• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi tahlilan dalam kehidupan masyarakat desa tegalangus (analisis sosio kultural)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tradisi tahlilan dalam kehidupan masyarakat desa tegalangus (analisis sosio kultural)"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar

Sarjana Strata Satu

Oleh

Muhammad Iqbal Fauzi

NIM: 109015000111

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL (IPS)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

iv

Jurusan Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi masyarakat desa Tegalangus dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal dan untuk mengetahui nilai-nilai positif dan negatif dari tradisi tahlilan di desa Tegalangus terhadap masyarakatnya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan wawancara, observasi dan dokumentasi. Kemudian teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Masyarakat desa Tegalangus memiliki motivasi yang berbeda-beda dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal, Seperti, masyarakat akan lebih termotivasi untuk hadir dan mengikuti pelaksanaan tahlilan jika orang yang meninggal atau keluarga yang tertimpa musibah (yang ditinggal oleh salah satu anggota keluarganya) adalah temannya, keluarga temannya, atau bahkan seorang tokoh masyarakat.

Tradisi tahlilan di desa Tegalangus memiliki nilai positif dan negatif bagi masyarakatnya. Silaturrahmi, solidaritas sosial dan ceramah agama yang berisi pengetahuan agama merupakan nilai-nilai positif dari tradisi tersebut. Selain nilai positif tersebut, tahlilan juga memiliki nilai negatif bagi masyarakat desa Tegalangus. Tahlilan membentuk kebiasaan masyarakat dalam menyuguhkan aneka hidangan untuk jama’ah tahlilan yang memberatkan keluarga, terutama keluarga yang tidak mampu, tahlilan juga sering dijadikan ranah politik, banyak yang menjual tahlilan untuk kepentingan politik, terlebih jelang pemilihan umum.

(6)

iv ABSTRACT

Muhammad Iqbal Fauzi (NIM: 109015000111), Tahlilan Tradition in

Society Living of Tegalangus Village (Cultural Socio Analysis). Thesis Studies

Socilogy-Antropology of Education, Department of Social Studies, Faculty of Tarbiyah and Teaching, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. 2014.

This research aim to know motivation of Tegalangus people to attend realization of tahlilan in the house people who passed away and for knowing negative and positive values from tahlilan tradition in Tegalangus village to the society.

The method that was used in this research is qualitative descriptive method. And the data technique collection in this research use interview, observation and documentation. And then, the data analysis technique that was used in this research is data reduction, presentation and interpretation of conclusion.

Tegalangus people have different motivation to attending realization of tahlilan in the house people who passed away, start from people who want praying seriously untill people who was only for delete the obligation.

Tahlilan tradition in Tegalangus village have positive and negative values for people. Silaturahmi, social solidarity and religion speech which contain religion knowledge is positive value from that tradition. Beside it, tahlilan made people behaviour for burden family, the first for family who include in poor people, tahlilan also was become as politic domain, many people who sold tahlilan for politic importance, especially close general election.

(7)

vi

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Syukur Alhamdulilah segala puji bagi Allah Tuhan Semesta Alam, atas rahmat dan karunia-Nya kepada penulis maka selesailah skripsi ini yang berjudul “Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosio Kultural)”. Tak lupa sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi suri tauladan bagi manusia, dan semoga kita menjadi pengikutnya hingga nanti.

Selesainya skripsi ini tak lupa do’a dan kesungguhan hati, kerja keras serta bantuan dari berbagai pihak baik saran maupun bantuan lainnya. Tiada kata yang dapat penulis ucapkan selain ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuan ini, dan lebih khusus ucapan terimakasih yang saya ucapkan kepada:

1. Nurlena Rifa’i MA.Ph.D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Iwan Purwanto, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. H. Syaripulloh, M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

4. Cut Dhien Nourwahida. MA., selaku Dosen pembimbing akademik, yang telah memberikan arahan, motivasi juga dukungan kepada penulis selama masa perkuliahan.

(8)

vii

7. Abah dan Umi, yang telah membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang, kesabaran serta pengorbanan. Untaian do’a penuh cinta yang selalu penulis panjatkan untuk Abah dan Umi mudah-mudahan bisa menjadi pengganti sebuah kebanggaan yang belum sempat penulis persembahkan untuk Abah dan Umi.

8. Keluargaku tercinta, Mamah, Teh Enti, Mas Agus (matur nuwun Mas, atas waktu tanya jawabe), Teh Uus, Bang Dayat, Ka Aceng, Teh Yanti, Ka Ade, Ka Alan, Teh Yuli (thank you laptopnya), Bang Syahdan, Nunu (sory yah ga bisa ngasih tebengan lagi), Firda, yang tak henti-hentinya mengirimkan do’a, memberikan nasihat, motivasi dan terus memberikan dukungan baik secara materi maupun spirit bagi penulis di setiap situasi dan kondisi. Asa, Indana, Syifa, Rahmah, Taftajani, Nashoriy, Kalzoem, Kaffah, Nuah, senyuman dan tangisanmu selalu menjadi motivasi bagi penulis. Mak Isah, Mpo Mursiah, terimakasih atas segala do’anya.

9. Mang Edi, Ustadz Ikhwan, Ustadz Ahmad, selaku guru agama penulis, tempat penulis bertanya tentang banyak hal, yang tak henti-hentinya memberikan nasihat, arahan, motivasi juga dukungan kepada penulis dalam menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial dan hamba Allah SWT.

10.Guru-guru penulis di Yayasan Pendidikan Islam Hidayaturrohman (Hiro), terima kasih atas segala ilmu dan do’anya kepada penulis.

11.Ustadz Ikhwan Muhtarip, Ustadz Ahmad Yuarsa, Pak Achmad Zamroni, Pak Sarip Hidayatulloh dan seluruh responden lainnya, terima kasih atas bantuan dan kesediaanya untuk menjadi sumber dalam penulisan skripsi ini.

(9)

viii

14.Teman-teman penulis, Furqon, Cessna, Feri, Irul, Angga, Bayu, Rahman, Ucup, Kober, Wahyu DJ, Beles, Zaki, Gagap, Agung, Desty, Desi, Nanda, Indah, Dkk).

15.Teman-teman dunia lain, Thile dan Usuf, yang senantiasa gentayangan didekat penulis dan selalu mendengarkan keluh kesah penulis dalam menjalani masa perkuliahan, meskipun penulis yakin kalau kalian berdua tak paham apa yang penulis ceritakan. Nanang, terima kasih bos atas segala do’a dan dukungannya.

16.Pelanggan Rizquna Jersey, lewat perantara kalianlah rizqi Rizquna Jersey Allah titipkan, semoga terus bertambah.

17.Semua teman-teman seperjuangan Jurusan IPS angkatan 2009, serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah mendukung dalam penulisan skripsi ini hingga selesai.

Akhir kata penulis mohon maaf atas segala kekurangan dan ketidak sempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya, dan pembaca umumnya. Semoga skipsi ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi dunia pendidikan khususnya dan pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Alhamdulillahirrobil’Alamin

Wassalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh.

Jakarta, 17 Januari 2014

(10)

ix

SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH ...ii

LEMBAR PENGESAHAN SIDANG MUNAQASAH ...iii

ABSTRAK ….. .. ...iv

KATA PENGANTAR ….. .. ...vi

DAFTAR ISI ...ix

DAFTAR TABEL ...xii

DAFTAR LAMPIRAN ...xiii

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ...1

B.Identifikasi Masalah ...6

C.Pembatasan Masalah ...7

D.Perumusan Masalah ...7

E. Tujuan Penelitian ...8

F. Manfaat Penelitian ...8

BAB II KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori 1. Pengertian Tradisi Tahlilan ...10

a. Pengertian Tradisi …...……….. 10

b. Pengertian Tahlilan ...13

c. Sejarah Tahlilan ...15

d. Pelaksanaan Tahlilan ...20

2. Masyarakat a. Pengertian Masyarakat ...22

b. Bentuk-bentuk Masyarakat ...26

(11)

x

b. Teori Fungsionalsme Struktural Robert K. Merton ………. 32

4. Solidaritas Sosial Emile Durkheim ……… 35

B. Hasil Penelitian Relevan ...37

C. Kerangka Berpikir ...41

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ...43

B. Latar Penelitian (Setting) ...43

C.Metode Penelitian...44

D.Prosedur Pengumpulan Data ...44

1. Wawancara ...46

2. Observasi ...48

3. Dokumentasi ...48

E. Teknik Pengolahan Data ...59

F. Pemeriksaan atau Pengecekan Keabsahan Data ...50

G.Analisis Data ...51

1. Analisis Sebelum di Lapangan ...51

2. Analisis Selama di Lapangan ...52

3. Reduksi Data ...52

4. Penyajian Data ...52

5. Penarikan Kesimpulan ...52

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Kondisi Fisik dan Sosial Daerah Penelitian ...54

1. Gambaran Umum Wilayah ...54

2. Kondisi Demografi...54

(12)

xi

di Desa Tegalangus …………..………..……….... 61 3. Dampak Negatif yang Ditimbulkan dari Tradisi Tahlilan di

Desa Tegalangus Terhadap Masyarakatnya ……….………. 63

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan ...66 B.Saran ...67

(13)

xii

[image:13.595.153.443.269.557.2]
(14)

xiii Lampiran 2 Hasil Observasi Lapangan Lampiran 3 Pedoman Wawancara Lampiran 4 Hasil Wawancara

Lampiran 5 Pedoman Studi Dokumentasi Lampiran 6 Panduan Tahlilan

Lampiran 7 Jadwal Pembacaan Tahlil di Desa Tegalangus

Lampiran 8 Surat pengantar penelitian dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Lampiran 9 Surat Keterangan Penelitian dari desa Tegalangus

Lampiran 10 Profil Desa Tegalangus

(15)

1

A.

