any local residents to follow certain traditional ceremonies because they contain idols, since all that is culturally ingrained, while message-moral message contained in the statues were completely ignored. Hundreds of years later it was realized that the means of destruction of ancient religious ceremonies and conducted by the misionar in the past and even today is very detrimental mistake Nias ethnic nationalities, especially the destruction of identity and murder of artistic creativity that once flowed so profusely in the blood community Maenamölö since time immemorial.
In order to conserve the Famadaya Harimao as the pride of the past, then takes initiatives to revitalize the cultural heritage that was almost forgotten, in the end can be packed into the grand scenario to support regional development.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kepulauan Nias yang disebut dengan Tanö Niha1 adalah
sebuah
pulau Sumatera sebagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dihuni
oleh etniOno Niha.2
Meskipun sampai saat ini intepretasi asal usul Ono Niha masih terus
menimbulkan perdebatan dan belum menghasilkan sebuah hipotesis yang otentik.
Sebagaimana hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para arkeolog dari Balai
Arkeologi Sumatera Utara dan Institut de Recherche Pour le Developpment,
Perancis yang dikutip oleh Harry Truman Simanjuntak, (11 Oktober 2006),
bahwa pada masa Paleolitik (abad 12.000 B.P.), ditemukan sudah ada manusia
dari daratan Asia di sebuah daerah Hoabinh, Vietnam yang bertransmigrasi ke
kepulauan Nias.
3
1Tanö Niha, secara etimologi memiliki pengertian, sebagai berikut: Tanö artinya tanah, pulau dan Niha, artinya manusia, orang, Nias
Akan tetapi, menurut Ketut Wiradnyana, yang disadur oleh
Panitia Seminar Internasional Asal Usul Suku Bangsa Nias, (2013:5), berpendapat
bahwa dari hasil analisa radio carbon, asal usul suku kepulauan Nias terjadi pada
masa Neolitik (abad 14-16 Masehi), yakni setelah kepulauan Nias terpisah dari
pulau Sumatera dengan menggunakan transportasi perahu dalam beberapa tahapan
2Ono Niha, secara etimologi memiliki pengertian, sebagai berikut: Ono, artinya anak dan Niha, artinya manusia, orang, Nias
3
dan lama-kelamaan menyebar diberbagai penjuru kepulauan Nias.4
Berdasarkan dokumen sejarah, Kepulauan Nias terkenal karena dibingkai
oleh ragam pesona kebudayaannya, salah satunya adalah seni budaya ‘Famadaya
Harimao.’ Famadaya Harimao merupakan seni pertunjukan yang berfungsi
sebagai sarana dalam upacara adat istiadat dan ritual keagamaan tradisional dalam
kehidupan masyarakat Maenamölö pada masa lalu. Di dalamnya menyimpan
sejumlah makna filosofi yang arif dan rasional. Proses pertunjukannya dilakukan
dengan cara sekumpulan serdadu kampung mengusung patung Harimao sembari
berarak-arakkan dengan tari-tarian yang diiiringi dengan instrumen musik
tradisional bagaikan pawai. Namun sejak masuknya misi penginjilan yang dibawa
oleh kaum puritanisme dari Eropa secara bergelombang, ternyata Famadaya
Harimao sebagai budaya masyarakat Maenamölö yang sudah mendarah-daging
secara perlahan-lahan dilupakan, ditinggalkan. Sementara pesan moral yang
terkandung di dalam patung-patung itu sama sekali tidak dihiraukan. Ratusan
tahun kemudian baru disadari bahwa tindakan pemusnahan wahana religi kuno
yang dilakukan oleh para misionar pada masa lalu bahkan masa kini merupakan Akan tetapi
ditinjau dari interpretasi folklor yang berkembang di masyarakat lokal, disebutkan
bahwa asal-usul leluhur suku Nias adalah para putra Sirao Uwu Jihönö yang
bertahta di kerajaan Teteholi Ana’a (suatu negeri yang sangat indah dan permai)
yang berada di langit lapisan ke sembilan. Atas kekalahan mereka dalam
memperebutkan mahkota langit, pada akhirnya mereka harus dibuang ke bumi
kepulauan Nias kemudian keturunannya menyebar ke seluruh kepulauan Nias.
kesalahan yang sangat merugikan etnis suku bangsa. Sama artinya dengan mereka
telah melakukan pemusnahan bukti sejarah suku Nias, penghancuran identitas dan
pembunuhan kreativitas seni yang dahulu mengalir begitu deras dalam darah
generasi zaman itu.
Bamböwö Laiya, (2006:3-4), mengatakan bahwa tempo dulu, hampir
setiap kegiatan acara-acara adat atraksi mengarak Harimao selalu ditampilkan
namun semenjak tahun 1883, kehadiran para misionaris Jerman untuk
memperkenalkan Protestanisme kepada masyarakat Nias Selatan ternyata tidak
memiliki komitmen dalam mendukung memelihara kebudayaan masyarakat
setempat. Kecurigaan ini semakin bertambah ketika para misionaris dengan
berani melarang warga jemaat untuk bersyair (Molau Hoho), menari (Maluaya),
makan sirih (Manafo), atraksi mengarak (Mamadaya) dan sebagainya. Pada
akhirnya orang-orang Nias Selatan yang menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan
dan Juruselamat, mulai meninggalkan adat-istiadat yang telah diwariskan secara
turun-temurun oleh leluhur karena dianggap bernuansa takhayul dan berhala,
padahal semua itu adalah budaya yang sudah mendarah daging.5
5 Bamböwö Laiya, (2011), Sejarah Singkat BNKP Raya, (Telukdalam: Tata Gereja BNKP Raya), hlm.3-4
Selanjutnya
Johannes M. Hämmerle, (1995:44), mengatakan bahwa pada tahun 1916 ketika
para misionaris menggelarkan pertobatan massal, sejak itulah kebanyakan
masyarakat Nias mulai berani membuang, membakar dan menghanyutkan di
dan arwah leluhur mereka termasuk benda-benda peninggalan leluhur lainnya
yang dianggap mengandung berhala.6
Dalam rangka upaya pelestarian Famadaya Harimao sebagai kebanggaan
masyarakat Maenamölö masa lalu dan hampir terlupakan, para pemangku
kepentingan perlu menyusun rencana strategis sebagai grand skenario secara
ontologi (input), epistemologi (process) dan aksiologi (output) guna untuk
menghidupkan kembali pariwisata dan kebudayaan kuno yang semula hampir
terlupakan pada akhirnya dapat diaktifkan kembali menjadi sebuah konsumsi
heritage yang menarik guna mendukung mikro finance yang berdampak pada
pembangunan berbasis otonomi daerah.
1.2. Rumusan Masalah
Berkaitan dengan uraian di latar belakang, maka penulis merumuskan
masalah, sebagai berikut:
1. Apakah sejarah, fungsi dan makna Famadaya Harimao dalam kehidupan
masyarakat Maenamölö.
