• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENUTUP

7.1. Kesimpulan

Aturan-aturan informal yang terwujud dalam hubungan-hubungan hukum di dunia pertukangan diantaranya:

1. Hubungan antara pemborong dan tukang.

Aturan-aturan informal yang tercipta diantara hubungan pemborong dan tukang diantaranya hubungan akan kesadaran Alat Pelindung Diri (APD) dari pekerja yang masih lemah sehingga kecelakaan menjadi hal yang biasa untuk mereka alami, ambil mengambil bahan-bahan bangunan pada borongan upah menjadi hal yang biasa, pemberian bonusan secara rahasia untuk pekerja yang menurut pemborong berkedibel, tampak bekas merupakan bentuk pertanggungjawaban pekerja ke pemborong sehingga secara tak langsung menimbulkan persaingan diantara pekerja, dan jam kerja yang sudah diberlakukan secara tak tertulis juga rentan konflik jika dilanggar.

2. Hubungan antara pemborong dan klien

Aturan yang muncul dalam hubungan kedua belah pihak ini adalah adanya intervensi ekonomi modern yang memunculkan tahapan pada penyedia jasa tukang bangunan, siap nambah sebagai wujud dari berlakunya kontrak tak tertulis dan adanya aturan yang berlaku dalam ranah hubungan antara

antara pemborong, klien, dan mitra pemborong(panglong) yang saling menguntungkan mereka.

3. Hubungan antara tukang dan klien

Adanya aturan-aturan yang telah ditetapkan dan dilanggar oleh klien membuat kedilemaan bagi tukang, dan tukang yang menjadi penjilat kepada klien akan merugikan tukang yang lainnya dan juga pemborong sehingga akan diberikan sanksi.

Hubungan-hubungan diantara para aktor dunia pertukangan ini ternyata juga dapat menimbulkan proses konflik. Ada beberapa waktu mereka menyelesaikan pertentangan tersebut dengan berunding, membiarkan saja, memakai orang ketiga, dan sebagainya. Tetapi tidak selamanya aturan informal itu selalu mendominasi dunia pertukangan yang saya teliti. Fenomena semi otonom social field juga terjadi. Dimana intervensi-intervensi pemerintah juga terjadi. Misalkan penentuan harga bahan-bahan bangunan, adanya deking dari pemborong berupa orang pemerintahan untuk mengamankan dan sebagainya. Sehingga benar apa yang dikatakan oleh Sally Falk Moore bahwa dalam lapangan sosial, masyarakat memiliki mekanisme-mekanisme pengaturannya sendiri, tetapi semi otonom, dimana pengaruh dari pemerintah juga terjadi. Adanya hubungan- hubungan hukum seperti antara pemborong dan klien, klien dan tukang, tukang dan pemborong dalam suatu arena sosial pertukangan, membuat hubungan ini terkadang berjalan sesuai dengan kompetisi, kerja sama, bujukan, dan lain sebagainya yang mewarnai aturan-aturan yang berlangsung dalam arena sosial tersebut.

7.2. Saran

Aturan-aturan pemerintah tidak bisa sepenuhnya mengatur interaksi dalam masyarakat sebagai pengontrol sosial. Karena menurut Antropologi, dalam interaksi sosial mana pun, ada hukum di dalamnya. Sehingga kajian hukum itu sangat luas sekali. Saran yang dapat saya berikan kepada pemerintah adalah bahwa peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah bukanlah satu-satunya peraturan yang mendominasi masyarakat. Pola regulasi yang sering diberlakukan dengan up-bottom sering kali menimbulkan pertentangan dalam masyarakat. Untuk pemerintah, jika ingin membuat regulasi hukum, lihat dulu fakta-fakta hukum yang banyak bersilewaran dalam masyarakat.

Saran kedua saya berikan kepada kalangan mahasiswa Antropologi. Bahwa kajian hukum itu sangat luas. Aturan-aturan pemerintah hanya lah kulit luar saja dalam melihat kontrol pada arena sosial. Begitu banyak nya aturan- aturan yang tercipta dalam bidang sosial mana pun. Karena di setiap interaksi sosial, ada hukum yang mengaturnya. Untuk itu saya ingin membuka wawasan mahasiswa Antropologi untuk lebih peka dalam melihat makna hukum dalam interaksi sosial di mana pun.