Latar Belakang Masalah

Sebelum Islam masuk ke Indonesia, agama Hindu dan Buddha telah berkembang luas di Nusantara ini-di samping banyak yang masih menganut animisme dan dinamisme.1 Suatu kenyataan bahwa Islam ke Indonesia dilakukan secara damai. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer Muslim. Islam dalam batas tertentu disebarkan oleh pedagang, kemudian dilanjutkan oleh para guru agama (da’i) dan pengembara sufi.2

Secara umum, dapat dikatakan bahwa proses masuknya Islam ke Nusantara yang ditandai awal hadirnya pedagang-pedagang Arab dan Persia pada abad ke-7 Masehi, terbukti mengalami kendala sampai masuk pada pertengahan abad ke-15. Ada rentang waktu sekitar delapan abad sejak kedatangan awal Islam, agama Islam belum dianut secara luas oleh penduduk pribumi Nusantara. Baru pada pertengahan abad ke-15, yaitu era dakwah Islam yang dipelopori tokoh-tokoh sufi yang dikenal dengan sebutan Wali Songo, Islam dengan cepat diserap ke dalam asimilasi dan sinkretisme Nusantara.3

Dalam kenyataannya, para Wali telah merumuskan strategi dakwah atau strategi kebudayaan secara sistematis, terutama bagaimana menghadapi kebudayaan Jawa dan Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat, dan sangat mapan. Ternyata, para wali memiliki metode yang sangat bijak. Mereka

1

Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 197.

2

Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2005), h. 8.

3

(16)

memperkenalkan Islam tidak serta merta, tidak ada cara instan, karena itu mereka merumuskan strategi jangka panjang.4

Strategi para Wali dalam mengembangkan ajaran Islam di bumi Nusantara dimulai dengan beberapa langkah strategis. Pertama, tadrij (berharap). Tidak ada ajaran yang diberlakukan secara mendadak, semua melalui proses penyesuaian. Bahkan, tidak jarang secara lahir bertentangan dengan Islam, tapi ini hanya strategi. Misalkan mereka dibiarkan minum tuak, makan babi, atau mempercayai para danyang dan sanghyang. Secara bertahap, perilaku mereka itu diluruskan. Kedua, „adamul haraj (tidak menyakiti). Para Wali membawa Islam tidak dengan mengusik tradisi mereka, bahkan tidak mengusik agama dan kepercyaan mereka, tapi memperkuatnya dengan cara yang Islami.5

Penyebaran Islam di tanah Jawa oleh para Wali memiliki persamaan dengan pertama kali Rasulullah SAW menyebarkan Islam di tanah Arab, yaitu kondisi masyarakat yang telah beragama, berkeyakinan dan telah memiliki budaya dan tradisi setempat. Di Jawa, khususnya, telah mengakar sebuah keyakinan dari agama Hindu dan Buddha dalam banyak aspek, terlebih yang berkaitan dengan kematian, ritual selamatan dan sebagainya. Tidak berbeda jauh dengan kondisi di atas, Rasulullah SAW juga menghadapi sebuah kondisi masyarakat yang hampir sama dengan mewarisi beragam tradisi dan adat istiadat dari leluhur warga Arab,

utamanya dengan keberadaan Ka’bah.6

Sesuai dengan metode dakwah Rasulullah ini, Wali Songo dan para penyebar Islam terdahulu tidak serta menghilangkan dan menghapus tradisi dari agama sebelum Islam. Mereka sangat toleran dengan tradisi lokal yang telah membudaya dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan akidah dan hukum Islam, serta mencoba meraih hati mereka agar masuk Islam dengan menyelipkan ajaran Islam dalam tradisi mereka. Meski demikian, ajaran yang dimasukkan dalam tradisi tersebut bukan hal yang terlarang dalam agama bahkan termasuk ibadah dan

4

Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan), (Tangerang: Transpustaka, 2011), h. xi.

5

Ibid., h. xii.

6Muhammad Ma’ruf Khozin, Tahlilan Bid’ah Hasanah

(17)

pendekatan diri pada Allah, semisal dzikir, mendo’akan orang mati dalam selametan, membaca surat Yasin dan menghadirkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal, sedekah atas nama orang meninggal dan sebagainya.7

Di satu sisi Rasulullah SAW menghargai tradisi yang telah mengakar dalam masyarakat, di sisi lain ketika Rasulullah SAW dihadapkan dengan tradisi yang menyimpang maka Rasulullah SAW tidak menghapusnya, namun menggantinya dengan hal-hal yang sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai contohnya adalah penduduk Madinah, dimana penduduknya telah memiliki dua nama hari (Nairuz

dan Mahrajan) yang dijadikan sebagai hari perayaan dengan bersenang-senang, persembahan pada patung dan sebagainya. Maka, kedatangan Islam tidak menghapus tradisi berhari raya, namun dengan mengubah rangkaian ritual yang ada di dalamnya dengan sholat dan sedekah dalam ‘idhul fitri, juga sholat dan ibadah haji atau qurban dalam ‘idhul adha.8

Demikian halnya cara dakwah yang dijalankan oleh para Wali Songo khususnya di tanah Jawa. Para Wali sangat arif dengan budaya lokal pra Islam, seperti tingkeban saat kehamilan (mendo’akan janin), 7 hari, 40 hari dan 100 hari

setelah kematian dan tradisi selamatan lainnya. Budaya ini tidaklah serta merta dihapus oleh para penyebar Islam tersebut, tetapi diisi dengan nilai-nilai yang sesuai ajaran Islam seperti baca al-Qur’an, shalawat, sedekah. Amaliah ini sama seperti yang dilakukan Rasulullah SAW ketika mengubah isi hari raya di Madinah.9

Kematian adalah satu kenyataan yang setiap kali disaksikan oleh manusia. Karena itu, tidak mengherankan kalau mereka menjadi biasa dengan kematian itu, sebagaimana mereka menghadapi musim dingin, musim panas, tenggelam dan terbitnya matahari.10 Di kalangan masyarakat kita ada tradisi, ketika ada orang meninggal, maka pihak keluarga mengadakan selamatan 7 hari, yang dihadiri para tetangga, kerabat dan handai taulan dengan ritual bacaan tahlilan yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang meninggal itu. Selamatan tersebut dilakukan pula

7

Ibid., h. 6-7.

8

Ibid., h. 11.

9

Ibid., h. 13.

10

(18)

pada ke-40, 100 dan 1000 harinya. Lalu diadakan setiap tahunnya yang diistilahkan dengan haul.11

Keberhasilan dakwah Wali Songo ini tidak lepas dari cara dakwahnya yang mengedepankan metode kultural atau budaya. Wali Songo tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi itu berjalan, hanya saja isinya diganti dengan nilai Islam. Dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan. Wali Songo tidak serta merta membubarkan tradisi tersebut, tetapi masyarakat dibiarkan tetap berkumpul namun acaranya diganti dengan mendoakan pada mayit.12

Kehidupan masyarakat yang masih kental dengan tradisi keagamaan yang terkait dengan perjalanan hidup manusia, seperti tujuh bulanan, aqiqah, dan

tahlilan atau tradisi keagamaan yang terkait dengan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam, misalnya mauludan (memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW), rajaban (memperingati peristiwa isra’ mi’raj), nuzulul qur’an (memperingati peristiwa turunnya al-Qur’an), muharroman (menyambut tahun baru hijriyah) bisa dilihat dalam kehidupan masyarakat desa Tegalngus, kecamatan Teluknaga, kabupaten Tangerang. Masyarakat desa yang menganut agama Islam dan tergolong dalam warga nahdliyin (sebutan untuk jama’ah

nadhlatul ‘ulama) ini rutin menyelenggarakan tradisi-tradisi keagamaan tersebut. Salah satu tradisi yang menarik dicermati dan ditelusuri lebih dalam adalah tradisi tahlilan. Tradisi ini diselenggarakan ketika ada warga yang meninggal dunia. Pelaksanaannya berlangsung selama tujuh hari berturut-turut yang dimulai setelah jenazah dikebumikan atau dikuburkan sampai hari ketujuh dari prosesi penguburan tersebut. Setelah itu, dilanjutkan dengan tahlilan 15 hari, 40 hari, 100 hari sampai satu tahun memperingati warga yang meninggal tersebut, yang lebih dikenal dengan istilah haul. Tahlilan bagi masyarakat desa Tegalangus telah menjadi budaya yang bersifat keharusan sehingga jika ada salah satu dari

11

Muhammad Idrus Ramli, Membedah Bid’ah dan Tradisi dalam Perspektif Ulama Salafi.

