• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT

3.5. Permasalahan Dalam Pengelolaan Sumber

kerusakan sumber daya laut adalah: (1) faktor internal, meliputi praktek masyarakat dalam mengeksploitasi sumber daya laut dengan teknologi yang tidak ramah lingkungan, penambangan pasir dan batu karang mati; (2) faktor eksternal, meliputi upaya-upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak dalam rangka penyelamatan terumbu karang, situasi eksternal lainnya seperti harga dan ketersediaan pasar, peningkatan konsumsi dan faktor kelancaran transportasi, serta faktor struktural, meliputi kebijakan pengelolaan sumber daya laut terutama dari pihak pemerintah . Faktor-faktor di atas di bawah ini akan dibahas lebih lanjut.

Faktor Internal

Seperti telah diungkapkan di muka, bahwa degradasi kualitas sumber daya laut di perairan Hinako merupakan akibat dari aktifitas penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan. Hasil survei menunjukkan bahwa 100 % responden mengatakan bom sebagai alat tangkap yang menyebabkan kerusakan terumbu karang, kemudian potasium sebesar 97,8 %, alat tangkap pukat harimau dijawab oleh 96,7 % responden, dan bagan tancap sebesar 77,2 %. Di samping itu kerusakan ekosistem di Hinako secara khusus juga disebabkan oleh gempa bumi yang diikuti gelombang Tsunami pada Maret 2005. Untuk mengetahui penyebab kerusakan terumbu karang di Hinako pada khususnya dan di Nias pada umumnya, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, apakah kerusakan terumbu karang tersebut lebih disebabkan karena ulah manusia atau bencana alam?

Alat tangkap bom dan potasium menurut penuturan masyarakat Hinako dipelajari dari nelayan Nias Daratan yang sebelumnya belajar dari nelayan Sibolga, Sumatera Utara sekitar tahun awal 1990-an. Dalam perkembangannya, praktek yang dilakukan oleh nelayan Sibolga itu kemudian diadopsi oleh nelayan Nias maupun Hinako, terutama oleh nelayan yang masih berusia muda. Secara berantai pengetahuan mengenai bom dan potasium ditularkan kepada nelayan lainnya sehingga mereka akhirnya menjadi nelayan yang ahli dalam menggunakan bom dan potasium untuk menangkap ikan dan udang lobster.

Pengeboman dan pemotasan di perairan Hinako intensif dilakukan sampai sekitar paruh tahun 2000, kemudian berangsur angsur berkurang seiring dengan kesadaran masyarakat setempat bahwa bom dan potasium telah merusak lingkungan perairan mereka dan dampaknya secara langsung mereka rasakan, yaitu makin sulit dan berkurangnya jumlah tangkapan. Tambahan lagi gempa dan Tsunami makin memporakporandakan ekosistem terumbu karang di kawasan ini. Kesadaran masyarakat semakin mengkristal seiring dengan semakin seringnya penyuluhan dari pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias lewat program COREMAP. Tayangan televisi tentang perlindungan terumbu karang dari perusakan alat tangkap destruktif juga sebagai faktor pendorong untuk menghentikan penggunaan bom dan potasium. Hal lain yang menjadi faktor berkurangnya pengeboman dan potasium karena perangkat keamanan mulai peduli terhadap penegakan aturan dengan melakukan pengawasan lewat patroli laut.

Sikap dan kepedulian sebagian masyarakat Hinako dalam menolak penggunaan alat tangkap bom dan potasium tercermin dalam Survei Sosial Ekonomi Terumbu Karang, COREMAP, 2007. Dari 92 responden, 91,9 % di antaranya setuju terhadap larangan penggunaan bom dan 75,3 % untuk larangan penggunaan potasium. Pendapat responden tersebut dilandasi oleh pengetahuan dari pemerintah tentang adanya larangan dan sanksi penggunaan bom dan potasium untuk alat tangkap sumber daya laut. Sebanyak 93,5 % responden mengetahui adanya larangan pemerintah menggunakan bom dan 83,7

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

52

% untuk larangan penggunaan potasium. Demikian juga halnya dengan pengetahuan responden terhadap adanya sanksi pelanggaran terhadap kedua alat tangkap yang merusak tersebut. Sebanyak 93,5 % responden menjawab tahu adanya sanksi terhadap penggunaan bom dan 83,7 % untuk potasium. Dengan dasar pengetahuan seperti itu kini mereka memiliki modal sosial yang besar dalam memberikan tekanan-tekanan terhadap pengguna bom dan potasium untuk menghentikan secara total kegiatan yang telah menjadikan ekosistem terumbu karang mereka rusak.

