• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan-Hubungan Hukum dalam Dunia Pertukangan (Studi Kasus Pada Masyarakat Sub Urban di Kelurahan Bah Kapul, Kecamatan Siantar Sitalasari, Pematangsiantar)"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBAR

Gbr. 1 Martil dan Linggis. Di pakai Gbr. 2 Raskam dan tempong Gbr. 3. Sekop dan cangkul. Alat yang di saat menokok sebuah kayu, atau Di pakai saat memplester pakai saat pengadukan semen dan saat memasukkan atau mengeluarkan dinding mencangkul tanah bangunan. paku dari kayu.

Gbr. 4. Sarung tangan. Merupa Gbr. 5 Waterpass. Gbr. 6. Gunting besi. Di pakai untuk meng kan peralatan yang penting gunting besi. Di pakai saat pendirian

dipakai saat bekerja. tiang dan mrmbuat cincin tiang.

Gbr. 7 Sendok pasang/sendok Gbr. 8. Ember. Dipakai saat meng Gbr. 9. Beko/angkong. Di pakai untuk Semen. Dipakai saat mendiri antarkan speksi dari kenek ke membawa pasir dan batu.

(2)

Gbr.10. Dari kiri ke kanan, meteran, Gbr. 11. Ada waterpas,kuas, Gbr.12. Kunci besi. kakaktua, dan marti. tempong di dalam ember. Se Gambar dari internet.

perangkat alat-alat yang disatuin ketika sedang bekerja.

Gbr. 13. Martil batu. Diguna Gbr. 14. Ketam mesin. Digunakan Gbr.15. Gergaji yang dipakai untuk mengger kan utuk menghancurkan batu saat menserut/mengetam pintu dan

kusen.

(3)

Gbr.19. Bor Gbr.20. Skrab. Untuk membersihkan Gbr.21. Seorang pekerja sedang sisa plesteran yang menempel atau menggunakan selang timbang air

sisa dempulan pada keramik. Untuk mengukur kerataan tinggi kusen.

Gbr. 22. Lot. Digunakan untuk meng Gbr.23. Kapak Gbr.24. Sekop yang sudah rusak dan Ukur tegak lurus suatu bangunan dan tak bisa dipakai lagi.

Juga pada saat tarik benang.

Gbr.25. Sendok Licin. Dipakai ketika Gbr.26. Gerinda. Berfungsi untuk Gbr. 27. Pahat. Berfungsi untuk me Sedang plesteran dan juga saat me memotong keramik. Lubangi kayu atau merapikan hasil

Nyiram air semen. Sumber : internet coran yang gembung untuk diratakan.

(4)
(5)

DAFTAR PUSTAKA

Daftar Buku

Hadikusuma, Hilman (2006). Antropologi Hukum Indonesia. Bandung : P.T. Alumni.

Ihromi, T.O. (2000). Antropologi dan Hukum. Jakarta :Yayasan Obor Indonesia. ... (1993). Antropologi Hukum Sebuah Bunga Rampai. Jakarta :

Yayasan Obor Indonesia.

Irianto Sulistyowati (2005). “Pluralisme Hukum” dalam Perempuan di Antara

Berbagai Pilihan Hukum. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hal :55-70.

Klose, Joachim (2011). “Open And Close Socientiest” dalam H. James Birx eds.

21th Century Anthropology A Reference Handbook Volume 1&2. Mexico :SAGE Publication,Inc. Hal :488.

Mashinambow, E.K.M (2000). Hukum dan Kemajemukan Budaya: Sumbangan karangan Untuk Menyambut Hari Ulang Tahun ke-70 Prof. Dr. T.O.Ihromi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hal : 73-79

Soekanto, Soerjono (1984). Antropologi Hukum. Jakarta : Rajawali. Spradley, James P. (2007). Metode Etnografi. Yogyakarta :Tiara Wacana.

Stake, Robert E. (2009). “Studi Kasus” dalam Norman K. Denzim dan Yvona

S.Lincoln eds. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal : 299-313.

Syahrir, Kartini ( 1995). Pasar Tenaga Kerja Indonesia :Kasus Sektor Konstruksi. Jakarta :Grafiti.

Daftar Jurnal

Abdullah, Irwan. “Dari Bounded System ke Borderless Society”. Jurnal

Antropologi Indonesia Vol.30, No. 2. 2006

Adrian W. Bedner & Jcqueline Vel. “Sebuah Kerangka Analisis Untuk Penelitian

Empiris dalam Bidang Akses Terhadap Keadilan”. Jurnal Kajian

(6)

Anita,dkk. “Peranan Kearifan Lokal dalam Menjaga Potensi Mangrove Sebagai Upaya Pencegahan Degradasi Budaya Masyarakat Pesisir”.2014

Irianto, Sulistyowati. “Pluralisme Hukum dalam Perspektif Global”. Jurnal Kajian Sosio-Legal, Bab 6 hlm. 157. Pustaka Larasan :Denpasar. 2012.

Nurjaya, I Nyoman. “Perkembangan Pemikiran Konsep Pluralisme Hukum”.

2011. Hal 1-17

Otto, Jan Michael. “Kepastian Hukum Yang Nyata Di Negara Berkembang”. Jurnal Kajian Sosio-Legal, Bab 5 hlm. 115. Pustaka Larasan :Denpasar. 2012.

Suryatni, Luh. “Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Antropologi”. Universitas

Dirgantara Marsekal Suryadarma (UnSurya). Vol. 5, No. 2. Agustus 2013. hal : 28-39.

Sumber Internet/Artikel/Skripsi

Irianto, Sulistyowati. http://asslesi.wordpress.com/2011/07/11/pluralisme-hukum-sebagai-suatu-konsep-dan-pendekatan-teoretis-dalam-perspektif-global/. Diakses pada tanggal 16 Februari 2016, pukul 14.02.

Fusanti, Sri. “ Kemajemukan Hukum Perkeretaapian Sumatera Utara”. Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Medan, 2014.

Zuska, Fikarwin winfikar.blogspot.com/ pada 07 Februari 2016. Diakses 8 Maret 2016.

Sumber lain-lain.

 PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR :

09/PER/M/2008 TENTANG PEDOMAN SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) KONSTRUKSI BIDANG PEKERJAAN UMUM.

 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29

TAHUN 2000 TENTANG PENYELENGGARAAN JASA

(7)

 UU No. 13 Tahun 2003 (Ketenagakerjaan)

(8)

BAB III

HUBUNGAN PEMBORONG DAN TUKANG

3.1. Hubungan Antara Kesadaran Keselamatan dan Kecelakaan Kerja

Walaupun bidang penelitian yag saya teliti bukanlah praktek-prakter kerja konstruksi yang besar, seperti pembangunan jalan layang, pembangunan gedung-gedung perkantoran, tetapi bidang yang saya teliti tetap sama yaitu para pekerja bangunannya. Berbagai perlengkapan kerja seperti sepatu safety, helm, kacamata kerja, sarung tangan, baju kerja, dan sebagainya, merupakan standart umum yang wajib dipakai pekerja untuk menjaga keselamatan mereka pada saat bekerja.

Tetapi fakta di lapangan yang saya temukan berbeda. Para pekerja bangunan ini memiliki kesadaran yang cukup lemah tentang pentingnya menjaga keselamatan kerja mereka. Syukur-syukur masih ada yang mau memakai sarung tangan, ini ada yang sama sekali tidak memakaiperlengkapan apapun. Perlengkapan yang paling lengkap di pakai pekerja di lapangan yaitu, helm yang mereka ganti dengan topi kain, sepatu safety (boots) mereka ganti dengan sepatu kain, dan sarung tangan, itu saja. Banyak pekerja yang tidak memakai perlengkapan sama sekali, baju kerja yang tipis dan sudah jelek sengaja mereka pakai terus-terusan untuk bekerja, sama sekali tidak memakai alas kaki, dan sarung tangan.

(9)

sama. Ada besi, kayu, bebatuan, yang bisa saja sewaktu-waktu dapat mencelakai pekerja. Dan alasan kedua mereka adalah karena rasa ketidaknyamanan memakai alat-alat tersebut. Pekerja tidak terbiasa untuk memakai perlengkapan kerja itu, sehingga jika di coba akan meyebabkan pekerjaan terganggu karena tidak nyaman.

Kemudian bagi pekerjaan pembangunan rumah yang dipegang oleh pemborong, keselamatan kerja adalah urusan masing-masing pekerja, bukan tanggungjawab dari pemborong. Jika dapat bonusan berupa sarung tangan dari panglong, maka akan di bagikan ke pekerja, jika sudah rusak maka pekerja harus mengganti sendiri. Untuk membeli sarung tangah seharga 6 ribu-7 ribu pekerja merasa sayang untuk mempergunakan gaji nya membeli sarung tangan tersebut. Atas dasar pendapat-pendapat tersebutlah, banyak dari pekerja yang tidak terlalu mementingkan mengenai keselamatan kerja mereka di lapangan.

Terjadinya kecelakaan kerja pada praktek kerja bangunan merupakan hal yang rentan terjadi. Pekerjaan bangunan merupakan salah satu pekerjaan kasar, karena ia bekerja dengan mengerahkan kemampuan tenaga yang ia miliki. Bagi para pekerja bangunan, kecelakaan yang terjadi di saat bekerja merupakan hal yang biasa, karena menurut mereka pekerjaan yang mereka kerjakan adalah pekerjaan fisik yang rentan terhadap munculnya kecelakaan di lapangan.