(Surabaya: Khalista, 2010), h. 48-49.

12

(19)

masyarakat yang tidak melaksanakan tahlilan ketika salah satu anggota keluarganya meninggal dunia sering disebut sebagai kelompok minoritas. Tetapi hal demikian tidak menyebabkan kerukunan antarmasyarakat terganggu.

Berdasarkan pengamatan penulis, tradisi tahlilan di desa Tegalangus dihadiri oleh para kerabat dan tetangga orang yang meninggal. Tradisi ini dipimpin oleh seorang tokoh agama (kiai, ustadz, atau amil). Hal yang menarik dari tradisi tahlilan di desa Tegalangus adalah, selain aktivitas yang berisi kesakralan dan kekhidmatan, tradisi ini juga merupakan ruang pertemuan antarwarga. Ketika sebelum dimulai dan saat menyantap hidangan setelah prosesi usai, warga yang berkumpul berkomunikasi satu sama lain tentang banyak hal. Dari hal yang serius sampai senda gurau, dari masalah pribadi sampai masalah umum, bahkan tidak jarang dari komunikasi tersebut lahir kesepakatan untuk melakukan kegiatan sosial.

Secara bahasa tahlilan berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimat la ilaha illallah.13 Berdasarkan pengertian tahlilan tersebut dan melihat yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, ternyata pembacaan tahlil dilaksanakan bukan hanya ketika ada tetangga atau kerabat yang meninggal, tetapi upacara-upacara lainnya pun sering dihiasi dengan pembacaan kalimat tauhid tersebut. Misalnya acara pengajian, pemberian nama anak, acara khitanan, acara

maulidan, rajaban, nuzulul Qur’an, muharroman sampai acara ulang tahun dan lain sebagainya. Tetapi, bagi masyarakat desa Tegalangus kecamatan Teluknaga kabupaten Tangerang, apabila menyebut kata tahlilan maka yang dimaksud adalah tahlilan dalam rangka mendo’akan kerabat atau tetangga yang meninggal dunia.

Tahlilan sudah menjadi tradisi yang mengakar bagi masyarakat desa Tegalangus, selain memang mayoritas masyarakatnya merupakan nahdliyin

(sebutan untuk jamaah Nahdlatul ‘Ulama), nilai-nilai positif yang terkandung dalam tahlilan menjadi alasan bagi masyarakat tersebut untuk melaksanakan dan melestarikan tradisi yang oleh sebagian kelompok dianggap bid’ah tersebut.

13

(20)

Tetapi, adanya nilai-nilai positif tersebut tidak membuat tradisi ini luput dari nilai negatif.

Meskipun demikian, tidak dapat dielakkan adanya perbedaan motivasi atau dorongan bagi masyarakat untuk mengikuti pelaksanaan tahlilan di kediaman orang yang meninggal. Seperti, masyarakat akan lebih termotivasi untuk hadir dan mengikuti pelaksanaan tahlilan jika orang yang meninggal atau keluarga yang tertimpa musibah (yang ditinggal oleh salah satu anggota keluarganya) adalah temannya, keluarga temannya, atau bahkan seorang tokoh masyarakat.

Disatu sisi, seiring berjalannya waktu, percampuran budaya di desa ini pun tidak dapat dihindari. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya orang dari luar yang tentunya berbeda budaya dengan masyarakat setempat menetap di desa ini dengan sebab menikah dengan warga setempat, bekerja dan lain sebagainya ataupun warga setempat yang baru kembali dari tempat rantaunya. Dengan membawa latar belakang budaya yang berbeda itu menyebabkan bercampur dua kebudayaan yang berbeda sehingga sedikit merubah tradisi di desa Tegalangus, termasuk tradisi tahlilan. Intinya, ada beberapa masyarakat yang tidak melaksanakan tahlilan dengan dalil-dalil yang mereka yakini sebagai pelindungnya.

Berdasarkan latar belakang tersebutlah peneliti tertarik untuk meneliti tradisi tahlilan di desa Tegalangus dengan judul “Tradisi Tahlilan dalam Kehidupan Masyarakat Desa Tegalangus (Analisis Sosio Kultural)”.

Sebelumnya penelitian ini juga pernah diteliti oleh Bapak Drs. H. Syaripulloh, M.Si dalam tesisnya di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2003 yang berjudul “Tahlilan di Kalangan Abangan: Sebagai Pencarian Ekstasi atau Keamanan Politik”, dan ide skripsi ini berangkat dari tesis tersebut.

B.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan masalahnya adalah:

(21)

2. Adanya perbedaan motivasi masyarakat desa Tegalangus dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal.

3. Kurangnya pemahaman masyarakat desa Tegalangus dalam menyikapi nilai-nilai positif yang terdapat dalam tradisi tahlilan.

4. Tradisi tahlilan di desa Tegalangus tidak lepas dari nilai negatif yang berdampak pada masyarakatnya.

5. Adanya perbedaan pendapat dalam menyikapi tradisi tahlilan di desa Tegalangus.

C.

Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan keterbatasan peneliti dari segi waktu dan biaya maka peneliti membatasi masalah-masalah yang sudah diidentifikasi dengan tujuan agar penelitian lebih terarah dan tidak menyimpang dari pokok penelitian. Oleh karena itu peneliti mengarahkan kepada pembahasan atas masalah-masalah pokok yang dibatasi dalam konteks permasalahan yang terdiri dari:

1. Adanya perbedaan motivasi masyarakat desa Tegalangus dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal.

2. Kurangnya pemahaman masyarakat desa Tegalangus dalam menyikapi nilai-nilai positif yang terdapat dalam tradisi tahlilan.

3. Tradisi tahlilan di desa Tegalangus tidak lepas dari nilai negatif yang berdampak pada masyarakatnya.

D.

Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah motivasi masyarakat desa Tegalangus dalam menghadiri pelaksanaan tahlilan di tempat orang yang meninggal?

2. Seperti apakah nilai-nilai positif yang terkandung dalam tradisi tahlilan di desa Tegalangus bagi masyarakatnya?

(22)

E.

Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui motivasi masyarakat dalam menghadiri dan mengikuti

tradisi tahlilan di desa Tegalangus.

2. Untuk mengetahui nilai-nilai positif yang terkandung dalam tradisi tahlilan di desa Tegalangus bagi masyarakatnya.

3. Untuk mengetahui dampak negatif yang ditimbulkan dari pelaksanaan tahlilan di desa Tegalangus terhadap masyarakatnya.

F.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini memiliki dua kegunaan atau manfaat, yaitu manfaat secara teoritik dan praktis.

1. Manfaat Teoritik. Secara teoritik, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya disiplin sosiologi agama yang kaitannya dengan sektor kebudayaan. Selain itu dapat dijadikan sumber informasi bagi peneliti lain dengan tema sejenis. 2. Manfaat Praktis

a. Bagi peneliti, penelitian ini dijadikan sebagai tambahan pengetahuan mengenai tradisi tahlilan, khususnya tradisi tahlilan di desa Tegalangus. Selain itu, bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat juga untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelara Stara 1 (S1) pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakarta.

b. Bagi tokoh masyarakat (ustadz dan DKM), penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi untuk disampaikan di majlis-masjlis ta’lim dan tempat -tempat ‘ilmu lainnya agar dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai tradisi tahlilan.

(23)

sehingga bisa dijadikan landasan dalam mengeluarkan fatwa-fatwa terkait masalah tahlilan.

(24)

10

A.

Kajian Teori

1.