Menurut pengamatan penulis, ada kemiripan antara masyarakat Sipora, Mentawai dengan masyarakat Hinako, Nias dalam menyikapi pengguna bom dan potasium. Baik dalam masyarakat Hinako maupun Sipora, tampak adanya standar ganda, walaupun samar dalam menyikapi kedua alat tangkap tersebut. Satu sisi menolak digunakannya kedua alat tangkap tadi, namun di sisi lain ada “toleransi” bagi pengguna potasium. Pengguna bom di Hinako dan Sipora akan melakukan penangkapan di luar fishing ground nelayan setempat karena takut ketahuan, sedangkan pengguna potasium mengoperasikan alat tangkapnya masih berada di dalam perairan Kepulauan Hinako, yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi. Tidak diperoleh jawaban yang tegas, kenapa hal itu terjadi? Akan tetapi bisa diduga, penggunaan bom sangat terbuka dalam arti ledakannya mudah didengar oleh masyarakat dan hasil tangkapannya secara fisik juga mudah dikenali. Hal itu sangat berbeda dengan penggunaan potasium; secara kasat mata sulit dibedakan penyelam yang menggunakan potasium dengan penyelam yang menggunakan jerat, kecuali ada alat bantu lain berupa kompresor yang dapat dijadikan petunjuk bahwa penyelam bersangkutan kemungkinan besar menggunakan potasium. Secara fisik hasil tangkapan dengan potasium juga tidak berbeda dengan alat tangkap lain.

Faktor lain yang menjadikan masyarakat punya standar ganda, boleh jadi masyarakat menduga daya rusak bom yang meledak dengan suara menggelegar jauh lebih tinggi dibandingkan potasium terhadap terumbu karang. Sebaliknya secara teknis operasional penggunaan

potasium tidaklah memberi gangguan terhadap nelayan pancing yang berada dalam satu kawasan penangkapan.

Di samping faktor-faktor tadi, tanpa disadari masyarakat sesungguhnya mengakui bahwa penangkapan dengan potasium lebih efisien dan efektif untuk menangkap lobster yang memiliki harga tinggi dan stabil dan juga pembeli tidak membedakan harga lobster karena ditangkap dengan alat tangkap yang berbeda. Akhirnya penangkapan dengan potasium dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga, yang juga dapat dinikmati oleh sanak famili.

Hal lain yang sering dikemukakan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kerusakan sumber daya laut adalah penambangan pasir pantai dan karang batu mati untuk berbagai keperluan pembangunan fisik. Adalah sangat umum dilakukan oleh masyarakat pesisir, apalagi kemudian permukimannya berada di suatu pulau kecil yang relatif terpisah dari “tanah besar”, pasir laut dan karang batu yang telah mati dimanfaatkan sebagai bahan dasar utama untuk fondasi rumah, penimbun halaman dan jalan. Kesemuanya itu mereka lakukan berdasarkan beberapa alasan, yaitu: (1) pulau yang mereka tempati tidak mungkin dilakukan penambangan karena berbagai alasan, seperti tidak memiliki kandungan pasir dan batu atau semua areal penuh dengan permukiman; (2) menambang pasir dan karang batu di pantai lebih mudah dilakukan dan lebih murah dibandingkan dengan menambang di daratan. Masyarakat Kepulauan Hinako termasuk dalam kategori kedua alasan di atas. Untuk masyarakat yang bermukim di Pulau Hinako, Bawa, Imana dan Bogi (mungkin) ada sumber daya pasir dan batu di darat, tetapi untuk Pulau Asu, Heruwanga dan Hamutala yang luasnya relatif kecil dan datar, sumber daya pasir dan batu hanya tersedia di pantai.

Substansi dari kedua alasan pemanfaatan kedua material pantai di atas adalah, betapa mahalnya pasir dan karang batu yang harus masyarakat bayar bila kedua material tersebut didatangkan dari pulau lain misalnya (untuk alasan-1) dan bagi masyarakat yang penghasilannya sangat terbatas, harga yang lebih murah dan kemudahan untuk melakukan akan menjadi pilihan pertama,

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

54

walaupun mungkin akan memberikan dampak negatif pada lingkungan (untuk alasan-2).

