• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN SENGKETA

Penyelesaian sengketa terjadi jika sudah terjadi konflik. Konflik muncul ketika satu pihak merasa dirugikan dan mengajukan komplen kepada pihak yang ia rasa merugikan dia. Tetapi pihak tersebut tidak menanggapi komplenan tersebut, sehingga terjadi lah konflik diantara kedua belah pihak tersebut. Ada 3 tahap dalam proses bersengketa menurut Nader dan Tod dalam Ihromi 1993: 209 :

1. Tahap pra konflik atau tahap keluhan

Ini terjadi apabila seseorang atau suatu kelompok dipersepsikan sebagai hal yang tidak adil. Hal yang tidak adil tersebut bisa jadi suatu yang nyata, imajinasi, atau tergantung persepsi dari pihak yang merasa diperlakukan tidak adil tersebut. Pada tahap ini, pihak yang merasa dirugikan tersebut menyadari bahwa hak nya dilanggar ataupun ia diperlakukan secara salah. 2. Tahap Konflik

Tahap ini terjadi karena kontak dengan pihak lawan dhindari atau karena pihak kedua tidak memberi reaksi terhadap tantangan yang diajukan. Pada tahap ini, kedua belah pihak sadar mengenai adanya suatu perselisihan pendapat diantara mereka, karena pihak yang merasa dirugikan tersebut sudah menyampaikan keluhannya kepada pihak kedua.

Tahapan ini sudah memasuki perselisihan mendapat yang lebih meningkat dan bertujuan untuk mengambil suatu tindakan mengenai tuntutan yang diinginkan.

Tetapi bukan berarti ketiga runtutan tahapan tersebut, berlangsung secara berurutan. Semua posisi bersifat random. Dan dalam kesimpulan T.O Ihromi ada 7 tahapan penyelesaian sengketa, diantaranya :

1. Membiarkan saja (lumping it) 5. Meditasi 2. Mengelak (avoidance) 6. Arbitrase

3. Paksaan 7. Peradilan (adjudication).

4. Perundingan (negotitation)

Berikut ini saya akan menceritakan sebuah kasus yang pernah dialami oleh beberapa informan saya mengenai penanganan konflik yang mereka hadapi.

7.1. Penyelesaian Sengketa Dari Pihak Pemborong Ke Klien

Kasus ini adalah kejadian yang pernah dialami oleh seorang informan saya yang bekerja sebagai tukang dan sekaligus pemborong. Kala itu ia pernah mengerjakan sebuah borongan kunci pembuatan rumah dengan dana kekuatan yang dimiliki pemilik rumah adalah 125juta. Pemilik rumah meminta informan ini untuk membangunkan sebuah rumah ukuran 10*11 dengan dana tersebut. Pemilik rumah adalah pekerja perkebunan yang sebentar lagi akan pensiun, sehingga ia sudah mengancang-ancang untuk mempunyai rumah sebelum pensiun. Dengan dana tersebut, informan saya pun menyanggupi. Ia berani mengambil proyek tersebut karena ia sudah berpengalaman dalam hal tersebut, hitung-hitungannya ia

sudah paham, sehingga pada kesempatan ini ada yang meminta tolong, ia siap mengerjakan. Informan saya menyanggupi dengan catatan bahwa pemilik rumah tidak boleh banyak permintaan, karena dana nya terbatas. Dana yang ada harus dicukup-cukupkan semaksimal mungkin, dan catatan kedua yaitu pemilik rumah harus siap menimbun tanah mereka terlebih dahulu. Karena kebetulan lokasi di didirikannya rumah tersebut tidak rata, dan untuk menimbun tanah tersebut, membutuhkan dana untuk membeli tanah tambahan. Sedangkan uang yang disepakati terbatas.Perjanjian pun dilakukan di depan saksi yang merupakan saudara pemilik rumah dan teman dari informan saya. Walaupun ada saksi, tetapi perjanjian hanya sebatas mulut dan rasa kepercayaan. Tetapi ketika pengerjaan dimulai, ternyata yang menimbun tanah adalah tukang sendiri. Disini dana sudah terpakai. Kemudian pada saat pengecetan pemilik rumah meminta cat yang warnanya dari internet, harus melalui pemesanan terlebih dahulu, yang harganya 3 kali lipat lebih mahal dari harga cat biasa. Informan saya masih menyanggupi, karena alasan pemilik rumah, uangnya kan masih ada, saat itu pemilik rumah juga meminta plafon yang cantik dengan ukiran disana-sini nya. Dana semakin menipis, pengerjaan tinggal melantai saja tetapi dana tidak cukup. Informan saya menyampaikan hal ini kepada pemilik rumah tetapi pemilik rumah tidak percaya duit sudah habis dan akhirnya pun pengerjaan di tinggal begitu saja oleh pemborong.

