• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PROFIL KEPULAUAN HINAKO

2.3. Sarana dan Prasarana

Secara administratif, Kepulauan Hinako termasuk kedalam wilayah Kecamatan Sirombu. Wilayah Kepulauan Hinako terdiri dari 12 Desa; enam desa di Pulau Hinako (Hinako, Balowondrate, Sinene’eto, Lahawa, Hanofa dan Halamona), tiga desa di Pulau Bawa (Bawasawa, Kafo-kafo dan Tuwa-Tuwa), dan dua desa di Pulau Imana (Imana dan Bawasalo’o) dan satu desa (Desa Bogi) di Pulau Bogi. Berbeda dengan wilayah lain di Indonesia, penentuan batas wilayah desa di Kepulauan Hinako masih bersifat tradisional. Batas desa ditentukan oleh kesepakatan masyarakat berdasarkan batas lahan kebun masing-masing yang kemudian diakui sebagai wilayah desa dimana pemiliknya berasal. Selain itu, dominisi warga tidak selalu menentukan status kependudukan dimana orang tersebut bertempat tinggal. Status kependudukan lebih ditentukan oleh asal-usul keluarga dan kepemilikan lahan di desa tertentu. Sebagai contoh, seorang warga yang berasal dari Desa Halamona namun telah tinggal di wilayah Desa Hinako bertahun-tahun, masih dianggap sebagai warga Desa Halamona. Oleh karena itu tidak sedikit keluarga yang bertempat tinggal di wilayah Desa Hinako namun statusnya adalah warga desa lain, demikian juga sebaliknya.

Ketidakjelasan batas wilayah desa juga berdampak pada pengakuan atas penguasaan wilayah pulau-pulau lainnya diluar empat pulau utama (Hinako, Bawa, Imana dan Bogi) dimana terdapat desa definitif. Penguasaan desa atas sebuah pulau tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan kedekatan letak geografis dengan desa tertentu. Penguasaan wilayah lebih ditentukan oleh status kependudukan warga yang memiliki lahan tersebut. Jika lahan disebuah pulau dimiliki oleh beberapa warga desa yang berbeda, maka penguasaan desa atas wilayah pulau tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan pemilik

Bab II Profil Kepulauan Hinako

18

kebun berdasarkan batas-batas kepemilikan lahan. Oleh karena itu dapat saja sebuah pulau menjadi wilayah beberapa desa sesuai dengan sejarah kepemilikan lahan oleh warga desanya masing-masing atau berdasarkan kesepakatan bersama pemilik lahan. Ketidakjelasan status kependudukan dan batas wilayah ini bila tidak diantisipasi sebelumnya tentunya dapat menyulitkan pelaksanaan program pembangunan sarana dan prasaran wilayah maupun desa.

Sarana Pendidikan

Sarana pendidikan formal yang tersedia di Pulau Hinako adalah sebuah SD dan sebuah SLTP. Menurut seorang narasumber, sekolah dasar di wilayah ini sudah ada sejak awal tahun 1960 dan sudah banyak lulusannya yang sekarang sudah menjadi sarjana dan bahkan ada yang menjadi anggota DPR RI. Namun akhir-akhir ini sarana pendidikan tersebut kurang ditunjang dengan keberadaan guru yang sudah terlatih. Kurangnya tenaga guru terlatih mengakibatkan tidak sedikit pengajar di SLTP merupakan guru honorer yang belum mempunyai kualifikasi yang memadai.

Sarana Kesehatan

Sarana kesehatan yang terdapat di Pulau Hinako masih sangat terbatas. Meskipun telah disediakan Pos Kesehatan Desa (POLINDES) di Desa Sinene’eto, namun tidak ada bidan yang menetap diwilayah ini. Bangunan polindes yang tersedia digunakan oleh warga desa untuk rumah tinggal. Masyarakat yang memerlukan pertolongan kesehatan hanya dilayani oleh seorang mantri yang bertempat tinggal di Desa Hinako. Terbatasnya tenaga kesehatan di wilayah ini membuat pertolongan persalinan lebih banyak dilakukan oleh dukun desa. Masyarakat yang memerlukan pertolongan kesehatan yang lebih baik biasanya langsung ke Sirombu atau ke Gunung Sitoli untuk berobat.

