• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT

3.2. Pemanfaatan (Produksi, Pemasaran dan

Produksi

Berbagai usaha telah dilakukan untuk memperoleh data kuantitatif tentang produksi perikanan di tingkat kabupaten dan kecamatan, namun bencana gempa yang memporak-porandakan Nias pada Maret 2005 menjadi alasan utama tidak tersedianya data dimaksud. Sementara itu, data perikanan tingkat desa dapat diperoleh langsung dari nelayan.

Nelayan Kepulauan Hinako dapat dikategorikan sebagai nelayan tradisional. Lebih banyak perahu dayung dibandingkan dengan perahu yang dilengkapi motor ketinting kapasitas 5,5 PK. Begitu juga alat tangkap mereka yang didominasi pancing, jaring insang dan bubu. Dari alat tangkap tersebut dapat dipastikan sumber daya ikan yang ditangkap relatif terbatas, kecuali yang dilakukan oleh sebagian kecil nelayan yang mengadu peruntungan dengan menggunakan alat tangkap bom dan potasium. Mereka biasanya melakukan penangkapan pagi hari, yaitu jam 04.00 dan kembali sekitar jam 12.00. Ada pula nelayan yang melakukan di sore hari, yaitu berangkat jam 16.00 dan kembali sekitar jam 19.00.

Menurut pengakuan mereka, hasil yang diperoleh dalam sekali melaut berkisar sepuluh kilogram ikan campuran. Kalau kondisi laut dan angin bersahabat dan ditambah dengan keberuntungan, maka hasil yang diperoleh bisa dua sampai tiga kali lipat dari hasil biasanya. Akan tetapi ketika nasib kurang beruntung, hasil tangkapan hanya cukup untuk lauk pada hari itu juga.

Dari pengamatan penulis, hasil tangkapan yang dibawa pulang berkisar dua puluh sampai 25 ekor ikan dengan berbagai ukuran dan bermacam jenis. Diperkirakan berat ikan tersebut tidak kurang dari sepuluh kilogram. Hasil tangkapan ini yang utama adalah untuk lauk pauk, kemudian sisanya dijual dengan dijajakan dari rumah ke rumah. Penjualan hasil tangkapan ke kota kecamatan di Sirombu hanya

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

42

dilakukan pada saat hasil tangkapan melebihi dua puluh kilogram, dan itupun karena pasar di kampung tidak bisa menampung.

Paskapanen

Nelayan Hinako tidak biasa melakukan pengolahan sumber daya laut untuk konsumsi sendiri. Mereka senantiasa mengkonsumsi ikan segar yang langsung ditangkap dari laut. Pengolahan sumber daya laut baru dilakukan bila ikan yang ditangkap berlebih untuk konsumsi dan tidak laku dijual karena berbagai alasan atau berkaitan dengan sumber daya yang tidak dikonsumsi, seperti teripang. Pengolahan hanya dilakukan dengan pengeringan dan penggaraman.

Ikan yang dikeringkan atau diasinkan akan dikonsumsi sendiri pada saat masa-masa sulit ikan, tetapi teripang merupakan komoditas yang diperdagangkan bila sudah mencapai tingkat kekeringan tertentu.

Tripang yang ditangkap dengan menyelam dikeringkan terlebih dulu sebelum dipasarkan ke Sirombu

Pemasaran

Dari pengamatan, hasil tangkapan nelayan Hinako berupa ikan pertama-tama disisihkan dulu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Apabila masih tersisa, akan dijual dengan cara menjajakan

dari rumah ke rumah. Biasanya ikan yang dijual telah diikat dengan tali. Satu tali bisa berisi satu sampai lima ekor ikan. Satu ikat tali beratnya berkisar satu kilogram, kecuali ikan yang berukuran sangat besar, seperti ikan kakap merah atau tongkol yang bisa mencapai bobot dua kilogram/ekor. Sudah menjadi pandangan umum di Hinako yang menjajakan ikan adalah anak-anak atau istri para nelayan. Apabila kemudian ikan yang dijajakan tidak habis terjual, maka sisanya sebagian dibagikan kepada sanak famili atau tetangga dekat dan sebagian lagi diolah lebih lanjut menjadi ikan kering atau ikan asin.

