• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II. Kepulauan Hinako, Kabupaten Nias

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II. Kepulauan Hinako, Kabupaten Nias"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

DI LOKASI COREMAP II

Kepulauan Hinako, Kabupaten Nias

WIDAYATUN

AUGUSTINA SITUMORANG

IGP ANTARIKSA

LIPI

CRITC – LIPI

2007

(3)

KATA PENGANTAR

COREMAP fase II yang telah dimulai sejak tahun 2004 dan direncanakan akan dilaksanakan sampai dengan tahun 2009 bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari berbagai aspek, diantaranya dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang sebesar 2 persen per tahun, sedangkan dari aspek sosial ekonomi diharapkan terjadi peningkatan pendapatan per-kapita penduduk sebesar 2 persen per tahun. Selain peningkatan pendapatan per-kapita, juga diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan sekitar 10.000 penduduk di lokasi program.

Keberhasilan Coremap salah satunya dipengaruhi oleh kesesuaian desain program dengan permasalahan yang ada. Oleh karena itu sangat penting pada masa persiapan melakukan perencanaan program yang didukung oleh data dasar aspek sosial-ekonomi berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya terumbu karang. Selain dipergunakan sebagai masukan-masukan dalam merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu karang ini juga penting untuk melakukan evaluasi keberhasilan program. Untuk mendapatkan data dasar tersebut perlu dilakukan baseline studi sosial ekonomi yang bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kondisi sosial-ekonomi, budaya masyarakat di lokasi COREMAP sebelum program berjalan. Hasil baseline studi sosial-ekonomi ini merupakan titik awal (T0) yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum program/intervensi COREMAP dilakukan. Buku laporan ini merupakan hasil dari baseline studi sosial-ekonomi yang dilaksanakan di lokasi-lokasi Coremap di Indonesia Bagian Barat (lokasi Asian Development Bank/ADB). Baseline studi

(4)

sosial-Kata Pengantar

iv

ekonomi dilakukan oleh CRITC - COREMAP bekerjasama dengan tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari kedeputian IPSK - LIPI.

Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku laporan melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti melakukan studi ini. Kepada para informan: masyarakat nelayan, ketua dan pengurus LPSTK dan Pokmas, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di Desa Hinako, Halamona, Sineneeto kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur pengelola COREMAP di tingkat kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Unit pelaksana COREMAP di Kabupaten Nias, staff CRITC di Kabupaten Nias dan berbagai pihak yang ada di daerah yang telah membantu memberikan data dan informasi.

Pada akhirnya, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna meskipun tim peneliti telah berusaha sebaik mungkin dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini.

Jakarta, Desember 2007

Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR DIAGRAM... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Tujuan... 4 1.3. Metodologi ... 5 1.3.1. Lokasi penelitian... 5 1.3.2. Pengumpulan data... 6 1.3.3. Analisa data ... 8 1.4. Organisasi Penulisan ... 9

BAB II PROFIL KEPULAUAN HINAKO... 11

2.1. Kondisi Geografis... 11

2.2. Kondisi Sumber Daya Alam... 13

2.3. Sarana dan Prasarana ... 17

BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT... 27

3.1. Pengetahuan, Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Penyelamatan Terumbu Karang ... 28

3.2. Pemanfaatan (Produksi, Pemasaran dan Pascapanen) ... 41

3.3. Wilayah Pengelolaan ... 46

3.4. Teknologi... 47

3.5. Permasalahan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut ... 50

(6)

Daftar Diagram

vi

BAB IV POTRET PENDUDUK KEPULAUAN HINAKO 65

4.1. Jumlah dan komposisi penduduk... 65

4.2. Pendidikan dan ketrampilan ... 70

4.3. Kegiatan Ekonomi Penduduk ... 74

4.4. Kesejahteraan ... 85

4.4.1. Kepemilikan asset produksi... 86

4.4.2. Kepemilikan Asset Non –produksi... 89

4.4.3. Kondisi Tempat Tinggal ... 92

4.4.4. Strategi Keuangan Keluarga ... 95

BAB V PENDAPATAN MASYARAKAT ... 99

5.1. Pendapatan rata-rata rumah tangga dan per-kapita ... 100

5.2. Pendapatan Rumah Tangga Menurut Jenis Pekerjaan ... 104

5.3. Pendapatan dari kegiatan kenelayanan ... 108

5.4. Sintesa pendapatan ... 117

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 127

6.1. Kesimpulan... 127

6.2. Saran ... 128

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Pengetahuan Responden Terhadap Manfaat Terumbu Karang ... 32 Tabel 3.2. Sikap Responden Terhadap Terumbu Karang ... 35 Tabel 3.3. Pengetahuan Responden Terhadap Larangan dan

Sanksi Penggunaan Alat Tangkap Yang Merusak .. 36 Tabel 3.4. Sikap Responden Terhadap Larangan Penggunaan

Alat Tangkap yang Merusak ... 38 Tabel 3.5. Pengetahuan Responden Terhadap Orang Lain

Menggunakan Alat Tangkap yang Merusak Dalam Satu Tahun Terakhir... 38 Tabel 3.6. Pengakuan Responden Dalam Menggunakan Alat

Tangkap yang Merusak Dalam Satu Tahun Terakhir... 39 Tabel 3.7. Sikap Responden Terhadap Larangan Penggunaan

Alat Tangkap Yang Merusak ... 40 Tabel 3.8. Zona-zona Pengelolaan dan Peruntukan dan

Kreterianya... 58 Tabel 3.9. Tugas Pokok Pemangku Kepentingan Pelaksanaan

RPTK ... 62 Tabel 4.1. Luas Wilayah dan jumlah penduduk di Kepulauan

Hinako Tahun 2007... 66 Tabel 4.2. Jumlah penduduk Desa Hinako, Sineneeto dan

Desa Halamona yang masih berdomisili di Pulau Hinako berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin, tahun 2007 ... 68

(8)

Daftar Diagram

viii

Tabel 4.3. Penduduk usia 5 tahun keatas berdasarkan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan di tiga desa penelitian, tahun 2007 ... 71 Tabel 4.4. Proporsi penduduk usia 5 tahun keatas

berdasarkan kelompok umur dan jenjang pendidikan tertinggi yang ditamatkan di Pulau

Hinako... 73 Tabel 5.1. Distribusi Rumah Tangga Terpilih di Kep Hinako

Menurut Kelompok Pendapatan ... 100 Tabel 5.2. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Desa Hinako,

Halamona dan Sineneeto (Kep Hinako) Tahun 2007... 102 Tabel 5.3. Pendapatan Rumah Tangga Menurut Jenis

Pekerjaan, Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako), 2007... 104 Tabel 5.4. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dari

Kegiatan Kenelayanan Menurut Kelompok Pendapatan Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako), 2007... 109 Tabel 5.5. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan

Kenelayanan Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako), 2007... 112 Tabel 5.6. Statistik Pendapatan Rumah Tangga dari Kegiatan

Kenelayanan Menurut Musim Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako) Tahun 2007 (Rupiah) ... 115

(9)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1. Distribusi Penduduk Usia Kerja Menurut Kegiatan Ekonomi ... 75 Diagram 4.2. Distribusi Penduduk yang Bekerja Menurut

Lapangan Jenis Pekerjaan Utama ... 76 Diagram 4.3. Distribusi Penduduk Yang Mempunyai

Pekerjaan Tambahan Berdasarkan Lapangan

Pekerjaan ... 85 Diagram 4.4. Distribusi Rumah Tangga Yang Memiliki

Pohon Kelapa Berdasarkan Pengelompokan Jumlah Pohon Kelapa yang dimiliki... 88 Diagram 4.5. Distribusi Rumah Tangga Berdasarkan

Kepemilikan Rumah ... 90 Diagram 4.6. Distribusi Rumah Tangga Berdasarkan Jumlah

KK yang Tinggal Dalam Satu Rumah ... 91 Diagram 4.7. Distribusi Rumah Tangga Menurut Jenis

kesulitan keuangan rumah tangga ... 96 Diagram 4.8. Distribusi Rumah Tangga Menurut Cara

Mengatasi Kesulitan Keuangan Rumah Tangga ... 97 Diagram 5.1. Distribusi Tangga Terpilih di Kep Hinako

Menurut Kelompok Pendapatan ... 101 Diagram: 5.2. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dari

Kegiatan Kenelayanan Menurut Kelompok Pendapatan Desa Hinako, Halamona dan Sineneeto (Kep. Hinako), 2007 ... 111

(10)

Daftar Diagram

x

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Pulau Nias merupakan pulau terbesar di Provinsi Sumatra Utara yang terletak di kawasan Samudara Hindia. Bentuk Pulau Nias memanjang dari Utara ke Selatan dan di sekitarnya banyak dijumpai pulau kecil maupun besar dengan jumlah sekitar 104 buah pulau. Di antara pulau-pulau tersebut adalah Pulau Sirambu, Pulau Mause, Pulau Wunga, Kepulauan Hinako dan Pulau Nusa. Seperti halnya wilayah lain di Indonesia P. Nias dan sekitarnya, mempunyai perairan beserta ekosistemnya yang mengandung kekayaan sumberdaya alam yang besar dan beraneka ragam, sehingga dapat menjadi asset dasar bagi pembangunan. Salah satu dari tiga ekosistem penting daerah pesisir dan sekaligus suatu sistem ekologi laut yang mempunyai sifat kompleks adalah terumbu karang. Ekosistem terumbu karang ini sangat kaya akan keanekaragaman hayati, seperti moluska, ikan, krustasea, spora sekitar dan mammalia laut sebanyak 30 jenis (Nontji, 2001).