Apabila kedua alasan tersebut dicermati lebih seksama, maka kata kuncinya adalah “ketidakberdayaan” masyarakat untuk membeli kedua material bangunan itu dengan harga yang lebih mahal. Dengan demikian, bila penambangan pasir dan batu karang pantai dianggap merusak lingkungan, adakah pemerintah atau pihak-pihak lain yang bisa memberikan subsidi atau alternatif untuk memperoleh pasir dan batu dari sumber lain yang dari sisi efisiensi dan efektifitas setingkat dengan material yang mereka gunakan selama ini?

Sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, ada pertanyaan lain yang lebih penting memperoleh jawaban, yaitu apakah penambangan pasir dan karang batu mati seperti umum dilakukan masyarakat pesisir untuk fondasi bangunan, menimbun halaman dan jalan kampung memberikan dampak negatif terhadap lingkungan laut? Bila jawabannya adalah “ya”, berapa besar dampak yang akan ditimbulkan? Akan tetapi bila jawabannya “tidak”, berapa banyak boleh ditambang dari ketersediaannya dan di mana?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut selama ini dijawab dengan sangat sederhana, yakni “penambangan pasir pantai dan karang batu mati akan merusak lingkungan laut”, tanpa keterangan tempat maupun jumlah. Dampak dari pernyataan itu adalah himbauan yang diawali dengan kata “tidak” atau “jangan”, seperti “tidak boleh mengambil pasir di pantai, karena akan menimbulkan abrasi” atau “gunakan pasir kali dan batu gunung dan jangan menambang pasir dan karang batu di pantai, karena akan merusak lingkungan laut”. Himbauan-himbauan semacam itu tidak menjadikan masyarakat pesisir menjadi lebih berdaya dan peduli soal lingkungan. Apalagi kemudian menempatkan masyarakat sebagai obyek yang perlu mendapatkan bimbingan karena mereka sekaligus sebagai subyek yang merusak lingkungan.

Secara konseptual, pengelolaan berarti “pengaturan” dan “pemanfaatan”, seperti telah dijelaskan pada awal bab ini. Oleh karena itu dalam pemanfaatan sumber daya pasir dan karang batu mati untuk berbagai keperluan perlu pengaturan yang jelas dan tegas.

Pengaturan itu meliputi kuantitas maksimal sumber daya yang boleh diambil dan tempat-tempat pengambilan yang diperkenankan atau dilarang. Hal lain yang perlu juga diatur adalah peruntukan sumber daya tersebut secara terbatas, seperti hanya untuk fondasi rumah, penimbunan halaman dan jalan di perkampugan yang berada di pulau-pulau tertentu. Dan yang tidak kalah penting dalam pengelolaan sumber daya laut adalah penegakan aturan (termasuk sanksi) yang tegas dan transparan, karena merupakan tolok ukur keberhasilan dalam pengelolaan sumber daya. Selama ini penegakan aturan inilah merupakan bagian yang terlemah dalam praktek pengelolaan sumber daya laut, sehingga sebuah aturan bagaikan “macan kertas” yang dapat dimanfaatkan sesukanya oleh orang-orang yang punya akses terhadap kekuasaan.

Faktor Eksternal

Nelayan penangkap udang lobster mengatakan bahwa, dua tahun terakhir ini jumlah udang lobster yang dapat ditangkap semakin menurun dan ukurannya juga makin kecil, padahal menurut informasi yang diperoleh dari pedagang penampung kebutuhan pasar tidak pernah turun. Lebih lanjut dia menuturkankan, pada masa lalu di Kepulauan Hinako ada dua keramba; satu keramba menampung udang lobster dan satu keramba lagi manampung ikan kerapu. Kini yang tetap beroperasi hanya pedagang penampung udang lobster. Informan yang lain mengatakan, belum pernah selama ini hasil tangkapannya ditolak oleh pembeli, berapapun besar dan banyaknya lobster yang ditangkap.

Dari pengungkapan nelayan udang lobster di atas menunjukkan demand yang tinggi mendorong produsen atau nelayan untuk terus berproduksi tanpa memperhitungkan produksi lestari dari sumber daya yang dieksploitasi. Dorongan untuk menghasilkan sebanyak-banyaknya dipicu lagi oleh harga yang stabil dan cenderung semakin tinggi. Puncak dari keadaan semacam itu adalah makin cepatnya laju degradasi sumber daya laut di Hinako. Kondisi serupa menurut pengamatan penulis juga terjadi di Mentawai dan di Kepulauan Raja

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

56

Ampat, Irian Jaya Barat atau bahkan mungkin juga terjadi di semua kawasan yang memilki sumber daya ikan karang.