Seperti telah disinggung pada bagian atas tulisan ini pasar sehari-hari untuk menjual ikan bagi nelayan Hinako adalah masyarakat di kampungnya sendiri. Masyarakat yang berdomisili di kota kecamatan, Sirombu merupakan pasar sekunder bagi nelayan Hinako. Sirombu akan menjadi pilihan untuk memasarkan ikan yang ditangkap apabila mereka memperoleh hasil tangkapan di atas dua puluh kilogram. Hal itu dilakukan karena membutuhkan biaya transportasi tambahan dan jarak tempuh ke Sirombu relatif lama, yakni tiga jam untuk pulang pergi dari Pulau Hinako dengan motor ketinting kapasitas 5,5 PK. Oleh karena itu apabila hasil tangkapan memadai untuk dipasarkan di Sirombu, nelayan tidak pulang terlebih dulu, melainkan akan langsung menjual hasil tangkapannya ke pasar Sirombu.

Di Sirombu nelayan Hinako menjual hasil tangkapannya kepada konsumen rumah tangga atau pedagang pengumpul. Memasarkan kepada konsumen rumah tangga mesti dilakukan dengan menawarkan dari rumah ke rumah seperti halnya memasarkan di kampung sendiri. Dengan menjual langsung kepada konsumen rumah tangga harga jual menjadi lebih mahal daripada dijual kepada pedagang pengumpul. Nelayan Hinako biasanya lebih suka menjual kepada pedagang pengumpul, karena segera memperoleh uang walaupun harganya relatif lebih rendah daripada dijual kepada konsumen rumah tangga. Ikan ini kemudian oleh pedagang pengumpul dijual kepada konsumen akhir ke desa-desa yang jauh dari pantai. Adakalanya ikan tersebut dijual kepada pedagang pengumpul di Gunung Sitoli bila dianggap

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

44

menguntungkan. Hal yang terakhir ini jarang dilakukan, karena biaya transportasi relatif mahal.

Jalur pemasaran ikan yang ditangkap dengan pancing

Khusus untuk udang lobster yang masih hidup, nelayan pancing menjual langsung kepada pedagang pengumpul yang memiliki keramba penampungan di Pulau Bawa. Sebulan atau dua bulan sekali ada kapal yang menjemput untuk dibawa ke Singapura atau Hong Kong. Sedangkan hasil tangkapan lain, teripang dijual kepada pedagang pengumpul di Sirombu yang kemudian dipasarkan kepada pedagang pengumpul di Gunung Sitoli.

Nelayan pancing Konsumen lokal di Hinako Pedagang pengumpul di Sirombu Konsumen akhir di desa nonpesisir Konsumen akhir di Sirombu Konsumen akhir di Gunung Sitoli Pedagang pengumpul di Gunung Sitoli

Jalur pemasaran udang lobster dan teripang

Harga jual ikan di Hinako berkisar Rp 4.000,00–Rp 10.000,00/ikat, sedangkan ikan yang sama bila dijual ke konsumen rumah tangga di Sirombu akan memperoleh tambahan sekitar Rp 2.000,00 setiap ikatnya. Harga jual kepada pedagang pengumpul di Sirombu sekitar Rp 1.000,00 lebih rendah dari harga penjualan kepada konsumen rumah tangga di Sirombu. Walaupun demikian nelayan lebih suka menjual ke pedagang pengumpul, karena ada jaminan ikannya dibeli habis dan segera bisa membawa uang untuk keluarga.

Proses pengemasan udang lobster sebelum diekspor; mulai dari perendaman dengan air es, melumuri dengan pasir dan dibungkus kertas koran dan menyimpan

di dalam kotak Nelayan

penyelam

Udang lobster

Teripang Pedagang penampung di Sirombu Pedagang penampung di Hinako Pedagang di Padang Pedagang penampung di Gunung Sitoli

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

46

Berbeda dengan harga ikan yang sangat fluktuatif, harga udang lobster memiliki harga yang stabil dan relatif tinggi. Nelayan Hinako menjual udang lobster jenis merah, hijau dan putih yang bobotnya 2 – 5 ekor/kg dengan harga Rp 70,000,00/kg. Harga udang lobster jenis kipas jauh lebih rendah dari jenis lainnya, yakni hanya Rp 10.000,00/kg. Biasanya udang lobster jenis kipas memiliki berat 2 ons/ekor. Harga udang lobster tersebut relatif rendah bila dibandingkan dengan harga penjualan nelayan di daerah Lahewa atau di Pulau-Pulau Batu yang ada di sekitar Nias, yaitu bernilai sekitar Rp 100.000/ekor.