Pengertian Tradisi Tahlilan

a. Pengertian Tradisi

Tradisi adalah penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling benar. Selain itu, diartikan pula sebagai adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang masih dijalankan di masyarakat.1

Menurut Muhammad Abed Al Jabiri, kata turats (tradisi) dalam bahasa Arab berasal dari unsur-unsur huruf wa ra tsa, yang dalam kamus klasik disepadankan dengan kata-kata irts, wirts, dan mirats. Semuanya merupakan bentuk mashdar (verbal noun) yang menunjukan arti “segala yang diwarisi

manusia dari kedua orang tuanya, baik berupa harta maupun pangkat atau keningratan”.2

Berbicara mengenai tradisi, hubungan antara masa lalu dengan masa kini haruslah lebih dekat. Tradisi mencakup kelangsungan masa lalu dimasa kini ketimbang sekadar menunjukan fakta bahwa masa kini berasal dari masa lalu. Kelangsungan masa lalu di masa kini mempunyai dua bentuk: material dan gagasan, atau objektif dan subjektif. Menurut arti yang lebih lengkap, tradisi adalah keseluruhan benda material dan gagasan yang berasal dari masa lalu namun benar-benar masih ada hingga kini, belum dihancurkan, dirusak, dibuang atau dilupakan. Di sini tradisi hanya berarti warisan, apa yang benar-benar tersisa dari masa lalu. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Shils dalam Piotr Sztompka, “tradisi berarti segala sesuatu yang disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini”.3

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 1.483.

2

Muhammad Abed Al Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 2.

3

(25)

Menurut Piotr Sztompka, “tradisi dalam arti sempit adalah kumpulan benda material dan gagasan yang diberi makna khusus yang berasal dari masa lalu”. Tradisi pun mengalami perubahan. Tradisi lahir disaat tertentu ketika orang menetapkan fragmen tertentu dari warisan masa lalu sebagai tradisi. Tradisi dapat berubah ketika orang memberikan perhatian khusus pada fragmen tradisi tertentu dan mengabaikan fragmen yang lain. Tradisi bertahan dalam jangka waktu tertentu dan mungkin lenyap bila benda material dibuang dan gagasan ditolak atau dilupakan. Tradisi mungkin pula hidup dan muncul kembali setelah lama terpendam.4 Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa tradisi adalah kegiatan pada masa lalu yang masih bertahan atau dijalankan di masa kini dan bersifat sementara. Artinya, jika kegiatan tersebut tidak dijalankan lagi, maka tidak lagi disebut sebagai tradisi.

Tradisi lahir melalui dua cara. Cara pertama, muncul dari bawah melalui mekanisme kemunculan secara spontan dan tak diharapkan serta melibatkan rakyat banyak. Karena sesuatu alasan, individu tertentu menemukan warisan historis yang menarik. Perhatian, ketakziman, kecintaan dan kekaguman yang kemudian disebarkan melalui berbagai cara, memengaruhi rakyat banyak. Sikap takzim tersebut berubah menjadi perilaku dalam bentuk upacara, penelitian dan pemugaran peninggalan purbakala serta menafsir ulang keyakinan lama. Semua perbuatan itu memperkokoh sikap. Kekaguman dan tindakan individual menjadi milik bersama dan berubah menjadi fakta sosial sesungguhnya. Begitulah tradisi dilahirkan. Proses kelahiran tradisi sangat mirip dengan penyebaran temuan baru. Hanya saja dalam kasus tradisi ini lebih berarti penemuan atau penemuan kembali sesuatu yang telah ada di masa lalu ketimbang penciptaan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.5

Cara kedua, muncul dari atas melalui mekanisme paksaan. Sesuatu yang dianggap sebagai tradisi dipilih dan dijadikan perhatian umum atau dipaksakan oleh individu yang berpengaruh atau berkuasa. Raja mungkin memaksakan tradisi dinastinya kepada rakyatnya. Komandan militer menceritakan sejarah

4

Ibid., h. 71.

5

(26)

pertempuran besar kepada pasukannya. Perancang mode terkenal menemukan inspirasi dari masa lalu dan mendiktekan gaya “kuno” kepada konsumen.6

Dua jalan kelahiran tradisi tersebut tidak membedakan kadarnya. Perbedaannya terdapat antara “tradisi asli”, yakni yang sudah ada di masa lalu dan “tradisi buatan”, yang murni khayalan atau pemikiran masa lalu. Tradisi buatan mungkin lahir ketika orang memahami impian masa lalu dan mampu menularkan impian itu kepada orang banyak. Lebih sering tradisi buatan ini dipaksakan dari atas oleh penguasa untuk mencapai tujuan politik mereka.7

Setelah terbentuk, tradisi akan mengalami perubahan, dimana perubahan itu dapat dilihat secara kuantitaif dan kualitatif. Secara kuantitatif perubahan terlihat dalam jumlah penganut atau pendukungnya. Rakyat dapat ditarik untuk mengikuti tradisi tertentu yang kemudian memengaruhi seluruh rakyat dan negara. Sedangkan secara kualitatif perubahan terlihat pada kadar tradisi. Gagasan, simbol dan nilai tertentu ditambahkan dan yang lainnya dibuang. Perubahan tradisi juga disebabkan banyaknya tradisi dan bentrokan antara tradisi yang satu dengan saingannya. Benturan itu dapat terjadi antara tradisi masyarakat atau antara kultur yang berbeda atau di dalam masyarakat tertentu.8

Dalam Piotr Sztompka, Shils menegaskan, “manusia tak mampu hidup tanpa tradisi meski mereka sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka”. Berdasarkan itulah dapat dikatakan bahwa suatu tradisi itu memiliki fungsi bagi masyarakat, yaitu:

1) Dalam bahasa klise dinyatakan, tradisi adalah kebijakan turun-temurun. Tradisi seperti onggokan gagasan dan material yang dapat digunakan orang dalam tindakan kini dan untuk membangun masa depan.

2) Memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup, keyakinan, pranata dan aturan yang sudah ada.

3) Menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan, memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok. Tradisi

6

Ibid., h. 72.

7

Ibid., h. 72-73.

8

(27)

daerah, kota dan komunitas lokal sama perannya yakni mengikat warga atau anggotanya dalam bidang tertentu.

4) Membantu menyediakan tempat pelarian dari keluhan, ketidakpuasan dan kekecewaan dan kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan masa lalu yang lebih bahagia menyediakan sumber pengganti kebanggaan bila masyarakat berada dalam krisis.9

b. Pengertian Tahlilan

Tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimat La Ilaha Illallah.10 Kata tahlil merupakan kata yang disingkat dari kalimat

La Ilaha Illallah. Penyingkatan ini sama seperti takbir (dari Allahu Akbar),

hamdalah (dari Alhamdu Lillah), hauqalah (dari La Haula Wala Quwwata Illah Billah), basmalah (dari Bismillah ar-Rahman ar-Rahim) dan sebagainya.11

Menurut Muhammad Idrus Ramli, “tahlilan adalah tradisi ritual yang komposisi bacaannya terdiri dari beberapa ayat al-Qur’an, tahlil, tasbih, tahmid, sholawat dan lain-lain”. Bacaan tersebut dihadiahkan kepada orang-orang yang telah wafat. Hal tersebut kadang dilakukan secara bersama-sama (berjamaah) dan kadang pula dilakukan sendirian.12 Biasanya acara tahlil dilaksanakan sejak malam pertama orang meninggal sampai tujuh harinya. Lalu dilanjutkan lagi pada hari ke -40, hari ke-100, dan hari ke-1000. Selanjtunya dilakukan setiap tahun dengan nama khol atau haul, yang waktunya tepat pada hari kematiannya. Setelah pembacaan do’a biasanya tuan rumah menghidangkan makanan dan minuman kepada para jamaah. Kadang masih ditambah dengan berkat (buah tangan berbentuk makanan matang). Pada perkembangannya di beberapa daerah ada yang mengganti berkat, bukan lagi dengan makanan matang, tetapi dengan bahan-bahan makanan, seperti mie, beras, gula, teh, telur, dan lain-lain. Semua itu

9

Ibid., h. 74-76.

10

Munawar Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), h. 276.

11Muhammad Ma’ruf Khozin, Tahlilan Bid’ah Hasanah

, (Surabaya: Muara Proresif, 2013), h. 1.