Mundurnya pedagang penampung kerapu karena tidak/berkurangnya kerapu yang dapat dibeli membuktikan telah terjadi degradasi sumber daya laut, sedangkan jumlah tangkapan yang makin berkurang dengan ukuran yang semakin kecil merupakan bukti lain bahwa di Hinako telah terjadi overfishing untuk udang lobster. Laju degradasi sumber daya laut akan semakin cepat mengingat tidak ada regulasi yang dibuat oleh pemerintah kabupaten dalam hal pengelolaan terumbu karang dan lemahnya pengawasan di laut.

Di sisi lain hubungan yang bersifat simbiosis mutualistis antara nelayan dengan pedagang penampung dan konsumen berdampak negatif terhadap penyelamatan terumbu karang. Dua pemangku kepentingan ini memiliki kesamaan visi, yakni memperoleh keuntungan sebanyak dan secepat mungkin atau dapat diwakili dengan satu kata, yaitu “keserakahan”. Nelayan dengan alat tangkap potasium ingin menangkap sumber daya laut dengan cara mudah dan efektif, sedangkan pedagang penampung ingin memperoleh komoditas dengan jumlah yang memadai untuk diekspor dan dalam waktu yang singkat. Sedangkan konsumen akhir ingin segera menikmati santapan lezat dan eksotis dengan harga yang mahal.

3.6. COREMAP

Dalam rangka pelaksanaan COREMAP fase II di Kepulauan Hinako, Kecamatan Sirombu, Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara telah terbentuk dua lembaga pengelola terumbu karang pada tahun 2006. Lembaga yang dimaksud adalah Lembaga Pengelola Sumber Daya Terumbu Karang (LPSTK) Fananda dan Nusantara.

LPSTK Fananda meliputi enam desa, yaitu Desa Hinako, Balowondrate, Sinene’eto, Lahawa, Hanofa dan Desa Halamona, yang kesemuanya berada di Pulau Hinako. Sedangkan LPSTK Nusantara mencakup enam desa juga, yakni Desa Bawasawa, Kafo-Kafo dan Desa Tuwa-Tuwa, yang berada di Pulau Bawa; kemudian

Desa Imana dan Bawasalo’o yang terdapat di Pulau Bawa dan Desa Pulau Bogi yang ada di Pulau Bogi. LPSTK Fananda mencakup sekitar 1500 penduduk, sementara LPSTK Nusantara berpenduduk berkisar 1300 jiwa.

Selanjutnya masyarakat Kepulauan Hinako melalui musyawarah desa yang difasilitasi oleh LP3M Universitas Sumatera Utara berhasil menyusun dokumen Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK). RPTK ini merupakan panduan untuk pengelolaan terumbu karang di masa depan yang masing-masing dikoordinasikan oleh LPSTK setempat.

Dua RPTK di Kepulauan Hinako masing-masing berisi hal-hal berikut: (1) wilayah pengelolaan; (2) prinsip, azas, kebijakan dan arahan pengelolaan; (3) visi, sasaran dan strategi pengelolaan; (4) organisasi pengelolaan. Uraian di bawah ini akan menyinggung dua hal, yaitu wilayah pengelolaan, untuk mencari tahu seperti apa bentuk pengelolaan wilayah laut yang di dalamnya terdapat daerah perlindungan laut (DPL) dan organisasi pengelolaan, untuk mengetahui mekanisme pengorganisasian pengelolaan sumber daya terumbu karang.

Pengelolaan terumbu karang di Kepulauan Hinako dan juga di daerah lainnya yang berada di bawah koordinasi COREMAP fase II dilakukan dengan sistem zonasi. Zona-zona pengelolaan dibagi menjadi lima, masing-masing zona memiliki peruntukan tersendiri, seperti terlihat pada tabel 3.8.

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

58

Tabel 3.8.

Zona-zona Pengelolaan dan Peruntukan dan Kreterianya

Zona Peruntukan Kreteria

Inti/DPL Sebagai wilayah perlindungan, sehingga terlarang/tertutup bagi aktifitas yang ekstraktif, kecuali untuk penelitian atas pengetahuan kepala desa.