BAB II

TUKANG DI MASYARAKAT SUB URBAN

2.1. Masyarakat Sub Urban di Pematangsiantar

Konsep sub urban atau rurban sering diberi arti atau diterjemahkan dengan “pinggiran kota”. Yang lebih tepat, sub urban adalah merupakan bentuk antara (in-between): antara rural dan urban. Dilihat sebagai suatu lingkungan daerah, maka daerah sub urban merupakan daerah yang berada di antara atau di tengah- tengah daerah rural dan urban. Jika dilihat sebagai suatu komunitas, maka sub urban merupakan kelompok komunitas yang memiliki sifat tengah-tengah antara rural dan urban (Indrizal, 2011:2).

Sub urban adalah wilayah pinggiran kota yang tidak jauh dari pusat kota dan memiliki beragam cirinya. Munculnya daerah ini adalah karena pemekaran kota, yaitu ditandai dengan bertambahnya jaringan jalan-jalan baru sehingga menyebabkan perluasan lahan. Fenomena ini terjadi disebabkan semakin bertambahnya penduduk, ini bisa disebabkan karena adanya warga pendatang juga yang menyebabkan kota menjadi sesak dan harga tanah pun semakin mahal. Fenomena ini memunculkan niatan masyarakat ataupun industri untuk bermukim di wilayah sub urban ini.

Ciri selanjutnya adalah karakteristik daerah ini yang bersifat campuran antara desa dan kota. Beberapa daerah akan menunjukkan bentuk kota, tetapi di sisi lain juga masih menunjukkan karakteristik pedesaannya. Ini karena awalnya

daerah ini adalah daerah pedesaan yang mengalami transisi menjadi daerah perkotaan.

Yang mencolok dari kehidupan masyarakat sub urban ini adalah nyaris kosongnya perumahan mereka di siang hari, karena sebagian besar orang- orangnya bekerja di kota, tetapi ada juga penduduk yang bekerja di sektor informal maupun pertanian.

Lokasi penelitian saya, berada di daerah sub urban di Pematangsiantar. Wilayah sub urban ini dibuktikan dengan data informasi mengenai pemekaran wilayah Pematangsiantar. 1Pada tanggal 23 Mei 1994, dikeluarkan kesepakatan bersama Penyesuaian Batas Wilayah Administrasi antara Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun. Adapun hasil kesepakatan tersebut adalah wilayah Kota Pematangsiantar menjadi seluas 79,9706 km². Dan pada tahun 2007, diterbitkan 5 Peraturan Daerah tentang pemekaran wilayah administrasi Kota Pematangsiantar yaitu:

Peraturan Daerah No.3 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Sitalasari

Peraturan Daerah No.6 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Marimbun

Peraturan Daerah No.7 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan Bah Sorma Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan Tanjung Tongah, Nagapitu dan Tanjung Pinggir

1

Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2007 tetang Pembentukan Kelurahan Parhorasan Nauli, Sukamakmur, Marihat Jaya, Tong Marimbun, Mekar Nauli dan Nagahuta Timur.

Dari informasi yang saya dapatkan dari wikipedia tersebut, di gambarkan bahwa wilyah tempat penelitian saya yaitu, Kecamatan Siantar Sitalasari merupakan wilayah pemekaran Pematangsiantar, atas dasar kesepakatan dari wilayah Simalungun. Dan kelurahan Bah Sorma adalah wilayah bentukan baru dari terbaginya kelurahan Bah Kapul. Bisa dipastikan bahwa wilayah pemekaran ini adalah wilayah yang berada di pinggiran kota Pematangsiantar.

Dari berbagai penjelasan mengenai wilayah sub urban dan masyarakatnya, seperti itulah ciri-ciri masyarakat sub urban di Pematangsiantar. Pada siang hari, wilayah ini tampak sepi. Anak-anak pergi sekolah, ada masyarakat yang bekerja di kota seperti PNS, pegawai toko, pekerja bengkel, pekerja mall, pekerja bangunan dan sebagainya yang mobilitasnya akan lebih tinggi di bandingkan dengan masyarakat yang pergerakannya hanya di sekitar wilayah itu saja. Selain itu, ada juga masyarakat yang bekerja pada sektor informal seperti membuka warung, buruh cuci di rumah tetangga, buruh bangunan, pengajar private anak les( di rumah), dan berladang. Ciri kedua ini memperlihatkan bahwa mobilitas yang mereka lakukan setiap harinya tidak sepadat yang dilakukan oleh para commuter2, karena interaksi yang dilakukan mereka masih berada di wilayah sub urban tersebut.