(10)

Dari penuturan Lek Bagus yang merupakan seorang pemborong, ia mengatakan bahwa pasti nya ada kecelakaan kerja yang dialami para pekerja. Mengingat ini adalah pekerjaan yang memodalkan fisik dan tenaga. Ada juga beberapa anggota Lek Bagus yang pernah mengalaminya. Tetapi sejauh ini belum ada yang mengalami kecelakaan kerja sampai parah atau meninggal. Sejauh ini masih berada di batas-batas kewajaran. Seperti jatuh dari tangga, kejatuhan patuh, kecelakaan-kecelakaan kecillah. Terkadang karena kecelakaan kerja ini, ada pekerja yang sampai tidak dapat bekerja hingga ber hari-hari. Lek Bagus merupakan tipe pemborong yang peduli terhadap anggotanya. Jika ada anggota yang mengalami kecelakaan kerja, akan segera ia bantu sampai sembuh. Jika ada yang mengalami kecelakaan pas kerja, biasanya Lek Bagus dan beberapa anggota yang lain langsung membawa korban ke puskesmas terdekat. Dan jika ada yang mengalami luka bagian dalam tubuh (misal tulang dan rusuk), Lek Bagus akan mengusukkan korban tersebut. Tak jarang juga Lek Bagus akan menjenguk ke rumah nya untuk mengetahui perkembangan kesehatan pekerja tersebut.Lek Bagus dan anggota sudah seperti keluarga. Jarang-jarang ada pemborong yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap anggota nya.

(11)

pengobatan selanjutnya bang Pincuk harus mengeluarkan biaya pribadi. Ini menunjukkan bahwa tipe-tipe kepedulian pada masing-masing pemborong berbeda satu sama lain.

Kejadian yang cukup meyedihkan dialami oleh Wak No. Wak No berusia sekitar 52 tahun dan bekerja sebagai tukang bangunan. Ia memiliki 5 orang anak, yang kelima-limanya merupakan anak laki-laki. Anak pertama dan kedua Wak No, ikut dengan Wak No sebagai tukang bangunan juga. Pada suatu hari tertentu, Wak No dan anak pertama sedang bekerja pada satu proyek yang sama dalam membuat sebuah ruko. Pada saat itu siang hari setelah jam makan siang, anak Wak No mengalami kejadian yang sangat menyedihkan. Anak Wak No tersengat tegangan listrik saat ia bekerja sehingga menewaskan dirinya seketika. Semua keluarga sangat histeris, karena baru beberapa menit yang lalu Wak No dan anaknya pulang untuk makan siang, dan beberapa menit kemudian mayat anaknya sudah di bawa pulang. Istri Wak No menangis histeris, tak menyangka dengan apa yang terjadi. Tak ada pertolongan pertama, tak ada tindak lanjutan, dan keluarga pun sudah pasrah nyawa anak mereka melayang. Pihak pemborong yang memperkerjakan pun tidak bisa dituntut, karena tidak ada perjanjian kerja diatas hitam dan putih dan tak ada perjanjian tentang keselamatan bagi pekerja.Tetapi pemborong memberikan sejumlah uang sebagai bentuk belasungka kepergian anak mereka.

(12)

tetap bekerja sebagai tukang bangunan. Mereka mengatakan bahwa kalau sudah ajalnya pasti dijemput, kapan pun itu. Saat ini Wak No dan anak keduanya tetap menjalankan aktivitas mereka sebagai pekerja bangunan.

Beberapa kasus di atas, secara tak langsung mendeskripsikan bahwa kecelakaan yang terjadi saat bekerja di lapangan kerja bangunan, baik itu kecelakaan ringan maupun kecelakaan yang berat merupakan hal yang mungkin saja terjadi pada mereka mengingat jenis pekerjaan mereka adalah buruh kasar, yang menggunakan tenaga otot dalam bekerja.

3.2.Ambil Mengambil Bahan/Alat Bangunan Merupakan Hal yang Biasa Bagi Para Pekerja

Dalam setiap pembangunan sebuah gedung ataupun rumah, ada bahan-bahan dasar yang dipakai untuk dapat mendirikan sebuah rumah seperti : pasir, semen, batu bata, batu kerikil, batu padas, keramik, kayu-kayu, dan sebagainya. Dan setiap selesai pengerjaan bangunan, ada beberapa bahan yang sisa, dan mungkin ada beberapa situasi semua bahan pas habis nya selesai pengerjaan. Ada dua kemungkinan disini. Ketika saya melakukan penelitian lapangan, saya menemukan temuan baru yang menurut saya banyak orang yang belum tau tentang hal ini.

(13)

Jadi, ketika mereka sedang ada proyek pembangunan, misalkan rumah, mereka terbiasa untuk mengambil beberapa bahan bangunan untuk dibawa pulang kerumah, misalnya paku, sisa-sisa potongan kayu, pasir, semen, dan lain-lain. Tetapi bukan bahan-bahan yang berukuran besar, seperti kayu-kayu yang masih panjang, ataupun besi karena pasti kena marah sama bos (pemborong) kata bang Pincuk. Dan ini mereka lakukan pada saat pembangunan berlangsung, bukan pada saat pembangunan sudah selesai. Dan pemborong mengizinkan hal ini terjadi, tapi dengan syarat tidak boleh mengambil terlalu berlebihan. Karena kalau jumlah yang hilang sedikit tidak ketahuan, kalau jumlahnya banyak baru ketauan.

Barang-barang yang dapat diambil dan di bawa pulang adalah bahan yang stoknya banyak, seperti pasir, semen, paku, dan batu. Dan bahan-bahan ini boleh diambil ketika borongan yang sedang dikerjakan adalah borongan upah, dimana pemilik rumah yang bertanggungjawab terhadap masalah pengadaan bahan-bahan bangunan. Ini hanyalah cerita di balik layar antara pemborong(kepala tukang) dengan pekerja. Pemilik rumah tidak tahu mengenai kejadian ini. Saya tanya mengapa melakukan hal itu? Bang Pincuk mengatakan bahwa mengambil bahan-bahan itu pas sedang butuh aja, misalkan sedang merenovasi kamar mandi rumah, ada bahan-bahan yang kurang sedikit, bang Pincuk dan pekerja yang lainnya meminta izin pada pemborong untuk mengambil bahan-bahan tersebut tanpa sepengetahuan pemilik rumah.

(14)

pulang. Hal itu menjadi hal yang biasa terjadi di lapangan, kata lek Bagus. Tetapi itu kan tidak selalu, kata lek Bagus, jadi tidak kelihatan sekali. Kalau misalkan barang-barang habis, tinggal lapor kepada pemilik rumah, tutur lek Bagus.

.

Di lain hal tidak hanya mengenai bahan-bahan bangunan yang menjadi kebiasaan pekerja untuk mengambil di bawa pulang, mengenai alat-alat bangunan juga mengalami hal yang sama. Seperti pemborong yang menyediakan alat-alat bangunan untuk pekerja. Kalau dia tukang yang sudah bisa menangani suatu bangunan, biasanya ia memiliki alat-alat kerja sendiri walaupun kurang lengkap. Disini kita akan berbicara tentang tukang maupun kenek yang masih ikut kerja dengan pemborong ataupun kontraktor.

(15)

tersebut ternyata di bawa oleh pekerja yang sudah tidak bekerja lagi pada mereka. Tetapi terkadang ada pekerja yang usil dengan mengambil alat-alat kerja tersebut, misalkan beko, pengaduk semen, dan lain sebagainya. Peralatan itu masih dibutukan ketika dalam bekerja dan pekerja yang mengambil tersebut sudah tidak bekerja lagi. Maka terkadang ada sesuatu kendala pada saat mau bekerja. Tindakan yang dilakukan kontraktor jika itu terjadi adalah mencari pekerja yang hilang tersebut, untuk mengambil peralatan kerja, tetapi terkadang ada yang balik dan ada yang tidak. Usaha sudah dilakukan, ada pekeja yang menghilang dan barang tidak balik, dan ada juga pekerja yang mau mengembalikan lagi. Jika barang yang hilang tersebut tidak dapat di ambil kembali, maka tindakan yang dilakukan perusahaan adalah membiarkannya saja dan membeli alat baru lagi.

(16)
(17)

jawab itu langsung diberikan ke tukang yang bertugas dalam pemasangan tersebut.

Dari dua cerita di atas, sama-sama menunjukkan bahwa mereka pernah menemukan kejahilan-kejahilan yang dilakukan oleh pekerja mereka. Mereka sudah tau jika ada barang-barang yang hilang, tetapi mereka tidak menetapkan sanksi yang tegas jika ada pekerja yang mencuri alat-alat kerja tersebut. Sehingga timbulnya pemikiran bahwa hilang-hilangnya alat-alat bangunan tersebut suda menjadi hal yang biasa di kalangan pekerja bangunan. Dengan membiarkan saja, atau dengan menyindir itu merupakan sanksi yang lemah bagi para pencuri alat-alat tersebut, sehingga karena sanksi yang diberikan lemah, ini menimbulkan perilaku-perilaku yang berulang-ulang terjadi menjadi hal yang biasa untuk di lakukan.

Fenomena di atas mengingatkan pada apa yang dikatakan oleh Keebet pada tahu 1950an, atau 1960an bahwa kebiasaan-kebiasaan lokal juga dapat di pandang sebagai hukum (dalam Irianto, 2012). Dan pada tahun 1978 Holleman mengatakan bahwa di wilayah urban di negara-negara berkembang, tumbuh bentuk-bentuk hukum baru yang tidak dapat di beri label sebagai hukum negara, hukum adat, atau hukum agama, sehingga disebut sebagai hybrid law, atau unnamed law (dalam Irianto,2012:166).