Kondisi terumbu karang masih baik dan kemudahan untuk melakukan

pemantauan dan pengawasan. Penyangga Sebagai wilayah penangkapan

tradisional dengan alat tangkap pancing.

Wilayah yang

keberadaannya mengitari wilayah inti/perlindungan sejauh radius 100 meter Zona

penangkapan tradisional

Sebagai wilayah penangkapan nelayan tardisional dengan perahu dayung dan perahu motor di bawah 5 PK dengan alat tangkap tradisional yang tidak merusak terumbu karang.

Berada di luar zona inti, namun masih berada di lingkungan pesisir desa.

Zona budidaya Sebagai wilayah peruntukan budidaya laut; budidaya ikan atau rumput laut.

Berada di lingkungan pesisir desa. Pemanfaatannya atas izin kepala desa.

Zona Pengembangan

Pariwisata

Sebagai wilayah untuk pengembangan atraksi dan fasilitas pendukung wisata.

Harus berdasarkan konsep ekowisata dengan penekanan pada pemberdayaan masyarakat, edukasi dan berwawasan lingkungan. Sumber: Rencana Pengelolan Terumbu Karang (RPTK) LPSTK Nusantara, 2006 Daerah perlindungan laut LPSTK Fananda berada di Gosong Langu dan daerah perlindungan laut untuk LPSTK Nusantara di Gosong Pinang. Kedua tempat yang dijadikan lokasi DPL memiliki terumbu karang yang relatif lebih baik dari kondisi terumbu karang di wilayah lain dan memiliki luasan masing-masing berkisar 70 hektar. Tujuan utama dari daerah perlindungan laut ini adalah untuk melakukan pengaturan dan pengendalian aktifitas perikanan di tingkat desa sebagai tempat bertelur (spawing ground), pembesaran larva (juvenile), sebagai daerah asuhan (nursery ground) serta menjaga wilayah ini dari kegiatan tangkap lebih dan menjamin ketersediaan

stok perikanan secara berkelanjutan (RPTK-LPSTK Nusantara, 2006: 39).

Zonasi Kawasan pesisir dan Perairan Kepulauan Hinako

Sumber: Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) LPSTK Nusantara,

COREMAP 2006.

Struktur organisasi pelaksana RPTK seperti tergambar pada bagan di bawah menunjukkan betapa banyaknya pemangku kepentingan yang terlibat di dalamnya. Setiap unsur yang terlibat memiliki tugas pokok masing-masing sesuai dengan kewenangan dan program yang hendak dijalankan (Tabel 3.9.). Satu sisi struktur semacam ini positif untuk menjaring berbagai aspirasi yang beragam dan dinamis dalam masyarakat untuk mencapai tujuan bersama, namun sebaliknya bisa berbalik menjadi negatif. Organisasi yang strukturnya terlalu “gemuk” yang berisi beraneka kepentingan dan berbagai perbedaan dapat menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Jika hal yang terakhir terjadi, dapat dipastikan organisasi pelaksana RPTK hanya merupakan organisasi papan nama tanpa kegiatan pengelolaan terumbu karang.

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

60

Struktur Organisasi Pelaksana Rencana Pengelolaan Terumbu Karang LPSTK Fananda dan Nusantara, Kepulauan Hinako

Keterangan:

_________ : Masukan dan pendampingan --- : Koordinasi dan konsultasi

Sumber: Rencana Pengelolaan Terumbu Karang (RPTK) LPSTK

Nusantara, COREMAP 2006.

Dalam kerangka COREMAP pada tahun 2006 masyarakat Kepulauan Hinako pernah menerima bantuan/program berupa: (1) satu unit kapal motor 10 GT untuk transportasi Kepulauan Hinako-Sirombu PP; (2) satu unit kapal motor 10 GT untuk patroli pengamanan wilayah laut; (3) satu paket demplot budidaya rumput laut.

Pada saat penelitian ini dilakukan dari dua unit kapal motor, hanya kapal transportasi KM Kara Sauri yang masih aktif melayani kebutuhan transportasi masyarakat Kepulauan Hinako ke Sirombu PP. Menurut informasi yang diperoleh di Sirombu maupun di Hinako, kapal patroli telah lama tidak dapat dioperasikan karena mengalami kerusakan, sedangkan demplot budidaya rumput laut, rusak sebelum waktu panen.