2

. Penglaju artinya orang yang bergerak pulang dan pergi dari desa ke kota, atau kota ke desa (pada masyarakat sub urban) untuk mencari nafkah.

Pekerjaan para commuter yang lebih banyak menghabiskan aktivitas di kota ternyata mempengaruhi gaya hidup mereka sehari-hari. Karena setiap harinya mereka pergi pagi pulang sore, terkadang sampai malam hari, ini membuat interaksi mereka dengan para tetangga berkurang. Hal ini mencirikan seperti kehidupan kota yang masyarakatnya bersifat acuh tak acuh atau individual. Tetapi bagi masyarakat yang bekerja di sektor informal, interaksi antar sesama mereka masih kuat. Mereka masih menganut sistem gotong royong jika ada warga yang pesta, dan juga saling tolong menolong juga ada warga yang wirid. Ini lah bentuk ciri dari wilayah sub urban. Penggabungan antara ciri kota dan desa di satu tempat.

Wilayah tempat penelitian saya, dulunya adalah lahan kosong yang masih banyak ditumbuhi oleh perkebunan karet milik salah satu perusahaan swasta. Di daerah ini juga berdiri sebuah kantor Dinas Kehutanan Pematangsiantar. Seiring berkembangnya zaman, perubahan pun terjadi. Pembangunan perumahan sudah terlihat satu persatu di wilayah tersebut, sehingga menimbulkan pelebaran jaringan jalan di daerah ini. Dan saat ini fenomena yang terlihat disana adalah sudah tidak ada lagi hutan yang terlihat. Yang ada hanyalah perumahan- perumahan baru dari para penduduk yag pindah ke wilayah sub urban tersebut. Berbagai warga yang menyewa rumah di sana adalah para pekerja yang ada di kota, seperti tukang bengkel maupun pekerja toko. Alasan mereka menyewa di wilayah sub urban adalah karena biaya sewa rumah lebih murah dan kehidupan tidak seribut yang ada di kota.

Wilayah lokasi penelitian saya tepatnya berada di Jalan Bersama Ujung. Masyarakat di lokasi penelitian saya adalah masyarakat yang multietnik. Ada suku Jawa, Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Karo, Melayu, dan Minang. Tetapi suku yang mendominasi adalah masyarakat yang bersuku Jawa dan Batak Toba. Untuk tingkat sosial ekonominya, masyarakat di daerah ini adalah tipe masyarakat yang berpendapatan menengah ke bawah. Di lihat dari jenis pekerjaan dan bentuk fisik rumah mereka. Selain itu wilayah sub urban ini juga menawarkan kenyamanan bagi warga yang tinggal di wilayah ini. Pemukiman yang tidak terlalu padat, udara yang masih segar, menjadi salah satu pilihan warga Pematangsiantar untuk bermukim di wilayah sub urban ini.

2.2. Pekerjaan Bidang Sektor Informal di Pematangsiantar

BPS mendefinisikan sektor informal sebagai perusahaan atau badan yang tak berbadan hukum. Kegiatannya dilakukan oleh perseorang ataupun kelompok yang mereka ciptakan sendiri lapangan kerja untuk menghidupi kebutuhan hidup mereka. Dan menurut Hans–Dieter Evers (Prisma, 1980) sektor informal ini dicirikian sebagai istilah masa apung, yang dicirikan dengan para pekerja tidak tetap dan mencari pekerjaan, kemudian mereka adalah orang-orang yang berpendidikan rendah tetapi memiliki keahlian yang tinggi seperti pekerja bangunan, petani, nelayan, dan pengrajin. Sektor informal dapat di temukan di daerah perkotaan. Ciri yang dapat terlihat yaitu mereka tidak mendapatkan upah yang rutin setiap bulannya seperti PNS (Pegawai Negeri Sipil).