3.3.Pemborong Sebagai Posisi Tertinggi dalam Kerja Bangunan

(18)

nya. Menurut pendefinisian warga di Pematangsiantar, pemborong adalah sebutan untuk orang yang memborong seluruhnya dalam pembangunan, baik itu pembangunan rumah pribadi, rumah kost-kostan, ruko, dan komplek perumahan. Pemborong adalah perorangan yang tidak memiliki lembaga hukum maupun perusahaan. Ia berdiri sendiri dan memiliki beberapa anggota tetap. Ada dua jenis pemborong di Pematangsiantar:

1. Pemborong Upah

Pemborong upah adalah pemborong yang hanya mengambil jasa upah saja dalam mengerjakan bangunan. Upah ini bisa dihitung per meter dari luas bangunan atau dari persenan harga bahan, biasanya sepertiga dari harga bahan. Yang belanja bahan adalah pemilik rumah, ataupun pemilik rumah mengajak pemborong untuk belanja atau bisa jadi pemilik rumah menginstruksikan pemborong untuk meminta barang dulu ke toko atau panglon, ntar di bayar di belakang oleh pemilik rumah, tergantung situasinya. Yang penting, pemborong disini hanya memborongkan jasa upah semua pekerjanya yang bekerja pada pembangunan tersebut.

2. Pemborong kunci

(19)

tinggal di kondisikan dengan bahan-bahan apa yang akan digunakan menurut kualitasnya, dan berapa ukuran rumahnya. Semua tergantung dana yang pemilik rumah miliki dan pemborong bertugas untuk mengelola nya. Jika dana dan permintaan tak sesuai, maka pemborong akan menjelaskan bahwa dana nya tidak cukup sehingga pemilik rumah harus menurunkan standard rumah yang ia mau dan harus menyepakatinya agar di kerjakan oleh pemborong. Walaupun dana nya sudah ada, tetapi pemborong tidak berani untuk mengambil semua, mereka takut uang tersebut sudah habis di tengah jalan. Maka untuk menyiasatinya, pada tahap awal pengerjaan rumah, pemborong akan meminta setengah atau seperampat dari dananya untuk membeli bahan-bahan, kemudian setengahnya pada proses pengerjaan hampir selesai ataupun pada proses pertengahan, tergantung strategi dari masing-masing pemborong. Pada borongan kunci ini, pemborong harus bisa mengelola keuangan tersebut dan memenuhi permintaan pemilik rumah. Ini yang rumit. Jika pemilik rumah meminta semua bahan-bahan yang dipasang di rumahnya yang bagus, baik itu mengenai keramik, jendela, plafonnya, tetapi dananya tak mencukupi maka tukang harus bisa menyiasati dan menyampaikkannya dengan baik ke pemilik rumah. Pemborong kunci ini bisa dikatakan adalah orang yang berani dan berpengalaman, karena ia sudah dapat mengisarkan harga padahal pengerjaan belum di mulai.

(20)

sehingga ia berikan kepercayaan penuh kepada pemborong. Menurut penuturan dari seorang informan saya bahwa borongan kunci itu biasanya terjadi pada pensiunan perkebunan. Karena pada saat bekerja mereka mendapatkan rumah di komplek perkebunan, ketika mau habis masa kerja mereka, maka mereka sibuk ingin membangun sebuah rumah, yang bisa saja berbeda kampung dari tempat tiggalnya, atau cukup jauh, ataupun masih di satu kampung. Dan biasanya masyarakat di perkebunan ini tidak tau menahu mengenai urusan pekerjaan bangunan dan pasaran harga-harga bangunan tersebut. Makanya untuk tidak repot, mereka memberikan tanggungjawab itu pada pemborong. Dan yang terakhir, pasti nya orang yang menyuruh borongan kunci ini adalah orang yang sudah memiliki persediaan duit untuk membangun rumah.

Dari dua jenis pemborong tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemborong upah adalah pemborong yang memborong hasil upah pekerja saja, sedangkan pemborong kunci adalah pemborong yang mengurusi semua urusan pembangunan, baik mengenai bahan-bahan dan upah pekerja.

Pemborong memiliki posisi yang kuat di dalam pekerjaan bangunan. Dia lah yang memberikan kerja kepada pekerja bangunan. Walaupun terkadang ada pemborong yang memberikan wewenang kepada pekerja untuk mencari pekerja tambahan lainnya di satu pengerjaan sebuah bangunan, tetapi tetap saja wewenang terbesar ada pada pemborong untuk menentukan apakah orang tersebut dapat diperkerjakan atau tidak.

(21)

namanya kepala tukang, semua nya adalah pekerja, tetapi orang kepercayaan di lapangan, ada. Lek Bagus mencontohkan bahwa ada seorang pekerja yang sudah lama ikut kerja dengan lek Bagus, mau diangkat menjadi kepala tukang tetapi ia tidak mau. Karena gak berani, gak enak menyuruh-menyuruh anggota, katanya. Lek Bagus juga menjelaskan bahwa untuk menjadi kepala tukang, selain kita harus memiliki keahlian yang lebih dibanding anggota yang lainnya, kita juga harus memiliki jiwa kepemimpinan, dan sikap yang tegas untuk bisa membimbing anggota di lapangan. Karena kalau tidak ada jiwa kepemimpinnya, maka nanti kerjaan akan kacau. Misalnya, anggota malas bekerja, anggota melawan kepada kepala tukang, bangunan tidak bagus, dan sebagainya. Itu bisa berimbas ke hal-hal lainnya. Maka dari itu seorang kepala tukang yang menjadi pemimpin di lapangan juga harus bisa menjadi panutan untuk anggotanya. Dan lek Bagus berposisi sebagai pemborong sekaligus kepala tukang dalam setiap proyek pembangunan yang ia pegang.

(22)

yang besar tadi. Dan pada pembangunan yang baru seminggu berjalan tersebut, maka di cari lagi pekerja baru untuk menempati posisi yang kosong.

Jadi, roker meroker pekerja adalah hak pemborong.

Seperti yang terjadi di lokasi penelitian saya, pekerja yang dikerahkan selalu berubah-ubah. Ini disebabkan karena proyek yang dipegang pemborong sedang banyak, sehingga harus ada perekrutan pekerja baru, pemindahan pekerja, dan juga pemecatan pekerja. Menurut bang Andi selaku pemborongnya, tukang harus lah ahli dalam segala bidang. Kalau ia kurang paham, maka ia akan dipindahkan ke pekerjaan yang ia kuasai, kalau pekerjaan tersebut terbatas, maka mau tidak mau harus di putuskan hubungan kerjanya. Untuk pemutusan hubungan kerja biasanya dilakukan dengan cara yang baik-baik oleh bang Andi, jangan sampai terjadi perkelahian ataupun penuntutan di lain hari. Dan hal ini sering dialami oleh bang Andi. Karena pekerja yang kurang berkualitas dan tidak bagus sifatnya, akan merugikan pemborong.

3.3.1. Tukang Dan Kenek Seharusnya Sepaket

(23)

Kepala tukang berhak menyuruh siapa pun ketika bekerja. Dan tukang juga mengerjakan apa yang perlu di kerjakan, tetapi posisi tukang dibawah kepala tukang. Dan tukang memiliki pelayan yang disebut dengan kenek yang membantu mereka ketika bekerja. Misalkan mengocok semen, mengantarkan semen, mencangkol tanah, dan lain-lain. Inti nya membantu tukang ketika bekerja.

(24)

sehingga pemborong mengambil inisiatif untuk memindahkan salah satu nya ke proyek yang lain. Ini merupakan wujud dari tidak diterapkannya pelimpahan wewenang kepada tukang untuk mencari keneknya sendiri, sehingga sering terjadi ketidak cocokan dan keributan.

Pola-pola hubungan, dan batu-batu kerikil kecil ini yang menggambarkan adanya hukum informal yang bekerja pada sektor buruh bangunan. Para tukang juga memiliki hak untuk menyarankan ke pemborong, pekerja mana yang cocok untuk diajak bekerja. Karena antar sesama pekerja ketika di lapangan kan juga memantau mengenai kinerja masing-masing mereka. Dan para tukang ini juga tidak selamanya bekerja dengan satu pemborong saja, terkadang mereka juga menjadi pekerja pada pemborong-pemborong lainnya. Maka dari proyek lain tersebut, dia akan bertemu dengan pekerja-pekerja baru, dan melihat kualitas para pekerja disana, sehingga tukang lah yang memahami situasi di lapangan, jadi terkadang menurut penuturan Lek Bagus, ia meminta saran kepada tukang untuk siapa yang cocok diajak bekerja. Tetapi cekcok antar tukang dan kenek ini hanyakah batu-batu kerikil yang terjadi saat di lapangan, ini bukan malah membuat pemutusan kerja, ataupun pemecatan pada anggota. Karena dalam hubungan sehari-hari pun, apalagi dengan orang yang setiap hari kita temui, pasti ada cekcok-cekcok sedikit.

Menurut bang Pincuk perbedaan kerja tukang dengan kenek diibaratkan “guru dan murid” di ruang kelas. Dimana walaupun sesama pekerja bangunan,

(25)

ia mengatakan bahwa kita harus pandai memilih anggota. Harus orang-orang yang cerdas. Karena kalau seperti “paku di tokok dulu baru ke dalam” itu payah. Maksud istilah bang Pincuk itu adalah, kita harus pandai memilih anggota pekeja. Walaupun belum berpengalaman banyak, tetapi harus punya modal cekatan, inisiatif, dan otak yang gak bebal, artinya mau diajari. Karena terkadang, ada kenek yang bandal dan susah untuk diajari.