12

(28)

diberikan sebagai sedekah, yang pahalanya dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia tersebut. Sekaligus sebagai manifestasi rasa cinta yang mendalam baginya.13

Dalam konteks Indonesia, tahlil menjadi sebuah istilah untuk menyebut suatu rangkaian kegiatan do’a yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. Sedang tahlil secara istilah ialah mengesakan Allah dan tidak ada pengabdian yang tulus kecuali hanya kepada Allah, tidak hanya mengakui Allah sebagai Tuhan tetapi juga untuk mengabdi, sebagimana dalam pentafsiran kalimah thayyibah. Pada perkembangannya, tahlil diitilahkan sebagai

rangkaian kegiatan do’a yang diselenggarakan dalam rangka mendo’akan

keluarga yang sudah meninggal dunia.14

Di masyarakat NU (Nahdlatul ‘Ulama) sendiri berkembang pemahaman bahwa setiap pertemuan yang di dalamnya dibaca kalimat itu secara bersama-sama disebut majlis tahlil. Majlis tahlil di masyarakat Indonesia sangat variatif, dapat diselenggarakan kapan dan di mana saja. Bisa di masjid, mushala, rumah, atau lapangan. Pada dasarnya majlis dizkir, hanya namanya yang berbeda.15 Dikatakan majlis dzikir sebab sejumlah orang berkumpul dzikir pada Allah, membaca tahmid, takbir, tahlil, tasbih, shalawat dan lainnya. Dikatakan majlis tahlil sebab sejumlah orang dzikir bersama membaca la ilaha illallah diulang-ulang, tasbih, tahmid, takbir dan lainnya.16

Acara ini bisa saja diselenggarakan khusus tahlil, meski banyak juga acara tahlil ini ditempatkan pada acara inti yang lain. Misalnya, setelah tahlil, yasinan lantas tahlil, acara tasmiyah (memberi nama anak) ada tahlil, khitanan ada tahlil, rapat-rapat ada tahlil, kumpul-kumpul ada tahlil, pengajian ada tahlil, sampai arisan pun ada tahlil. Waktu yang digunakan untuk tahlil biasanya 15 – 20 menit dan bisa diperpanjang dengan cara membaca kalimat la ilaha illallah 100 kali,

13

Muhammad Yusuf Amin Nugroho, Fiqh Al-Ikhtilaf NU-Muhamadiyah, (Wonosobo: Ebook, 2012), h. 140.

14

Ibid., h. 140-141. Menurut KH. M. Irfan Ms (salah seorang tokoh NU)

15

Munawar Abdul Fattah., op. cit.

16

(29)

200 kali, atau 700 kali. Atau diperpendek misalnya 3 kali, atau 21 kali. Semuanya itu disesuaikan kebutuhan dan waktu.17

Semua rangkaian kalimat yang ada dalam tahlil diambil dari ayat-ayat

al-Qur’an dan hadits Nabi. Jadi, keliru pemahaman sebagian orang yang

menganggap tahlil buatan kiai atau ulama. Yang menyusun kalimat-kalimat baku tahlil dulunya memang seorang ‘ulama, tetapi kalimat-kalimat demi kalimat yang disusunnya tak lepas dari anjuran Rasulullah.18

Dalam penjabaran mengenai pengertian tahlilan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa tahlilan adalah kegiatan membaca kalimat thayyibah

khususnya La Ilaha Illallah yang dilakukan seseorang atau banyak orang dalam rangka mendo’akan orang yang telah meninggal dunia.

c. Sejarah Tahlilan

Acara tahlilan yang kedengarannya tak lagi asing di telinga orang Indonesia merupakan salah satu tradisi zaman Wali Songo yang sampai sekarang masih diamalkan oleh sebagian besar masyarakat. Asal-usul tradisi ini sebenarnya berasal dari kebudayaan Hindu-Buddha yang termodifikasi oleh ide-ide kreatif para Wali Songo, penyebar agama Islam di Jawa. Awalnya tradisi tahlilan ini belum ada, sebab masyarakat zaman dulu masih mempercayai kepada makhluk-makhluk halus dan gaib. Oleh sebab itu, mereka berusaha meminta sesuatu kepada makhluk-makhluk gaib tersebut berdasarkan keinginan yang dikehendakinya. Agar keinginan itu terkabul, maka mereka membuat semacam sesajen yang nantinya ditaruh di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti punden dan pohon-pohon besar.19

Melihat kenyataan tersebut, selain menyebar dakwah Islam, para Wali Songo juga bertekad ingin merubah kebiasaan mereka yang sangat kental akan nuansa

tahayyul untuk kemudian diarahkan kepada kebiasaan yang bercorak islami dan realistik. Untuk itulah, mereka berdakwah lewat jalur budaya dan kesenian yang

17

Munawar Abdul Fattah, op. cit., h. 276-277.

18

Ibid.,

19

(30)

cukup disukai oleh masyarakat dengan sedikit memodifikasi serta membuang unsur-unsur yang berseberangan dengan Islam. Dengan begitu, agama Islam akan cepat berkembang di tanah Jawa dengan tidak membuang mentah-mentah tradisi yang selama ini mereka lakukan.

Tradisi tahlilan ini memang tidak terdapat pada zaman Nabi SAW. Lebih tepatnya tradisi ini lebih identik dengan perpaduan antara kebudayaan Jawa Kuno dengan tradisi Islam. Sehingga tidak sedikit dari mereka yang secara terang-terangan menolak, bahkan menentang tradisi ini. Sebab, mereka meyakini bahwa acara tahlilan merupakan amalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sehingga termasuk bid’ah.

Namun perlu diingat, para Wali Songo dalam berdakwah sangat mengedepankan kehati-hatian serta strategi yang jitu dalam misinya menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Jawa. Sebab, dikala itu kondisi mereka yang masih beragama Hindu dan Buddha masih belum mampu merubah total apa yang menjadi kebiasaan dan tradisi mereka, sehingga sangat sulit bagi para Wali apabila langsung mengkikis kebudayaan yang mereka lakukan selama itu dalam dakwahnya. Mereka juga tidak sembarangan membuang adat-istiadat yang mereka lakukan serta sangat selektif dan teliti memilah-milah kebiasaan mana yang masih dalam koridor syari’at dan mana yang bertentangan. Sebab apabila para Wali Songo bertindak gegabah dalam menjalankan misinya, maka agama Islam pun sulit diterima oleh orang Jawa pada waktu itu. Bahkan tak jarang merekapun semakin membenci pada Islam yang justru semakin menghambat berkembangnya agama yang dibawa baginda Rasulullah SAW ini. Strategi Wali Songo ini kemudian diperkuat dengan statement Imam Syafi’i yang dikutip dalam buku “Jami’ al-„Ulum wa al-Hikam” karangan Ibnu Rajab yang berbunyi: “Bid’ah itu ada dua, yaitu bid’ah hasanah (terpuji) dan bid’ah dhalalah (tercela). Bid’ah

hasanah berarti bid’ah yang selaras dengan sunnah, sedangkan bid’ah dhalalah berarti bid’ahyang bertentangan dengan sunnah”.20

20

(31)

Meskipun tradisi tahlilan di Indonesia merupakan suatu tradisi Hindu-Buddha yang oleh Wali Songo dimodifikasi dengan nilai-nilai islami, amalan yang ada dalam tahlilan bukan murni dari bangsa Indonesia, melainkan sudah pernah dicontohkan sejak masa sahabat, serta pada masa tabi’in dan seterusnya. Karena sudah pernah dicontohkan inilah maka kebiasaan tersebut masih ada hingga kini. Misalnya seperti selamatan hari ketujuh diperbolehkan dalam syari’at Islam. Sebagaimana keterangan Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi dalam kitab karangannya yaitu kitab Al-Hawi Lil Fatawi:

“Telah berkata Imam Ahmad bin Hambal RA di dalam kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku Al-Asyja’i

dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus(‘ulama besar zaman

tabi’in): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama tujuh hari. Maka disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”21

Sementara itu, sedekah selama tujuh hari yang pahalanya diperuntukan untuk orang yang meninggal telah berlangsung di Mekkah dan Madinah sampai sekarang. Keterangan ini dijelaksan oleh Imam Suyuti di dalam kitabnya Al Hawi Lil Fatawi. Berikut penjelasannya: “Telah sampai kepadaku bahwasannya kesunahan bersedekah selama tujuh hari itu telah berlangsung di Mekkah dan Madinah hingga sekarang”. Maka secara dzohir disimpulkan bahwa sedekah tersebut tidak pernah ditinggalkan mulai dari zaman para sahabat sampai sekarang. Para generasi terkemudian (kholaf) telah mengambilnya secara turun temurun dari generasi terdahulu (salaf) sampai masa generasi pertama.22

Pembacaan tahlil yang dikhususkan untuk orang-orang yang telah meninggal juga menjadi tradisi turun temurun di Hadhramaut Yaman tempat berdiamnya para ahlul bait dzurriyah Nabi Muhammad SAW. Sejarah tersebut dapat ditemukan dalam kitab Al-Ilmun Nibros tulisan Sayyid Al Habib Abdulloh bin Alwi Bin Hasan Al Athos. Di kitab tersebut dijelaskan: “Sebagian dari mereka

21

Abdullah Mustaghfirin: http://www.gemasholawat.com/2012/04/hukum-selamatan-hari-ke-3-7-40-100.html (diakses pada hari Jum’at tanggal 11 Oktober 2013 pukul 18.07) dari Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Kitab Al-Hawi Lil Fatawi, jilid 2 h. 178.

22

(32)

(ahlul bait di Hadhramaut) mengumpulkan para jama’ah yang membaca tasbih dan tahlil sebanyak 1000 kali, kemudian mereka menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah meninggal dunia.”