Dalam sepuluh tahun terakhir kondisi terumbu karang di Indonesia pada umumnya dan P Nias pada khususnya telah mengalami kerusakan dan penurunan tutupan pada tingkat yang mengkhawatirkan. Penelitian P2O-LIPI (2007) di 908 stasiun penelitian menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia hanya sekitar 5,5 persen dalam kondisi sangat baik, sekitar 25,1 persen dalam status baik, sekitar 37 persen dalam status cukup dan telah mencapai sekitar 32 persen yang sudah dalam kondisi kurang baik. Kerusakan terumbu karang di wilayah Indonesia bagian barat lebih parah jika dibandingkan dengan wilayah bagian tengah dan timur. Dari 362 stasiun yang ada di wilayah Indonesia bagian barat hanya sekitar 5,5 persen dalam kondisi sangat baik, 27 persen dalam

(12)

Bab I Pendahuluan 2

kondisi baik dan selebihnya dalam kondisi cukup dan sedang (Suharsono, 2007: 31).

Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh banyak faktor yang dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu: faktor alami dan aktifitas manusia. Perubahan yang terjadi berkaitan dengan faktor alami berada di luar kekuasaan manusia, misalnya bencana alam seperti gempa, badai, ombak, perubahan iklim dan berbagai jenis penyakit. Sedangkan perubahan yang terjadi berkaitan dengan aktifitas manusia, utamanya disebabkan oleh prilaku manusia yang tidak ramah lingkungan dalam memanfaatkan sumber daya laut dan pesisir, seperti penggunaan pukat (trawl), bom, bius, bubu dan berbagai kegiatan lainnya, misalnya penambangan pasir laut dan batu karang serta penangkapan biota laut secara berlebihan (over fishing). Di samping kegiatan manusia di laut yang langsung merusak, aktifitas manusia di daratan secara tidak langsung juga dapat menyebabkan terjadinya perubahan sumber daya laut dan pesisir, seperti kegiatan penebangan hutan yang menyebabkan erosi dan sedimentasi, pemakaian pestisida di pertanian dan pembuangan limbah baik padat dan cair/kimia.

Untuk mengatasi masalah kerusakan terumbu karang tersebut pada awal tahun 2000-an Pemerintah Indonesia telah mencanangkan suatu program pengelolaan yang dinamakan COREMAP (Coral Reef Rahabilitation and Management Program). Pada tahap I program ini bermaksud untuk menggerakan dan meningkatkan usaha pengelolaan serta rehabilitasi terumbu karang agar sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara lestari bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat pesisir Indonesia. Program COREMAP pada prinsipnya mendasarkan pada partisipasi masyarakat atau dapat dikatakan ‘pengelolaan berbasis masyarakat’. Pengelolaan tersebut menggunakan sistem terpadu yang perencanaannya dilaksanakan dengan pendekatan dari bawah berdasarkan aspirasi masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat sendiri. Kemudian tujuan COREMAP pada tahap II lebih menekankan pada terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan agar sumber daya laut dapat direhabilitasi,

(13)

diproteksi dan dikelola yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan.

Dalam pelaksanaan pengelolaan ekosistem terumbu karang telah didesentralisasi kepada pemerintah kabupaten dengan sistem pendanaan yang berkelanjutan, namun tetap dikoordinir secara nasional. Desentralisasi pengelolaan ini dilakukan untuk mendukung dan memberdayakan masyarakat pantai, melakukan co-manajemen secara berkelanjutan agar kerusakan terumbu karang dapat dicegah dan dampak positif selanjutnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat.

Indikator yang dapat digunakan untuk melihat tercapainya tujuan COREMAP antara lain adalah melihat aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan tercapai peningkatan tutupan karang paling sedikit 2 persen per tahun. Selanjutnya indikator keberhasilan COREMAP dari aspek sosial-ekonomi adalah : (1) Pendapatan per kapita masyarakat di lokasi target COREMAP naik sebesar 2 persen per tahun dan (2) Terdapat peningkatan taraf hidup sekitar 10.000 rumah tangga pada akhir program (Project Appraisal Document, ADB, 2005).

Kabupaten Nias merupakan salah satu lokasi COREMAP dari 7 lokasi di wilayah Indonesia bagian barat yang dalam pelaksanaannya mendapat bantuan pinjaman dari Asian Development Bank (ADB). Pelaksanaan COREMAP di kabupaten ini dilakukan di tiga kawasan, yaitu kawasan Lahewa, Sawo dan Hinako. Pelaksanaan COREMAP di Kawasan Lahewa dan Sawo sudah dimulai sejak COREMAP fase I. Berbagai kegiatan sudah dilaksanakan di dua kawasan ini, diantaranya adalah: sosialisasi tentang COREMAP, pembentukan kelembagaan (LPSTK dan POKMAS), usaha ekonomi produktif (UEP) dan kegiatan pengawasan dan perlindungan laut (konservasi). Kawasan Kep. Hinako, Kecamatan Sirombu merupakan lokasi baru yang ditetapkan pada tahun 2006. Seperti juga kawasan lainnya, berbagai program dan kegiatan berkaitan dengan sosialisasi dan edukasi, pengelolaan berbasis masyarakat melalui kegiatan usaha ekonomi produktif (UEP), pengawasan dan konservasi akan

(14)

Bab I Pendahuluan 4

dilaksanakan di lokasi ini. Untuk itu diperlukan data dan informasi berkaitan dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat untuk dipakai sebagai bahan merancang berbagai program dan kegiatan. Selain itu, data dan informasi tersebut juga dapat dipakai untuk memantau pelaksanaan program.

1.2. Tujuan

Umum

Mengumpulkan data dasar mengenai kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang.

Khusus

1. Memberikan gambaran umum tentang lokasi COREMAP yang meliputi kondisi geografi, sarana dan prasarana, potensi sumber daya alam khususnya sumber daya laut dan pola pemanfaatannya.

2. Menggambarkan kondisi sumber daya manusia yang dilihat dari pendidikan dan kegiatan ekonominya, khususnya kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang.

3. Memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang

diindikasikan antara lain dari pemilikan asset rumah tangga (produksi dan non-produksi), dan kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan.

4. Mendeskripsikan tingkat pendapatan masyarakat, khususnya pendapatan dari kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang

5. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat.

(15)

Sasaran

• Tersedianya data dasar tentang aspek sosial-ekonomi terumbu karang yang dapat dipakai oleh para perencana, pengelola dan pelaksana untuk merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP.

• Tersedianya data pendapatan dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya pada awal program (T0) yang dapat dipakai untuk memantau dampak COREMAP terhadap kesejahteraan penduduk.

1.3. Metodologi

1.3.1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di kawasan lokasi COREMAP Kep. Hinako, Kecamatan Sirombu, Kabupaten Nias. Wilayah Kepulauan Hinako terdiri dari 12 Desa; enam desa di Pulau Hinako (Hinako, Balowondrate, Sinene’eto, Lahawa, Hanofa dan Halamona), tiga desa di Pulau Bawa (Bawasawa, Kafo-kafo dan Tuwa-Tuwa), dua desa di Pulau Imana (Imana dan Bawasalo’o) dan satu desa (Bogi) di Pulau Bogi.

Mengingat banyaknya desa di Kep. Hinako dan mempertimbangkan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, maka baseline studi difokuskan di tiga desa sebagai sampel studi. Tiga desa tersebut adalah Desa Hinako, Sineneeto dan Halamona yang ada di P. Hinako. Pemilihan desa sebagai sampel penelitian dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya: ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan keterwakilan kondisi sosial-ekonomi masyarakat.

(16)

Bab I Pendahuluan 6

1.3.2. Pengumpulan data

1. Data primer

Studi ini menggunakan dua pendekatan dalam mengumpulkan data yaitu kuantitatif dan kualitatif. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan melakukan survei/sensus; sedang pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui wawancara terbuka, diskusi kelompok terfokus (FGD) dan pengamatan lapangan (observasi). Mengingat bahwa jumlah rumah tangga yang tinggal menetap di ketiga desa relatif kecil, yaitu 55 kepala keluarga (KK) di Desa Hinako, 31 KK di Desa Halamona dan 12 KK di Desa Sineneeto, untuk data kuantitatif dilakukan sensus dengan mewawancarai semua keluarga yang ada pada saat penelitian dilakukan. Di ketiga desa tersebut sebenarnya jumlah KK yang tercacat sebagai warga desa lebih dari jumlah tersebut di atas. Jumlah KK di Halamona ada sekitar 47 KK, sebanyak 16 KK tinggal di Sirombu (terdiri dari 7 KK mendapat bantuan rumah dari International Red Cross dan yang 9 KK mempunyai tempat tinggal sendiri di Sirombu). Jumlah KK di Desa Hinako yang masih tinggal di P. Hinako sebanyak 55 KK, terdapat beberapa KK yang bertempat tinggal di Sirombu. Jumlah KK yang berhasil diwawancarai di Desa Hinako sebanyak 50 KK, karena ada satu yang menolak untuk diwawancarai dan yang empat KK tidak berada di tempat pada saat sensus dilakukan. Sedangkan jumlah KK di Desa Sineneeto adalah 52 KK dan yang masih tinggal dan menetap di desa hanya 12 KK. Berhubung keterbatasan waktu dan biaya penelitian, beberapa keluarga yang bertempat tinggal di Sirombu tidak dapat diwawancarai.

Data yang dikumpulkan melalui kuesioner meliputi data yang berkaitan dengan karakteristik demografi anggota rumah tangga dan keadaan ekonomi rumah tangga. Data mengenai karakteristik demografi anggota rumah tangga antara lain jumlah, umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan anggota rumah tangga. Sementara data tentang kondisi ekonomi rumah tangga meliputi data pendapatan,

(17)

tabungan dan data mengenai kepemilikan aset rumah tangga seperti alat produksi perikanan dan pertanian serta perumahan.