Sarana ekonomi

Pada masa lalu Kepulauan Hinako banyak didatangi oleh para pedagang dari berbagai daerah untuk membeli hasil bumi, khususnya kopra dan hasil laut. Pada waktu itu hasil bumi dari Sirombu dibawa ke Hinako untuk dijual kepada pedagang pengumpul yang ada di pulau ini dan kemudian dikirim ke wilayah lain dengan menggunakan kapal-kapal pedagang yang banyak berlabuh di pulau ini. Tidak jarang kapal barang dari Sibolga maupun Padang singgah di Hinako untuk mengangkut barang –barang dagangan tersebut. Intensitas perdagangan di pulau Hinako pada masa lalu terlihat dari peninggalan bekas kantor syahbandar dan bea cukai di Pulau Hinako.

Kegiatan perdagangan di Pulau Hinako mulai menurun setelah dipindahkannya pelabuhan utama ke Sirombu. Sejak itu pemasaran hasil bumi dan hasil laut Kepulauan Hinako harus dibawa terlebih dahulu ke Sirombu dan kemudian diangkut lewat jalan darat ke Gunung Sitoli untuk selanjutnya dikirim ke wilayah lain. Hal ini membuat ongkos angkut kopra dan hasil laut tersebut menjadi semakin tinggi.

Selain itu, pada masa lalu kopra yang dihasilkan masyarakat dapat langsung dijual kepada pabrik pengelohan minyak kelapa yang

Bab II Profil Kepulauan Hinako

20

terdapat di Pulau Hinako dan Desa Kafo-kafo. Namun kedua pabrik tersebut berhenti beroperasi sejak tahun 1996, sehingga masyarakat terpaksa kembali mengirim hasil kopranya ke wilayah lain. Kondisi ini diperparah lagi setelah gempa pada tahun 2005 yang lalu yang mengakibatkan dermaga yang ada disetiap pulau tidak dapat lagi dapat disandari kapal akibat naiknya permukaan pantai. Dibutuhkan sampan kecil atau sekoci untuk mengangkut penumpang maupun barang ke kapal. Hal ini tentu saja membuat ongkos angkut barang semakin meningkat.

Setelah terjadi gempa, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pembuatan Virgin Coconat Oli (VCO) membangun pabrik pembuatan VCO di Pulau Hinako. Untuk itu perusahaan tersebut menjalin kerjasama dengan masyarakat setempat untuk dilatih sebagai karyawan perusahaan dan pembuatan perkebunan kelapa percontohan tanpa penggunaan bahan kimia. Pada awalnya perusahaan ini dapat membeli hasil panen kelapa milik masyarakat setempat dengan harga lebih tinggi dari harga di Sirombu. Namun berhubung pemasaran hasil VCO dari perusahaan ini belum dapat menembus pasar international, kegiatan pengolahan VCO tersebut menjadi tersendat dan perusahaan tidak lagi dapat membeli hasil kebun masyarakat dengan harga tinggi. Menurut salah seorang narasumber yang bekerja pada perusahaan tersebut, tersendatnya pemasaran karena perusahaan mereka belum dapat menembus pasar international. Untuk masuk dalam pasar international diperlukan sertifat organik, yang belum dimiliki oleh perusahaan ini. Selama ini ada beberapa kendala yang dihadapi perusahaan dalam proses pengurusan sertifat tersebut. Selain permasalahan birokrasi dan administrasi, perusahaan juga menghadapi kendala dari masyarakat. Perlu pendekatan yang intensif untuk meyakinkan masyarakat agar mau menandatangani kontrak kerjasama untuk tidak menggunakan bahan kimia. Kendala yang sering dihadapi adalah masyarakat menolak pengukuran lahan perkebunan mereka, karena takut lahannya berpindah tangan. Beberapa masyarakat curiga bahwa pengukuran lahan tersebut akan disalahgunakan. Sementara dalam pembuatan kontrak kerjasama harus tertera jelas luas lahan dan jumlah pohon kelapa yang dimiliki

agar dapat memperkirakan potensi yang dimiliki. Pada waktu penelitian berlangsung sertifat tersebut masih dalam proses pengurusan.