Di dalam bekerja, posisi tukang itu lebih dominan dibandingkan kenek. Tukang berhak untuk memarahi kenek dan mengajarinya sedangkan kenek tidak berhak. Kenek harus mendengarkan arahan tukang, karena kenek dianggap belum memiliki pengalaman yang banyak di bandingkan tukang, dan masih perlu untuk diajari. Tetapi kenek berhak untuk sekedar memberikan masukan, jika ada kekeliruan yang dilakukan oleh tukang, tetapi tetap aja posisi tukang lebih mendominasi dibandingkan kenek. Tetapi kata bang Pincuk, hal itu bukan membuat suasana yang keruh atau permusuhan, dan bukan membuat kenek jadi mogok kerja, bukan, tetapi itu malahan bagus, menjadi bahan evaluasi pekerja untuk megambil ilmu dan mengetahui mana yang benar dan mana yang salah.

(26)

3.4. Menjaga Loyalitas dan Semangat Pekerja

Masing-masing pemborong memiliki caranya tersendiri untuk mempertahankan hubungan kesetiaan para pekerjanya. Tidak hanya dengan klien yang mengharuskan pentingnya berhubungan baik, seorang pemborong juga harus bisa menjaga keloyalan para pekerjanya. Tujuannya bagi pemborong adalah untuk mempertahankan kualitas dari pekerjaannya dan menjaga nama baik seorang pemborong. Seperti yang dilakukan beberapa informan saya berikut ini.

(27)

bisa menambahkan 100 atau 150 dari gaji awal pekerja. Begitulah cara Wak Paino menjaga kesetiaan dari para pekerjanya.

(28)

Menjaga keloyalitasan pekerja juga diterapkan oleh perusahaan kak Eni untuk para pekerja tetap mereka yang sudah bertahun-tahun ikut bekerja dengan mereka. Untuk menunjang dan menghargai semangat para pekerja biasanya pihak perusahaan akan memberikan bonusan kepada pekerja yang sudah lama dan bagus kerja nya. Yang bisa mendapatkan bonusan adalah pekerja yang sudah lama bekerja, rajin, dan bagus kinerja nya. Bonusan di berikan dalam bentuk uang di dalam amplop. Biasanya itu akan diberikan pada saat silahturahmi lebaran. Pekerja-pekerja lama mereka sudah paham akan tradisi ini. Setiap lebaran mereka akan datang berlebaran ke rumah kak Eni untuk mendapatkan THR (Tunjangan Hari Raya) yang mereka sebut dengan zakat. Tujuannya di pertahankan tradisi ini aalah agar para pekerja tetap bertahan di perusahaan mereka dan tetap meningkatkan kualitas kerja nya.

Dari pendapat bang Pincuk yang bekerja sebagai tukang dalam proyek pembangunan masjid, ia mengatakan tunjangan semangat kerja ia dapatkan disini. Apalagi bang Pincuk sudah bekerja selama 4 tahun dalam pembangunan masjid tersebut. Maka dari itu setiap tahunnya ia mendapatkan THR sebesar 200ribu.Yang memberikan adalah pengurus masjid, tujuannya agar semangat kerja ditingkatkan, karena mereka dihargai untuk diberi THR oleh pihak masjid. Pemberian THR menurut bang Pincuk juga tergantung proyeknya. “Karena ini proyeknya tahunan jadi diberikan THR tiap tahun, biasanya proyek lain yang tidak ada di kasih THR, tergantung pemborongnya lah”, kata bang Pincuk.

(29)

pemborong bangunan di Pemantangsiantar. Wak Eko sering memberikan tambahan gaji pekerja ketika saat gajian. Kemudian ketika bekerja, Wak Eko juga suka memberikan service an untuk pekerja. Misalnya memberikan rokok ketika saat istirahat, dan memberikan makanan. Cara-cara kecil seperti ini menurutnya mampu untuk memancing semangat pekerja.

3.5. Apresiasi Yang Tinggi dan Pemberian Bonusan Secara Rahasia di antara Pekerja

Pekerja yang bagus kualitasnya tentu akan menguntungkan pemborong. Kerjaannya bagus pasti menyenangkan hati klien, pekerja yang rajin dan pekerjaannya cepat juga menguntungkan pemborong, karena tidak membayar upah terlalu lama. Karena hitungan upah dibayarkan setiap hari kepada pekerja.

(30)

Beberapa pemborong menerapkan beberapa cara untuk menjaga keloyalitasan pekerjanya. Ada juga pemborong yang memberikan bonusan hasil kerja kepada pekerjanya. Seperti penuturan dari seorang informan saya yang bernama Wak Paino, ia memberikan bonusan kepada seluruh pekerjanya tanpa pilih-pilih, jika pekerjaan itu menguntungkan. Sama seperti yang dilakukan Lek Bagus, ia juga akan memberikan bonusan kepada pekerja nya jika pekerjaan itu menguntungkan bagi proyek mereka.

Tak jarang Lek Bagus akan memberikan bonusan di akhir proyek pembangunan. Bonusan terjadi, jika proyek yang selesai dijalankan mengalami banyak keuntungan. Misalkan, klien tidak melakukan negoisasi pembayarakan di tahap awal, langsung deal saja, kemudian klien tidak banyak permintaan dan penambahan dalam pembangunan rumahnya, kemudian harga bahan-bahan saat itu sedang murah, sedangkan harga negoisasi tidak diturunkan, dan lain sebagainya. “Terkadang ada rezeki-rezeki yang seperti itu, dan itu patut juga kita bagi kan ke anggota”, kata Lek Bagus.

Tetapi tidak semua pekerja mendapatkan bonusan. Biasanya bonusan akan diberikan secara sembunyi-sembunyi tanpa tau pekerja yang lain. Jika penggajian, maka pekerja akan datang ke rumah Lek Bagus, dan gaji mereka sudah di dalam amplop. Dan bonusan ini diberikan pada momen tertentu, tanpa ada pekerja lain yang melihat. Pemberian bonusan ini bisa ketika saat di lapangan maupun di mana pun, yang penting tak terlihat pekerja yang lain. Lek Bagus akan menyalamkan pekerja tersebut sambil berkata, “ini ada rezeki tambahan, makin tingkatkan

(31)

-biasa aja, tidak terlalu bersemangat, atau terlalu pelit mengeluarkan semangat dan energinya, maka lek Bagus akan mengupah sesuai dengan gaji nya saja dan memberikan tambahan berupa uang rokok saja.

Bonusan tersebut akan Lek Bagus berikan secara diam-diam kepada pekerja yang ia hendaki saja. Ia tidak mau mengekspos bonusan itu ke semua pekerja, karena ia menghindari adanya kepalsuan dari wajah-wajah pekerjanya. Lek Bagus sudah lama berkecimpung dalam dunia pekerjaan bangunan, ia sudah dapat menilai mana pekerja yang pekerjaannya bagus, rajin, cekatan, insiatif, dan jujur. Maka pekerja seperti itu yang nanti di akhir kerja akan lek Bagus kasih bonusan. Jika semua pekerja mendapat bonusan, menurut pendapat lek Bagus, bukan semangat kerja yang nanti terlihat, tetapi semangat untuk saling menjatuhkan dan saling angkat telor. Angkat telor adalah salah satu peribahasa yang bermaknakan bermuka dua, pura-pura baik di depan bos, tetapi di belakang beda. Maka dari itu, lek Bagus menghindari hal ini terjadi, takutnya mereka semangat ketika ada lek Bagus saja, selepas itu tidak ada. Karena untuk pekerja yang lek Bagus kasih bonusan, tanpa di-perintah pun ia sudah tau harus mengerjakan apa dan bagaimana cara menyelesaikannya.

(32)

pernah membicarakan hal bonusan ini kepada pekerja yang lain, karena hal ini mereka anggap sebagai suatu rahasia pemborong yang perlu di jaga pekerja.

Memberikan bonusan dan melakukan berbagai cara untuk meningkatkan semangat kerja dan keloyalitasan pekerja merupakan sebagai hadiah kepada pekerja yang telah memenuhi aturan-aturan yang diberlakukan oleh pemborong. Aturan-aturan informal ini muncul seiring dengan kebutuhan di lapangan pekerja bangunan. Secara tidak langsung pekerja di tuntut untuk menampilkan kualitas terbaik dirinya agar mendapatkan hadiah dari pemborong, kalau tidak ya tidak mendapatkan apa-apa.

3.6.“Tampak Bekas” Bentuk Pertanggungjawaban Tukang ke Pemborong dan Aturan Penggajian Pekerja

Para pekerja yang sedang bekerja pada suatu bagunan harus dapat mempertanggungjawabkan kerjanya pada pemborong. Walaupun pekerjaan ini bersifat informal, tetapi setiap harinya pekerja harus dapat memberikan pertanggungjawaban berupa hasil kerja mereka yang mereka sebut sebagai “tampak bekas” kepada pemborong. Tampak bekas ini digunakan pemborong

(33)

Tujuan ada nya tampak bekas ini adalah sebagai bentuk pertanggungjawaban dari tukang kepada pemborong yang menggaji mereka yang tidak bisa mengawasi kinerja mereka setiap saat. Karena bagaimana pun kuasa terbesar ada pada pemborong, kalau ia minta lebih di bagusi pengerjaannya, maka tukang harus menuruti. Selain itu juga, pertanggungjawaban berupa tampak bekas juga memberikan motivasi kepada pekerja agar cepat dan rapi dalam bekerja, sehingga membuat pemborong senang, dan mungkin akan terus memakainya sebagai tukang dari pemborong tersebut. Itu lah bentuk pertamggungjawaban pekerja dengan pemborong yang menggaji mereka. Hasil kerja setiap harinya.

Dalam pekerjaan bangunan ada perbedaan yang tampak jelas mengenai persoalan upah bagi para pekerja. Pekerja yang bekerja sebagai tukang tentunya mendapatkan gaji yang lebih tinggi di bandingkan dengan kenek. Karena di samping tugas yang dikerjakan berbeda, tukang juga dianggap lebih ahli dan berpengalaman dibanding kenek.