Khusus mengenai data berkaitan dengan pendapatan nelayan yang pada umumnya sangat tergantung pada keadaan iklim, sebaiknya pengambilan data dilakukan pada saat musim angin tenang (musim panen), pada saat musim angin kencang (musim paceklik) dan musim pancaroba. Mempertimbangkan kendala waktu dan biaya, maka pengambilan data dilakukan pada salah satu musim saja. Dengan demikian survei yang dilakukan menggambarkan kondisi kehidupan sosial-ekonomi penduduk pada saat dilaksanakannya survei. Hal ini sesuai dengan sifat survei yang memberikan gambaran secara ‘spot’. Dalam usaha mendapatkan gambaran mengenai pendapatan dan produksi menurut menurut musim, penelitian ini menggunakan teknik ‘restropeksi’, yaitu dengan menanyakan berbagai informasi tersebut menurut musim: musim gelombang lemah, musim pancaroba dan musim gelombang kuat. Dengan menggunakan teknik ini, maka didapatkan data dan informasi mengenai pendapatan dan produksi ikan secara tidak langsung menurut musim.

Dalam pengumpulan data kuantitatif, peneliti dibantu oleh beberapa orang pewawancara yang direkrut dari penduduk lokal. Di Desa Hinako direkrut lima orang pewawancara, di Desa Halamona tiga orang dan di Sineneeto satu orang. Perekrutan pewawancara dilakukan dengan bantuan tokoh masyarakat setempat.

Sebelum pelaksanaan survei, dilakukan pelatihan untuk para pewawancara. Pelatihan ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada pewawancara tentang maksud dan tujuan pengambilan data, tata cara berkunjung ke responden dan cara-cara menanyakan dan mengisi kuesioner.

Pemeriksaaan hasil wawancara dilakukan oleh tim peneliti dengan cara diskusi dan menanyakan langsung kepada pewawancara berkaitan dengan kelengkapan isi kuesioner, konsistensi jawaban dan kejelasan tulisan. Pada saat dilakukan pemeriksaan kuesioner, juga dilakukan diskusi tentang permasalahan - permasalahan sosial-ekonomi masyarakat yang muncul berkaitan dengan topik penelitian.

(18)

Bab I Pendahuluan 8

Pengumpulan data kualitatif dilakukan sendiri oleh peneliti. Wawancara terbuka dilakukan terhadap berbagai informan kunci seperti nelayan baik pria maupun wanita, pedagang pengumpul, pemuka masyarakat seperti perangkat desa, guru, dan tokoh masyarakat lainnya. Wawancara terbuka dan diskusi kelompok terfokus dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara (interview guide) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Sedangkan observasi dilakukan dengan mengamati kegiatan-kegiatan penduduk setempat yang berkaitan dengan kenelayanan maupun mata pencaharian alternatif lainnya seperti pembuatan perahu dan pedagang kebutuhan sehari-hari.

Pengumpulan data kualitatif ini dimaksudkan untuk menggali lebih dalam mengenai berbagai aspek menyangkut kondisi kehidupan masyarakat dan kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Selain itu, data kualitatif ini juga untuk melengkapi dan menggali lebih dalam lagi berbagai informasi yang telah didapatkan melalui survai.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari berbagai instansi terkait, seperti Kantor Statistik Kabupaten, Data Monografi Desa, Dinas Perikanan dan Kelautan dan data dari berbagai sumber lainnya.

1.3.3. Analisa data

Data yang diperoleh melalui kuesioner dianalisa secara kuantitatif dengan menggunakan tabulasi silang untuk melihat hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Deskripsi data kuantitatif ini didukung dan dikombinasikan dengan pengolahan field note dari hasil wawancara terbuka dan kelompok diskusi terfokus dan observasi lapangan serta bahan pustaka lain. Selain itu, dilakukan juga analisa situasi dengan pendekatan kontekstual untuk menerangkan kejadian di lapangan. Analisa ini penting untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi sumber daya laut, khususnya terumbu dan

(19)

pemanfaatannya serta dampaknya terhadap peningkatan pendapatan penduduk.

1.4. Organisasi Penulisan

Laporan ini mengenai kondisi sosial-ekonomi masyarakat di lokasi COREMAP ini ini terdiri dari 5 bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang perlunya kajian ini, tujuan penelitian, metode dan analisa data yang digunakan. Profil lokasi penelitian yang meliputi keadaan geografis, kondisi sumber daya alam, sarana dan prasarana serta potensi dan pengelolaan sumber daya laut disajikan dalam Bab II. Pengelolaan sumber daya laut oleh masyarakat dipaparkan pada bab III. Paparan pada bab ini meliputi pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap penyelamatan terumbu karang, pemanfaatan sumber daya laut, wilayah pengelolaan dan teknologi serta permasalahan dalam pengelolaan sumber daya laut. Bab berikutnya (Bab IV) terfokus pada profil sosio-demografi penduduk, seperti jumlah dan komposisi, kondisi pendidikan, dan pekerjaan penduduk. Uraian mengenai pekerjaan penduduk, terutama dikaitkan dengan kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang. Di samping itu, pada bab ini juga dikaji tingkat kesejahteraan penduduk yang diindikasikan dari pemilikan aset rumah tangga (produksi dan non-produksi) dan kondisi perumahan serta sanitasi lingkungan. Bab V berisi paparan mengenai pendapatan masyarakat, khususnya pendapatan dari kegatan ekonomi berbasis terumbu karang dan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan. Laporan ini ditutup dengan kesimpulan dan rekomendasi yang diangkat dari isu dan permasalahan yang muncul berdasarkan hasil kajian.

(20)

Bab I Pendahuluan 10

(21)

BAB II

PROFIL KEPULAUAN HINAKO

2.1. Kondisi Geografis

Secara geografis, Kepulauan Hinako terdiri dari delapan pulau yang terletak di bagian barat Pulau Nias dan berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Pulau-pulau tersebut terletak saling berdekatan dan membentuk gugusan kepulauan. Kedalaman laut antar pulau-pulau yang terdapat di Kepulauan Hinako mencapai 45 meter, namun di bagian barat yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, kedalamannya mencapai 2000-3000 meter. Posisi wilayah ini yang berbatasan langsung dengan dengan Samudra Hindia memberikan pengaruh terhadap kondisi perairan di kepulauan ini. Tingkat salinitas perairan cenderung stabil berkisar antara 33%-34%.

Tidak jauh berbeda dengan wilayah lain di Kepulauan Nias, kondisi iklim di Kepulauan Hinako tergolong iklim hujan tropis dengan curah hujan merata sepanjang tahun. Curah hujan rata-rata bulanan 258 mm atau mencapai 3 102 mm pertahun dengan jumlah hari hujan mencapai 25 hari perbulan. Temperatur rata-rata harian berkisar antara 28 ºC hingga 30 ºC. Sedangkan rata-rata kecepatan angin berkisar antara 5-6 Knot/jam. Musim hujan yang disertai badai pada umumnya terjadi pada bulan September hingga November. Pada musim ini ombak di perairan pantai dapat mencapai ketinggian 3-5 meter. Pada kondisi diluar kebiasaan kadangkala badai juga terjadi pada bulan agustus. Faktor cuaca, seperti angin dan hujan bisa berubah secara mendadak.

Pola arus permukaan memiliki dua bentuk, pada bulan Februari s.d Agustus, arus dengan kecepatan 38 cm/detik bergerak dari arah tenggara menuju arah barat laut, sedangkan arus berkecepatan 12 cm/detik bergerak dari daerah Kepulauan Banyak dan Pulau Nias

(22)

Bab II Profil Kepulauan Hinako

12

menuju kearah tenggara dan sejajar dengan garis pantai barat Sumatera. Sedangkan pada bulan Agustus s.d Februari pola ini berganti dimana arus dengan kecepatan 12 cm/detik bergerak dari arah barat laut menuju arah tenggara, sedangkan arus berkecepatan 38 cm/detik keluar diantara Kepulauan Banyak dan Pulau Nias menuju kearah tenggara, sejajar dengan garis pantai barat Sumatera. Pertemuan arus di sekitar pertengahan selat antara pulau ini mengakibatkan adanya perputaran arus diantara Pulau Hinako dan Pulau Bawa.

Bentuk topografi daratan pulau-pulau di Kepulauan Hinako pada umumnya datar, hanya ada sebuah bukit dengan ketinggian mencapai sekitar 10 meter di Pulau Hinako. Di wilayah perbukitan tersebut terdapat mercusuar dan kebun cengkeh penduduk yang tinggal di pulau ini. Dilihat dari tekstur pulau yang berupa pasir dan pecahan coral, kuat dugaan pulau-pulau di Kepulauan Hinako terbentuk dari Gosong yang naik ke permukaan bumi akibat gerakan kerak bumi sejak masa lampau. Gempa bumi yang terjadi pada tahun 2005 yang lalu, mengakibatkan naiknya permukaan daratan di Kepulauan Hinako. Oleh karena itu seluruh pulau di wilayah ini mengalami pertambahan luas pantai yang cukup signifikan dan dapat dilihat dari tampaknya gugusan terumbu karang yang berada di garis pantai. Tidak semua pulau yang terdapat di Kepulauan Hinako dijadikan tempat pemukiman. Dari kedelapan pulau, hanya lima diantaranya yang berpenghuni yaitu Pulau Bawa, Pulau Hinako, Pulau Imana, Pulau Bogi, dan Pulau Asu, sedangkan tiga pulau lainnya yaitu, Pulau Heruanga dan Pulau Hamutala dan Pulau Langu tidak ada pemukiman. Tiga pulau yang tanpa penghuni ini umumnya dijadikan sebagai lahan kebun kelapa dan lokasi pemeliharaan ternak milik masyarakat dari beberapa desa di Kepulauan Hinako. Pulau yang terbesar adalah Pulau Bawa, dan yang terkecil adalah Pulau Langu, namun pulau yang paling banyak dihuni adalah Pulau Hinako.