BPS tidak ada mengklasifikasikan secara khusus tentang apa-apa saja jenis pekerjaan sektor informal di Pematangsiantar. Dari pengamatan saya yang juga tinggal di Pematangsiantar, pekerjaan di bidang sektor informal yang ada di sini yakni, pedagang asongan, pekerja di rumah makan, tukang becak, buruh pabrik, buruh bangunan, buruh cuci, petani, tukang jahit, dan sebagainya. Buruh bangunan termasuk dalam salah satu jenis pekerjaan sektor informal yang ada di Pematangsiantar.

2.3. Buruh Bangunan Sebagai Alternatif Yang Tidak Memerlukan Ijazah Untuk menjadi pekerja bangunan tidak banyak persyaratan yang harus di penuhi. Untuk fase awal berkecimpung dalam dunia ini, kita hanya perlu menyanggupi dua persyaratan, yaitu kemauan dan tenaga fisik. Selanjutnya, agar bisa bertahan dalam dunia kerja bangunan ini adalah kapasitas diri harus ditingkatkan, seperti kerajinan dan potensi diri. Banyak pekerja bangunan yang hanya datang dan pergi sekedar untuk bekerja daripada menganggur, tetapi ada juga yang bekerja sampai bertahun-tahun lamanya sehingga mereka sudah memiliki ilmu dan pengalaman yang banyak tentang pekerjaan sebuah bangunan.

Untuk mendapatkan pekerjaan ini, tidak perlu menunjukkan ijazah atau rapor sekolah, kita hanya memerlukan jaringan yang luas. Berbekal telefon dan pergaulan yang luas saat ini, dengan melalui mulut ke mulut, atau kunjungan ke rumah tukang satu ke tukang yang lainnya, kita sudah bisa bekerja. Intinya kita harus memiliki koneksi pada jaringan lingkungan pekerjaan bangunan ini.

Ada 3 informan saya yang bekerja sebagai kenek, dan menganggap bahwa pekerjaan mereka saat ini adalah pekerjaan yang sementara saja.

1. Bang Dani

Bang Dani berusia 25 tahun. Tingginya sekitar 175cm dan kurus. Hidungnya mancung dan berambut gondrong. Sudah 6 bulan bang Dani bekerja pada sebuah proyek pembangunan masjid yang sifatnya swadaya dari masyarakat. Dulu nya bang Dani menganggur, sempat bekerja sebagai sales, tetapi karena gaji dan kerja nya tidak sebanding, akhirnya bang Dani berhenti. Bang Dani mendapatkan pekerjaan ini dari bang Pincuk (tukang dalam proyek ini), yang merupakan teman bang Dani. Sebenarnya bekerja bangunan bukan minatnya bang Dani, cuma daripada tidak ada kerja ia terima saja. Faktor lain susahnya mendapatkan pekerjaan adalah karena bang Dani tidak punya ijazah SMA, ijazahnya hanya sampai pada tahap SMP. Sedangkan saat ini untuk melamar kerja, ijazah minimal yang diberlakukan adalah ijazah SMA. Maka dari itu bang Dani merasa sudah kalah deluan sebelum berperang. Buruh bangunan adalah salah satu alternatif pekerjaan yang mudah di dapat, tidak perlu modal materi. Ada kemauan dan punya tenaga saja sudah bisa ikut bekerja. Harapannya bang Dani bahwa ia bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di kemudian hari.

Bang Dedek adalah pekerja yang paling muda pada saat saya melalukan penelitian lapangan di salah satu pembangunan rumah pribadi. Usianya 25 tahun. Tubuhnya yang kecil, kurus, dan hitam karena terpanggang sinar matahari tetapi sangat rajin dalam bekerja. Ayahnya adalah pensiunan perkebunan PTPN IV Bahjambi. Tetapi dari dulu bang Dedek memang malas sekolah. Sejak tamat SMP ia terjun ke dunia kerja bangunan. Karena ia rasa, pekerjaan bangunan adalah yang paling gampang di cari untuk orang-orang yang tidak memiliki pendidikan yang baik dan kemampuan yang lain. Pekerjaannya hanya membutuhkan tenaga dan kerajinan. Dulu pada tahun 2013, abang ini pernah merantau ke Pekanbaru untuk bekerja disebuah bengkel, tetapi karena tidak betah bang Dedek kembali lagi di tahun 2014. Dan selanjutnya ia melakoni pekerjaan ini lagi. Pekerjaan kali ini ia dapatkan dari hubungan persaudaraan. Kebetulan saudara nya yang bernama lek Adi (seorang tukang juga) sedang membangun sebuah rumah, dan bang Dedek pun diajak daripada gak ada kerjaan. Tahun ini bang Dedek berencana untuk kembali lagi merantau ke Pekanbaru, bekerja di sebuah bengkel milik saudara nya. Tujuan ia pulang adalah mencari suasana baru dan mengumpulkan uang untuk kembali lagi. Pada saat saya kembali lagi ke lapangan sekitar seminggu kemudian, ternyata pembangunan sudah di hentikan sementara. Pembangunan masih pada tahap pondasi. Pemilik rumah belum memiliki dana kembali untuk melanjutkan proses pembangunan, sehingga pembangunan di hentikan. Pada saat saya mengunjungi rumah bang Dedek, ternyata bang Dedek