(34)

Menurut bang Pincuk yang merupakan pekerja bangunan, ia mengatakan persoalan upah yang berbeda – beda itu di ibaratkan seperti gaji PNS yang tergantung golongannya. Dimana PNS dibedakan berdasarkan tingkatan dan pendidikan mereka, kalau pekerja bangunan di bedakan atas keahlian dan pengalaman mereka. Jadi, para pekerja masing-masing sudah tau kualitas diri mereka, dan sudah tahu akan di gaji berapa. Karena itu tadi, pemborong mematokkan pasaran upah untuk pekerja, sehingga untuk mendapatkan gaji yang tinggi pekerja juga harus mengekstra kemampuan kinerja nya.

3.6.1. Kedilemaan Tukang dan Pemborong

(35)

Di samping itu kedilemaan lain yang dirasakan tukang adalah saat pemilik rumah meminta perombakan ataupun penambahan tetapi tidak pengertian. Pemborong ingin memberlakukan aturan dengan tegas (penambahan berarti siap nambah upah), nanti di bilang pelit kali ataupun sombong. Aturan yang tidak tegas (tidak berani ngomong, atau sanksi yang tidak ada) membuat hal ini menjadi kedilemaan bagi pemborong. Sedangkan pekerjaan ini datangnya dari mulut ke mulut klien. Kalau nama pemborong jelek di masyarakat, maka akan berdampak pada pekerjaannya . Inilah yang di katakan dengan kedilemaan tukang.

3.7. Persaingan Diantara Pekerja dan Diantara Pemborong

Untuk menjadi pekerja bangunan tidak ada di tuntut persyaratan khusus, yang di perlukan hanyalah kemauan dan kemampuan fisik. Itulah dua syarat yang paling utama. Walaupun dapat dikatakan bahwa pria yang sudah mampu bekerja dan memiliki tenaga fisik yang kuat dapat menjadi pekerja bangunan, tetapi untuk bertahan pada lingkungan kerja bangunan, harus lah memiliki kemampuan yang lebih, kemauan dan punya tenaga saja tidak cukup.

(36)

malas, dan suka berantam dengan pekerja lainnya, maka tak jarang pemborong tidak akan memakainya lagi di kemudian hari.

Tukang yang sudah berpengalaman dan ahli dalam semua bidang juga akan mendapatkan gaji yang lebih dari tukang yang lain. Pemborong memberikan apresiasi kepada para tukang yang menurut ia bagus, sehingga ini secara tak langsung memunculkan persaingan diantara tukang untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas dirinya.

Persaingan juga terjadi di antara pemborong. Pemborong yang memiliki proyek di mana-mana tanpa ada henti-henti nya di katakan sebagai pemborong yang sukses. Untuk mencapai pada tahap itu tidak lah mudah, banyak perjuangan dan pengorbanan yang pasti di lakukan. Menjadi pemborong di daerah sub urban tidak harus memiliki website atau blog tertentu untuk memperkenalkan dirinya pada orang lain. Ucapan warga dari mulut ke mulut menentukan apakah pemborong itu bagus di mata masyarakat atau tidak.

Pekerja pemborong yang memiliki kualitas yang bagus, cekatan dalam bekerja, ahli dalam segala bidang, dan cepat kerjanya merupakan hal yang menguntungkan bagi pemborong. Karena kinerja tukangnya juga lah pemborong di kenal dengan hasil kerjanya. Walaupun pada tahap awalnya, pemborong memulai karir sebagai tukang terlebih dahulu, sehingga ia sudah paham mengenai seluk belum pembangunan. Kemudian pengalaman berapa lama ia menjadi seorang pemborong juga menentukan pilihan masyarakat.

(37)

ingin membangun rumahnya. Sehingga pemborong yang menetapkan harga upah lebih murah di banding yang lain lebih banyak mendapatkan proyel dibandingkan dengan pemborong yang terlalu banyak mengambil untung. Karena pasti, pada tahap awal, pemilik rumah akan mencari-cari informasi terlebih dahulu tentang pemborong mana yang jasa upahnya murah. Tetapi ini tidak selalu menjadi indikator utama, pemborong dengan hasil kualitas yang bagus juga menentukan pilihan masyarakat untuk memakainya. Selain itu juga tentang kepribadikan pemborong, apakah ia orangnya ramah atau sombong, baik atau tempramen, pelit ataukah punya kecacatan hukum di masyarakat. Faktor-faktor tersebut menentukan pilihan masyarakat jatuh pada ke pemborong yang mana.

Dari beberapa indikator tersebut, secara tak langsung juga menunjukkan persaingan antar pemborong. Walaupun tak terlihat dengan kasat mata persaingan tersebut, tetapi secara tak langsung dapat dilihat melalui pemborong mana yang sering mendapatkan proyek dan pemborong mana yan sering menganggur di rumah.

3.8. Jam Kerja Rentan Konflik diantara Sesama Pekerja

(38)

10.00-10.30 untuk istrihat sebentar meminum teh,kopi, atau merokok, dan jam 15.00 atau jam 15.30-16.00 untuk meminum teh, merokok, atau memakan kue-kue maupun gorengan. Ada juga yang hanya menerapkan 2 kali istrihat, yaitu jam 12.00-13.30 dan jam 15.00-16.00, ada juga yang hanya menerapkan sekali istirahat, hanya di jam 12 siang saja. Tetapi yang jelas semua pekerja wolon(istirahat) di jam 12 siang. Semua jam-jam istirahat tersebut tergantung pemborong dan pemilik rumah. Kalau pemilik rumah berbaik hati memberikan makanan atau minuman di jam-jam istirahat tersebut sepanjang pengerjaan rumah, maka mereka istirahat. Itu menandakan bahwa pemilik rumah mengizinkan mereka beristirahat sebentar. Tetapi kalau tanda-tanda minuman atau makanan itu tidak diberikan maka itu menandakan pekerja harus tetap bekerja. Semua tergantung situasi nya.

(39)

menghentikan pekerjaannya untuk menuruti kemauan kenek. Pada saat itu jam sudah menunjukkan pukul 12.15, wajar saja jika mereka memang harus istirahat. Tetapi walaupun kenek meninggalkan lokasi pekerjaan duluan untuk meneduh di barak11, ia tidak langsung makan siang. Ia menunggu tukang datang dulu, dan mereka makan bersama-sama. Dalam istirahat pun, harus ada kesepakatan untuk istirahat bersama, jangan ada yang istirahat dan jangan ada yang masih bekerja.

Hal-hal seperti itulah sering memunculkan situasi yang tidak enak sesama pekerja atau pertengkaran kecil pekerja. Ketika tidak ada yang mengawasi, maka pekerja pun terkadang terlihat tidak enakan(cekcok). Kadang pekerja yang satu istirahat sebentar, mungkin karena capek, dan pekerja yang lain masih sibuk bekerja, sehingga menimbulkan suasana yang tidak enak. Ibarat pembicaraan dalam hati, “enak kali dia bisa santai, aku aja masih kerja” seperti itu lah kira-kira.

Dan karena ini adalah pekerjaan yang informal, dan jam kerjanya pun secara informal di terapkan, hanya berdasarkan mulut ataupun tau sama tau. Tidak seperti bekerja di kantoran ataupun perusahaan yang memiliki aturan yang jelas mengenai persoalan jam kerja, sehingga diharapkan para pekerja bangunan ini kompak ketika kapan mulai bekerja dan kapan megakhiri pekerjaan. Tetapi kadang ada situasi dimana pekerja yang berulah. Ketika ada pemborong ia ingin terlihat tampil lebih baik dibanding yang lain. Seperti jam kerja dimulai jam 8, ia sudah mulai bekerja di jam setengah 8. Disaat pekerja lainnya, masih sarapan dan minum teh ia sudah mulai bekerja. Bagaimana pun situasi seperti itu tidak enak dilihat pekerja yang lainnya. Temannya sudah bekerja, mereka masih santai. Maka

11

(40)

tidak ada lagi kenyamaan saat santai yang mereka rasakan ketika melihat kawan mereka sudah mulai bekerja, mau tidak mau mereka pun ikut bekerja. Tetapi kalau terus-terusan bersikap begini, maka pekerja lain pun berontak. Karena pekerja tersebut sudah bertindak di luar aturan yang mereka lakukan. Aturannya adalah, siapa yang melanggar hukum ia harus di beri sanksi. Sanksi yang diberikan adalah labrakan dari pekerja lain kepada pekerja tersebut, untuk jangan bekerja suka-sukanya. Ketika konflik sudah terjadi, untuk menghindari konflik yang berkepanjangan maka pemborong mengambil keputusan untuk memindahkan pekerja ke tempat proyek yang lainnya, agar konflik pun tidak melebar yang berdampak pada pekerjaan rumah tersebut.

(41)

3.9.Adukan Semen yang tak Sesuai Prosedur Ukuran yang sesuai standard dalam

pengocokan semen pembuatan coran ataupun untuk pemasangan batu bata adalah, 1 ember semen di campur dengan 2 ember pasir dalam membuat pondasi ataupun pemasangan batu. Itu lah takaran sebenarnya. Seperti aturan

(42)

Menurut informan saya yang merupakan seorang tukang, ia mengatakan ada dua cara pengadukan semen. Satu pengadukan melalui skope atau cangkol, satu lagi di dalam molen (yaitu alat mesin yang bentuknya bulat, dan berfungsi untuk mengaduk semen. Alat ini akan berputar-putar ketika sedang pengadukan). Anjuran dari pemerintah adalah pengadukan dilakukan di dalam molen, agar campuran bahan merata dan homogen, Tetapi karena alasan pembelian alat itu sangat mahal ataupun peminjamannya juga mahal, dan pembangunan yang mereka kerjakan hanyalah rumah pribadi biasa, maka menurut mereka memakai molen itu tidak perlu dilakukan. Menurut pemerintah jika pengadukan dilakukan di atas tanah, maka hasil kocokan semennya kurang bagus dan mudah rapuh karena memakai tenaga manual.