Secara administratif Kepulauan Hinako termasuk dalam wilayah Kecamatan Sirombu. Ibukota Kecamatan Sirombu terletak di daratan dan dapat ditempuh dalam waktu 45-60 menit dari Kepulauan

(23)

Hinako. Setiap harinya ada 2 kapal reguler yang beroperasi setiap hari untuk melayani rute ini. Sedangkan jarak antara ibukota kecamatan Sirombu ke ibukota Kabupaten Nias, Gunung Sitoli, sekitar 75 km. Jarak ini dapat dilalui melalui darat, namun karena kondisi jalan yang rusak, diperlukan waktu tempuh sekitar 3-4 jam dengan kendaraan bermotor.

2.2. Kondisi Sumber Daya Alam

Perairan laut Kepulauan Hinako pada dasarnya sangat kaya akan ekosistem terumbu karang, beragam jenis ikan dan biota laut lainnya serta potensi ombak yang sangat bagus untuk digunakan sebagi lokasi surfing. Potensi ekosistem terumbu karang di wilayah ini mencapai luas 217 Ha. Terumbu karang ini tersebar di sepanjang garis pantai pulau-pulau dan beberapa gosong, namun kondisinya sangat memprihatinkan. Dari survei mengenai kondisi karang yang dilakukan oleh tim penelitian ekologi CRITC – COREMAP dapat diketahui bahwa kondisi terumbu karang diperairan laut Kepulauan Hinako umumnya dalam kondisi rusak. Dari lima titik pengamatan kondisi tutupan karang berkisar antara 8.17 persen sampai dengan 18.03 persen.

(24)

Bab II Profil Kepulauan Hinako

14

Peta 2.1.

Kondisi Terumbu Karang di Pulau Hinako, Kabupaten Nias

Sumber: Penelitian Tim Ekologi CRITC- LIPI, 2007.

Naiknya permukaan tanah akibat gempa bumi dan tsunami pada tahun 2005 yang lalu memperparah kerusakan ekosistem terumbu karang di wilayah ini. Tutupan karang hidup di perairan ini sangat sedikit. Hal ini dapat dilihat di sepanjang pantai Pulau Hinako maupun pulau-pulau lain hamparan patahan karang bercabang, bahkan dibeberapa tempat yang tampak hanya tanda-tanda bekas hidupnya terumbu karang. Karang-karang mati juga banyak tersebar di sepanjang pantai di Pulau Hinako. Karang mati ini banyak dimanfaatkan masyarakat untuk keperluan pribadi seperti membangun rumah dan pekarangan, untuk membangun sarana umum seperti pembuatan jalan, dan untuk komersilkan dengan menjualnya kepada pengelola proyek pembangunan gedung seperti sekolah dan rumah ibadah.

(25)

Selain karena bencana alam, kerusakan terumbu karang di Kepulauaan Hinako juga diakibatkan oleh ulah manusia yang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, pukat harimau dan racun. Kegiatan merusak ini terutama dilakukan oleh nelayan pendatang dari Sibolga maupun kapal-kapal penangkap ikan dari Thailand yang menggunakan armada tanggap modern. Jenis terumbu karang di wilayah ini umumnya adalah fringing reefs atau karang tepi dan patch reefs atau gosong.

Perairan Kepulauan Hinako juga kaya akan beragam jenis ikan, baik ikan karang maupun ikan permukaan. Jenis ikan yang banyak ditangkap masyarakat nelayan di wilayah ini adalah ikan karang seperti kerapu, ikan kakap, lobster, teripang dan ikan permukaan seperti ikan tenggiri, cakalang dan tongkol. Dilihat dari kebiasaan masyarakat yang hanya menangkap ikan untuk memenuhi konsumsi sehari-hari, potensi ikan di wilayah ini masih belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh penduduk setempat. Dengan alat tangkap tradisional seperti pancing rawai dan armada tangkap perahu berkekuatan 5 PK masyarakat nelayan di wilayah ini hanya menangkap ikan ‘secukupnya’.

Wilayah laut Kepulauan Hinako juga memiliki lokasi yang potensi ombaknya sangat bagus untuk surfing (selancar), khususnya disekitar Pulau Asu dan Pulau Bawa. Wilayah ini telah cukup lama dikenal

(26)

Bab II Profil Kepulauan Hinako

16

oleh turis mancanegara sebagai lokasi surfing. Di kedua pulau ini terdapat beberapa pondok wisata milik warga yang khusus disewakan bagi wisatawan yang datang ke wilayah ini untuk surfing.

Selain sumber daya laut, daerah pesisir Kepulauan Hinako juga terdapat vegetasi mangrove khususnya di Pulau Bawa dalam jumlah yang relatif sedikit. Kondisi pesisir dan salinitas di sekitar pantai di pulau ini sangat baik untuk pertumbuhan dan perkembangan mangrove. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh keberadaan sebuah danau di dekat pantai Desa Bawasawa dengan luas sekitar 3 ha. Di danau ini terdapat aliran kecil berbentuk kanal yang mengalirkan air danau ke pantai dan sebaliknya memasukkan air laut pada waktu air pasang naik. Jenis mangrove di pulau ini didominasi oleh jenis Rhizhopora sp.

Sumber daya alam di daratan Kepulauan Hinako di dominasi oleh pohon kelapa. Kepulauan ini sudah lama dikenal sebagai daerah penghasil kopra yang utama di bagian Barat Nias. Selain perikanan tangkap, perkebunan kelapa merupakan sumber penghasilan utama masyarakat di Kepulauan Hinako. Namun usaha perkebunan ini tampaknya belum diusahakan secara intensif dan masih merupakan perkebunan kelapa yang tumbuh secara alamiah tanpa ada usaha perawatan dan peremajaan yang memadai. Dari pengamatan pada kebun kelapa di Pulau Hinako, tampak bahwa sebagian besar perkebunan kelapa ditumbuhi belukar tinggi yang menunjukkan kurangnya perawatan dan tidak tampak adanya usaha peremajaan pohon.

Selain kelapa, beberapa warga mencoba menanam berbagai jenis tanaman keras perkebunan seperti karet, coklat dan cengkeh. Perkebunan cengkeh umumnya terdapat di wilayah perbukitan di Pulau Hinako. Meskipun hasilnya tidak sebanyak kelapa, hasil perkebunan cengkeh dapat dinikmati sebagian besar masyarakat di Desa Hinako, baik sebagai pemilik kebun maupun sebagai buruh pemetik. Tanaman lain yang juga tumbuh subur di Pulau Hinako adalah pohon sawo. Pohon ini tumbuh sumbur di pekarangan rumah sebagian besar masyarakat, khususnya di Desa Hanofa, namun tanaman ini tampaknya juga belum dikelola secara maksimal.

(27)

Menurut masyarakat setempat, buah sawo dari Pulau Hinako terkenal dengan rasanya yang manis. Pada waktu penelitian berlangsung, peneliti sengaja membeli buah sawo yang baru dipetik dan setelah memeramnya kurang lebih tiga hari, rasanya terbukti sangat manis.

2.3. Sarana dan Prasarana

Secara administratif, Kepulauan Hinako termasuk kedalam wilayah Kecamatan Sirombu. Wilayah Kepulauan Hinako terdiri dari 12 Desa; enam desa di Pulau Hinako (Hinako, Balowondrate, Sinene’eto, Lahawa, Hanofa dan Halamona), tiga desa di Pulau Bawa (Bawasawa, Kafo-kafo dan Tuwa-Tuwa), dan dua desa di Pulau Imana (Imana dan Bawasalo’o) dan satu desa (Desa Bogi) di Pulau Bogi. Berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, penentuan batas wilayah desa di Kepulauan Hinako masih bersifat tradisional. Batas desa ditentukan oleh kesepakatan masyarakat berdasarkan batas lahan kebun masing-masing yang kemudian diakui sebagai wilayah desa dimana pemiliknya berasal. Selain itu, dominisi warga tidak selalu menentukan status kependudukan dimana orang tersebut bertempat tinggal. Status kependudukan lebih ditentukan oleh asal-usul keluarga dan kepemilikan lahan di desa tertentu. Sebagai contoh, seorang warga yang berasal dari Desa Halamona namun telah tinggal di wilayah Desa Hinako bertahun-tahun, masih dianggap sebagai warga Desa Halamona. Oleh karena itu tidak sedikit keluarga yang bertempat tinggal di wilayah Desa Hinako namun statusnya adalah warga desa lain, demikian juga sebaliknya.

Ketidakjelasan batas wilayah desa juga berdampak pada pengakuan atas penguasaan wilayah pulau-pulau lainnya diluar empat pulau utama (Hinako, Bawa, Imana dan Bogi) dimana terdapat desa definitif. Penguasaan desa atas sebuah pulau tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan kedekatan letak geografis dengan desa tertentu. Penguasaan wilayah lebih ditentukan oleh status kependudukan warga yang memiliki lahan tersebut. Jika lahan disebuah pulau dimiliki oleh beberapa warga desa yang berbeda, maka penguasaan desa atas wilayah pulau tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik

(28)

Bab II Profil Kepulauan Hinako

18

kebun berdasarkan batas-batas kepemilikan lahan. Oleh karena itu dapat saja sebuah pulau menjadi wilayah beberapa desa sesuai dengan sejarah kepemilikan lahan oleh warga desanya masing-masing atau berdasarkan kesepakatan bersama pemilik lahan. Ketidakjelasan status kependudukan dan batas wilayah ini bila tidak diantisipasi sebelumnya tentunya dapat menyulitkan pelaksanaan program pembangunan sarana dan prasaran wilayah maupun desa.