2. Bagaimana upaya pelestarian Famadaya Harimao dalam kehidupan
masyarakat Maenamölö.
1.3. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan penelitian Famadaya
Harimao, sebagai berikut:
1. Menjelaskan sejarah, fungsi dan makna Famadaya Harimao dalam
kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan
Nias.
2. Menjelaskan upaya pelestarian Famadaya Harimao dalam kehidupan
masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Setelah menyelesaikan penelitian Famadaya Harimao, harapan penulis,
sebagai berikut:
1. Guna untuk memajukan kebudayaan daerah berbasis kearifan lokal, maka
Pemerintah Kabupaten Nias Selatan, melalui:
a. Dinas Pendidikan Kabupaten Nias Selatan untuk dimasukkan dalam
daftar kurikulum muatan lokal, baik di tingkat pendidikan formal
maupun non formal, sebagai strategi pengenalan, pemahaman,
kecintaan, kebanggaan dan menghargai dalam kerangka pelestarian
nilai-nilai kebudayaan leluhur.
b. Menjadi bahan bagi Dinas Pariwisata Kabupaten Nias Selatan untuk
melakukan upaya pelestarian Famadaya Harimao yang bermutu dan
pada akhirnya dapat diaktifkan kembali guna mendukung mikro
finance yang berdampak bagi pembangunan Kabupaten Nias Selatan.
2. Hasil penelitian ini dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat lokal untuk
menghargai sebagai identitas dan kebanggaan masa lalu. Selanjutnya, dapat
dijadikan sebagai referensi, baik kalangan akademis, lembaga adat, para
budayawan, seniman maupun peneliti lainnya guna penelitian lanjutan yang
berhubungan dengan pelestarian Famadaya Harimao.
3. Melalui penelitian ini semakin menambahkan pengetahuan penulis selaku
peneliti, berkaitan dengan kesejarahan, fungsi dan makna Famadaya
Harimao. Selanjutnya dapat mengimplementasikannya secara praktis
dengan mengemasnya dalam bentuk modul atau paket yang menarik guna
untuk memajukan kebudayaan daerah.
1.4. Tinjauan Pustaka
Sebagai pedoman pada pelaksanaan penelitian di lapangan, maka terlebih
dahulu penulis melakukan rujukan dari hasil karya orang lain khususnya yang
berkaitan dengan Famadaya Harimao.
Di dalam karya tulis ilmiah Albinus Fombagi Fau, dalam skripsinya,
Fondrakö Suatu Uraian Etis-Kritis Atas Nilai-Nilai Fondrakö Dalam Kehidupan
Masyarakat Nias, (1997:84-85), menjelaskan bahwa salah satu dambaan manusia
di dunia ini adalah terciptanya kehidupan yang harmonis. Untuk mewujudkan
cita-cita tersebut maka manusia harus membutuhkan Fondrakö sebagai pandangan
Agama Suku Dalam Kehidupan Masyarakat Nias Selatan Dan Wadah
Pembaharuan Famatö Harimao, (2004), menerangkan bahwa di dalam budaya
masyarakat Nias terdapat semacam wadah pembaharuan untuk semua aspek
kehidupan masyarakat. Wadah pembaharuan yang dimaksud adalah upacara
Famatö Harimao sebagai bagian integral dalam kehidupan masyarakat
Maenamölö di Nias Selatan. Namun akibat gerakan perubahan zaman baru,
menyebabkan keaslian nilai-nilai yang terkandung di dalam perarak-arakkan
Harimao perlahan-terus memudar. Walaupun masih ditampilkan pada acara-acara
tertentu hingga saat ini akan tetapi konteksnya tidak sama dengan peristiwa yang
sebenarnya-benarnya, melainkan dijadikan sebagai media untuk mencapai
kepentingan para elite politik terutama bagi mereka yang sedang berkuasa di
wilayah pemerintah Kabupaten Nias Selatan. Disertasi Jerome Allen Feldman,
berjudul The Arcitekture of Nias Indonesia With Special Reference To
Bawömataluo Village,(1977), mendeskripsikan bahwa di daerah Maenamölö ada
upacara khusus pembuangan bersimbol Harimao yang diselenggarakan tiap-tiap
tujuh atau empat belas tahun dengan cara menenggelamkan buangnya ke kedalam
sungai Gomo di Jumali sebagai tumbal atas kesalahan manusia, baik secara
personal maupun komunitas sehingga totalitas kehidupan manusia mengalami
pemulihan (restorasi) seutuhnya. Bentuk patung Harimao tersebut bukanlah
binatang harimau yang sebenarnya, sebab belum pernah ditemukan harimau di
kepulauan Nias kecuali di Pulau Sumatera dan di daerah lainnya. Selanjutnya,
karya Yosafat F. Dachi, berjudul Masyarakat Nias dan Kebudayaannya, (2012),
adalah pemujaan terhadap dewa laki-laki bersimbolkan patung Harimao.
Badannya berbentuk anjing, mulutnya seperti Lasara atau Lawölö (ular naga).
Setelah selesai dibuat patung tersebut maka masing-masing desa berkumpul dan
mengarak-arakan patung harimau tersebut sambil mengusungnya ke Jumali untuk
diritualkan dan membuangnya ke kedalaman sungai Gomo sebagai tebusan jiwa
manusia.
Semua karya ilmiah tersebut di atas menjadi sumber inspirasi bagi
penulis untuk melakukan kajian dalam penelitian Famadaya Harimao dalam
kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias.
1.5. Konsep dan Landasan Teori
1.5.1 Konsep
Famadaya Harimao merupakan bagian yang integral dalam kehidupan
masyarakat Maenamölö pada masa lalu. Hal ini tercermin pada upacara
adat-istiadat dan ritual keagamaan masyarakat Maenamölö masa lalu. Bila
dibandingkan dengan seni budaya lainnya, barangkali Famadaya Harimao
tergolong paling unik dan spektakuer, di dalamnya terkandung makna yang arif
dan rasional. Interpretasi folklor yang berkembang, dikatakan bahwa munculnya
pemikiran Famadaya Harimao adalah suatu amanat yang diilhamkan oleh dewa
pencipta langit dan bumi beserta seluruh isinya) kepada Mölö (seorang leluhur
masyarakat Maenamölö) untuk membuat suatu patung Harimao. Setelah
mencapai 7 tahun lamanya menyelesaikan patung itu, menjelang bulan purnama
kaumnya untuk melaksanakan ritual kemudian serombongan serdadu mengusung
patung tersebut sembari berarak-arakan bagaikan pawai, selanjutnya mematahkan
dan membuangnya ke kedalam sungai Gomo di Jumali.