Pemasaran hasil laut masih dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan menjual langsung kepada konsumen. Baik di Hinako maupun di Sirombu belum ada fasilitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Bila hasil tangkapnya cukup banyak, nelayan biasanya membawa hasil tangkap mereka ke pasar Sirombu dan menjualnya langsung kepada konsumen. Namun bila hasil tangkap dianggap tidak banyak, penjualan hasil tangkap hanya dilakukan di dermaga atau di sekitar desa dengan cara berkeliling dengan sepeda atau dengan menggantungkannya di depan rumah. Untuk lobster dan teripang hasilnya dijual kepada pedagang penampung yang ada di Desa Balafondrate atau penampung yang ada di Pulau Asu.

Untuk membeli kebutuhan sehari-hari seperti sembako, sayur mayur, makanan kecil dan keperluan sandang pangan lainnya, masyarakat di Pulau Hinako dapat membelinya di pasar yang berlokasi di dekat dermaga Desa Hinako. Selain pasar hampir disemua desa dapat ditemui warung-warung yang juga menjual kebutuhan sehari-sehari. Kaum laki-laki biasanya berkumpul di kedai-kedai kopi yang juga banyak ditemui di Pulau Hinako. Di Desa Hinako terdapat sebuah kedai minum yang menjual minuman mengandung alkohol yang sering dikunjungi oleh laki-laki dari berbagai desa di Pulau Hinako. Pada waktu penelitian berlangsung, hampir setiap hari ada warga yang mabuk ditempat tersebut. Kebiasaan meminum minuman mengandung alkohol sampai mabuk tampaknya merupakan kebiasaan buruk penduduk setempat yang sulit dihilangkan.

Transportasi dan komunikasi

Transportasi antar pulau di Kepulauan Hinako maupun menuju Sirombu dilayani oleh dua kapal motor reguler berkapasitas sekitar 10 ton yang beroperasi setiap hari. Kedua kapal motor ini berangkat pagi hari dengan selang waktu antara 30-60 menit dari Hinako menuju Sirombu dengan menyinggahi keempat pulau utama yang

Bab II Profil Kepulauan Hinako

22

berpenduduk di Kepulauan Hinako. Kedua kapal ini kemudian berangkat dari Sirombu menuju Kepulauan Hinako pada sore hari. Salah satu dari kapal angkutan penumpang dan barang-barang tersebut adalah kapal bantuan COREMAP yang diberikan pada tahun 2006 untuk masyarakat di Kepulauan Hinako.

Sebagai akibat gempa tahun 2005 lalu yang mengakibatnya naiknya permukaan pantai, semua dermaga yang ada di Kepulauan Hinako rusak dan tidak dapat disandari kapal. Pada waktu penelitian berlangsung ada dua dermaga di Pulau Hinako yang hampir selesai pembangunannya. Satu dermaga yang dibangun oleh Perusahaan Indojaya di wilayah desa Sinene’eto dan satu lagi di Desa Balowondrate yang dibangun dengan dana yang dikelola pemerintah daerah.

Selain sarana kapal penumpang reguler tersebut, masyarakat di Kepulauan Hinako, khususnya nelayan juga sering menggunakan kapal penangkap ikan milik mereka untuk menjual hasil tangkapnya ke Sirombu. Kapal penangkap ikan ini umumnya menggunakan mesin tempel berukuran 5 PK.