3.3. Wilayah Pengelolaan

Jangkauan pengelolaan wilayah laut nelayan Hinako hanya terbatas pada sekitar pulau-pulau yang merupakan gugusan Kepulauan Hinako saja, yaitu paling utara adalah Pulau Asu dan paling selatan adalah Pulau Bawa. Di antara kedua pulau tersebut ada Pulau Heruwanga, Imana, Hinako, Langu, Bogi dan Pulau Hamulata. Kondisi semacam itu mudah dipahami karena sesungguhnya masyarakat Hinako adalah nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan sederhana pula. Untuk beroperasi ke Pulau Asu paling kurang membutuhkan bahan bakar sebanyak tujuh liter dan ke Pulau Bawa sekitar lima liter dengan perahu motor ketinting kapasitas 5,5 PK. Bagi nelayan dengan perahu dayung, wilayah penangkapan ada di sekitar permukiman mereka.

Menurut penuturan seorang nelayan, daerah-daerah yang dianggap banyak ikannya adalah di sekitar Gosong Langu dan di antara pulau-pulau Imana, Bawa, Bogi dan Hinako. Daerah lain yang juga menjadi tempat penangkapan ada di sekitar Gosong Pinang saat musim angin barat, dan bila musim angin tenggara, maka mereka menangkap di sekitar Pulau Heruwanga. Pola penangkapan seperti itu dimaksudkan untuk mengurangi terpaan angin dan gelombang karena relatif terlindungi dari pulau-pulau yang ada di sekitar daerah penangkapan. Seperti halnya nelayan-nelayan di Nias dan bahkan sampai di Mentawai, nelayan Sibolga dianggap sebagai guru dalam hal

penangkapan, karena merekalah yang pertama kali mengajarkan cara pengeboman ikan pelagis dan pemotasan ikan demersal. Namun di kemudian hari apa yang telah dipelajari mengenai penangkapan menjadi bumerang, karena sebagian besar terumbu karang di Hinako dalam kondisi rusak.

Menurut beberapa nelayan yang diwawancarai mengatakan bahwa, di Hinako belum pernah terjadi konflik antar nelayan setempat atau dengan nelayan pendatang karena alasan penggunaan alat tangkap yang berbeda. Pada saat melakukan penangkapan, mereka pernah bertemu dengan nelayan dari luar Hinako yang menggunakan bom sebagai alat tangkap. Karena tahu yang digunakan adalah bom, mereka langsung menjauh karena takut.

3.4. Teknologi

Alat tangkap nelayan Hinako yang paling utama adalah pancing. Alat tangkap lainnya adalah penjerat, jaring insang, bom dan potasium. Alat tangkap pancing dioperasikan, baik pada siang atau malam hari. Bila dioperasikan siang hari lebih banyak digunakan untuk menangkap ikan permukaan, seperti ikan kembung dan tongkol. Sedangkan jika dioperasikan pada malam hari adalah untuk menangkap ikan dasar, seperti kerapu dan kakap.

Jaring insang di Hinako digunakan untuk menangkap ikan umpan dan berbagai ikan yang ada di sekitar pantai. Dari kuesioner diperoleh informasi bahwa di Hinako masih ada beberapa nelayan yang menggunakan alat tangkap bom dan potasium. Informasi lanjutan yang diperoleh dari seorang informan menyebutkan bahwa nelayan pengguna potasium dan bom melakukannya secara sembunyi-sembunyi dan pada wilayah penangkapan yang sepi karena malu bila ketahuan oleh nelayan lainnya. Pada masa mendatang, pogram COREMAP untuk meniadakan penggunaan alat tangkap destruktif tidak cukup hanya dengan pendekatan pemberdayaan ekonomi dengan memberikan alternatif mata pencarian, akan tetapi perlu juga mengembangkan gerakan “rasa malu” pada masyarakat ketika

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

48

melakukan tindakan yang salah atau pelanggaran hukum maupun pelanggaran terhadap norma.