Fungsi Famadaya Harimao dalam kehidupan masyarakat Maenamölö
Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias, sebagai berikut:
1. Sebagai media pengesahan amandemen Fondrakö
2. Sebagai media pemulihan, pembaharuan (restorasi) totalitas kehidupan
manusia seutuhnya, baik secara personal maupun komunal.
3. Sebagai media penobatan status seseorang di tengah-tengah masyarakat di
kampung.
4. Sebagai media penghormatan adat.
1.5.2 Landasan Teori
1.5.2.1. Teori Fungsionalisme
Teori Fungsionalisme adalah suatu bangunan teori yang paling besar
pengaruhnya dalam ilmu sosial pada abad sekarang ini. Beberapa tokoh yang
pertama kali mencetuskan teori Fungsional, yaitu; August Comte, Emile
Durkheim dan Herbet Spencer.
Lahirnya teori Fungsionalisme adalah karena masih didapatkannya
kelemahan-kelemahan pada paradigma-paradigma sebelumnya (evolusi, difusi,
dan sejarah kebudayaan) meskipun mereka selalu memperbaiki metode analisis
dalam penelitiannya dengan baik namun kesan yang muncul dari hipotesis
melakukan penelitian lapangan hingga abad 20, masih juga terdapat
kelemahan-kelemahan di dalamnya. Berbagai kritik yang dilontarkan pada teori tersebut
karena dalam penelitian yang mereka lakukan tidak membandingkan dengan
kebudayaan lain yang memiliki keterkaitan tetapi lebih kepada data yang telah
tersedia dalam budaya itu sendiri.
Menurut Bundahega, (15 Januari 2011), dijelaskan bahwa teori
Fungsionalisme menekankan kepada keteraturan bahwa masyarakat merupakan
suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang
saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi
pada suatu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain,
dengan kata lain masyarakat senantiasa berada dalam keadaan berubah secara
berangsur-angsur dengan tetap memelihara keseimbangan.7
Dalam rangka pengkajian tentang fungsi Famadaya Harimao dalam
kehidupan masyarakat Maenamölö Kabupaten Nias Selatan, penulis berpedoman
pada teori Bronislaw Kasper Malinowski (1884-1942) berasal dari keluarga
bangsawan Cracow berkebangsaan Polandia. Sebagai pakar Antropologi, berawal
dari pendalamannya tentang folklor dan dongeng-dongeng rakyat akhirnya
melahirkan suatu teori Fungsional tentang kebudayaan. Menurut Bronislaw
Kasper Malinowski yang dikutip oleh Koentjaraningrat, (1987:167), bahwa ada 3
tingkat abstraksi fungsi sosial, sebagai berikut:
1. Pengaruh terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang
lain dalam masyarakat.
2. Pengaruh terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lainnya untuk
mencapai maksudnya seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat
yang bersangkutan.
3. Pengaruh terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara
integrasi dari suatu sistem sosial tertentu.8
1.5.2.2. Teori Semiotik
Menurut Lorenz Bagus, (2002:985), mendefinisikan bahwa Semiotik
adalah sebagai teori filsafat yang mempelajari tentang tanda-tanda dan
simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk
mengkomunikasikan informasi.9
Sesuai dengan tulisan Junaedi, (7 September 2008), bahwa secara garis
besar semiotik digolongkan menjadi tiga konsep dasar, sebagai berikut:
1. Semiotic Pragmatic. Menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda
oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan,
dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik
merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda)
terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik
Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi
(kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur
akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi
tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam
8 Koentjaraningrat, (1987), Sejarah Teori Antroplologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press), hlm.167
menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur
merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.
2. Semiotic Syntactic. Menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa
memperhatikan ‘makna’nya ataupun hubungannya terhadap perilaku
subyek. Semiotik Sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek
yang menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan
tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari
berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara
komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya, hubungan antar bagian
dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.
3. Semiotic Semantic. Menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai
dengan ‘arti’ yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik
merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang
disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang
ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi
wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil
persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat
dikatakan berhasil jika makna atau ‘arti’ yang ingin disampaikan oleh
perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat
oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya
sama dengan persepsi pengamatnya.10
10 Junaedi, (7 September 2008),
Hal yang terpenting dalam proses semiotik adalah bagaimana makna
muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi.
Contoh: Saat seorang gadis mengenakan rok mini, maka gadis itu sedang
mengomunikasi mengenai dirinya kepada orang lain yang bisa jadi memaknainya
sebagai simbol keseksian. Begitu pula ketika Nadia Saphira muncul di film Coklat
Strowberi dengan akting dan penampilan fisiknya yang memikat, para penonton
bisa saja memaknainya sebagai icon wanita muda cantik dan menggairahkan.
Untuk mengungkap makna yang terkandung dalam Famadaya Harimao,
penulis mengacu pada teori Charles Sanders Peirce (1893:1914), seorang pendiri
Pragmatisme, sebagai berikut:
Tabel 1:1
[= tanda yang memiliki kualitas objek yang
[= tanda eksistensi aktual suatu objek]
Argument
[= tanda suatu hukum]
Sumber: John Lechte, 2001
Menurut Charles Sanders Peirce, sebagaimana dikutip oleh John Lechte,
(2001:226-231), bahwa berawal dari kerangka filsafat, tanda adalah yang
cahaya merah disebuah simpang empat pertanda mobil harus berhenti. Tandanya
adalah STOP; Objeknya adalah BERHENTI; Penafisrnya adalah GAGASAN
(menggabungkan tanda itu dengan objek). Tanda juga bisa menunjukkan adanya
jalan utama atau wilayah yang sangat padat penduduknya. Melalui fungsi dari
penafsir melahirkan sebuah proses semiotik yang tidak terbatas. Oleh sebab itu,
suatu tanda tidak pernah berupa suatu entitas yang sendirian melainkan memiliki
ketiga aspek. Tipe tanda juga memiliki memiliki bentuk dasar triad, yaitu Ikon,
Indeks, Symbol. Nilai penting sebuah Ikon adalah kualitasnya. Indeks merupakan
sebuah tanda yang secara fisik terkait atau dipengaruhi oleh objeknya. 11
1.6. Metodologi Penelitian
Menurut Merriam Alan P. (1964:30-40), istilah metode mencakup
tehnik-tehnik dan juga berbagai-bagai pemecahan msalah sebagai bingkai kerja
dalam penelitian lapangan.12
11
John Lechte, (2001), 50 Filsuf Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, Cetakan ke-6), hlm.226-231
Selanjutnya, menurut Nyoman Kutha Ratna,
(2010:89-90), mengatakan bahwa munculnya metode kualitatif dipicu oleh
pemahaman bahwa gejala kehidupan terdiri atas 2 unsur yang berbeda, Pertama
yaitu unsur yang terindra dan tak terindra. Dalam kehidupan sehari-hari dikenal
sebagai bentuk jasmani dan rohani, fisik dan non fisik, konkrik dan abstrak, kasar
dan halus, nyata dan tidak nyata. Kedua yaitu gejala tersebut sangat berpengaruh
dalam kehidupan manusia bahkan manusia terbentuk atas dasar kedua gejala
tersebut. Pemahaman lebih jauh menunjukkan bahwa kedua unsur tersebut
termasuk memerlukan metode kualitatif.13
Berpedoman pada metode penelitian kualitatif di atas, maka untuk
mendapatkan data tentang fungsi dan makna Famadaya Harimao, penulis
menggunakan pendekatan, sebagai berikut:
1. Observasi
Meskipun observasi bukanlah alat untuk mengetahui segala-galanya tetapi
paling tidak observasi menjadi langkah awal untuk mengetahui makna yang
tersembunyi di balik pendengaran dan penglihatan. Sehubungan dengan
penelitan Famadaya Harimao, maka penulis melakukan observasi melalui
pesta budaya Nias Selatan yang diselenggarakan di Telukdalam Kabupaten
Nias Selatan Tahun 2009, Event Bawömataluo Ekspo-1 yang
diselenggarakan di desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten
Nias Selatan Tahun 2011, Acara penyambutan Menteri Pembangunan
Daerah Tertinggal bernama Helmy Faishal, saat berkunjung di desa
Bawömataluo Kabupaten Nias Selatan tahun 2011. Dalam pelaksanaan
Famadaya Harimao, penulis mendokumentasikannya dengan menggunakan
Handphone merek NOKIA type N73 untuk direkam dan divideokan
Famadaya Harimau dan menggunakan Cammera Digital merek SONY
Type DCS-S700 Cyber-shot untuk pemoteratan.