Tetapi menurut penuturan informan saya, selama berpuluh tahun lamanya ia menjadi tukang, ia selalu melakukan pengadukan di atas tanah melalui tenaga manual. Tidak terjadi apa-apa, bangunan-bangunan yang ia bangun masih berdiri kokoh dan tidak terjadi apa-apa. Karena tidak terjadi apa-apa itu lah, maka para tukang masih tetap menerapkan cara tersebut ketika mengaduk semen.

(43)

BAB IV

HUBUNGAN PEMBORONG DAN KLIEN

4.1. Perubahan Tahapan Penyedia Jasa

Dahulu, pada zaman nenek saya pertama sekali membangun rumah, para tetangga dan saudara bergotong royong untuk saling bantu membantu pembangunan tersebut. Ada beberapa bahan yang mengharuskan di beli, dan ada beberapa bahan yang dapat diambil langsung dari alam. Tetapi untuk upah pekerja yang membantu tidak ada, bentuk nya adalah saling gotong royong. Tetapi dengan semakin berkembangnya zaman, masuknya intervensi perekonomian modern, sehingga masyarakat sudah memiliki nilai ukur untuk pertukaran barang dan jasa yang mereka keluarkan, yaitu uang. Dan proprorsi-proporsi ini menghilangkan bentuk resiprositas sebagai akibat dari berkembangnya pertukaran uang (Semedi, Sairin, dan Hudayana, 2002).

(44)

membangun sebuah rumah, terutama pada masyarakat perkotaan, maka kita harus membayar upah dari jasa tukang yang membantu kita. Sehingga dalam praktek ini, hubungan yang berupa saling memberi barang/jasa juga tidak berlaku lagi.

4.2. Siap Nambah Sebagai Wujud Dari Berlakunya Kontrak Tak Tertulis Berhadapan dengan klien, yang berbeda-beda karakter, dan kemauan selalu dihadapi pemborong ketika di lapangan. Ada klien yang baik, ada yang cerewet, dan ada yang tidak mau tau sama sekali. Semuanya sudah pernah di rasakan oleh salah seorang informan saya yang bernama lek Bagus. Tidak ada perjanjian yang tertulis dalam pengerjaan rumah pribadi. Proses lisan yang berlaku disini. Melalui mulut ke mulut, senang sama senang, tau sama tau. Maka dari itu, karena tidak adanya perjanjian tertulis disini, sehingga klien sering lari dari perjanjian awal yang telah di tentukan. Untuk meminimalisir hubungan yang tidak baik dengan klien, sebelum mulai mengerjakan bangunan, lek Bagus akan menggambarkan sebuah rumah sesuai dengan permintaan klien. Lek Bagus benar-benar serius dalam penggambaran ini, dan akan memberikan gambar tersebut kepada klien untuk dipikirkan dahulu, dan kemudian diputuskan. Setelah ada keputusan, dan klien berkata ya, maka lek Bagus mengatakan bahwa jika dalam proses pengerjaan klien meminta nambah atau perubahan, maka klien harus siap menambah biaya upah, kesepakatan di awal pun sudah di tentukan. Sehingga kecekcokan atau hubungan tidak baik dengan klien sudah jarang lek Bagus alami.

(45)

permintaan mereka dan ada yang pemilik rumah gambar sendiri. Semua tergantung situasi. Patokan tukang adalah gambar, tetapi bagaimana pun ketika sedang pengerjaan, ada saja perubahan yang diinginkan oleh pemilik rumah. Tukang menganggap bahwa disini pemilik rumah telah melanggar kesepakatan awal. Ini lah lemahnya perjanjian yang tak tertulis tersebut, tidak ada bukti hanya berupa rasa kepercayaan satu sama lain. Walaupun diberlakukan suatu kesepakatan bahwa jika ada penambahan bangunan yang memakan waktu yang lama, maka pemilik rumah haru siap menambah biaya upah. Tetapi ini tidak selalu terjadi, tergantung dari keinisiatifan pemilik rumah. Lagi-lagi ini menunjukkan bahwa perjanjian tersebut tidak kuat.

(46)

sampai nilai pemborong jelek di mata klien. Itu kata mereka. Mereka tetap mengerjakan perombakan yang di minta klien, walaupun dana tambahan tidak diberikan, yang ada keuntungan yang menipis, karena menambah waktu kerja untuk para tukang.

4.3. Klien Bisa Mengajukan Komplen

Pengerjaan sebuah rumah pribadi yang ukurannya tidak terlalu besar, standard nya adalah selama 2.5 bulan hingga 3 bulan. Biasanya pengerjaan akan rampung dalam waktu 2,5 bulan saja. Untuk pengerjaan rumah tersebut, pekerja bisa dikerahkan sebanyak 5-7 orang, sedangkan untuk rumah yang ukurannya besar, maka pemborong akan mengerahkan sekitar 14 orang. Ada pemborong yang memberlakukan aturan tak tertulis bahwa kalau klien mau protes, misalkan cat yang kurang rapi, ada atap yang rusak, dan sebagainya, komplenan tersebut dapat diajukan di masa 4 bulan pengerjaan rumah tersebut. Kalau lewat 4 bulan, dan ada komplain, maka klien wajib membayar lagi, di luar pembayaran sebelumnya. Nah disini bisa juga kita lihat, bahwasannya ada aturan-aturan yang tidak tertulis yang menurut ruang lingkup tersebut perlu untuk diberlakukan sebuah aturan. Tetapi target pengerjaan selama 3 bulan hanyalah target saja. Dimana dalam pengerjaannya bisa meleset sedikit, ini bisa karena keterlambatan bahan, ataupun tenaga kerja yang kurang cekatan.

(47)

klien dapat mengajukan komplennya selama 3-6 bulan ke depan. Karena lek Bagus merasa bahwa hasil kinerja ia dan tukang harus dapat dipertanggungjawabkan, kalau klien komplen ya harus ditanggapi. Tetapi lek Bagus tidak pernah mematokkan jangka waktu tersebut. Kapanpun klien memanggilnya karena protes dengan pengerjaan yang dilakukan oleh pekerja lek Bagus, maka lek Bagus akan bertanggungjawab. Lek Bagus merasa komplenan itu merupakan hal yang biasa, wajar saja klien mengadukan keluhan ke pihak lek Bagus, karena mereka yang paham cara membangun dan cara memperbaikinya kembali. Dan lek Bagus pun melihat itu sebagai tanggungjawabnya dalam bekerja. Disisi lain ada pemborong yang hanya memberlakukan masa komplenan selama 3 bulan saja, di luar itu harus menambah jika ada kerusakan bangunan ataupun perbaikan yang lain. Aturan-aturan ini berbeda-beda di berlakukan oleh pemborong. Tetapi tetap saja, walaupun klien mengajukan komplenan pada pemborong saat rumah sudah selesai, tetap saja pemborong akan mengerahkan anggotanya untuk menangani komplenan tersebut.

(48)

4.4. Hubungan yang Tercipta Antara Klien, Pemborong dan Mitra Pemborong (Panglong)

Panglong adalah sebutan untuk pusat penjualan alat-alat dan bahan-bahan bangunan. Setiap pengerjaan bangunan rumah, pasti belanja di panglong untuk bahan-bahan yang diperlukan. Ternyata, karena bidang pekerjaan tukang bangunan yang selalu berhadapan dengan proses bangun membangun sebuah bangunan, maka bahan-bahan yang dipakai, alat-alat yang dipergunakan, memiliki hubungan dekat dengan panglong-panglong yang menjual peralatan tersebut. Tukang menjual jasa, panglong menjual barang. Setiap pemborong sudah memiliki panglong langganannya, yang sudah bertahun-tahun ia belanja disana. Pemilik rumah berhubungan dengan panglong, saat ia membangun sebuah rumah, sekali atau jarang sekali. Berbeda dengan tukang, yang mungkin setiap harinya berhadapan dengan panglong. Jadi dapat terlihat hubungan mana yang lebih dekat kemana. Hubungan tukang lebih dekat ke panglong, dan hubungan pemilik rumah dengan panglong, sebagai hubungan biasa layaknya pembeli lainnya.

(49)

membangun rumah, baik itu borongan upah atau borongan kunci pun, banyak pemilik rumah yang mengajak pemborong ikut belanja. Selain pemborong lebih paham tentang apa-apa saja yang perlu, dengan adanya pemborong juga harga barang bisa di buat miring. Mungkin itu sudah menjadi hal yang biasa, jika kita sudah menjadi langganan di suatu tempat tertentu, sehingga kita sering di beri diskon. Ini merupakan strategi pasar yang dilakukan penjual untuk mempertahankan hubungannya dengan klien.

(50)

Dari kasus-kasus tersebut, ada aturan-aturan tertentu untuk tetap menjaga hubungan tersebut. Lagi-lagi aturan baru muncul pada masyarakat yang membutuhkan. Kalau salah satu menyalahi aturan, maka hubungan yang sudah berjalan seperti biasanya pun berubah. Tetapi bagaimana pun, dari kasus tersebut semua pihak di untungkan. Pemilik rumah untung, karena dengan membawa pemborong harga bisa nego dan barang pun bisa hutang, kemudian pemborong juga untung, karena setiap klien yang ia bawa ke panglong mendatangkan rezeki tambahan juga buat dia. Dan panglong juga untung, karena dari pemborong lah ia mendapatkan banyak klien. Jadi hubungannya seperti paralel dan saling berhubungan dan saling menguntungkan.