Karena situasi sudah tidak enak, maka di panggil lah saksi di perjanjian awal mereka tadi. Informan saya menyampaikan bahwa pemilik rumah sudah banyak ingkar janji dari perjanjian awal. Tanah timbunan tukang yang

mengerjakan, meminta cet dan plafon yang bagus sehingga dana tidak cukup. Dan saksi pun memahami situasi tersebut, wajar saja jika dana nya habis, karena tidak sesuai dengan perjanjian awal. Akhirnya informan saya meninggalkan pekerjaan tersebut begitu saja, walaupun gaji pekerja masih tertinggal 600ribu lagi disana. Saat itu informan saya juga menyampaikan bahwa gajinya belum terbayar semua, dan pemilik rumah masih mau mengantarkan uang tersebut ke rumah informan saya. Selanjutnya pekerjaan dilanjutkan oleh adiknya informan saya yang juga seorang pemborong. Informan saya tidak mau melanjutkan karena sudah sakit hati deluan.

Hubungan pemilik rumah dengan informan saya tetap baik, tetapi informan saya sebisa mungkin mengelak jika ada komunikasi dengan pemilik rumah. Misalkan pemilik rumah menelepon, informan saya tidak mau mengangkatnya ataupun ia menyuruh istrinya mengangkat telfon tersebut. Ia bilang, ia sudah malas melanjutkan hubungan dengan pemilik rumah tersebut.

Kasus di atas adalah salah satu contoh kasus yang dirasakan tukang ke kliennya. Kasus di atas sudah memasuki tahap konflik, dimana aturan yang sudah ditetapkan di khianati satu pihak, sehingga menimbulkan pertentangan pada pihak yang merasa di rugikan. Dalam tulisannya T.O. Ihromi ada 7 tahap penyelesaian sengketa/konflik, dan pada kasus di atas konflik diselesaikan melalui mediasi. Pihak ketiga yang memahami perjanjian awal tadi dipanggil untuk membantu penyelesaiannya. Tetapi karena sudah merasa kecewa, maka pihak yang merasa di rugikan mengambil langkah tersendiri untuk mengakhiri pekerjaan tersebut. Dan kemudian ia juga memasuki tahap mengelak (avoidance). Setelah kejadian

tesebut, informan saya yang merupakan pihak yang merasa di rugikan memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya tersebut, seperti ia tidak mau mengangkat telfon dari klien yang mengeceWakannya tersebut. Pada bentuk ini, hubungan-hubungan dapat di hentikan untuk sebagian atau untuk keseluruhan (T.O.Ihromi dalam Bunga Rampai, 1993).

7.2. Penyelesaian Sengketa Dari Pihak Klien Ke Pemborong

Dalam sudut pandang klien, rasa ketidak puasan ketika rumah sudah jadi pasti ada. Komplain sana sini wajar saja, namanya kita sudah bayar, kata mereka. Terkadang walaupun sudah di gambar, pas di gambar sudah cocok, tetapi pas pengerjaan kok beda bentuknya. Maka saat itu pemilik rumah kepikiran untuk meminta rombakan. Rombakan yang kecil-kecilan saja, misalkan jarak pintu yang kelebaran, atau posisi tata letak pintu yang tidak pas. Kalau perombakan yang besar jarang terjadi, mereka sadar diri juga kalau perombakannya makan waktu lebih dari sehari ya di tambah lagi upahnya. Rasa ketidakpuasan yang dirasakan klien kebanyakan dibiarin saja. Pada satu kasus, informan saya yang berposisi sebagai klien. 2 bulan yang lalu ia baru menempati rumah barunya. Pada saat memasuki rumah baru, ia merasa kurang nyaman karena di dinding mereka di temui ada bentuk gembungan yang tidak datar seperti yang lain. Maka untuk menyampaikan komplainan tersebut, pemilik rumah tidak menyampaikannya secara langsung kepada pemborong, ia menyampaikan kepada saudara dari pemborong tersebut, yang kebetulan tetangga sebelah rumah dari pemilik rumah

tersebut. Tetangga nya lah yang menyampaikan keluhan dari pemilik rumah, sehingga keesokan harinya pemborong itu datang untuk memperbaiki kerjaannya yang kurang baik. Ketidakpuasan yang dirasakan pemilik rumah kepada hal yang lainnya, ia biarkan saja, ia ambil sebagai pelajaran dan pengalaman.