Kapal bantuan COREMAP - DKP untuk transportasi

Sarana transportasi antar pulau yang juga banyak digunakan masyarakat, khususnya untuk mengunjungi lahan pertanian atau peternakan mereka yang berada di lain pulau adalah perahu tanpa motor atau perahu dayung. Letak antar pulau-pulau di Kepulauan Hinako yang saling berdekatan membuat alat transportasi ini cukup efektif meskipun tanpa motor. Sedangkan sarana trasportasi antar desa didalam pulau umumnya adalah sepeda. Berhubung luas pulau-pulau di wilayah ini relatif kecil, desa-desa yang terdapat dalam satu pulau dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Jalan yang

Pelabuhan Hinako paska gempa

Bab II Profil Kepulauan Hinako

24

menghubungkan antar desa di Pulau Hinako berupa jalan setapak yang melintasi perkebunan milik penduduk.

Sarana komunikasi satu-satunya yang ada di Pulau Hinako adalah Radio Antar Penduduk Indonsia (RAPI) yang dimiliki oleh semua kepala desa di wilayah kepulauan ini. Selain RAPI, alat komunikasi yang juga banyak membantu masyarakat adalah siaran radio lokal. Pada jam-jam tertentu, masyarakat dapat menyampaikan pesan kepada keluarga melalui siaran radio. Signal telepon genggam telah dapat diterima di lokasi tertentu, seperti di dekat dermaga di Pulau Hinako, namun alat komunikasi ini belum banyak dimiliki oleh masyarakat.

Kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat

Kelembagaan sosial-ekonomi masyarakat yang ada di Pulau Hinako masih terbatas pada lembaga keagamaan dan lembaga pengelolaan terumbu karang yang difasilitasi oleh COREMAP. Sarana keagamaan di Pulau Hinako cukup banyak. Di pulau ini paling sedikit ada tiga gereja dari berbagai denominasi (aliran) yang letaknya relatif berdekatan. Pada waktu penelitian, sedang berlangsung pembangunan sebuah gereja di Desa Hinako. Selain gerja, di Pulau Hinako juga terdapat sebuah mesjid yang terdapat di Desa Sinene’eto. Namun pada waktu penelitian mesjid terletak di dekat garis pantai tersebut sedang mengalami kerusakan akibat gempa pada tahun 2005 yang lalu. Menurut penduduk setempat mesjid tersebut akan segera direhabilitasi dengan menggunakan dana dari BRR. Sebagian besar penduduk di Pulau Hinako beragama kristen, kecuali satu desa yaitu Desa Sinene’eto dimana hampir semua warganya telah menganut agama Islam sejak turun temurun.

Ada dua Lembaga Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) yang difasilitasi oleh COREMAP di Kepulauan Hinako, yaitu LPSTK Nusantara dengan lingkup kerja meliputi desa-desa yang berada di Pulau Bawa, Pulau Imana dan Pulau Bogi dan LPSTK Fananda dengan lingkup kerja meliputi semua desa-desa yang berada di Pulau Hinako. Pembentukan LPSTK difasilitasi oleh sebuah LSM

yang dikontrak oleh COREMAP Kabupaten Nias untuk membantu masyarakat membuat kelompok dan bekerjasama untuk melestarikan ekosistem terumbu karang. Ketua LPSTK dipilih oleh masyarakat dalam sebuah rapat yang dihadiri oleh perangkat desa, tokoh masyarakat dan masyarakat nelayan. Keberadaan LPSTK tersebut pada dasarnya sudah dimulai pada tahun awal 2006, namun ketika penelitian berlangsung, tidak ditemui aktifitas yang signifikan yang sedang dilakukan oleh LPST Fananda. Beberapa narasumber mengatakan hal ini disebabkan karena adanya permasalahan di dalam organisasi sehingga menimbulkan konflik diantara anggotanya. Kurangnya pemahaman mengenai CORAMAP dan pengalaman berorganisasi serta bekerja sama nampaknya menjadi kendala yang cukup besar di wilayah ini.

Bab II Profil Kepulauan Hinako

26