4.5. Penyelesaian Sisa Bahan Bangunan

(51)

Ada juga pemborong yang inisiatif, jika ia ikut dengan klien berbelanja bahan, berdasarkan dari pengalamannya, ia akan membuat kesepakatan dengan panglong bahwa barang bisa dikembalikan lagi jika ada sisa. Karena menurut pemborong, pasti ada sisa barang-barang tersebut, karena penghitungan barang akan selalu di lebihkan (seperti keramik) ketika di lapangan. Jadi, jika ada barang yang sisa, maka bisa di kembalikan lagi ke panglong.

Jika borongan terima kunci, dalam artian pemborong yang mengurus semua urusan baik upah maupun bahan-bahan kerja, maka aturan disini lebih longgar. Pemilik rumah biasanya tidak mau repot-repot dengan bahan yang sisa, ia akan memberikan sisa bahan-bahan tersebut seperti yang sering adalah kayu broti dan paku-paku kepada pemborong. Karena pada saat terima kunci, klien ingin rumahnya bersih, tidak ada lagi sisa-sisa bahan bangunan.

(52)

BAB V

HUBUNGAN TUKANG DAN KLIEN

5.1. Dilema Tukang Dengan Klien

Dari sudut pandang tukang, saya melihat munculnya kedilemaan yang dirasakan tukang ketika berhadapan dengan klien. Dengan adanya perjanjian tak tertulis di awal, ini membuat posisi tukang menjadi lemah dan serba salah. Perjanjian awal mengenai bentukan dan tata letak ruangan rumah sering mengalami perubahan di saat pengerjaan rumah tersebut. Komplenan tentang pengerjaan rumah yang kurang pas menurut pekerja sering terjadi. Lumayan kalau yang di komplen hal-hal kecil yang dapat diselesaikan selama 1 jam atau 1 hari saja, bagaimana jika komplenan tersebut meminta rombakan di bagian yang cukup besar sehingga pengerjaan harus di tambah beberapa hari lagi dari ketetapan waktu yang telah di hitung pemborong? Inilah kedilemaan tukang, terkhususnya pemborong yang menggaji mereka. Ini saya katakan sebagai kedilemaan pada tukang, karena tukang berada pada posisi yang tak nyaman. Klien bisa saja komplen pada tukang langsung atau melalui pemborong, dan pemborong memiliki pandangan bahwa apa yang dikerjakan pekerjanya tidak bagus, sehingga komplenan terjadi. Dan untuk menyiasati hal tersebut, tukang memiliki cara.

(53)

letak posisi yang pas, tata letak sekat-sekat ruangan yang bagus, dan sebagainya. Karena itu dapat membuat pemilik rumah goyah dari kesepakatan awal sehingga nantinya akan meminta perombakan yang bakal menambah kinerja tukang, terkhususnya waktu mereka. Tetapi strategi itu hanya sekedar untuk meminimalisir komplenan pemilik rumah.

(54)

5.2. Keinginan Klien

Hubungan interaksi terjadi antara tukang dan klien saat di lapangan. Tukang bekerja, dan klien mengecek hasil kerja tukang setiap harinya atau tergantung situasi. Dalam interaksi mereka tersebut, hubungan yang formal pun dapat mencair jika setiap hari berjumpa antara tukang dan klien. Klien mngecek apakah pekerjaan tukang sudah pas di hati atau tidak. Dalam sudut pandang klien, rasa ketidak puasan ketika rumah sudah jadi pasti ada. Komplen sana sini wajar saja, namanya kita sudah bayar, kata mereka. Terkadang walaupun sudah di gambar, pas di gambar sudah cocok, tetapi pas pengerjaan kok beda bentuknya. Maka saat itu pemilik rumah kepikiran untuk meminta perombakan. Rombakan yang kecil-kecilan saja, misalkan jarak pintu yang kelebaran, atau posisi tata letak pintu yang tidak pas. Kalau perombakan yang besar jarang terjadi, mereka sadar diri juga kalau perombakannya makan waktu lebih dari sehari ya di tambah lagi upahnya. Dalam sudut pandang klien , mereka sadar bahwa untuk meminta penambahan ataupun perombakan yang memakan waktu yang lama, mereka akan memberikan tambahan upah kepada pemborong.

(55)

5.3. Istilah “Angkat Telor”12 dari Pekerja ke Klien

Dalam bidang pekerjaan apapun, angkat telor pasti ada terjadi. Dalam lapangan pekerjaan bangunan juga saya temukan. Pekerja yang suka mencari perhatian di depan klien meresahkan pekerja yang lain. Pekerja dengan tipe angkat telor ini adalah pekerja yang suka merasa tampil lebih baik di depan pekerja yang lain. Tujuannya adalah agar klien menilai ia sebagai pekerja yang berkredibel, dan punya nama baik di mata klien dan pemborong.

Fakta di lapangan saya temukan bahwa pekerja yang suka angkat telor di depan klien ternyata rentan menimbulkan konflik dengan pekerja yang lain. Dalam lapangan penelitian saya, bahwa pekerja yang suka angkat telor dengan klien ternyata selain untuk mencari perhatian klien, ternyata tujuan lainnya adalah untuk mendapatkan kepercayaan klien sehingga ia bisa mempengaruhi klien untuk memihak kepada salah satu pihak dan tidak suka dengan pihak yang lain. Tingkah ini meresahkan pekerja yang lain. Karena bisa saja, pekerja yang suka angkat telor ini menjadi orang kepercayaan klien di lapangan, dan ia bisa saja menjelek-jelekkan hasil kerja pekerja lain yang tidak ia suka ataupun menjelek-menjelek-jelekkan pemborongnya sendiri. Ini membuat nama baik pekerja lain ataupun pemborong buruk di mata klien, dan bisa berdampak pada penilaian pemborong juga. Sanksi yang diberikan pada pekerja yang suka angkat telor di depan klien adalah didiamkan oleh pekerja yang lain atau langsung dimarahi. Sanksi ini membuat pekerja yang suka angkat telor tersebut merasa tersudutkan (karena tidak ada yang berkawan dengannya) kalau situasi sudah seperti ini biasanya pemborong akan

12

(56)
(57)

BAB VI

PENYELESAIAN SENGKETA

Penyelesaian sengketa terjadi jika sudah terjadi konflik. Konflik muncul ketika satu pihak merasa dirugikan dan mengajukan komplen kepada pihak yang ia rasa merugikan dia. Tetapi pihak tersebut tidak menanggapi komplenan tersebut, sehingga terjadi lah konflik diantara kedua belah pihak tersebut. Ada 3 tahap dalam proses bersengketa menurut Nader dan Tod dalam Ihromi 1993: 209 :

1. Tahap pra konflik atau tahap keluhan

Ini terjadi apabila seseorang atau suatu kelompok dipersepsikan sebagai hal yang tidak adil. Hal yang tidak adil tersebut bisa jadi suatu yang nyata, imajinasi, atau tergantung persepsi dari pihak yang merasa diperlakukan tidak adil tersebut. Pada tahap ini, pihak yang merasa dirugikan tersebut menyadari bahwa hak nya dilanggar ataupun ia diperlakukan secara salah. 2. Tahap Konflik

Tahap ini terjadi karena kontak dengan pihak lawan dhindari atau karena pihak kedua tidak memberi reaksi terhadap tantangan yang diajukan. Pada tahap ini, kedua belah pihak sadar mengenai adanya suatu perselisihan pendapat diantara mereka, karena pihak yang merasa dirugikan tersebut sudah menyampaikan keluhannya kepada pihak kedua.

(58)

Tahapan ini sudah memasuki perselisihan mendapat yang lebih meningkat dan bertujuan untuk mengambil suatu tindakan mengenai tuntutan yang diinginkan.

Tetapi bukan berarti ketiga runtutan tahapan tersebut, berlangsung secara berurutan. Semua posisi bersifat random. Dan dalam kesimpulan T.O Ihromi ada 7 tahapan penyelesaian sengketa, diantaranya :

1. Membiarkan saja (lumping it) 5. Meditasi 2. Mengelak (avoidance) 6. Arbitrase

3. Paksaan 7. Peradilan (adjudication).

4. Perundingan (negotitation)

Berikut ini saya akan menceritakan sebuah kasus yang pernah dialami oleh beberapa informan saya mengenai penanganan konflik yang mereka hadapi.

7.1. Penyelesaian Sengketa Dari Pihak Pemborong Ke Klien

(59)

sudah paham, sehingga pada kesempatan ini ada yang meminta tolong, ia siap mengerjakan. Informan saya menyanggupi dengan catatan bahwa pemilik rumah tidak boleh banyak permintaan, karena dana nya terbatas. Dana yang ada harus dicukup-cukupkan semaksimal mungkin, dan catatan kedua yaitu pemilik rumah harus siap menimbun tanah mereka terlebih dahulu. Karena kebetulan lokasi di didirikannya rumah tersebut tidak rata, dan untuk menimbun tanah tersebut, membutuhkan dana untuk membeli tanah tambahan. Sedangkan uang yang disepakati terbatas.Perjanjian pun dilakukan di depan saksi yang merupakan saudara pemilik rumah dan teman dari informan saya. Walaupun ada saksi, tetapi perjanjian hanya sebatas mulut dan rasa kepercayaan. Tetapi ketika pengerjaan dimulai, ternyata yang menimbun tanah adalah tukang sendiri. Disini dana sudah terpakai. Kemudian pada saat pengecetan pemilik rumah meminta cat yang warnanya dari internet, harus melalui pemesanan terlebih dahulu, yang harganya 3 kali lipat lebih mahal dari harga cat biasa. Informan saya masih menyanggupi, karena alasan pemilik rumah, uangnya kan masih ada, saat itu pemilik rumah juga meminta plafon yang cantik dengan ukiran disana-sini nya. Dana semakin menipis, pengerjaan tinggal melantai saja tetapi dana tidak cukup. Informan saya menyampaikan hal ini kepada pemilik rumah tetapi pemilik rumah tidak percaya duit sudah habis dan akhirnya pun pengerjaan di tinggal begitu saja oleh pemborong.