sudah berangkat ke Pekanbaru, informasi ini saya dapatkan dari ibu nya. Ternyata benar, ia pingin merantau lagi. Nah dari kisah ini juga disimpulkan bahwa bang Dedek bekerja bangunan hanya sebagai alternatif pekerjaan untuk mengumpulkan ongkos berangkat ke Pekanaru.

3. Bang Wahyu

Setelah beberapa hari saya melakukan penelitian lapangan bang Wahyu adalah pekerja yang paling diam dan tak banyak bicara. Bang Wahyu berusia 35 tahun dan saat ini seorang duda. Bang Wahyu juga merupakan salah satu teman kerja bang Dedek pada pembangunan rumah pribadi. Bang Wahyu lahir di Medan, tetapi sejak kecil ia sudah biasa hidup berpindah-pindah. Tubuhya cukup kecil, tingginya sekitar 165cm, berkulit hitam, kurus, dan memiliki kecacatan pada mata di sebelah kirinya. Berlatar belakang ayah yang seorang TNI, mengharuskan keluarga mereka untuk selalu berpindah-pindah karena tugas sang Ayah. Dari Medan mereka pindah ke Siantar, kemudian ke Aceh Pidie yang sangat lama, kemudian kembali lagi ke Siantar dan pensiun. Saat ini orangtua bang Wahyu tinggal di Pematangsiantar. Pada tahun 2002, bang Wahyu menikahi seorang wanita dan tinggal di Gunung Tua (Simalungun). Bersama istri bang Wahyu memiliki 5 orang anak. Pada saat sudah berkeluarga, bang Wahyu bekerja pada sebuah perkebunan perseorangan yang tugasnya adalah memanen sawit. Sampai pada tahun 2015 bang Wahyu bercerai dan berhenti bekerja. Akhirnya bang Wahyu pulang ke rumah orangtua di Pematangsiantar dan memulai bekerja disini. Awalnya

bang Wahyu bekerja pada pembibitan sawit di dekat rumah. Tetapi karena pekerjaannya tidak rutin, jika ada bibit baru bekerja, akhirnya bang Wahyu keluar. Kemudian pada 2016 ini, diajak kerja oleh Lek Adi untuk membantu membuat rumahnya. Dan ini pertama kalinya bang Wahyu bekerja pada sektor konstruksi. Dulu nya dia hanya mengenal mengenai seluk beluk perkelapasawitan. Alasan bang Wahyu mau bekerja bangunan ini adalah mengumpulkan ongkos untuk merantau ke Pekanbaru dan mencari kerja disana. Saya bertanya, apakah punya keluarga disana, bang Wahyu bilang gak ada, modal nekat saja. Karena bang Wahyu tau, kalau Pekanbaru terkenal dengan perkebunan sawitnya, dan bang Wahyu ingin belajar sesuai passion di bidang kelapa sawit. Saya bilang ke bang Wahyu, untuk berhati-hati dan menjaga diri, mengingat tidak ada saudara ataupun kawan disana.

Dari 3 informan saya yang menjadi seorang kenek, mereka menyampaikan bahwa pekerjaan bangunan ini merupakan pekerjaan yang mudah untuk di dapatkan. Dan mereka bertiga memiliki harapan bahwa mereka dapat bekerja pada tempat yang lebih baik. Dan bekerja bangunan ini hanya sebagai pekerjaan sementara mereka saja, daripada menganggur tidak ada kerjaan.