Sarana Pendidikan

Sarana pendidikan formal yang tersedia di Pulau Hinako adalah sebuah SD dan sebuah SLTP. Menurut seorang narasumber, sekolah dasar di wilayah ini sudah ada sejak awal tahun 1960 dan sudah banyak lulusannya yang sekarang sudah menjadi sarjana dan bahkan ada yang menjadi anggota DPR RI. Namun akhir-akhir ini sarana pendidikan tersebut kurang ditunjang dengan keberadaan guru yang sudah terlatih. Kurangnya tenaga guru terlatih mengakibatkan tidak sedikit pengajar di SLTP merupakan guru honorer yang belum mempunyai kualifikasi yang memadai.

(29)

Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan yang terdapat di Pulau Hinako masih sangat terbatas. Meskipun telah disediakan Pos Kesehatan Desa (POLINDES) di Desa Sinene’eto, namun tidak ada bidan yang menetap diwilayah ini. Bangunan polindes yang tersedia digunakan oleh warga desa untuk rumah tinggal. Masyarakat yang memerlukan pertolongan kesehatan hanya dilayani oleh seorang mantri yang bertempat tinggal di Desa Hinako. Terbatasnya tenaga kesehatan di wilayah ini membuat pertolongan persalinan lebih banyak dilakukan oleh dukun desa. Masyarakat yang memerlukan pertolongan kesehatan yang lebih baik biasanya langsung ke Sirombu atau ke Gunung Sitoli untuk berobat.

Sarana ekonomi

Pada masa lalu Kepulauan Hinako banyak didatangi oleh para pedagang dari berbagai daerah untuk membeli hasil bumi, khususnya kopra dan hasil laut. Pada waktu itu hasil bumi dari Sirombu dibawa ke Hinako untuk dijual kepada pedagang pengumpul yang ada di pulau ini dan kemudian dikirim ke wilayah lain dengan menggunakan kapal-kapal pedagang yang banyak berlabuh di pulau ini. Tidak jarang kapal barang dari Sibolga maupun Padang singgah di Hinako untuk mengangkut barang –barang dagangan tersebut. Intensitas perdagangan di pulau Hinako pada masa lalu terlihat dari peninggalan bekas kantor syahbandar dan bea cukai di Pulau Hinako.

Kegiatan perdagangan di Pulau Hinako mulai menurun setelah dipindahkannya pelabuhan utama ke Sirombu. Sejak itu pemasaran hasil bumi dan hasil laut Kepulauan Hinako harus dibawa terlebih dahulu ke Sirombu dan kemudian diangkut lewat jalan darat ke Gunung Sitoli untuk selanjutnya dikirim ke wilayah lain. Hal ini membuat ongkos angkut kopra dan hasil laut tersebut menjadi semakin tinggi.

Selain itu, pada masa lalu kopra yang dihasilkan masyarakat dapat langsung dijual kepada pabrik pengelohan minyak kelapa yang

(30)

Bab II Profil Kepulauan Hinako

20

terdapat di Pulau Hinako dan Desa Kafo-kafo. Namun kedua pabrik tersebut berhenti beroperasi sejak tahun 1996, sehingga masyarakat terpaksa kembali mengirim hasil kopranya ke wilayah lain. Kondisi ini diperparah lagi setelah gempa pada tahun 2005 yang lalu yang mengakibatkan dermaga yang ada disetiap pulau tidak dapat lagi dapat disandari kapal akibat naiknya permukaan pantai. Dibutuhkan sampan kecil atau sekoci untuk mengangkut penumpang maupun barang ke kapal. Hal ini tentu saja membuat ongkos angkut barang semakin meningkat.

Setelah terjadi gempa, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pembuatan Virgin Coconat Oli (VCO) membangun pabrik pembuatan VCO di Pulau Hinako. Untuk itu perusahaan tersebut menjalin kerjasama dengan masyarakat setempat untuk dilatih sebagai karyawan perusahaan dan pembuatan perkebunan kelapa percontohan tanpa penggunaan bahan kimia. Pada awalnya perusahaan ini dapat membeli hasil panen kelapa milik masyarakat setempat dengan harga lebih tinggi dari harga di Sirombu. Namun berhubung pemasaran hasil VCO dari perusahaan ini belum dapat menembus pasar international, kegiatan pengolahan VCO tersebut menjadi tersendat dan perusahaan tidak lagi dapat membeli hasil kebun masyarakat dengan harga tinggi. Menurut salah seorang narasumber yang bekerja pada perusahaan tersebut, tersendatnya pemasaran karena perusahaan mereka belum dapat menembus pasar international. Untuk masuk dalam pasar international diperlukan sertifat organik, yang belum dimiliki oleh perusahaan ini. Selama ini ada beberapa kendala yang dihadapi perusahaan dalam proses pengurusan sertifat tersebut. Selain permasalahan birokrasi dan administrasi, perusahaan juga menghadapi kendala dari masyarakat. Perlu pendekatan yang intensif untuk meyakinkan masyarakat agar mau menandatangani kontrak kerjasama untuk tidak menggunakan bahan kimia. Kendala yang sering dihadapi adalah masyarakat menolak pengukuran lahan perkebunan mereka, karena takut lahannya berpindah tangan. Beberapa masyarakat curiga bahwa pengukuran lahan tersebut akan disalahgunakan. Sementara dalam pembuatan kontrak kerjasama harus tertera jelas luas lahan dan jumlah pohon kelapa yang dimiliki

(31)

agar dapat memperkirakan potensi yang dimiliki. Pada waktu penelitian berlangsung sertifat tersebut masih dalam proses pengurusan.

Pemasaran hasil laut masih dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan menjual langsung kepada konsumen. Baik di Hinako maupun di Sirombu belum ada fasilitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Bila hasil tangkapnya cukup banyak, nelayan biasanya membawa hasil tangkap mereka ke pasar Sirombu dan menjualnya langsung kepada konsumen. Namun bila hasil tangkap dianggap tidak banyak, penjualan hasil tangkap hanya dilakukan di dermaga atau di sekitar desa dengan cara berkeliling dengan sepeda atau dengan menggantungkannya di depan rumah. Untuk lobster dan teripang hasilnya dijual kepada pedagang penampung yang ada di Desa Balafondrate atau penampung yang ada di Pulau Asu.

Untuk membeli kebutuhan sehari-hari seperti sembako, sayur mayur, makanan kecil dan keperluan sandang pangan lainnya, masyarakat di Pulau Hinako dapat membelinya di pasar yang berlokasi di dekat dermaga Desa Hinako. Selain pasar hampir disemua desa dapat ditemui warung-warung yang juga menjual kebutuhan sehari-sehari. Kaum laki-laki biasanya berkumpul di kedai-kedai kopi yang juga banyak ditemui di Pulau Hinako. Di Desa Hinako terdapat sebuah kedai minum yang menjual minuman mengandung alkohol yang sering dikunjungi oleh laki-laki dari berbagai desa di Pulau Hinako. Pada waktu penelitian berlangsung, hampir setiap hari ada warga yang mabuk ditempat tersebut. Kebiasaan meminum minuman mengandung alkohol sampai mabuk tampaknya merupakan kebiasaan buruk penduduk setempat yang sulit dihilangkan.

Transportasi dan komunikasi

Transportasi antar pulau di Kepulauan Hinako maupun menuju Sirombu dilayani oleh dua kapal motor reguler berkapasitas sekitar 10 ton yang beroperasi setiap hari. Kedua kapal motor ini berangkat pagi hari dengan selang waktu antara 30-60 menit dari Hinako menuju Sirombu dengan menyinggahi keempat pulau utama yang

(32)

Bab II Profil Kepulauan Hinako

22

berpenduduk di Kepulauan Hinako. Kedua kapal ini kemudian berangkat dari Sirombu menuju Kepulauan Hinako pada sore hari. Salah satu dari kapal angkutan penumpang dan barang-barang tersebut adalah kapal bantuan COREMAP yang diberikan pada tahun 2006 untuk masyarakat di Kepulauan Hinako.

Sebagai akibat gempa tahun 2005 lalu yang mengakibatnya naiknya permukaan pantai, semua dermaga yang ada di Kepulauan Hinako rusak dan tidak dapat disandari kapal. Pada waktu penelitian berlangsung ada dua dermaga di Pulau Hinako yang hampir selesai pembangunannya. Satu dermaga yang dibangun oleh Perusahaan Indojaya di wilayah desa Sinene’eto dan satu lagi di Desa Balowondrate yang dibangun dengan dana yang dikelola pemerintah daerah.

Selain sarana kapal penumpang reguler tersebut, masyarakat di Kepulauan Hinako, khususnya nelayan juga sering menggunakan kapal penangkap ikan milik mereka untuk menjual hasil tangkapnya ke Sirombu. Kapal penangkap ikan ini umumnya menggunakan mesin tempel berukuran 5 PK.

Kapal bantuan COREMAP - DKP untuk transportasi

(33)

Sarana transportasi antar pulau yang juga banyak digunakan masyarakat, khususnya untuk mengunjungi lahan pertanian atau peternakan mereka yang berada di lain pulau adalah perahu tanpa motor atau perahu dayung. Letak antar pulau-pulau di Kepulauan Hinako yang saling berdekatan membuat alat transportasi ini cukup efektif meskipun tanpa motor. Sedangkan sarana trasportasi antar desa didalam pulau umumnya adalah sepeda. Berhubung luas pulau-pulau di wilayah ini relatif kecil, desa-desa yang terdapat dalam satu pulau dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Jalan yang

Pelabuhan Hinako paska gempa

(34)

Bab II Profil Kepulauan Hinako

24

menghubungkan antar desa di Pulau Hinako berupa jalan setapak yang melintasi perkebunan milik penduduk.

Sarana komunikasi satu-satunya yang ada di Pulau Hinako adalah Radio Antar Penduduk Indonsia (RAPI) yang dimiliki oleh semua kepala desa di wilayah kepulauan ini. Selain RAPI, alat komunikasi yang juga banyak membantu masyarakat adalah siaran radio lokal. Pada jam-jam tertentu, masyarakat dapat menyampaikan pesan kepada keluarga melalui siaran radio. Signal telepon genggam telah dapat diterima di lokasi tertentu, seperti di dekat dermaga di Pulau Hinako, namun alat komunikasi ini belum banyak dimiliki oleh masyarakat.

Kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat

Kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat yang ada di Pulau Hinako masih terbatas pada lembaga keagamaan dan lembaga pengelolaan terumbu karang yang difasilitasi oleh COREMAP. Sarana keagamaan di Pulau Hinako cukup banyak. Di pulau ini paling sedikit ada tiga gereja dari berbagai denominasi (aliran) yang letaknya relatif berdekatan. Pada waktu penelitian, sedang berlangsung pembangunan sebuah gereja di Desa Hinako. Selain gerja, di Pulau Hinako juga terdapat sebuah mesjid yang terdapat di Desa Sinene’eto. Namun pada waktu penelitian mesjid terletak di dekat garis pantai tersebut sedang mengalami kerusakan akibat gempa pada tahun 2005 yang lalu. Menurut penduduk setempat mesjid tersebut akan segera direhabilitasi dengan menggunakan dana dari BRR. Sebagian besar penduduk di Pulau Hinako beragama kristen, kecuali satu desa yaitu Desa Sinene’eto dimana hampir semua warganya telah menganut agama Islam sejak turun temurun.

Ada dua Lembaga Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) yang difasilitasi oleh COREMAP di Kepulauan Hinako, yaitu LPSTK Nusantara dengan lingkup kerja meliputi desa-desa yang berada di Pulau Bawa, Pulau Imana dan Pulau Bogi dan LPSTK Fananda dengan lingkup kerja meliputi semua desa-desa yang berada di Pulau Hinako. Pembentukan LPSTK difasilitasi oleh sebuah LSM

(35)

yang dikontrak oleh COREMAP Kabupaten Nias untuk membantu masyarakat membuat kelompok dan bekerjasama untuk melestarikan ekosistem terumbu karang. Ketua LPSTK dipilih oleh masyarakat dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh perangkat desa, tokoh masyarakat dan masyarakat nelayan. Keberadaan LPSTK tersebut pada dasarnya sudah dimulai pada tahun awal 2006, namun ketika penelitian berlangsung, tidak ditemui aktifitas yang signifikan yang sedang dilakukan oleh LPST Fananda. Beberapa narasumber mengatakan hal ini disebabkan karena adanya permasalahan di dalam organisasi sehingga menimbulkan konflik diantara anggotanya. Kurangnya pemahaman mengenai CORAMAP dan pengalaman berorganisasi serta bekerja sama nampaknya menjadi kendala yang cukup besar di wilayah ini.

(36)

Bab II Profil Kepulauan Hinako

26

(37)

BAB III

PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT

Dalam konsep pengelolaan terkandung dua unsur penting, yakni unsur pemanfaatan dan unsur pengaturan. Kedua unsur tersebut saling melengkapi, bukan saling menegasikan. Oleh karena itu dalam pengelolaan tidak hanya ada unsur pemanfaatan tanpa unsur pengaturan, begitu juga sebaliknya unsur pengaturan harus disertai dengan unsur pemanfaatan. Dengan kalimat yang berbeda konsep pengelolaan dapat dikatakan sebagai keseimbangan antara unsur pemanfaatan dengan unsur pengaturan. Apabila dalam praktek pengelolaan unsur pemanfaatan yang mendominasi, maka yang akan terjadi adalah eksploitasi lebih (over exploitation) terhadap sumberdaya yang dimanfaatkan, sehingga hal ini akan merusak lingkungan. Di sisi lain, apabila pengelolaan didominasi oleh unsur pengaturan, maka sumber daya akan terbuang sia-sia, padahal sumber daya yang tidak dimanfaatkan seharusnya dapat mensejahterakan hidup manusia.

Kedua unsur pengelolaan tadi dalam pemberlakuannya harus dipandang sebagai “kesementaraan”, artinya pemanfaatan terhadap sumber daya tidak bisa dilakukan secara terus menerus, oleh karena itu berdasarkan alasan tertentu pemanfaatan sumber daya dapat dihentikan (moratorium). Begitu juga unsur pengaturan, suatu larangan memanfaatkan sumber daya tertentu misalnya, pada kurun waktu tertentu dapat menjadi suatu perkenaan untuk dimanfaatkan. Berpedoman uraian di atas, maka perlu azas kehati-hatian dalam memberikan penilaian terhadap prilaku suatu komunitas dalam pemanfaatan sumber daya, seperti pemanfaatan pasir pantai dan penambangan karang batu mati untuk berbagai keperluan. Memanfaatkan pasir pantai dan karang batu mati tidak begitu saja dapat dinilai sebagai perbuatan merusak lingkungan atau tidak merusak lingkungan. Masih dibutuhkan keterangan tambahan

(38)

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

28

menyangkut sumber daya tadi, seperti: ketersediaannya, peruntukannya, alat yang digunakan dan volume yang diperlukan dalam satuan waktu. Dari keterangan-keterangan lanjutan itu barulah dapat diberikan penilaian bahwa suatu perbuatan dapat merusak lingkungan atau tidak.

Uraian pada bab ini akan memberikan gambaran praktek masyarakat nelayan Kepulauan Hinako dalam mengelola sumber daya laut yang merupakan lingkungan utama mereka. Bagian pertama dari bab ini berisi uraian tentang pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap penyelamatan terumbu karang. Paparan pada bab ini dilanjutkan dengan uraian tentang pemanfaatan sumber daya laut oleh masyarakat yang antara lain berkaitan dengan wilayah pengelolaan, teknologi, jumlah produksi, pemasaran dan penanganan paska panen. Pada bagian berikutnya akan dibahas beberapa aspek terkait dengan permasalahan dalam pengelolaan sumber daya laut. Bab ini akan ditutup dengan uraian tentang pelaksanaan program penyelamatan terumbu karang yang dilakukan oleh COREMAP.

3.1. Pengetahuan, Kesadaran dan Kepedulian Masyarakat

Terhadap Penyelamatan Terumbu Karang

Pengetahuan dan Sikap Tentang Terumbu Karang

Masyarakat nelayan Nias secara umum menyebut karang hidup dengan nama kolobaha. Kata “kolobaha” itu sendiri tidak dapat sepenuhnya mewakili kata “terumbu karang” yang memiliki pengertian lebih luas sebagai ekosistem seperti yang dimaksudkan dalam penelitian ini. Walaupun demikian masyarakat di Pulau Hinako dapat dikatakan memiliki pengetahuan yang cukup baik tentang terumbu karang dan manfaatnya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal tersebut dapat diketahui dari paparan jawaban yang diberikan di bawah ini.

Terhadap pertanyaan untuk mengidentifikasi apakah terumbu karang merupakan makhluk hidup atau bukan, menunjukkan sebagian besar

(39)

responden (92,4 %) menjawab bahwa terumbu karang merupakan makhluk hidup, sedangkan responden yang mengatakan terumbu karang bukan makhluk hidup porsinya sangat kecil (2,2%). Selebihnya (5,4%) responden tidak mengetahui apakah terumbu karang merupakan makhluk hidup atau bukan.

Rendahnya persentase jawaban responden yang mengatakan terumbu karang bukan sebagai makhluk hidup dan bahkan ada responden yang tidak paham apakah terumbu karang itu merupakan makhluk hidup atau bukan, dapat dipastikan responden bersangkutan adalah ibu rumah tangga yang dalam kegiatan sehari-harinya tidak memiliki pengalaman menangkap sumber daya di laut.

Meskipun jawaban responden di atas sebagian besar menjawab benar, yaitu terumbu karang adalah makhluk hidup, tetapi jawaban atas pertanyaan tentang jenis dari terumbu karang, sebagian besar responden (64,7%) menjawab terumbu karang adalah jenis “ tumbuh-tumbuhan”. Sementara itu yang menganggap sebagai “khewan” serta yang menganggap sebagai “khewan sekaligus tumbuh-tumbuhan” memperoleh jawaban yang hampir sama besar, yaitu 15,3% dan 17,6%. Selebihnya, hanya 2,2% responden mengatakan dirinya tidak tahu jenis makhluk apa terumbu karang tersebut.

Berdasarkan pemahaman masyarakat selama ini, jawaban bahwa terumbu karang adalah jenis tumbuh-tumbuhan tersebut di atas dapat dibenarkan, karena selama ini masyarakat memiliki pengetahuan bahwa sesuatu yang tidak bisa berpindah tempat atas daya atau kehendak diri sendiri digolongkan sebagai tumbuh-tumbuhan. Namun secara akademik terumbu karang digolongkan sebagai khewan, karena tidak memiliki Chlorophyll (zat hijau daun), walaupun tetap tinggal di satu tempat seperti halnya tumbuh-tumbuhan. Zat hijau daun inilah pada tumbuh-tumbuhan berfungsi sebagai pengolah makanan dengan bantuan cahaya matahari untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan.

Responden yang jawabannya terumbu karang adalah khewan sekaligus tumbuh-tumbuan, tampaknya menunjukkan sikap yang ragu-ragu. Keraguan tersebut diduga akibat dari masih melekatnya

(40)

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

30

pengetahuan awal bahwa terumbu karang adalah tumbuh-tumbuhan versus pengaruh pengetahuan baru, yaitu terumbu karang adalah jenis khewan. Sementara responden yang memberi jawaban tegas bahwa terumbu karang termasuk kelompok khewan, kemungkinan pengetahuan mereka telah memperoleh “pencerahan” dari berbagai sumber informasi, seperti televesi, poster, leaflet termasuk sosialisasi program COREMAP. Pada masa mendatang, kecenderungan pandangan masyarakat seperti pandangan responden yang terakhir itu akan semakin besar porsinya seiring dengan semakin terbukanya akses informasi dan berjalannya program COREMAP di Kepulauan Hinako.

Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya tentang manfaat terumbu karang, responden lebih banyak menjawab “ya” dalam persentase yang tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan responden terhadap manfaat terumbu karang relatif baik. Sebanyak 98,9 % responden menjawab bahwa terumbu karang sebagai sumber pendapatan masyarakat. Jawaban ini sangat masuk akal bagi sebagian besar nelayan, karena sumber nafkah mereka berada di laut, khususnya pada kawasan terumbu karang. Pada kawasan inilah masyarakat nelayan Hinako biasanya melakukan penangkapan ikan kerapu atau ikan karang lainnya termasuk lobster. Jawaban ini pararel dengan jawaban atas pertanyaan manfaat terumbu karang untuk melindungi keragaman ikan/biota laut, yang juga dijawab “ya” oleh responden dalam persentase yang tinggi (93,5 %).

Seorang informan mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang manfaat terumbu karang tersebut merupakan pengetahuan warisan dari generasi pendahulu dan akan terus disosialisasikan kepada generasi berikutnya. Di samping itu pengetahuan tentang manfaat terumbu karang juga diperoleh berdasarkan pergumulan mereka sehari-hari di seputar terumbu karang. Jawaban “ya” atas manfaat terumbu karang sebagai tempat wisata dijawab oleh 92,4% responden. Tingginya persentase ini karena masyarakat memiliki pengetahuan bahwa setiap lokasi yang kondisi terumbu karangnya masih bagus pastilah sering dikunjungi oleh wisatawan mancanegara untuk berselancar dan/atau penyelaman seperti yang terjadi di seputar

(41)

Pulau Asu dan Pulau Bawa (pulau paling utara dan selatan dari gugusan Kepulauan Hinako). Pertanyaan manfaat terumbu karang untuk melindungi pantai dari ombak dan badai dijawab oleh 94,3% responden, sedangkan manfaat terumbu karang sebagai sumber bahan baku untuk keperluan sendiri, jawaban responden berimbang antara yang menjawab “ya” dan “tidak”. Responden yang menjawab “ya” sebanyak 44,6% berbanding dengan 55,4% untuk jawaban “tidak”. Keseimbangan jawaban responden tersebut boleh jadi disebabkan sebagian masyarakat menyadari bahwa pemanfaatan terumbu karang (kendati) untuk keperluan sendiri merupakan tindakan yang dianggap kurang baik, karena dikategorikan sebagai “merusak” lingkungan. Oleh karena itu mereka menjawab “tidak”. Sebaliknya, responden yang berpendapat bahwa memanfaatkan terumbu karang untuk keperluan sendiri (dalam jumlah terbatas) bukanlah perbuatan yang merusak, kecuali memanfaatkan secara berlebihan untuk proyek pembangunan dalam skala besar. Untuk yang terakhir ini responden akan menjawab “ya”.

Untuk menghindari dari perdebatan yang kontra produktif pada masa depan menyangkut pemanfaatan sumber daya laut (penambangan batu karang dan pasir serta penangkapan ikan) maka perlu ada kajian yang menyeluruh terhadap sumber daya laut bersangkutan. Kajian terhadap sumber daya laut tersebut paling tidak memuat besaran potensi awal sumber daya laut dan di kawasan tertentu, sehingga pada akhirnya dapat direkomendasikan bahwa pada suatu kawasan diperbolehkan atau dilarang memanfaatkan sumber daya tertentu. Jika pemanfaatan itu diperkenankan, maka berapa besaran yang boleh dimanfaatkan dan dengan cara apa dilakukan?. Begitu pula sebaliknya, bila sumber daya jumlahnya terbatas atau telah rusak, maka perlu adanya larangan beserta sanksi terhadap orang-orang yang memanfaatkan sumber daya tersebut. Dengan demikian diharapkan tidak lagi berkembang pemahaman yang parsial bahwa setiap individu atau kelompok dalam masyarakat yang melakukan penambangan batu karang atau pasir diberi label sebagai perusak lingkungan laut. Dalam hal ini COREMAP dapat meretas jalan

(42)

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

32

sebagai pembuka jalan untuk melakukan pengkajian itu dengan melibatkan masyarakat setempat.

Pemandangan umum di permukiman masyarakat Hinako; karang batu mati yang hancur dipakai untuk menutup halaman rumah dan jalan.

Jawaban responden yang lebih rinci menyangkut pengetahuan mereka terhadap manfaat terumbu karang dapat dicermati pada paparan Tabel 3.1. berikut ini.

Tabel 3.1.

Pengetahuan Responden Terhadap Manfaat Terumbu Karang

Manfaat terumbu karang Ya Tidak Jumlah (N) Sumber pendapatan masyarakat 98,9 1,1 100 (92) Melindungi keragaman ikan/biota laut 93,5 6,5 100 (92) Tempat wisata 92,4 7,6 100 (92) Melindungi pantai dari

ombak dan badai

83,7 16,3 100 (92)

Sumber bahan baku untuk keperluan sendiri

44,6 55,4 100 (92)

Sumber: Data Primer, Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang,

(43)

Selanjutnya dalam memandang kondisi terumbu karang di kawasan perairan Kepulauan Hinako, sebagian besar responden mengidentifikasi dalam keadaan rusak (54,3%), sangat rusak (15,2%) dan kurang baik (9,8 %). Responden yang menjawab kondisi terumbu karang dalam keadaan baik hanya 13,0%, sedangkan responden yang menjawab tidak tahu sebesar 7,6%. Jawaban responden di atas yang mengkategorikan terumbu karang dalam kondisi kurang baik sampai dengan rusak berat (79,3 %) menjadi rasional apabila dikaitkan dengan pendapat responden yang menganggap perlu terumbu karang diperbaiki atau dilestarikan (96,7%).

Menurut laporan kajian penetapan site COREMAP II (Rencana Pengelolaan Terumbu Karang LPSTK Nusantara, 2006, h. 9) menyebutkan bahwa potensi ekosistem terumbu karang di perairan Hinako memiliki luas 217 Ha berupa karang tepi (fringing reefs) dan gosong (patch reefs).

Dari wawancara dengan beberapa nelayan setempat diperoleh informasi bahwa kondisi terumbu karang tersebut dalam keadaan rusak yang keberadaannya di sebelah tenggara sampai dengan bagian timur Pulau Asu; di antara pulau-pulau Imana, Hinako, Bogi dan Bawa; sebelah timur sampai dengan selatan Pulau Bogi atau bagian tenggara Pulau Bawa.

Kerusakan terumbu karang di Kep. Hinako akibat Tsunami pada Maret 2005

(44)

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

34

Informasi lain yang diperoleh dari wawancara tersebut menyebutkan bahwa, kerusakan terumbu karang di kawasan Kepulauan Hinako disebabkan oleh penggunaan alat tangkap destruktif yang dilakukan oleh nelayan dari luar kawasan Hinako maupun oleh nelayan setempat. Namun demikian, kerusakan terumbu karang di kawasan ini tidak semata-mata karena ulah manusia, melainkan juga karena gempa bumi pada bulan Maret 2005 yang meluluhlantakkan Nias dan sekitarnya. Kerusakan akibat gempa secara kasat mata tampak di berbagai lokasi dengan naiknya permukaan pantai sampai satu meter yang kemudian menjadikan daratan semakin luas. Di sekeliling Pulau Hinako terlihat jelas hamparan karang batu yang hancur menumpuk di pinggir pantai karena hempasan ombak.

Jawaban responden berikutnya mengenai sikap mereka terhadap terumbu karang ada kesesuaian dengan pengetahuan mereka yang baik tentang manfaat terumbu karang. Sebagian besar responden (91,3 %) bersikap tidak setuju dengan pengambilan karang hidup. Untuk sikap terhadap pengambilan karang mati, kondisinya menjadi terbalik dengan sikap pengambilan karang hidup, yaitu sebagian besar responden (60,9 %) memberi jawaban setuju, sementara responden yang tidak setuju dan tidak berpendapat terhadap pengambilan karang mati memiliki besaran yang sama, yakni masing-masing 19,6 %. Fakta di atas menunjukkan bahwa masyarakat Hinako sangat permisif terhadap pemanfaatan karang mati, namun tidak mentolerir pemanfaatan karang hidup. Sikap itu kemungkinan besar disebabkan oleh: (1) ketiadaan alternatif bagi masyarakat Hinako untuk membuat fondasi rumah yang ekonomis selain batu karang; (2) dilandasi oleh pengetahuan bahwa segala sesuatu yang telah mati atau lapuk dapat dimanfaatkan, seperti halnya ranting pohon kering yang digunakan untuk kayu bakar; (3) kebalikan dari alasan kedua, yaitu dilandasi pengetahuan bahwa memanfaatkan terumbu karang yang masih hidup sama artinya merusak lingkungan.

Dari pengamatan penulis selama penelitian ini dilakukan, penggunaan karang batu di Hinako hanya terbatas untuk penggunaan pondasi bangunan tempat tinggal dan menimbun halaman rumah agar tidak becek saat hujan. Praktek tersebut sejauh ini dapat dikatakan sebagai

(45)

pemanfaatan yang terbatas, sehingga tidak merusak ekosistem terumbu karang secara keseluruhan.