(60)

mengerjakan, meminta cet dan plafon yang bagus sehingga dana tidak cukup. Dan saksi pun memahami situasi tersebut, wajar saja jika dana nya habis, karena tidak sesuai dengan perjanjian awal. Akhirnya informan saya meninggalkan pekerjaan tersebut begitu saja, walaupun gaji pekerja masih tertinggal 600ribu lagi disana. Saat itu informan saya juga menyampaikan bahwa gajinya belum terbayar semua, dan pemilik rumah masih mau mengantarkan uang tersebut ke rumah informan saya. Selanjutnya pekerjaan dilanjutkan oleh adiknya informan saya yang juga seorang pemborong. Informan saya tidak mau melanjutkan karena sudah sakit hati deluan.

Hubungan pemilik rumah dengan informan saya tetap baik, tetapi informan saya sebisa mungkin mengelak jika ada komunikasi dengan pemilik rumah. Misalkan pemilik rumah menelepon, informan saya tidak mau mengangkatnya ataupun ia menyuruh istrinya mengangkat telfon tersebut. Ia bilang, ia sudah malas melanjutkan hubungan dengan pemilik rumah tersebut.

(61)

tesebut, informan saya yang merupakan pihak yang merasa di rugikan memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya tersebut, seperti ia tidak mau mengangkat telfon dari klien yang mengeceWakannya tersebut. Pada bentuk ini, hubungan-hubungan dapat di hentikan untuk sebagian atau untuk keseluruhan (T.O.Ihromi dalam Bunga Rampai, 1993).

7.2. Penyelesaian Sengketa Dari Pihak Klien Ke Pemborong

(62)

tersebut. Tetangga nya lah yang menyampaikan keluhan dari pemilik rumah, sehingga keesokan harinya pemborong itu datang untuk memperbaiki kerjaannya yang kurang baik. Ketidakpuasan yang dirasakan pemilik rumah kepada hal yang lainnya, ia biarkan saja, ia ambil sebagai pelajaran dan pengalaman.

(63)

menutup kemungkinan untuk memakai jasa tukang itu lagi, asal lebih ikut andil dalam pengerjaan nantinya.

Pada pandangan klien terhadap pekerja bangunan, persoalan-persoalan ataupun keluhan-keluhan yang dirasakan berada pada tahap perundingan (negoitation) ataupun membiarkannya saja (lumping it). Perundingan terjadi ketika pemilik rumah ingin menambah ataupun merombak bangunan yang sedang dikerjakan, sehingga diambil suatu kesepakatan baru apakah biayanya nambah atau tidak. Pemborong dan pemilik rumah akan mendiskusikannya. Kemudian tahap yang kedua adalah membiarkannya saja. Pihak yang merasa diperlakukan tidak adil, gagal dalam upaya menekankan tuntutannya. Ia mengambil keputusan untuk mengambaikan saja masalah yang terjadi diantara mereka dan tukang, kemudian tetap melanjutkan hubungan dengan pihak yang ia rasa merugikannya.

7.3. Penyelesaian Sengketa dari Pemborong ke Pekerja

(64)

berbicara secara halus dan tak langsung ke pekerja tersebut, pekerja tersebut lah yang memahami apa maksud dari perkataan bang Andi dan mengundurkan diri.

(65)

BAB VII

PENUTUP

7.1. Kesimpulan

Aturan-aturan informal yang terwujud dalam hubungan-hubungan hukum di dunia pertukangan diantaranya:

1. Hubungan antara pemborong dan tukang.

Aturan-aturan informal yang tercipta diantara hubungan pemborong dan tukang diantaranya hubungan akan kesadaran Alat Pelindung Diri (APD) dari pekerja yang masih lemah sehingga kecelakaan menjadi hal yang biasa untuk mereka alami, ambil mengambil bahan-bahan bangunan pada borongan upah menjadi hal yang biasa, pemberian bonusan secara rahasia untuk pekerja yang menurut pemborong berkedibel, tampak bekas merupakan bentuk pertanggungjawaban pekerja ke pemborong sehingga secara tak langsung menimbulkan persaingan diantara pekerja, dan jam kerja yang sudah diberlakukan secara tak tertulis juga rentan konflik jika dilanggar.

2. Hubungan antara pemborong dan klien

(66)

antara pemborong, klien, dan mitra pemborong(panglong) yang saling menguntungkan mereka.

3. Hubungan antara tukang dan klien

Adanya aturan-aturan yang telah ditetapkan dan dilanggar oleh klien membuat kedilemaan bagi tukang, dan tukang yang menjadi penjilat kepada klien akan merugikan tukang yang lainnya dan juga pemborong sehingga akan diberikan sanksi.

(67)

7.2. Saran

Aturan-aturan pemerintah tidak bisa sepenuhnya mengatur interaksi dalam masyarakat sebagai pengontrol sosial. Karena menurut Antropologi, dalam interaksi sosial mana pun, ada hukum di dalamnya. Sehingga kajian hukum itu sangat luas sekali. Saran yang dapat saya berikan kepada pemerintah adalah bahwa peraturan yang diberlakukan oleh pemerintah bukanlah satu-satunya peraturan yang mendominasi masyarakat. Pola regulasi yang sering diberlakukan dengan up-bottom sering kali menimbulkan pertentangan dalam masyarakat. Untuk pemerintah, jika ingin membuat regulasi hukum, lihat dulu fakta-fakta hukum yang banyak bersilewaran dalam masyarakat.

(68)

BAB II

TUKANG DI MASYARAKAT SUB URBAN

2.1. Masyarakat Sub Urban di Pematangsiantar

Konsep sub urban atau rurban sering diberi arti atau diterjemahkan dengan “pinggiran kota”. Yang lebih tepat, sub urban adalah merupakan bentuk antara

(in-between): antara rural dan urban. Dilihat sebagai suatu lingkungan daerah, maka daerah sub urban merupakan daerah yang berada di antara atau di tengah-tengah daerah rural dan urban. Jika dilihat sebagai suatu komunitas, maka sub urban merupakan kelompok komunitas yang memiliki sifat tengah-tengah antara rural dan urban (Indrizal, 2011:2).

Sub urban adalah wilayah pinggiran kota yang tidak jauh dari pusat kota dan memiliki beragam cirinya. Munculnya daerah ini adalah karena pemekaran kota, yaitu ditandai dengan bertambahnya jaringan jalan-jalan baru sehingga menyebabkan perluasan lahan. Fenomena ini terjadi disebabkan semakin bertambahnya penduduk, ini bisa disebabkan karena adanya warga pendatang juga yang menyebabkan kota menjadi sesak dan harga tanah pun semakin mahal. Fenomena ini memunculkan niatan masyarakat ataupun industri untuk bermukim di wilayah sub urban ini.

(69)

daerah ini adalah daerah pedesaan yang mengalami transisi menjadi daerah perkotaan.

Yang mencolok dari kehidupan masyarakat sub urban ini adalah nyaris kosongnya perumahan mereka di siang hari, karena sebagian besar orang-orangnya bekerja di kota, tetapi ada juga penduduk yang bekerja di sektor informal maupun pertanian.

Lokasi penelitian saya, berada di daerah sub urban di Pematangsiantar. Wilayah sub urban ini dibuktikan dengan data informasi mengenai pemekaran wilayah Pematangsiantar. 1Pada tanggal 23 Mei 1994, dikeluarkan kesepakatan bersama Penyesuaian Batas Wilayah Administrasi antara Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun. Adapun hasil kesepakatan tersebut adalah wilayah Kota Pematangsiantar menjadi seluas 79,9706 km². Dan pada tahun 2007, diterbitkan 5 Peraturan Daerah tentang pemekaran wilayah administrasi Kota Pematangsiantar yaitu:

Peraturan Daerah No.3 tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Sitalasari

Peraturan Daerah No.6 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kecamatan Siantar Marimbun

Peraturan Daerah No.7 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan Bah Sorma Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kelurahan Tanjung Tongah, Nagapitu dan Tanjung Pinggir

1

Gambar

GAMBAR
Gambar dari internet.

Referensi

Dokumen terkait

Selain persamaan corak penafsiran, ada juga persamaan yang lain yaitu persamaan dalam penggunaan teori dalam menafsirkan ayat tersebut yaitu sama-sama menggunkan teori

[r]

Selain itu dengan aplikasi permainan komputer ini diharapkan dapat mengacu para mahasiswa yang khususnya di jurusan teknologi komputer untuk mencoba membuat aplikasi

Untuk rakyat berpenghasilan rendah (termasuk petani penggarap, nelayan dan buruh kelas bawah). Harga Rp 20 juta sampai 25 juta Pemberian kredit

Ketika suatu organisasi semakin besar, dengan perangkat keras yang semakin banyak dan berbeda-beda dari berbagai jenis vendor, maka adalah merupakan tugas yang sulit

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Peningkatan kemampuan penalaran matematis siswa yang memperoleh pembelajaran menggunakan model

Jagung inbrida dengan tingkat toleransi kekeringan dan pemupukan N medium-toleran dapat digunakan sebagai tetua dalam pembentukan jagung hibrida atau sintetik unggul yang toleran

Tingkat pengetahuan yang dimiliki oleh responden mengenai kanker serviks dan metode deteksi dini menggunakan program IVA dalam kategori baik dengan presentase 92%