Fasilator

Lapangan LPSTK

Kep. Desa dan BPD Desa-desa di Kep. Hinako Motivator Pokmas Usaha Ekonomi Produktif Pokmas Konservasi Pokmas Wanita Pokmas Simpan Pinjam

Tetap beroperasinya kapal transportasi bukan karena LPSTK mengelola dengan baik, melainkan karena pengelolaannya dialihkan kepada pihak perseorangan dari Desa Kafo-Kafo. Pihak perseorangan inilah yang telah mengganti pembiyaan perbaikan kapal tersebut sewaktu rusak. Oleh karena itu yang bersangkutan diberikan hak untuk mengoperasikan KM Kara Sauri sampai biaya perbaikan yang telah dikeluarkan dapat dilunasi. Dalam perkembangannya KM Kara Sauri tetap dioperasikan oleh perseorangan tadi, hasilnya tidak lagi dipakai untuk membayar hutang, melainkan dibagi dua; satu bagian untuk yang mengoperasikan dan bagian lainnya untuk LPSTK Fananda dan Nusantara.

Pengalihan pengoperasian itu pada dasarnya disebabkan ketidakmampuan pihak penerima bantuan untuk mengelolanya. Ketidakmampuan pengelolaan dibuktikan lagi menyangkut kapal patroli yang tetap berlabuh di dekat dermaga Hinako karena rusak. Informasi yang diterima mengatakan bahwa, kerusakan tersebut terjadi karena kurangnya perawatan, bahkan informasi yang sinis menyebutkan biaya perawatan digunakan untuk keperluan lain yang bersifat pribadi. Kalaupun kapal patroli dalam keadaan baik, belum tentu bisa untuk berpatroli, karena ketiadaan biaya yang memadai untuk membeli bahan bakar.

Hal serupa juga terjadi untuk demplot budidaya rumput laut di bawah pengawasan LPSTK Fananda. Demplot ini rusak sebelum tiba waktu panen. Laporan rusaknya demplot yang disampaikan kepada pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias adalah disebabkan oleh arus yang kuat, sehingga menghancurkan rakit pengikat bibit rumput laut. Informasi berbeda diperoleh di lokasi demplot yang mengatakan bahwa kerusakan demplot karena tali pengikat rakit sengaja diputuskan oleh orang yang sakit hati terhadap pengurus LPSTK sehingga hanyut diseret arus.

Kegagalan-kegagalan yang telah diungkapkan di atas dalam rangka pengembangan masyarakat untuk pelestarian terumbu karang menunjukkan kompleksitas masalah. Konflik yang terjadi di bagian hilir (masyarakat), tampaknya merupakan cermin dari saratnya konflik program ini di tingkat hulu (perencana). Untuk mengurangi

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

62

konflik di tingkat pelaksanaan hal-hal berikut perlu memperoleh perhatian yang seksama: (1) acara sosialisasi program COREMAP di tingkat desa dengan “wajib” memberi uang kehadiran perlu dievaluasi lebih lanjut. Anggota masyarakat yang diundang dimotivasi menghadiri acara sosialisasi bukan karena mendapat “uang kehadiran”, melainkan karena ingin tahu dan mau berpartisipasi; (2) pemilihan kepengurusan LPSTK dilakukan sedemokratis mungkin atas dasar pilihan masyarakat secara langsung, sebagai upaya untuk meniadakan “pesan sponsor” dari pihak-pihak yang mendahulukan kepentingan pribadi; (3) pendampingan oleh fasilitator lapangan mesti dilakukan mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai dengan monitoring dan evaluasi program. Dengan demikian masa kontrak kerja fasilitator lapangan harus disesuaikan dengan rencana waktu pelaksanaan progam; (4) mengutamakan transparansi keuangan di segala tingkatan dan bagian untuk menghindari kecurigaan dan konflik antar pihak.

Tabel 3.9.

Tugas Pokok Pemangku Kepentingan Pelaksana RPTK

Pemangku Kepentingan Tugas Pokok

Kepala Desa Bersama-sama dengan Pokmas, BPD dan LPSTK menyusun RPTK, memberikan arahan dan bimbingan agar RPTK dapat dilaksanakan sesuai dengan yang telah disepakati. Bertanggung jawab atas kebijakan dan kegiatan yang dilaksanakan oleh LPSTK.

Badan Perwakilan Desa Sebagai perwakilan masyarakat, BPD bertugas menyalurkan aspirasi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan pelestarian terumbu karang. Bersama kepala desa membuat kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang di tingkat desa.

Lembaga Pengelola Sumber