Jika di Mekkah dan Madinah telah dikenal tradisi sedekah selama 7 hari, dan di Hadhramaut telah dikenal pembacaan tahlilan, maka ulama Wali Songo yang notabene merupakan keturunan ahlul bait dari Hadhramaut tersebut, mengingat para ulama ahlul bait merupakan orang-orang yang sangat menjaga kemurnian ajaran yang didapat secara turun temurun yang bermuara kepada Imam Ja’far

Shodiq (putra Ali bin Abi Tahlib) sampai kepada Rasulullah SAW., dapat dipastikan Wali Songo telah membawa tradisi itu dari sana, bukan dari Iran tempat yang menjadi pusat syiah.

Bukti bahwasannya Wali Songo merupakan keturunan dari Hadhramaut ialah, bahwasannya Sayyid Ahmad Rahmatulloh yang dikenal dengan sebutan Sunan Ampel merupakan putra dari Sayyid Ibrahim Zainal Akbar bin Sayyid Husain Zainal Akbar bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Abdulloh bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin Muhammad Sohib Marbath bin Sayyid Alwikholi' Qosam bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al Muhajir Ilallloh bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidli bin Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zaenal Abidin bin Husain Bin Ali suami Fatimah Az-Zahra sampai kepada Rasulullah SAW., dengan begitu, tradisi yang terkenal dengan tahlilan merupakan perkawinan tradisi Mekkah dan Madinah serta Hadhramaut. Yang kebetulan masyarakat Jawa kala itu sudah terbiasa dengan sesajen ala Hindu. Sehingga tradisi tahlilan ini sangat mudah diterima oleh mereka setelah disampaikan oleh para wali penyebar islam.23

Tradisi bacaan tahlil sebagaimana yang dilakukan kaum muslimin sekarang ini tidak terdapat secara khusus pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Tetapi tradisi itu mulai ada sejak zaman ulama muta’akhkhirin sekitar abad sebelas hijriyah yang mereka lakukan berdasarkan istinbath dari al-Qur’an

23

(33)

dan hadits Nabi SAW, lalu mereka menyusun rangkaian bacaan tahlil, mengamalkannya secara rutin dan mengajarkannya kepada kaum muslimin.24

Ulama berbeda pendapat tentang siapa yang pertamakali menyusun rangkaian bacaan tahlil dan mentradisikannya. Sebagian mereka berpendapat, bahwa yang pertama menyusun tahlil adalah Sayyid Ja’far Al-Barzanji, dan sebagian lain berpendapat, bahwa yang menyusun pertamakali adalah Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad.25

Pendapat yang paling kuat dari dua pendapat yang disebut di atas adalah pendapat bahwa orang yang menyusun tahlil pertamakali adalah Imam Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad, karena Imam Al-Haddad yang wafat pada tahun 1132 H lebih dahulu daripada Sayyid Ja’far Al-Barzanji yang wafat pada tahun 1177 H. Pendapat ini diperkuat juga oleh tulisan Sayyid Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullah bin Alwi Al-Haddad dalam syarah Ratib Al-Haddad, bahwa kebiasaan Imam Abdullah Al-Haddad sesudah membaca ratib adalah bacaan tahlil.26

Tahlil yang dilakukan oleh kaum muslimin di Indonesia sama atau mendekati dengan tahlil yang dilakukan oleh kaum muslimin di Yaman. Hal itu dikarenakan tahlil yang berlaku di Indonesia ini disiarkan Wali Songo. Lima orang dari Wali Songo itu para Habaib (keturunan Nabi SAW) dengan marga Ba’alawy yang berasal dari Hadhramaut Yaman, terutama dari kota Tarim. Namun ada sedikit perbedaan, yaitu jika di Yaman terdapat pengiriman do’a kepada Wali Quthub yang bernama Sayyid Muhammad bin Ali Ba’alawy yang terkenal dengan Al-Faqih Al-Muqaddam. Sedangkan di Jawa lebih banyak menyebutkan Sayyidi As-Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.27

Kalau kita perhatikan secara cermat susunan bacaan tahlilan tidak terdapat di dalamnya satu bacaan pun yang menyimpang dari al-Qur’an dan Hadits. Semua bacaan yang ada bersumber dari keduanya. Kalaupun kemudian formatnya tidak

24

Muhammad Danial Royyan, Sejarah Tahlil, (Kendal: Lajnah Ta’lif wan Nasyr/LTNU Kendal dan Pustaka Amanah, 2013), h. 2.

25

Ibid., h. 3.

26

Ibid.,

27

(34)

diatur secara langsung di dalam al-Qur’an dan Hadits, hal itu tidaklah masalah, karena ia termasuk dzikir umum yang waktu, bilangan dan bacaannya tidak diatur secara baku oleh kedua sumber utama hukum Islam tersebut.28

d. Pelaksanaan Tahlilan

Bacaan tahlil atau tahlilan seringkali dilakukan untuk mengirim pahala kepada mayyit pada hari ketujuh dari kematiannya. Ternyata ada hadits yang menjadi sandaran bagi pelaksanaan tahlil, talqin dan sedekah untuk masyyit selama tujuh hari, yaitu hadits yang berbunyi:

“Sesungguhnya orang-orang mati itu akan diuji di dalam kubur mereka

selama tujuh hari.”

Karena mayyit di dalam kubur, menurut hadits ini, diuji selama tujuh hari, maka ulama Ahlissunnah Waljamaah berpendapat bahwa hukumnya sunnah untuk dido’akan, ditahlilkan, ditalqin dan disedekahi selama tujuh hari / malam.29

Hadits ini menurut Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam kitab Fatawi Al-Kubro Al-Fiqhiyyah termasuk hadits mursal yang diriwayatkan oleh banyak ulama dengan sanad dari tiga ulama tingkatan tabi’in yaitu Thawus, Ubaid bin Umar dan

Mujahid. Apabila hadits mursal dikuatkan oleh hadits mursal yang lain maka dapat dijadikan dalil syar’i, dan hadits ini sudah memiliki tiga riwayat atau sama dengan adanya tiga hadits mursal. Dengan demikian hadits ini tingkatannya sama dengan hadits marfu’. Terlebih lagi ada pendapat bahwa Ubaid bin Umar itu termasuk sahabat, karena dilahirkan pada zaman Nabi SAW masih hidup, maka hadits ini termasuk hadits marfu’ atau hadits muttashil.30

Hubungan tujuh hari atau malam berdasarkan hadits tersebut di atas dihitung sejak mayyit dikuburkan, bukan sejak meninggal. Ketentuan ini mengecualikan

28

Abiza el Rinaldi, Haramkah Tahlilan, Yasinan dan Kenduri Arwah?, (Klaten: Pustaka Wasilah, 2012), h. 20.

29

Muhammad Danial Royyan, op. cit., h. 19.

30

(35)

mayyit yang tidak diketahui keberadaannya sehingga tidak bisa dikuburkan, maka dihitung sejak meninggalnya.

Adapun acara lainnya seperti empat puluh hari, seratus hari atau hitungan hari tertentu sejak kematian mayyit, maka itu merupakan adat istiadat, yang jika diisi dengan kebaikan seperti shadaqah. Tahlilan dan amar ma’ruf nahi munkar maka hukumnya boleh, sebagaimana pendapat Syekh Nawawi Al-Bantani yang berkata: “shadaqah untuk mayyit dengan cara yang sesuai dengan syara’ itu baik, akan tetapi tidak harus terikat dengan tujuh hari atau lebih banyak”. Kalau terikat dengan hitungan hari maka itu termasuk adat, menurut Sayyid Ahmad Zaini Dahlan. Dan sudah ada kebiasaan dari masyarakat berupa shadaqah untuk mayyit pada hari ketiga, hari ketujuh, hari keduapuluh, hari keempatpuluh dan hari keseratus dari kematian mayyit. Sesudah itu dilakukan acara haul setiap tahun tepat pada hari kematian mayyit. Jadi, yang terpenting adalah isi dari sebuah acara, bukan kerangkanya. Meskipun kerangka itu berasal dari adat istiadat, tetapi jika diisi dengan kebaikan, maka akan menjadi kebaikan pula, selama kerangka itu bukan hal yang dilarang syara’.31

Adapun tahlilan pada waktu setahun sesudah kematian atau peringatan haul (setahun) dari kematian mayyit maka hal itu sebenarnya berasal dari perbuatan Nabi SAW yang selalu mengunjungi tempat pemakaman para syuhada di gunung Uhud setiap tahun, sebagaimana yang tertuang dalam hadits berikut ini:

31

(36)

“Dari Al-Waqidi, dia berkata: Nabi SAW menziarahi para syuhada di Uhud setiap tahun (haul). Dan apabila sudah sampai (di Uhud) beliau mengeraskan

suaranya kemudian mengucapkan: “Keselamatan untuk kamu (wahai syuhada

Uhud), sebab kamu telah bersabar. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan

itu”. Kemudian Abu Bakar setiap tahun (haul) melakukan hal semacam itu, kemudian Umar, kemudian Utsman. Fatimah RA mendatangi Uhud dan berdo’a.