Kasus kedua ketika seorang klien ingin mengkeramik lantai rumahnya. Tetapi pada saat itu pihak rumah belum memiliki dana nya, seminggu lagi duitnya baru ada. Tetapi karena tidak kesabaran ingin segera merombak lantainya, pemilik rumah meminta tukang untuk mendeluankan duitnya. Tukang pun menyetujui. Pemilik rumah menginginkan kualitas keramik yang bagus, jangan di bawah standart, karena pemilik rumah kurang tau menahu mengenai jenis-jenis keramik sehingga diserahkan ke tukang saja. Tetapi karena semua urusan di pegang oleh tukang tentang bahan-bahan yang diperlukan, jadi pemilik rumah diam saja. Karena pemilik rumah sudah mengenal baik tukang yang bekerja, sehingga percaya aja, tinggal terima bersih istilahnya. Tetapi pada saat pemasangan keramik, pemilik rumah melihat keramiknya kok jelek warnanya, dan dapat dilihat keramiknya kok kurang bagus, jadi minta ganti dengan warna yang lain, tetapi tukang mengatakan bahwa tidak ada warna lain, tinggal warna itu saja. Mau tidak mau diterima saja oleh pemilik rumah, karena pemilik rumah juga merasa bahwa karena masih pakai duit tukang, yaudalah pasrah aja. Sehingga persoalan hanya sampai pada biarkan saja. Tetapi untuk kedepannya pemilik rumah menjadikan ini sebagai pelajaran, bijak dalam mengambil keputusan. Karena orang terdekat pun tidak bisa di percaya sepenuhnya. Tetapi pemilik rumah dan tukang tidak memutuskan hubungan, jika ada pembangunan lainnya tidak

menutup kemungkinan untuk memakai jasa tukang itu lagi, asal lebih ikut andil dalam pengerjaan nantinya.

Pada pandangan klien terhadap pekerja bangunan, persoalan-persoalan ataupun keluhan-keluhan yang dirasakan berada pada tahap perundingan (negoitation) ataupun membiarkannya saja (lumping it). Perundingan terjadi ketika pemilik rumah ingin menambah ataupun merombak bangunan yang sedang dikerjakan, sehingga diambil suatu kesepakatan baru apakah biayanya nambah atau tidak. Pemborong dan pemilik rumah akan mendiskusikannya. Kemudian tahap yang kedua adalah membiarkannya saja. Pihak yang merasa diperlakukan tidak adil, gagal dalam upaya menekankan tuntutannya. Ia mengambil keputusan untuk mengambaikan saja masalah yang terjadi diantara mereka dan tukang, kemudian tetap melanjutkan hubungan dengan pihak yang ia rasa merugikannya.

7.3. Penyelesaian Sengketa dari Pemborong ke Pekerja

Menurut penuturan bang Andi, seorang pemborong dalam kasus pengerjaan pembangunan yang sedang saya teliti, pergantian pekerja, pemindahan pekerja pasti selalu ia alami. Dalam beberapa waktu dekat ini, ia memiliki 4 proyek pembangunan, yang mengaharuskan ia menambah dan mengganti para pekerja nya. Ia selalu melakukan perokeran tenaga kerja ataupun pemutusan hubungan kerja, karena bang Andi memiliki standard tersendiri untuk para pekerjanya. Pekerja yang kurang ahli dalam membangun, sifatnya yang tidak bagus (seperti suka angkat telor dan bertengkar) harus segera di ganti. Biasanya bang Andi akan

berbicara secara halus dan tak langsung ke pekerja tersebut, pekerja tersebut lah yang memahami apa maksud dari perkataan bang Andi dan mengundurkan diri.

Pada proyek pembangunan rumah ini saja, saya sudah berkali-kali melihat pekerja yang datang berganti-ganti. Ada yang dipindahkan ke proyek yang lain, dan ada yang sudah di pecat. Tetapi ternyata, kemarin ada pekerja yang tidak terima di hentikan oleh bang Andi. Saya mengenal orangnya, penampilannya memang tidak seperti pekerja yang lain, ia baru kali ini menjadi pekerja bangunan, tubuhnya penuh tato dan setiap istirahat ia selalu minum tuak. Ia adalah satu-satunya dari warga sekitar yang menjadi pekerja bang Andi. Ia tidak terima di pecat oleh bang Andi, karena bang Andi merasa pekerjaannya tidak bagus dan suka mencari ribut dengan pekerja lainnya, maka di hentikan saja. Tetapi ia tidak terima, dan berniat akan menganggu proses pengerjaan rumah tersebut. Tetapi ada yang menarik, bahwa ternyata walaupun bang Andi berasal dari masyarakat luar, tetapi ia memiliki keamanan untuk melindungi proyek-proyek pembangunan yang sedang ia tanggungjawabi. Sepertti jika ada penyerangan dari mantan pekerja nya ini, bang Andi mempunyai deking. Deking itu adalah temannya bang Andi yang bertugas di Rindam (seorang tentara). Jadi, jika ada masyarakat sekitar yang berniat ingin menganggu, bang Andi tinggal panggil saja temannya tersebut. Jadi perlu nya kemanan untuk mengatur situasi dalam arena pertukangan ini juga yang memunculkan fenomena semi otonom social field. Dengan adanya deking yang berasal dari orang pemerintahan tersebut, ini juga seperti perisai bagi bang Andi untuk menghindari konflik dengan pekerja ataupun warga sekitar yang berniat menganggunya.

Dokumen terkait