2. Wawancara
Koentjaraningrat, (1991:162), mengemukakan bahwa wawancara
merupakan suatu proses tanya jawab antara peneliti dengan informan
tentang suatu masalah yang sedang diteliti guna melengkapi data yang
diperoleh dari observasi maupun dari data pustaka yang telah ada.14 Secara
garis besar, wawancara melibatkan dua komponen, pewawancara yaitu
peneliti itu sendiri dan orang-orang yang diwawancarai. Pada saat
melakukan wawancara peneliti adalah pihak yang memerlukan ‘sesuatu’ dan
segala sesuatu yang dimaksudkan adalah milik para informan. Bagian yang
paling sulit dalam pengumpulan data adalah pada saat pertama kali turun ke
lapangan memasuki lokasi sekaligus menemui para nara sumber tersebut.
Keberhasilan penelitian ditentukan oleh kemampuan untuk menyesuaikan
diri dengan situasi dan kondisi masyarakat tempat melakukan penelitian.15
14 Koentjaraningrat, (1991), Metode Wawancara Dalam Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedfia Pustaka Utama), hlm.162
Jauh-jauh hari sebelum melakukan penelitian, penulis mengidentifikasi
beberapa orang yang dianggap berwawasan luas tentang kebudayaan
masyarakat Maenamölö kemudian mewawancarai langsung di lapangan
secara mendalam dan berkesinambungan sambil mencatat hal-hal yang
dianggap paling urgen serta merekamnya secara audiovisual. Informan
pertama adalah bernama Amos Harefa, seorang keluarga keturunan Si’ulu di
desa Lawindra Kecamatan Majinö Kabupaten Nias Selatan. Pada masa ini
beliau telah dinobatkan oleh masyarakat setempat sebagai ahli waris nenek
moyangnya. Beliau juga masih aktif menjabat sebagai Kepala Desa
Hilinawalö Fau serta berperan sebagai pemerhati sanggar seni budaya
‘Wanita Tarahö’ Desa Hilinawalö Fau Kecamatan Fanayama Kabupaten
Nias Selatan. Sampai hari ini Pemerintah Kabupaten Nias Selatan melalui
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mengangkatnya sebagai Tim ad hoc yang
mengawasi dan mengendalikan nilai-nilai sub kultur masyarakat Kabupaten
Nias Selatan. Informan kedua adalah bernama Bamböwö Laiya, seorang
tokoh Nias yang memiliki banyak talenta. Beliau berasal dari keturunan
Si’ulu (bangsawan) desa Botohilitanö Kecamatan Luahagundre Maniamölö
Kabupaten Nias Selatan. Beliau juga terkenal sebagai komponis lagu daerah
Nias yang menduduki papan atas sepanjang masa, diantaranya lagu yang
berjudul Asi Silimba-Limba, Sarara Holi. Saat ini beliau bersama istri
tercintanya bernama Nyonya Sitasi Zagötö yang sudah mencapai umur 65
tahun sedang mengikuti kuliah doktor pada bidang Linguistik di Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara di Medan. Satu-satunya alasannya
memilih untuk kuliah di tempat ini karena bagi mereka berdua tidak mampu
lagi untuk pulang-pergi dalam perjalanan yang jauh ke luar negeri. Jadi cari
yang paling dekat saja. Informan ketiga bernama Ariston Manaö, seorang
pendiri sanggar seni budaya ‘Gaule Ana’a’ di desa Bawömataluo
Kecamatan Fanayama, masih aktif menjabat sebagai Kepala Desa
Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Ia juga
seringkali mendapat tugas dari Pemerintah Kabupaten Nias Selatan untuk
regional maupun tingkat dunia. Dia juga yang menggagas event
Bawömataluo Ekspo I dan Bawömataluo Ekspo II dalam rangka promosi
budaya Nias Selatan. Pemerintah Kabupaten Nias Selatan melalui Kantor
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan mengangkatnya Tim Pengawas dalam
bidang seni dan budaya daerah sampai hari ini. Informan keempat adalah
bernama Hikayat Manaö, salah satu komponis yang berasal dari desa
Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias. Pada tahun 80-an, dia
terkenal sebagai pelompat batu terbaik di desanya. Beliau adalah penggagas
sekaligus pendiri sanggar seni budaya ‘Baluseda’ yang beralamat di Desa
Bawömataluo Kecamatan Fanayama Kabupaten Nias Selatan. Sangar ini
seringkali diundang oleh berbagai kalangan, baik pada tingkat event lokal,
nasional, regional bahkan dunia. Pada masa tuanya, Hikayat Manaö, telah
nobatkan sebagai Kafalo Faluaya (panglima tari perang) oleh masyarakat
desa Bawömataluo melalui upacara adat. Selanjutnya, sampai hari ini
Pemerintah Kabupaten Nias Selatan melalui Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan mengangkatnya sebagai Tim ad hoc yang mengawasi dan
mengendalikan nilai-nilai sub kultur masyarakat Kabupaten Nias Selatan.