Saad bin Abi Waqqash mengucapkan salam kepada ahli Uhud, lalu menghadap kepada teman-temannya dan berkata: “Tidaklah kamu mengucapkan salamm

kepada kaum (ahli kubur di Uhud) yang menjawab ucapan salam kamu?” 32 Jadi, peringatan haul itu berasal dari kebiasaan Nabi SAW dan para sahabatnya, kemudian dilanjutkan oleh ulama mutaakhkhirin, dan pada akhirnya menjadi kebiasaan kaum muslimin dari golongan Ahlissunnah Wal Jama’ah pada tiap periode zaman hingga sekarang. Dan karenanya tidak dapat dianggap bid’ah yang sesat atau khurafat.33

2.

Masyarakat

a. Pengertian Masyarakat

Istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia, baik dalam tulisan ilmiah maupun dalam bahasa sehari-hari, adalah masyarakat. Dalam bahasa Inggris dipakai istilah society yang berasal dari kata latin socius, yang berarti “kawan”. Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar kata Arab syarakayang berarti “ikut serta”, berpartisipasi.34

Menurut Koentjaraningrat, masyarakat adalah memang sekumpulan manusia yang saling “bergaul”, atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi”. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui apa warga-warganya dapat saling berinteraksi. Suatu negara modern misalnya, merupakan kesatuan manusia dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warganya untuk berinteraksi secara instensif, dan dengan frekuensi yang tinggi. Suatu negara

32

Ibid., h. 22.

33

Ibid., h. 24.

34

(37)

modern mempunyai suatu jaringan komunikasi berupa jaringan perhubungan udara, jaringan telekomunikasi, sistem radio dan TV, berbagai macam surat kabar ditingkat nasional, suatu sistem upacara pada hari-hari raya nasional dan sebagainya.35

Menurut Hartono dan Arnicun Aziz, “masyarakat dalam arti luas ialah keseluruhan hubungan-hubungan dalam hidup bersama dengan tidak dibatasi oleh lingkungan, bangsa dan lain-lain atau semua keseluruhan dari semua hubungan dalam hidup bermasyarakat. Dalam arti sempit masyarakat dimaksud sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek-aspek tertentu, umpamanya territorial, bangsa, golongan dan sebagainya. Maka ada masyarakat Jawa, masyarakat Sunda, masyarakat Minang dan lain-lain.”36

Masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup, oleh karena manusia itu hidup bersama. Beberapa orang sarjana telah mencoba untuk memberikan definisi masyarakat (society), misalnya seperti berikut.

1) Mac Iver dan Page yang menyatakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah.

2) Ralp Linton mengemukakan, masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan berkerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.

3) Selo Soemardjan menyatakan bahwa masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan.37

Walaupun definisi dari sarjana-sarjana tersebut berlainan, tetapi pada dasarnya isinya sama, yaitu masyarakat yang mencakup beberapa unsur sebagai berikut.

35

Ibid., h. 144.

36

Hartono dan Arnicun Aziz, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), h. 89-90.

37

(38)

1) Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tak ada ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi, secara teoritis angka minimnya adalah dua orang yang hidup bersama.

2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati, umpamanya kursi, meja, dan sebagainya. Oleh karena dengan berkumpulnya manusia, maka akan timbul manusia-manusia baru. Manusia itu juga dapat bercakap-cakap, merasa dan mengerti, mereka juga mempunyai keinginan-keinginan untuk menyampaikan kesan-kesan atau perasaan-perasaannya. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan timbullah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antarmanusia dalam kelompok tersebut.

3) Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan.

4) Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.38

Kemantapan unsur-unsur masyarakat mempengaruhi struktur sosial. Dalam hal ini struktur sosial digambarkan sebagai adanya molekul-molekul dalam susunan yang membentuk zat, yang terdiri dari bermacam susunan hubungan antarindividu dalam masyarakat. Maka terjadi integrasi masyarakat dimana tindakan individu dikendalikan, dan hanya akan nampak bila diabstrakkan secara induksi dari kenyataan hidup masyarakat yang konkret. Struktur sosial yang berperan dalam integrasi masyarakat, hidup langsung di belakang individu yang bergerak konkret menurut polanya. Dapat menyelami latar belakang seluruh kehidupan suatu masyarakat, dan sebagai kriteria dalam menentukan batas-batas suatu masyarakat melalui abstraksi dari kehidupan kekerabatan (sistemnya).39

Dalam konteks sosiologi, bahasan tentang masyarakat biasanya selalu terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan elemen-elemen lain yang menjadi bagian dari

38

Ibid., h. 19.

39

(39)

masyarakat itu sendiri, yakni individu, keluarga, dan kelompok. Individu adalah satuan terkecil dari masyarakat, keluarga adalah kumpulan beberapa individu dan bagian dari kelompok, sedangkan kelompok adalah kumpulan dari beberapa keluarga, dan merupakan bagian dari masyarakat secara keseluruhan. Menyatunya masing-masing elemen tersebut, terciptalah sebuah komunitas besar yang kemudian dikatakan sebagai masyarakat”.40

Untuk bisa bertahan hidup, semua masyarakat harus bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu, yang kalangan fungsionalis menyebutnya dengan istilah prasyarat fungsional (functional prerequisities). Kebutuhan-kebutuhan itu diantaranya:

1) Kebutuhan subsistens. Kebutuhan subsistens adalah kebutuhan jasmaniyah, seperti kebutuhan akan udara, makanan, air, kehangatan, tempat untuk bernaung, dan tidur, yang kesemuanya harus dipenuhi agar bisa bertahan hidup. Manusia juga membutuhkan kebutuhan jasmaniyah yang lainnya seperti kebutuhan akan rasa sayang, menghindari stress, dan keikutsertaan dalam sebuah sistem keyakinan bersama. Pemenuhan kebutuhan subsitens ini biasanya memerlukan berbagai usaha kerja, seperti berburu, mengumpulkan buah-buahan, atau memproduksi makanan, dan memerlukan tempat untuk bernaung.

2) Kebutuhan distribusi. Kepemilikan kekayaan subsistens itu perlu didistribusikan ke seluruh anggota masyarakat. Bayi dan anak kecil termasuk orang yang membutuhkan orang lain untuk memberi mereka suplai makanan yang cukup.

3) Kebutuhan reproduksi-biologis. Agar masyarakat tetap eksis dan survive maka diantara anggota masyarakatnya harus melakukan reproduksi biologis. Biasanya di kita dilakukan melalui pernikahan.

40

(40)

4) Kebutuhan transmisi budaya. Masyarakat perlu mentransmisikan budaya mereka – kebiasaan, nilai-nilai, ide-ide dalam masyarakat kepada anggota baru mereka agar kebudayaan bisa terus bertahan atau berlanjut.

5) Kebutuhan perlindungan. Anggota masyarakat perlu menghindari tindakan yang merusak satu sama lain dan mayarakat secara keseluruhan membutuhkan perlindungan dari ancaman luar.

6) Kebutuhan untuk komunikasi. Untuk memenuhi semua kebutuhan di atas, maka anggota masyarakat perlu mengkomunikasikannya dengan sesama anggota yang lainnya.41

b. Bentuk-bentuk Masyarakat

1) Masyarakat Tradisonal

Masyarakat tradisional adalah masyarakat yang kehidupannya masih banyak dikuasai oleh adat istiadat lama. Adat istiadat adalah suatu aturan yang sudah mantap dan mencakup segala konsepsi sistem budaya yang mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosialnya. Jadi, masyarakat tradisional di dalam melangsungkan kehidupannya berdasarkan pada cara-cara atau kebiasaan-kebiasaan lama yang masih diwarisi dari nenek moyangnya. Masyarakat tradisional hidup di daerah pedesaan yang secara geografis terletak di pedalaman yang jauh dari keramaian kota. Masyarakat ini dapat juga disebut masyarakat pedesaan atau masyarakat desa.42

Menurut Sutardjo Kartohadikusuma dalam Elly M. Setiadi dan Usman Kolip

“desa adalah suatu kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat “pemerintahan sendiri.” Adapun Bintaro dalam Elly M. Setiadi dan Usman Kolip

memberikan batasan desa sebagai perwujudan atas kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural yang terdapat di situ (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal balik dengan daerah lain. Sedangkan

Paul H. Landis dalam Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, “mendefinisikan desa

41

Muhammad Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 35-36

42 Ifzanul: http://ifzanul.blogspot.com/2010/06/masyarakat-tradisional-masyarakat.html

(41)

sebagai wilayah yang penduduknya kurang dari 2500 jiwa, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a) Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa. b) Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan. c) Cara berusaha (ekonomi) adalah agraris yang paling umum yang sangat

dipengaruhi alam, seperti: iklim, kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang bukan agraris yaitu bersifat sambilan.43

Ferdinand Tonies membuat batasan tentang masyarakat pedesaan sebagai masyarakat gemeinschaft (paguyuban), dan paguyubanlah yang menyebabkan orang-orang kota menilai sebagai masyarakat ini tenang, harmonis, rukun dan damai dengan julukan masyarakat yang adem ayem. Akan tetapi, bukan berarti di dalam masyarakat pedesaan tidak mengenal bermacam-macam gejala disorganisasi sosial atau sosial disorder. Gejala seperti ini juga terdapat di dalam struktur masyarakat pedesaan. Akan tetapi, bagaimana bentuk gejala sosial disorder, dapat dilihat keterangan berikut ini:

a) Konflik (pertengkaran). Pertengkaran terjadi biasanya berkisar pada masalah sehari-hari rumah tangga dan sering menjalar ke luar rumah tangga. Sedang banyak pertengkaran ini agaknya berkisar pada masalah kedudukan dan gengsi, perkawinan, dan sebagainya.

b) Kontroversi (pertentangan). Pertentangan ini dapat disebabkan oleh perubahan konsep-konsep kebudayaan (adat istiadat), psikologi atau dalam hubungannya dengan guna-guna (black magic).

c) Kompetisi (persiapan). Masyarakat pedesaan adalah manusia-manusia yang mempunyai sifat sebagai manusia biasa dan mempunyai saingan dengan manifestasi sebagai sifat ini. Oleh karena itu, maka wujud persaingan dapat positif dan negatif.

d) Kegiatan pada masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan memiliki penilaian yang tinggi terhadap mereka yang dapat bekerja keras tanpa bantuan

43

(42)

orang lain. Jadi, jelas bahwa masyarakat pedesaan bukanlah masyarakat yang senang diam-diam tanpa aktivitas.44

Menurut Soerjono Soekanto, “gemeinschaft adalah masyarakat tradisional yang memiliki hubungan personal yang dekat pada kelompok atau komunitas yang kecil”. Di dalam gemeinschaft terdapat suatu kemauan bersama (common will), ada suatu pengertian (understanding) serta juga kaidah-kaidah yang timbul dengan sendirinya dari kelompok tersebut. Keadaan yang agak berbeda akan dijumpai pada gessellschaft, di mana terdapat public life yang artinya bahwa hubungannya bersifat untuk semua orang. Gemeinschaft sering disebut dengan istilah paguyuban. Paguyuban memiliki beberapa tipe, yaitu:

a) Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood), yaitu suatu paguyuban yang merupakan ikatan yang didasarkan pada ikatan darah atau keturunan, contoh: keluarga, kelompok kekerabatan.

b) Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place), yaitu suatu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang berdekatan tempat tinggal sehingga dapat saling tolong-menolong, contoh: rukun tetangga, rukun warga, arisan.

c) Paguyuban karena jiwa-pikiran (gemeinschaft of mind), yang merupakan suatu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang walaupun tak mempunyai hubungan darah ataupun tempat tinggalnya tidak berdekatan, tetapi mempunyai jiwa dan pikiran yang sama, ideologi yang sama. Paguyuban semacam ini biasanya ikatannya tidaklah sekuat paguyuban karena darah atau keturunan.45

Adapun yang menjadi ciri masyarakat desa antara lain:

a) Di dalam masyarakat pedesaan di antara warganya mempunyai hubungan yang lebih mendalam dan erat bila dibandingkan dengan masyarakat pedesaan lainnya di luar batas wilayahnya.

b) Sistem kehidupan umumnya berkelompok dengan dasar kekeluargaan.

44

Ibid., h, 839.

45

(43)

c) Sebagian besar warga masyarakat pedesaan hidup dari pertanian.

d) Masyarakat tersebut homogen, seperti dalam hal mata pencaharian, agama, dan adat istiadat.46

2) Masyarakat Modern

Masyarakat modern adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban dunia masa kini. Masyarakat modern relatif bebas dari kekuasaan adat-istiadat lama. Karena mengalami perubahan dalam perkembangan zaman dewasa ini. Perubahan-Perubahan itu terjadi sebagai akibat masuknya pengaruh kebudayaan dari luar yang membawa kemajuan terutama dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada umumnya masyarakat modern ini disebut juga masyarakat perkotaan atau masyarakat kota.47

Kota acap kali dipahami sebagai bentuk kehidupan masyarakat yang sangat individual, penuh kemewahan, gedung-gedung yang menjulang tinggi, kendaraan yang lalu lalang hingga mengundang kemacetan, perkantoran yang mewah, dan pabrik-pabrik yang besar. Kota sering kali dianggap sebagai semua tempat tujuan masyarakat pedesaan untuk mencari pekerjaan, sebab pusat-pusat industri dan perpabrikan banyak berdiri di daerah perkotaan.48

Banyak kota di dunia berawal dari desa. Desa sendiri adalah lokasi pemukiman yang penghuninya terikat dalam kehidupan pertanian, dan bergantung pada wilayah di sekelilingnya. Dalam perjalanan waktu, karena keadaan topografis dan lokasinya, desa ini berkembang menjadi kota. Masyarakat perkotaan lebih dipahami sebagai kehidupan komunitas yang memiliki sifat kehidupan dan ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Menurut Elly M. Setiadi dan Usman Kolip ada beberapa ciri yang menonjol pada masyarakat kota, yaitu:

46

Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, op. cit., h. 840.

47

Ifzanul:http://ifzanul.blogspot.com/2010/06/masyarakat-tradisional-masyarakat.html

(diakses pada hari Jum’at tanggal 08 November 2013 pukul 21.40). 48

(44)

a) Kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa.

b) Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu.

c) Pembagian kerja di antara warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas yang nyata.

d) Kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota daripada warga desa.

e) Interaksi yang terjadi lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi.

f) Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk mendapat mengejar kebutuhan individu.

g) Perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh dari luar.49

3.

Teori Fungsionalisme Struktural

a.

Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons

Talcott Parsons melahirkan teori fungsional tentang perubahan. Dalam teorinya, Parsons menganalogikan perubahan sosial pada masyarakat seperti halnya pertumbuhan pada mahkluk hidup.50

Bahasan tentang fungsionalisme struktural Parsons ini akan dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua sistem “tindakan”, terkenal dengan skema AGIL. Sesudah membahas ini kita akan beralih menganalisis pemikiran Parsons mengenai struktur dan sistem.51

Suatu fungsi adalah “kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem”. Dengan menggunakan definisi ini,

49

Ibid., h, 854-855.

50

Rahmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), h. 107.

51

(45)

Parsons yakin bahwa ada empat fungsi penting diperlukan

Gambar

Tabel 3.1 Jenis Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ..................45 Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Berdasarkan RW/RT .............................................55 Tabel 4.2 Sarana dan Prasarana Desa Tegalangus ..............................................57
Tabel 3.1
Tabel 4.1. Komposisi Penduduk berdasarkan RW/RT
Tabel 4.2. Nama-nama Kepala Desa Tegalangus

Referensi

Dokumen terkait

Pada penelitian ini didapatkan prevalensi penurunan masa tulang yang cukup tinggi pada penderita penyakit gagal ginjal kronik (PGK) stadium V yang rutin menjalani

Teman-teman, saat mencari sarang semut yang mempunyai banyak manfaat ntuk kesehatan, saya teringat penjelasan dari guru bahwa semut adalah serangga sosial, yang berarti mereka

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) komponen yang dibiayai di Rumah Bahasa Surabaya adalah biaya langsung yang terdiri dari biaya operasional pembelajaran dan

Dalam melakukan perubahan di sekolah, kepala sekolah (1) mengelola sekolah dengan pola kepemimpinan yang demokrasi, (2) memberikan kepercayaan kepada bawahan dengan tidak

sedangkan yang dilakukan pada untuk mengatisipasi pasien yang belum Kemudian ada juga penelitian yang dilakukan oleh Nuning Versianita, Rini Sovia dan l “Perancangan

Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan untuk mengkaji dan mengulas pengaruh dari e-WOM negatif terhadap kepercayaan yang dimiliki oleh konsumen, pengaruh dari

Sebab yang namanya ilmu itu tidak berdiri dengan sendirinya, dosen juga begitu bila berbicara inte- grasi keilmuan harus banyak belajar lagi dan ternyata sum- ber-sumber itu

Penyajian dan Analisis Data Uji Coba Bahan Ajar Berdasarkan Aspek Isi Data dari aspek isi bahan ajar diperoleh dari uji coba dengan ahli materi pidato, ahli