Beranjak dari pengetahuan responden yang baik tentang adanya peraturan tentang larangan pengambilan/pengerusakan karang (89,1 %) dan pengetahuan adanya sanksi terhadap pelanggaran pengerusakan karang (93,9 %), kemudian mendorong masyarakat bersikap positif terhadap terumbu karang. Kepedulian terhadap penyelamatan terumbu karang dibuktikan dari jawaban responden yang sebagian besar (87,8 %) setuju dengan adanya peraturan yang melarang untuk mengambil dan merusak karang.

Tabel 3.2.

Sikap Responden Terhadap Terumbu Karang

Sikap terhadap terumbu karang Setuju Tidak setuju Tidak berpendapat Jumlah N Pendapat terhadap pengambilan karang hidup 3,3 91,3 5,4 100 92 Pendapat terhadap pengambilan karang mati 60,9 19,6 19,6 100 92 Pendapat mengenai peraturan larangan pengambilan atau perusakan karang 87,8 4,9 7,3 100 92

Sumber: Data Primer, Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2007

Pengetahuan dan Sikap Tentang Alat Tangkap

Dari tabel di bawah terlihat bahwa pengetahuan responden tentang adanya larangan dan sanksi dari pemerintah terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak berada pada persentase yang tinggi. Responden yang tahu adanya larangan pemerintah terhadap penggunaan bom (93,5 %), racun/sianida/potasium (83,7 %) serta

(46)

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

36

pukat harimau sebesar 80,4 %. Dari jawaban ini dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden terhadap larangan pemerintah terhadap penggunaan bom, potasium dan pukat harimau sebagai alat tangkap dapat dikatakan sangat baik. Informasi larangan tersebut mereka peroleh dari penyuluhan yang dilakukan oleh aparat pemerintah khususnya dari Dinas Kelautan dan Perikanan dalam rangka COREMAP serta televisi.

Pada masa mendatang, pengetahuan mereka tentang larangan penggunaan alat tangkap yang merusak mesti terus dikembangkan dan tidak hanya berhenti sampai pada tahap tahu adanya larangan dan sanksi. Dengan demikian diharapkan justru para nelayan inilah yang akan menjadi ujung tombak pengamanan sumber daya laut, karena mereka adalah salah satu pemangku kepentingan utama ekosistem terumbu karang.

Tabel 3.3.

Pengetahuan Responden Terhadap Larangan dan Sanksi Penggunaan Alat Tangkap yang Merusak

Pengetahuan responden Ya Tidak Tidak menjawab

Jumlah N Mengetahui adanya larangan

penggunaan bom sebagai alat tangkap

93,5 6,5 0 100

92 Mengetahui adanya sanksi melanggar

larangan menggunakan bom sebagai alat tangkap

91,9 1,2 7,0 100

92 Mengetahui adanya larangan

penggunaan racun/sianida/potasium sebagai alat tangkap

83,7 16,3 0 100

92 Mengetahui adanya sanksi melanggar

larangan menggunakan

racun/sianida/potasium sebagai alat tangkap

75,3 16,9 7,8 100 92

Mengetahui adanya larangan

penggunaan pukat harimau/trawl sebagai alat tangkap

80,4 19,6 0 100

92 Mengetahui adanya sanksi melanggar

larangan menggunakan pukat harimau/trawl sebagai alat tangkap

81,1 9,5 9,5 100

92

Sumber: Data Primer, Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2007

(47)

Alat tangkap yang dianggap dapat merusak terumbu karang oleh masyarakat Hinako adalah: bom, potasium dan pukat harimau. Menurut pengetahuan nelayan setempat, penggunaan bom pada awalnya dilakukan oleh nelayan dari Sibolga dan Aceh. Sementara pemotas diduga pelakunya berasal dari Thailand dan Sibolga serta pengoperasian alat tangkap pukat harimau lebih banyak oleh kapal-kapal dari Sibolga. Dalam perkembangannya alat tangkap yang merusak tersebut kemudian diadopsi oleh sebagian nelayan lokal sebagai alat tangkap utama.

Informasi yang dikumpulkan dari beberapa nelayan di Desa Hinako memberi gambaran bahwa sebagian besar menunjukkan penolakannya terhadap pengoperasian alat tangkap destruktif. Namun demikian ada sebagian kecil dari mereka yang memberikan toleransi terhadap alat tangkap tersebut. Toleransi itu muncul karena tersangkut langsung dengan dirinya atau berkaitan dengan sanak famili sebagai pengguna alat tangkap yang merusak. Seperti dapat disimak pada Tabel 3.4. dan 3.5. terlihat sebagian responden pernah melihat orang dan bahkan pernah menggunakan alat tangkap ilegal dalam satu tahun terakhir.

Sikap penolakan sebagian besar responden terhadap penggunaan bom, potasium dan pukat harimau sebagai alat tangkap didasarkan atas pengetahuan yang benar terhadap ketiga alat tersebut seperti telah terpapar di atas. Responden yang menjawab setuju terhadap larangan penggunaan bom sebagai alat tangkap adalah 91,9 % berbanding 5,8 % dengan jawaban yang mengatakan tidak setuju. Besaran angka yang yang lebih kecil ditemukan untuk larangan penggunaan pukat harimau sebagai alat tangkap, yaitu 81,1 % berbanding 9,5 %. Sedangkan untuk larangan penggunaan potasium angkanya relatif lebih rendah daripada dua alat tangkap lainnya, yakni responden yang menjawab setuju sebesar 75,3 % dan jawaban tidak setuju adalah 16,9 %.

(48)

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

38

Tabel 3.4.

Sikap Responden Terhadap Larangan Penggunaan Alat Tangkap yang Merusak

Sikap responden Setuju Tidak setuju Tidak berpen-dapat Jumlah N

Pendapat mengenai larangan menggunakan bom sebagai alat tangkap

91,9 5,8 2,3 100 92 Pendapat mengenai larangan

menggunakan

sianida/potasium sebagai alat tangkap

75,3 22,1 2,6 100 92

Pendapat mengenai larangan menggunakan pukat harimau/trawl sebagai alat tangkap

78,4 17,6 4,1 100 92

Sumber: Data Primer, Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2007

Tabel 3.5.

Pengetahuan Responden Terhadap Orang Lain Menggunakan Alat Tangkap yang Merusak Dalam Satu Tahun Terakhir

Pengetahuan responden Ya Tidak

Tidak men-jawab

Jumlah N

Mengetahui orang lain menggunakan bom sebagai alat tangkap

50,0 35,9 14,1 100 92 Mengetahui orang lain

menggunakan

racun/sianida/potasium sebagai alat tangkap

12,0 71,7 16,3 100 92

Mengetahui orang lain menggunakan pukat harimau/trawl sebagai alat tangkap

43,5 46,7 9,8 100 92

Sumber: Data Primer, Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2007

(49)

Tabel 3.6.

Pengakuan Responden Dalam Menggunakan Alat Tangkap yang Merusak Dalam Satu Tahun Terakhir

Pengetahuan responden Ya Tidak

Tidak men-jawab Jumlah N Menggunakan bom sebagai alat tangkap

1,1 93,5 5,4 100 92

Menggunakan

racun/sianida/potasium sebagai alat tangkap

3,3 91,3 5,4 100 92

Menggunakan pukat harimau/trawl sebagai alat tangkap

2,2 93,5 4,3 100 92

Sumber: Data Primer, Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2007

Besarnya persentase tidak setuju (22,1 %) terhadap adanya larangan penggunaan racun sianida sebagai alat tangkap dibandingkan dengan penggunaan bom dan pukat harimau berbanding lurus dengan besaran responden yang mengaku tahu ada orang lain yang menggunakan racun sianida (12,0 %) dan besaran responden yang pernah menggunakan potasium (3,3 %) untuk menangkap sumber daya laut. Data ini juga bisa dibaca sebagai bentuk toleransi sebagian responden terhadap diri sendiri dan sanak familinya yang dalam mengeksploitasi sumber daya laut sangat tergantung pada alat tangkap potasium. Namun demikian karena persentase yang tidak setuju terhadap larangan penggunaan racun sianida (18,5 %) lebih besar dari persentase responden yang pernah menggunakan racun potasium (3,3 %) mengindikasikan adanya kesadaran dari sebagian yang pernah menggunakan untuk berhenti menggunakan potasium karena tahu dampak yang ditimbulkan akhirnya akan merugikan diri sendiri dan kehidupan nelayan secara keseluruhan.

Referensi

Dokumen terkait

Proses metafora kembang api pada objek rancang Galeri Seni Instalasi Indonesia adalah memindahkan beberapa sifat kembang api, yaitu ledakan yang meyebar dan

Penelitian ini bertujuan mengetahui lama fermentasi yang terbaik dalam fermentasi Jerami padi dengan mikroorganisme lokal terhadap Bahan Kering, dan Bahan Organik, dan Abu

Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah grafik fungsi kuadrat berupa

PT Sierad Produce Tbk (SIPD) sepanjang 2011 lalu membukukan penu- runan laba bersih hingga 64% mencapai Rp.22 miliar dibandingkan periode yang sama 2010 sebesar 61 miliar..

Dengan pembangunan proyek ini dapat meningkata kapasitas voluem yang akan dimiliki, dimana saat ini perseroan memiliki kapasitas terminal sebesar 180.000

Menurut kajian yang dilakukan oleh Sowa (2002), terdapat beberapa kelebihan program pertukaran pelajar iaitu : (1) meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kemahiran bahasa

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di Kelas IPA SLTA Bakti Ponorogo sebanyak 10 responden di dapatkan 6 responden atau 60 % Gejala

1 في" ةدام نع ةيبرعلا ةغللا ملعت جئاتن ةيقرت في سرهفلا ةقاطب ةقباطم ملعتلا ةيجيتاترسا قيبطت جناديرس ليد نياثلا ةيمسوحكا ةطسستمتا ةسسدرمتبا نياثلا