2.4. Alih Profesi ke Kerja Bangunan

Karena pekerjaan ini mudah untuk di dapatkan, tak jarang pula orang- orang beralih profesi ke bidang pekerjaan ini. Seperti 2 informan saya diatas (Bang Dani dan Bang Wahyu, yang sama sekali belum memiliki pengalaman pada kerja bangunan, mereka berani untuk berkecimpung pada bidang ini.

Tetapi mereka hanya menganggap bahwa kerja bangunan sebagai alternatif pekerjaan sementara mereka saja, tidak untuk selamanya.

Berbeda dengan 2 informan saya kali ini yang sudah beralih profesi ke pekerjaan bangunan. Dulunya mereka bukanlah pekerja bangunan, tetapi karena berbagai alasan akhirnya mereka juga meminati bidang pekerjaan bangunan ini. Seperti kisah 3Lek Mito dan Lek Enit.

Dulunya lek Mito bekerja pada sebuah toko peralatan penjualan ATK(Alat Tulis Kantor), sudah sejak lajang4 ia bekerja disana. Tetapi pada suatu ketika, lek Mito tertimpa musibah, ada penyakit dalam tubuhnya yang mengharuskan ia berobat secara rutin dan istirahat bekerja. Selang beberapa lama kemudian, akhirnya lek Mito kehilangan pekerjaannya. Istrinya yang dulu hanya beraktivitas mengurus rumah tangga saja, tetapi karena sudah tidak ada penghasilan lagi, akhirnya membantu lek Mito mencari kerja serabutan5, seperti ojek anak sekolahan. Anaknya yang paling besar melanjutkan kuliah sambil bekerja di sebuah toko tempat ayah nya bekerja dahulu. Setelah sembuh dan dapat bekerja, lek Mito memutuskan untuk bekerja pada sektor bangunan dengan ikut pemborong. Karena menurut lek Mito, pekerjaan ini gampang untuk didapatkan.

Berbeda dengan cerita lek Enit. Lek Enit dulunya adalah seorang sales penjualan makanan ke warung-warung. Sempat jaya waktu itu, sehingga ia membangun sebuah kios di pinggir jalan lintas Sumatera Utara, di

3

Lelek = Sapaannya „Lek‟. Adalah panggilan kepada lelaki yang lebih tua(yang usianya lebih muda dari ayah kita) pada masyarakat suku Jawa, kalau bahasa Indonesiannya “Paman/Oom

4

Belum pernah menikah.

5

Pematangsiantar. Usaha itu ia bangun pada tahun 2004, karena pada saat itu masih jarang sekali orang-orang yang berbuka kios menjual jajan-jajanan di pingggir jalan, dan usaha nya kala itu cukup berhasil bisa menopang kebutuhan keluarga. Tetapi seiring berjalannya waktu, berkembangnya zaman, persaingan yang ketat, akhirnya kios lek Enit tak lagi dapat menopang kebutuhan kehidupan keluarga. Akhirnya ia memutuskan untuk ikut dalam kerja bangunan sebagai penambah penghasilan bagi keluarga. Dan kios miliknya masih tetap buka dan dijaga oleh istri dan anaknya.

Dari berbagai cerita informan tersebut, saya mengambil kesimpulan bahwa kerja bangunan merupakan salah satu sektor yang paling diminati oleh warga Siantar apabila ia tidak memiliki modal materi ataupun modal pendidikan dalam bekerja. Berbekal modal pertemanan, tenaga, dan kerajinan adalah pintu masuk untuk bisa menjadi pekerja bangunan. Tidak perlu membutuhkan ijazah, perjanjian kerja, pengurusan administrasi yang ribet, seleksi wawancara, dan sebagainya. Pekerja bangunan adalah orang-orang yang sedang bekerja keras dan berusaha untuk menghidupi kehidupan sehari-hari keluarga mereka dengan cara mencari rezeki yang halal.

2.5. Profil Keluarga Pekerja Bangunan 2.5.1 Keluarga Lek Bagus6

Keluarga Lek Bagus

6

Nama-nama anggota keluarga dirahasiakan untuk menjaga nama baik dan kenyamanan keluarga

Lek Bagus, 46 Tahun, tamat SMP Ayah ( bekerja sebagai pemborong bangunan)

Nina, 31 Tahun, tidak tamat SD Istri Kedua (Ibu Rumah

Dokumen terkait