Walaupun hanya sebagai komponis lokal, namun namanya terus tersohor di
seluruh penjuru kepulauan Nias karena nada dan lagu yang bernuansa
kebudayaan telah membahana dimana-mana, salah satunya adalah album 9
1.7. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan tesis ini, penulis membuat outline sebanyak lima
BAB, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab satu, penulis menjelaskan Latar Belakang, Rumusan
Masalah, Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka,
Konsep dan Landasan Teori terdiri dari Teori Fungsional, Teori
Semiotik. Metodologi Penelitian. Sistematika Penulisan.
BAB II DINAMIKA KEBUDAYAAN MAENAMÖLÖ
Pada bab kedua, penulis menjelaskan Geografi Maenamölö, Asa Usul
Maenamölö, Sistem Keagamaan Maenamölö terdiri dari Sanömba
Adu, Katolik, Kristen Protestan, Islam. Sistem Pemerintahan
Maenamölö terdiri dari Masa Pra Penjajahan, Masa Penjajahan terdiri
dari Pemerintahan Kolonial Belanda, Pemerintahan Jepang. Masa
Kemerdekaan Republik Indonesia terdiri dari Kabupaten Tk. II Nias,
Kabupaten Nias Selatan. Sistem Pencaharian Maenamölö terdiri dari
Perburuan, Pertanian, Nelayan, Peternakan. Kesenian Maenamölö
terdiri dari Megalitik, Bolanafo, Li Niha, Hoho, Fogaele, Fahombo
Batu, Faluaya, Arsitektur, Arsitektur.
BAB III SEJARAH, FUNGSI DAN MAKNA FAMADAYA HARIMAO
Pada bab tiga, penulis menjelaskan tentang Sejarah Famadaya
terdiri dari Busana dan Asesoris, Musik terdiri dari Teks Lagu antara
lain Transkripsi Teks Lagu, Tangga Nada Nada Dasar, Wilayah Nada,
Jumlah Nada, Interval, Kontur. Persiapan, Prosesi Famadaya
Harimao, Transkripsi Famadaya Harimao.
BAB IV UPAYA PELESTARIAN FAMADAYA HARIMAO
Pada bab empat, penulis menjelaskan tentang Pengertian Pelestarian,
Ruang Lingkup Pelestarian. Upaya Pelestarian Famadaya Harimao
terdiri dari Pemerintahan antara lain Dinas Pendidikan Kabupaten
Nias Selatan, Dinas Pariwisata Kabupaten Nias Selatan. Non
Government Organization terdiri dari Sanggar Seni Budaya, Yayasan
Pusaka Nias. Infrastruktur terdiri dari Transportasi, Perhotelan.
BAB V PENUTUP
BAB II
KEBUDAYAAN MASYARAKAT MAENAMÖLÖ
2.1. Geografi Maenamölö
Secara geografi, Maenamölö terletak pada 0° 33’ 25” LS dan 1° 4’ 5”
LU serta 97° 25’ 59” dan 98° 48’ 29” BT. Berbatasan dengan:
Sebelah Utara : Kecamatan Aramö
Sebelah Selatan : Samudera Hindia
Sebelah Timur : Kecamatan Telukdalam
Sebelah Barat : Kecamatan Mazinö
Topografi Maenamölö sebagaian besar berbukit-bukit dan terjal dengan
ketinggian mencapai 800 meter di atas permukaan laut dan dataran yang rendah
terdapat lembah dikelilingi oleh Samudera Hindia yang membentang langsung ke
Afrika di Barat dan Antartika di Selatan.
Iklim di daerah Maenamölö antara 17,0°-32,60° celcius dan rata-rata
kelembaban udara antara 80 - 90%. Kecepatan angin mencapai 14 hingga 16 knot
per jam menyebabkan musim kemarau dan musim hujan datang dengan silih
berganti. Curah hujan perbulan rata-rata 298,60 mili meter, diperkirakan lebih
banyak hari hujan daripada kemarau setiap bulan. Dengan demikian, kondisi
alamnya menjadi sangat lembab dan basah sehingga mengakibatkan sering
terjadinya longsor di sana-sini bahkan daerah aliran sungai yang
berpindah-pindah. Hal ini sering kali dibarengi dengan badai besar. Badai laut biasanya
terkadang badai bisa berubah secara mendadak. Akibat kondisi alam yang
demikian melahirkan aliran sungai kecil, sedang dan besar ditemui di seluruh
wilayah.
2.2. Asal Usul Maenamölö
Secara etimologi, kata ‘Maenamölö’ dibagi menjadi Mae, artinya citra,
seperti, menyerupai, penjelmaan, inkarnasi. Na, adalah singkatan dari seseorang
yang dituakan. Mölö adalah nama pribadi leluhur yang pernah bertransmigrasi ke
Böröfösi pada masa lalu. Sebelum peristiwa pemekaran Kecamatan Maniamölö,
seluruh desa di wilayah ini masih menyebutnya Maenamölö. Argumentasi
tersebut dibuktikan dengan pendirian nama kampung Bawömaenamölö,
Hilimaenamölö yang berada di wilayah Kecamatan Maniamölö hingga saat ini
masih menyebut dirinya sebagai Maenamölö Tou. Demikian juga warga kampung
Hilinawalö Fau, Onohondrö dan Siwalawa yang berada di wilayah Kecamatan
Fanayama, menyebut identitas sebagai Maenamölö atas. Jadi dapat didefinisikan
Maenamölö merupakan sekumpulan masyarakat beberapa kampung yang
memiliki hubungan darah dalam satu garis keturunan leluhur yang sama bernama
Mölö di wilayah Kabupaten Nias Selatan Kepulauan Nias.
Menurut Sökhiaro Welther Mendröfa, (1980:63-137), bahwa nenek
moyang masyarakat suku Nias diturunkan dari Teteholi Ana’a,16
16Teteholi Ana’a, artinya langit lapisan ke-9, tempat dewa dewa pencipta bertahta, rahim sang ibu, suatu negeri yang sangat indah dan permai.
disanalah Sirao
masing-masing dikaruniai tiga orang anak laki-laki. Permaisuri yang pertama adalah
bernama Mburutio Rao Gawe Zihönö. Anaknya laki-laki bernama Baewadanö,
La’indrö Lai Sitambaliwö, Balugu Luo Mewöna. Permaisuri yang kedua adalah
bernama Nawaöndru Ere Gowasa. Anaknya laki-laki bernama Lasoro Gae Sitölu
Ndraha, Gözö Tuuha Zangaröfa, Hia Walani Adu. Permaisuri yang ketiga adalah
bernama Zi’adulo Rao Ana’a. Anaknya laki-laki bernama Lahari Sofusö Kara,
Daeli Bagabölö Lani, Lulu Hada Ana’a. Pada suatu hari terjadi keributan yang
sangat sengit diantara ke sembilan putra Sirao Uwu Jihönö untuk merebut
mahkota Tetehőli Ana’a. Karena suasana pertengkaran di istana semakin
memanas, maka untuk menenangkan keadaan tersebut Sirao Uwu Jihönö
mengundang seluruh rakyat dari berbagai penjuru untuk menyaksikan sayembara
memperebutkan mahkota Teteholi Ana’a. Sebelum sayembara dimulai, bangkitlah
raja Sirao Uwu Jihönö Uwu Jato seperti seekor singa yang mengaung dihadapan
ribuan orang dengan menyerukan barangsiapa diantara kesembilan anak-anakku
yang sanggup memanjat dan menari-nari di atas mata tombak yang dipancangkan
di halaman istana bagaikan seekor burung yang sedang bertengger di atasnya
maka kepadanyalah aku berkenan. Dialah yang akan mewariskan tahta kerajaan di
Teteholi Ana’a.’ Kemudian raja Sirao Uwu Jihönö mempersilahkan satu persatu
putranya mulai dari yang tertua secara berurutan. Ironisnya, dari delapan orang
anaknya tak seorangpun yang berhasil melakukannya. Namun tiba pada giliran si
bungsu bernama Luomewöna, dia mengawali dengan bersujud dihadapan ayahnya
dan kepada ketiga orang istri ayahnya serta kepada seluruh rakyat memohon restu.
perhatian tertuju kepadanya. Saat melakukannya, dengan penuh mudah sekali
baginya mencapai mata tombak itu dan akhirnya iapun berhasil memenangkan
sayembara itu. Maka berseru-serulah raja Sirao dihadapan ribuan orang yang
menyaksikan kebolehan Luomewöna bahwa mulai pada hari ini dialah yang akan
bertahta di Teteholi Ana’a. Tidak lama setelah dinobatkan menjadi raja
menggantikan ayahnya, ke delapan orang abangnya yang kalah dibuang ke bumi
kepulauan Nias. Salah satunya adalah bernama Hia Walani Adu dan menjadi
leluhur penduduk Nias Selatan.17
Selanjutnya menurut Amos Harefa, (2013), bahwa keberadaan Hia
Walangi Adu di Sifalagö Gomo, dikarunai sembilan orang anak laki-laki.
Nama-namanya dimulai dari yang sulung hingga bungsu, sebagai berikut: Telau, Boto,
Bawa, Mata, Ikhu, Talina, Gahe, Tana, Tara. Pada suatu hari mereka pergi
mencari makanan tetapi di tengah hutan menemukan pohon sagu. Telau bertugas
menebang pohon sagu itu sedangkan ketujuh adik-adiknya mendapat tugas untuk
menayang dari bawah. Karena mereka tidak kuat menayangnya, akhirnya pohon
sagu itu menimpa mereka dan matilah Boto, Bawa, Mata, Ikhu, Talina, Kahe dan
Tana hanya Telau dan Tara saja yang beruntung selamat. Pada prinsipnya hidup
adalah pilihan, ibarat Haega so mbua geho, gaö möi manugela wofo (dimana ada
pohon berbuah ke situlah burung datang bertengger). Demikianlah Telau hidup
menetap Sifalagö Gomo tetapi sebelum Tara meninggalkan kota leluhurnya di
Sifalagö Gomo, ayahnya Hia Walangi Adu mengadakan perjamuan bersama dan
memberinya banyak nasehat sebagai petuah kehidupan termasuk tongkatnya
terbuat dari Lewuo hao (sejenis pohon bambu) kapada Tara anaknya. Dimana saja
tongkat itu ditancapkan hingga menembus ke dalam tanah maka itulah pertanda
bahwa tanah itu yang akan memberi bagimu kesuburan selama-lamanya.
Keesokan harinya, sebelum matahari terbit pada pagi hari di ufuk Timur,
berangkatlah Tara bersama isterinya. Dari tatapan mata yang sangat dekat, kini
semakin mengecil lalu pada akhirnya menghilang karena mereka melintasi
lereng-lereng gunung yang tinggi, melewati pinggir jurang yang dalam. Banyak sungai
yang dalam dan luas diseberangi hingga menemukan sungai Mejaya di desa
Hili’alawa. Mereka menyusuri ke atas sungai itu hingga di tanah yang agak datar
tepatnya di desa Lawindra wilayah Kecamatan Majinö Kabupaten Nias Selatan.
Karena isteri Tara sangat letih dan meminta untuk istrahat sejenak untuk
memulihkan tenaga yang telah banyak terkuras. Momentum ini dimanfaatkan oleh
Tara untuk memancangkan tongkat milik ayahnya di sekitar tempat itu dan
langsung tertanam hingga ke kedalaman. Maka tersungkurlah Tara ke tanah.
Saking girangnya, ia mulai menyair sembari menari-nari di depan istrinya karena
telah menemukan tanah perjanjian dan menamainya Lawindra. Setelah terjadi
inkulturasi baru di tempat itu, maka Tara mengumpulkan seluruh kaumnya untuk
mengadakan Owasa Sebua (pesta besar) dan menobatkannya menjadi ‘Sanaya
Bute.’ Pada musim kelaparan mulai tiba, ke empat putra Sanaya Bute bernama
Mölö, Jinö, Tuha Ene dan Lalu pergi berburu dan mencari makanan di tengah
hutan belantara, ternyata mereka menemukan berjejeran pohon sagu di tengah
hutan belantara. Jinö mendapat tugas untuk menebang batang pohon sagu tetapi
Tuha Ene dan Lalu menyelamatkan diri tetapi Mölö hampir terjebak ditimpa
pohon sagu itu. Beruntung ia dapat menyelamatkan dirinya dari peristiwa naas itu.
Kejadian ini membuat hati Mölö tidak terima dan merasa ditipu oleh
adik-adiknya. Dari situlah situasi mulai tidak aman dan lama-kelamaan semakin
menegang, kebersamaan yang sudah lama terbina lama-kelamaan semakin
memudar, merasa tidak nyaman bila hidup bersama lagi. Rasa senasib dan
sepenanggungan yang dulu, kini tinggal kenangan, suasana semakin meruncing.
Tak ada pilihan lain mereka harus berpisah. Jinö menetap di Lawindra tetapi Lalu,
Tuha Ene dan Mölö memilih untuk meninggalkan tempat itu. Lalu beserta
rombongannya menuju daerah Ono Mönö. Tuha Ene beserta rombongan menuju
Hili’amuruta. Selanjutnya, Mölö beserta rombongannya pergi dengan melintasi
lereng-lereng gunung yang tinggi, melewati pinggir jurang yang dalam. Akhirnya
mereka tiba Böröfösi. Pada mulanya Böröfösi mencerminkan suatu kehidupan
yang rukun, damai dan bahagia tetapi seiring dengan berjalannya waktu ke waktu,
hubungan kekerabatan yang utuh lama-kelamaan mulai memudar, masing-masing
bersaudara saling menonjolkan diri dengan bertepuk dada, suka merampas yang
bukan haknya, gemar mencari-cari kesalahan saudaranya dengan menuduh tanpa
ampun, merasa susah hati ketika melihat saudaranya berhasil dan amat senang bila
melihat saudara kandungnya menderita kesusahan. Para isteri saling irihati, semua
saling bertengkar mulut, mengancam mau berlaga, ditambah lagi pada masa ini
seringkali mengalami musibah kelaparan. Akhirnya Mölö mengumpulkan seluruh
keluarganya untuk bersepakat. Masing-masing ke lima putranya menanam pohon
menunggu pisang itu sampai berbuah kira-kira enam bulan lamanya. Bilamana
condong batang dan buah pisangmu, ke situlah engkau pergi dan menetaplah di
sana. Sebelum kelima orang putra tersebut berpisah satu sama lainnya, Mölö dan
isterinya Nandua Ziliwu menjamu kelima putranya itu dengan menyembelih
berpuluh-puluh ekor babi dan ayam. Momentum ini dimanfaatkan untuk
memberikan nasehat sebagai petuah serta membagi-bagikan harta warisannya
secara adil. Adapun Fau adalah anak sulung mendapat bagian warisan Farada
(emas murni), kemudian bernama Takhi mendapat bagian Adu Zatua (patung
leluhur), sedangkan Boto, bagiannya adalah Toho (tombak), dan Maha
mendapatkan Tölögu (pedang), Hondrö, mendapat Baluse (perisai) sedangkan
Hörözaitö seorang perempuan bungsu mendapat bagian perhiasan emas. Pada
akhirnya kedua orangtua mereka memberkati kelima rang anak-anaknya
dimanapun mereka berada kelak beroleh kehidupan dalam damai sejahtera.
Kesekoan harinya, mereka semua berangkat meninggalkan Böröfösi menuju ke
tempat dimana arah condong pisangnya. Laki-laki memikul beban yang berat dan
perempuan menggendong keranjang yang bergelantangan dengan melewati
banyak gunung-gunung melintasi lereng bukit dan menyusuri berbagai lembah
dan menyeberangi hulu sungai yang dalam dan sangat luas. Setelah Fau beserta
isterinya Nalai Mbarasi dan anak-anaknya tiba di lokasi itu, bersukacitalah hati
Fau dan mengatakan: ‘Di sinilah petunjuk bagiku, di sinilah arah condong
pisangku’. Kemudian semuanya memotong kayu berdahan, menarik akar dan
membersihkan dengan membakarnya, meratakan batang puar lalu mulai
dalam kampung tersebut semakin bertambah sedangkan lahan untuk mendirikan
rumah baru sudah mulai terbatas berhubung lahan sudah tidak memadai, demikian
juga sudah tidak terjaminnya keamanan kampung akibat bencana alam, musuh
sehingga warga kampung setiap saat terancam jiwanya, terjadinya perselisihan
pendapat antara keluarga satu keturunan dengan keturunan lainnya, maka mereka
memisahkan diri dari kampung induk dan mencari lokasi yang dianggap aman dan
nyaman. Pada akhirnya mereka menyebar ke beberapa tempat, ada yang
mendirikan kampung Orahili Fau, Hilinawalö Fau, Bawöfanayama dan
Hilizondrege’asi. Hal serupa dialami oleh Takhi. Ia membawa isterinya Nawua
Geho beserta anak-anaknya. Setibanya di lokasi itu, maka bersukacitalah hatinya,
atas kegirangannya yang tak dapat dibendung lagi, pada akhirnya ia menari dan
berkata: ‘Di sinilah petunjuk bagiku, di sinilah arah condong pisangku’.
Kemudian mereka semua saling bergotong-royong memotong kayu berdahan,
menarik akar dan membersihkan dengan membakarnya, meratakan batang puar
lalu mulai mendirikan suatu kampung bernama Hili Lawalani tak lama kemudian
pindah ke Hili’amaigila. Karena jumlah penduduk dalam kampung tersebut
semakin bertambah sedangkan lahan untuk mendirikan rumah baru sudah mulai
terbatas belum lagi terjadinya perselisihan pendapat antara keluarga satu
keturunan dengan keturunan lainnya, maka mereka memisahkan diri dari
kampung induk dan mencari lokasi yang dianggap aman dan nyaman. Pada
akhirnya mereka menyebar ke beberapa tempat, ada yang mendirikan kampung
Setelah bertahun-tahun lamanya, keturunannya mendirikan kampung Hilisaudanö,
adalah Boto. Ia membawa isterinya bernama Silini Hösi dan anak-anaknya,
mendirikan kampung bernama Hili Lalimboto sebagai desa induk. Keturunannya
mendirikan kampung Hilifalawu, Hilifalawu, Hilimböwö, Hilihöru, Hiligombu,
Botohösi. Kemudian Maha juga mengalami hal yang serupa. Ia memiliki seorang
istri Rai Balaki, pada akhirnya meninggalkan Böröfösi menuju Ulimbawa.
Lama-kelamaan keturunannya mendirikan beberapa kampung yang baru, diantaranya
adalah kampung Siwalawa, Hiligeho, Lahömi, Bawölowalani, Hili’ana’a,
Hilisondrekha. Demikian pula Hondrö, memiliki isteri bernama Siholai. hidup dan
menetap di Huluhösi. Kemudian keturunannya mendirikan kampung Onohondrö.
Karena Hörözaitö adalah anak si bungsu perempuan, maka ia harus menetap
bersama orangtuanya. Berhubung karena Nandua Jiliwu lebih dahulu meninggal
dunia, pada akhirnya Mölö pergi berkelana sebagai musafir di Tanoi Disana
mempersuntung anak seorang bangsawan dan mempunyai anak laki-laki bernama
Sebua Tendroma. Di tempat dimana ia tinggal disebut orang Ono Namölö Laraga
Tumöri, di tempat itulah Mölö nantinya dikuburkan.18
2.3. SistemKepercayaan Masyarakat Maenamölö
2.3.1. Sanömba Nadu
Menurut Johannes Maria Hämmerle, (1990:201), bahwa sebelum
datangnya agama Katolik, Protestan, Islam, Hindu dan Budha bersebar di seluruh
pelosok kepulauan Nias, sistem kepercayaan masyarakat suku Nias bersifat
Politheisme, Naturisme, Fetisisme, Dinamisme, Animisme.19
Sesembahan suku Nias termasuk di dalamnya penduduk Maenamölö
sejak zaman dahulu adalah Inada Samihara Luo selaku dewa pencipta dan
berkuasa atas seluruh kehidupan yang bertahta di atas langit lapisan ke sembilan,
Latura Danö selaku dewa yang berkuasa di bumi, Silewe Najarata selaku dewi
yang berkuasa menengahi Inada Samihara Luo dengan Latura Danö. Selain itu
juga mereka juga percaya kepada dewa-dewa yang menampakkan diri sebagai
gejala-gejala alam, seperti; matahari, bulan, bintang, pohon besar, arwah nenek
moyang, Sigelo Danö sebagai dewa yang menjaga gua atau lubang-lubang yang
dalam, Laöhö sebagai dewa yang berkuasa atas angin topan, Fauhesa sebagai
dewa yang menjaga gua atau lubang-lubang yang dalam, Luaha Goholu sebagai
dewa yang menjaga sungai, Anonatö sebagai dewa yang memberikan kekuatan
untuk mengalahkan musuh pada saat terjadi perang dan sebagainya. bahwa dewa
pujaan orang Nias lainnya adalah. Semua itu dipersonifikasikan ataupun
dimanifestasikan dalam bentuk patung dari bahan batu ataupun kayu dan
mengganggapnya bahwa di dalam patung-patung itu akan ditempati oleh para
dewa ataupun roh.
Menurut Nenden Artistiana, (2011:23), berpendapat bahwa pada acara
pemujaan, Ere sebagai perantara selalu membunyikan atau memukul-mukul
Fondrahi (tambur) dan pada saat menyampaikan permohonan dalam bentuk Hoho
(syair-syair kuno) atau mantera-mantera, Ere juga mempersiapkan sesajen dalam
bentuk makanan (babi, ayam, telur) disertai kepingan emas juga diberikan supaya
segala sesuatu yang dimohonkan itu dapat dikabulkan. Kemudian persembahaan
dalam bentuk korban makanan dapat dibagi-bagi kepada orang yang hadir, akan
tetapi setelah ritual selesai, uang, emas dan barang-barang berharga lainnya
sebagai persembahan warga akan menjadi hak Ere.20
Menurut Johannes. M. Hämmerle, (15 Maret 2009), bahwa pemikiran
masyarakat Nias yang menganut kepercayaan Sanömba Nadu, sebagai berikut:
1. Manusia mempunyai Boto (tubuh), Noso (nafas) dan Lumö-Lumö
(bayangan). Setelah seseorang mati maka Boto akan menjadi ke tanah, Noso
akan kembali ke Teteholi Ana’a (sorga) dan Lumö-Lumö (bayangan) akan
menjadi Bekhu (roh). Agar bisa sampai ke Tetehõli Ana’a, setiap roh harus
menyeberangi suatu jembatan antara dunia orang hidup dan orang mati. Bila
roh itu berjalan tetapi jembatannya semakin mengecil bagaikan rambut,
pertanda bahwa selama hidupnya banyak melakukan kejahatan. Pada
akhirnya ia akan jatuh dan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.
Sebaliknya, seseorang yang selama hidupnya banyak berbuat baik,
jembatannya semakin melebar dan perjalanannyapun lancar hingga ke
Teteholi Ana’a dengan selamat.
2. Mereka yang telah meninggal akan diwariskan Tõi (nama) dan Lakõmi
(kemuliaan). Apabila selama hidupnya telah berbuat yang terbaik dan sangat
mengharumkan bagi keluarga bahkan masyarakat umum dengan bukti-bukti
yang otentik, dia akan dikenang sepanjang masa. Maka untuk mengenang
jasa-jasanya di dunia ini maka dibuatlah suatu patung yang menyerupai
sehingga arwahnya dapat menjelma melalui patung tersebut dan meletakkan
patungnya di tempat yang strategis serta selalu merawatnya dengan baik.
Jikalau tidak menghormati rohnya maka janganlah heran bila mereka yang
masih hidup akan menerima berbagai ganjaran malapetaka dan dapat
tertular bagi banyak orang tetapi apabila taat dan menghormati orangtuanya
maka anak itu pasti akan menjumpai banyak berkat-berkat seumur
hidupnya. Untuk menangkal semua itu, setiap keluarga segera mengundang
Ere untuk mengadakan acara sesajen.
3. Kalau dulu semasa hidup dia adalah seorang raja maka di dunia seberang
Tetehõli Ana’a juga ia akan tetap menjadi raja dan yang miskin akan tetap
miskin.
4. Dunia Teteholi Ana’a keadaanya terbalik. Apa yang baik di dunia ini, di
sana akan jadi buruk. Maka ada kebiasan, orang-orang Nias, bila menitipkan
baju dan barang-barang lainnya, semua barang itu dirusak. Jika di sini siang
di sana malam demikian juga kalimat dalam bahasa di sana adalah serba
terbalik. 21
Namun semenjak terjadinya penyebaran agama kristen yang dibawa oleh
kaum puritanisme dari Eropa dan akibat perkembangan zaman, pada akhirnya
tradisi kepercayaan Sanömba Nadu perlahan-lahan mulai ditinggalkan.
21Johannes. M. Hämmerle
2.3.2. Katolik
Menurut Fries yang dikutip oleh Johannes M. Hämmerle, (1985:3-7),
bahwa masuknya misi Katolik Roma di kepulauan Nias ditandai dengan
kedatangan pastor muda bernama Fr. Jean Pierre Vallon yang diutus oleh Society
Misionaries Khatolik Perancis di bawah pimpinan Uskup Florens dari Perancis
pada 14 Desember 1831 dan tiba di kepulauan Nias pada bulan Maret 1832. Ia
tinggal di kampung Lasara dan memulai pelayanannya namun Tuhan
berkehendak lain, di bulan Juni 1832 beliau meninggal dunia karena makanannya
diracuni oleh warga. Tidak lama setelah itu datanglah Pastor Fr. Jean Laurent
Bërard untuk menggantikannya namun dalam waktu tidak terlalu lama ia juga
mati keracunan. Kemudian pada tahun 1834, Henry Lyman berkebangsaan
Amerika yang diutus oleh Society Misionaries Khatolik Perancis melakukan
pelayanan di Nias Selatan tetapi gagal dan kembali. Kemudian tahun 1854, datang
lagi Pastor Caspar de Hesellse (missionaris Belanda). Ia tinggal di Sogawu-gawu
namun tak juga bertahan lama meninggal dan dikubur 31 Agustus 1854 di
Hilihati, Gunungsitoli.22
Setelah Perang Dunia Kedua, Misi Katolik tumbuh dan menyebar dari
Gunungsitoli ke bagian utara Nias dan dari Telukdalam ke bagian selatan Nias.
Saat ini para Xaverian melayani beberapa Paroki. Salah satunya adalah di kota
Telukdalam. Umat umumnya berasal dari jemaat BNKP.
Sebagaimana diuraikan oleh Menurut Marianus Amsal, (Oktober 2013),
bahwa beberapa langkah-langkah yang ditempuh untuk mengembangkan