Menyiapkan peralatan tangkap: membuat lampu senter untuk menangkap lobster (atas) dan membuat umpan dari taplak meja plastik dan pancing yang sudah siap

dioperasikan (bawah)

Potasium digunakan untuk menangkap udang lobster, tetapi lobster bisa juga ditangkap dengan jerat atau langsung ditangkap dengan tangan. Penangkapan dengan jerat atau tangan biasanya dilakukan pada malam hari dengan bantuan penerangan cahaya senter berkekuatan lima baterai. Alat tangkap jerat yang ramah terhadap ekosistem terumbu karang tampaknya di masa depan perlu dikembangkan lebih jauh sehingga alat ini memiliki efektifitas menangkap lobster mendekati potasium.

Penggunaan bom untuk menangkap ikan akan menghancurkan kolobaha dalam radius yang relatif luas (tergantung besarnya bom). Di samping itu, walaupun dalam sekali ledakan dapat dikumpulkan

banyak ikan, namun ikan yang terkena bom badannya hancur, terutama yang dekat dengan pusat ledakan. Untuk ikan yang berada pada radius terluar dari pusat ledakan juga menampakkan gejala-gejala kerusakan pada fisiknya. Lebih dari itu, ikan yang ditangkap dengan bom biasanya dihargai lebih murah daripada ikan yang ditangkap dengan jala atau pancing. Alat tangkap bom biasanya digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang bergerombol. Menurut pengalaman mereka, kawasan yang pernah dibom menjadi tempat yang “sepi”, karena di tempat ini dapat dipastikan tidak ada ikan. Oleh karena itu untuk memulihkan tempat tersebut seperti semula membutuhkan waktu yang relatif lama, paling tidak perlu setahun dengan catatan bom tidak pernah lagi diledakkan di tempat yang sama.

Serupa dengan bom, alat tangkap potasium juga akan merusakkan kolobaha. Apabila bom menghancurkan secara fisik terumbu karang dalam radius tertentu, maka dampak potasium akan segera mematikan terumbu karang, tanpa menunjukkan kerusakan fisik. Terumbu karang yang mati akibat racun potasium tampak berubah warna menjadi putih. Bila pemotasan dilakukan dengan cara menyemprotkan cairan potasium dari botol plastik (biasanya menggunakan botol air mineral), dampaknya hanya terbatas di sekitar cairan tersebut disemprotkan. Akan tetapi jika cairan itu disemprotkan dengan intensitas tinggi di banyak tempat, akhirnya akan memberi dampak yang luas pada kematian terumbu karang. Cara menggunakan potasium seperti di atas umum digunakan oleh nelayan lokal untuk menangkap ikan kerapu dan napoleon pada masa lalu dan lobster untuk masa kini.

Penggunaan alat tangkap yang merusak ekologi laut seperti bom dan potasium dilandasi oleh pemahaman bahwa laut merupakan hak bersama, sehingga siapapun, kapanpun dan dengan alat apapun dapat digunakan secara legal untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada di dalamnya. Berangkat dari pemahaman semacam itu, nelayan merasa akan lebih mudah memenangkan persaingan dalam suatu wilayah, karena harus diakui bom dan potasium adalah alat tangkap ikan yang murah dan sangat efektif. Murah berarti hanya

Bab III Pengelolaan Sumber Daya Laut

50

membutuhkan modal yang sedikit, sedangkan efektif yang dalam pengoperasiannya akan menghasilkan sumber daya yang banyak. Hasil tangkapan yang banyak pada gilirannya akan menghasilkan keuntungan secara ekonomi, baik nelayan maupun untuk pedagang penampung, akan tetapi memberi dampak sebaliknya pada ekosistem laut, termasuk ekosistem terumbu karang.

3.5. Permasalahan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut