• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diakhiri dengan daftar pustaka, dan lampiran-lampiran yang dapat mendukung laporan penelitian ini.

25 BAB II

KAJIAN TEORI

A. Tradisi Merti Dusun

1. Pengertian Tradisi Merti Dusun

Merti Dusun adalah suatu kegiatan yang dilakukan masyarakat dusun dengan bergotong-royong tanpa melihat status, baik itu orang Islam maupun Kristen. Walaupun dalam acara Merti Dusun yang sangat berperan adalah masyarakat Islam, namun masyarakat Kristen pun ikut membantu misalnya dengan ikut serta menyiapkan tempat yang akan dijadikan acara Merti Dusun.

Menurut Koentjaraningrat (1999) dalam skripsi Al-Mahali (2012: 30) menyatakan bahwa:

Merti Dusun, Memetri Dusun, Kadeso, Tu deso, bersih dusun atau kalau jaman sekarang orang menyebut Ulang Tahun Dusun kesemua kosa kata tersebut mempunyai arti yaitu suatu bentuk syukur masyarakat dusun dimana mereka tinggal dengan suatu rangkaian kegiatan diantaranya; melakukan Merti Dusun, selamatan bersama dan pagelaran wayang semalam suntuk (tradisi) kesemua kegiatan memiliki arti yang signifikan dalam menata system kemasyarakatan ala adat Jawa (salah satu penjabaran ajaran dalam kitab Rojo Niti).

Merti Dusun merupakan sebuah tradisi, budaya, selamatan, dan bentuk ritual yang telah ada sejak zaman dahulu dan hingga sekarang masih terlaksana dengan baik. Merti Dusun dilaksanakan oleh seluruh

26

warga desa, baik laki-laki maupun perempuan, tua muda, bersama pamong desa dan sesepuh desa, petinggi dan pemangku adat. Dan bahkan warga tetangga juga ikut meramaikannya. Dengan adanya gotong royong antar warga biaya yang dihabiskan dalam acara Merti Dusun, ditanggung bersama berapapun totalnya. Berasal dari arti sebuah Merti Dusun, maka akan lebih jelas apabila dijelaskan secara terperinci.

a. Tradisi

“Tradisi merupakan khasanah yang terus hidup dalam masyarakat secara turun-temurun yang keberadaannya akan selalu dijaga dari satu generasi ke generasi berikutnya” (Yahya, 2009: 2).

Tradisi merupakan suatu hal yang dilaksanakan dengan meniru dari generasi sebelumnya, dan sebagai generasi berikutnya harus melestarikannya dengan baik.

Berkaitan dengan hal itu, Sujamto (1992: 185) menyatakan

bahwa “tradisi atau adat merupakan aturan yang lazim dilakukan

sejak dahulu kala, kebiasaan, cukai, dan wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu

sistem”. Adat merupakan kebiasaan dan wujud gagasan dari

masyarakat yang di dalamnya terdapat nilai-nilai kebudayaan, sehingga masyarakat akan lebih banyak bermakna dan hidup menjadi lebih sejahtera.

27

b. Kebudayaan

Dalam teori Antropologi, “kebudayaan adalah seluruh sistem

gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan

belajar” (Koentjaraningrat, 2011: 72). Kebudayaan merupakan

suatu tindakan yang dilakukan manusia sejak zaman dahulu hingga sekarang masih dijalankan dan dijadikan sebuah pendidikan dalam kehidupan.

Menurut M.M. Djojodiguno dalam buku Widagdho (1994: 20-21) mengatakan bahwa kebudayaan atau budaya adalah daya dari budi, yang berupa:

1) Cipta, yaitu kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal yang ada dalam pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan batin. Hasil cipta berupa berbagai ilmu pengetahuan.

2) Karsa, yaitu kerinduan manusia untuk menginsyafi tentang hal

“sangkan paran”. Darimana manusia sebelum lahir (sangkan),

dan kemana manusia sesudah mati (paran). Hasilnya berupa norma-norma keagamaan atau kepercayaan. Timbullah bermacam-macam agama, karena kesimpulan manusiapun bermacam-macam pula.

3) Rasa, yaitu kerinduan manusia akan keindhaan, sehingga menimbulkan dorongan untuk menikmati keindahan. Manusia

28

merindukan keindahan dan menolak keburukan atau kejelekan. Buah perkembangan rasa ini terjelma dalam bentuk berbagai norma keindahan yang kemudian menghasilkan macam kesenian.

Kebudayaan menurut Ki Hajar Dewantara yaitu buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat) yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai. Sedangkan menurut Koentjaraningrat kebudayaan adalah gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya (Widyosiswoyo, 1996: 33-34). Jadi, kebudayaan adalah suatu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia dalam menyampaikan bentuk kebahagiaan dan rasa syukur terhadap apa yang telah diberikan oleh Sang Pencipta dengan menanamkan nilai-nilai pendidikan yang berupa budi pekerti luhur sebagai manusia.

“Kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks meliputi

pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat, dan berbagai kemampuan maupun kebiasaan yang diperoleh manusia

sebagai anggota masyarakat” (Khalil, 2008: 130). Dalam

kebudayaan Jawa ada beberapa budaya yang masih dikembangkan oleh masyarakat. Diantaranya tradisi yang berkaitan dengan

29

lingkaran hidup dan upacara yang berkenaan dengan kekeramatan bulan-bulan Islam, misalnya pada bulan Safar atau Saparan. Pada bulan Safar masyarakat menyebut acara tersebut dengan merti dusun atau bersih desa.

c. Ritual

“Ritual dipandang sebagai konsensus simbolik (secara khas mencerminkan proses sosial) menuju pengakuan lebih besar atas improvisasi, atau penggunaan kreatif simbol-simbol dan

fragmentasi makna” (Beatty, 2001: 37). Sebagaimana yang

dijelaskan oleh Sutrisno (2005: 96) menyatakan bahwa “Ritual

merupakan sebuah bentuk dari perayaan-perayaan, festival, dan acara-acara budaya dalam masyarakat”.

Ritual berarti sebuah bentuk atau simbol dari pelaksanaan budaya yang sudah dirancang sedemikian rupa untuk dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak dapat berubah untuk menuju tujuan tertentu. Simbol-simbol dalam ritual dimaksudkan sebagai sarana atau media untuk menitipkan pesan-pesan atau nasihat-nasihat bagi masyarakat.

d. Selametan

“Selametan merupakan bentuk penerapan sosio-religius orang Jawa, praktek perjamuan yang dilaksanakan bersama-sama dengan

30

47). Selametan dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur masyarakat dusun terhadap apa yang ada di alam semesta, disamping itu juga sebagai bentuk permohonan maaf atas kesalahan dan dosa yang telah mereka lakukan beserta para leluhur mereka. Selametan juga bermaksud untuk mendekatkan antar sesama warganya agar semakin mengenal satu sama lainnya, menjaga silaturrahim, dan menumbuhkan kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (2004: 348) menyatakan bahwa upacara selamatan dapat digolong-golongkan ke dalam empat macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian kehidupan manusia sehari-hari, yaitu:

a) Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, misalnya hamil tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali, upacara menusuk telinga, sunat, kematian, serta saat-saat setelah kematian.

b) Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi.

c) Selamatan berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam.

d) Selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu, berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti perjalanan jauh, menempati rumah

31

kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (khaul), dan lain-lain.

2. Tujuan Tradisi Merti Dusun

Merti Dusun dilaksanakan dalam mewujudkan rasa syukur atau penghormatan terhadap alam semesta dengan diadakannya selametan dan pagelaran wayang. Tradisi Merti Dusun merupakan tradisi Islam Jawa, sehingga masyarakat memanfaatkan acara tersebut sebagai penanaman nilai-nilai pendidikan Islam terhadap generasi penerus bangsa. Jika nilai-nilai pendidikan Islam itu tertanam dengan baik, maka masyarakat akan lebih dekat dengan Allah SWT., serta memiliki sifat dan sikap yang baik terhadap lingkungan sekitar, misalnya manusia. Masyarakat akan menjadi satu kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat dengan hidup saling rukun, toleransi, menghargai, dan menghormati kepada siapa saja walaupun berbeda agama.

Merti Dusun memiliki maksud untuk menumbuhkan kerukunan antar umat manusia baik sesama agama maupun berbeda agama, baik yang kaya maupun miskin, dan yang memiliki kasta maupun orang biasa. Sebagai pembelajaran bagi generasi muda agar tidak lupa akan sejarah budaya Jawa, khususnya budaya yang ada di desa. Tradisi Merti Dusun berfungsi sebagai proses mendekatkan diri kepada Allah dan menuju jalan-Nya. Tradisi Merti Dusun juga bertujuan sebagai sarana silaturrahim antar warga, saudara, dan teman. Agar antar warga, saudara, dan teman terjalin persatuan dan kesatuan yang kokoh dan

32

dapat menjalankan suatu tradisi sebagai pelestarian budaya Jawa. Acara Merti Dusun bertujuan agar dusunnya menjadi tenteram, bersih, terib, teratur, indah, dan nyaman sehingga tetap terjaga ketahanan dan kekokohan dusunnya. Tradisi Merti Dusun juga bertujuan agar lingkungan masyarakatnya mendapat keselamatan dan kebahagiaan di dunia maupun akhirat.

Dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13 dijelaskan bahwa manusia diciptakan berbagai bangsa untuk saling kenal, yang berbunyi:

ُكاَنْقَلَخ َّنَِّإ ُساَّنلا اَهُّ يَأ َيَ

َّنِإ اوُفَراَعَ تِل َلِئاَبَ قَو ابِوُعُش ْمُكاَنْلَعَجَو ىَثْ نُأَو ٍرَكَذ ْنِم ْم

ٌيِبَخ ٌميِلَع ََّللَّا َّنِإ ْمُكاَقْ تَأ َِّللَّا َدْنِع ْمُكَمَرْكَأ

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Terjemah surat Al-Hujurat ayat 13)

3. Materi Tradisi Merti Dusun

Materi yang terdapat dalam tradisi Merti Dusun berupa nilai-nilai pendidikan Islam. Nilai-nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi Merti Dusun sangatlah bermanfaat bagi masyarakat. Karena dalam tradisi Merti Dusun merupakan wujud syukur kepada Tuhan yang telah melimpahkan rejeki. Kemudian Merti Dusun diungkapkan sebagai rasa

33

persaudaraan terhadap sesama warga yang dimaksudkan untuk saling gotong-royong, toleransi, guyup rukun antar masyarakat dusun Kedakan.

4. Pendidik dalam Tradisi Merti Dusun

Sebagai pendidik yang ada dalam tradisi Merti Dusun ini berasal dari tokoh masyarakat dan tokoh agama. Sebagai tokoh pemuka dalam masyarakat akan menjadi panutan bagi warganya. Maka dari itu, sebagai seorang pemuka berperan penting dalam menanamkan sikap-sikap positif agar kehidupan dalam masyarakat menjadi damai, tenteram, dan nyaman.

5. Peserta Didik dalam Tradisi Merti Dusun

Seluruh warga dusun Kedakan merupakan peserta didik yang akan mentaati dan menghormati semua perintah pendidiknya. Sebagai warga dusun hanya akan mengikuti hal-hal yang positif, menurut mereka baik bagi diri mereka sendiri dan bagi warga lainnya. Sebagai warga dusun yang taat, akan mengikuti dan menghormati pemimpinnya sebagaimana mengikuti dan menghormati orang tuanya sendiri.

6. Metode dalam Tradisi Merti Dusun

Menanamkan sikap toleransi, menghormati, dan kerukunan merupakan bentuk metode dalam tradisi Merti Dusun. Dengan sikap toleransi, masyarakat akan memiliki kehidupan yang damai tanpa

34

membeda-bedakan antara agama yang satu dengan lainnya. Menghormati, baik kepada pemimpin maupun kepada rang yang sederajat, pada bawahan, bahkan menghormati pada orang yang memiliki keyakinan berbeda akan menumbuhkan sifat saling mengasihi antar sesama warga. Kerukunan akan menjadikan warganya hidup secara damai tanpa adanya suatu perselisihan dan permusuhan.

7. Lembaga dalam Tradisi Merti Dusun

Lembaga yang digunakan dalam acara Merti Dusun adalah masyarakat. Di dalam masyarakat, seluruh warga akan terbentuk sebuah kebiasan-kebiasaan, pengetahuan sikap, dan keagamaan yang dimiliki akan terbentuk sesuai dengan keyakinan masing-masing tanpa adanya suatu paksaan dari luar.

8. Proses dalam Tradisi Merti Dusun

Menurut Bratasiswara dalam skripsi Al-Mahali (2012: 32) menyatakan bahwa dalam kegiatan merti dusun adalah sebagai berikut:

a. Penataan hunian keluarga, kebersihan lingkungan rumah, pekarangan, kebun, halaman, selokan, penerangan, dan sebagainya. b. Kerja bakti atau gotong royong membenahi tempat umum, jalan, makam, sumber air, sungai, telaga, tempat ibadah, balai desa, petilasan, dan sebagainya.

c. Kenduri atau selamatan yang disebut juga sedekahan dalam berbagai bentuk: arak-arakan gunungan, barisan ancak, ambengan,

35

dan berbagai sebutan lain yang berisikan makanan sebagai wujud rasa syukur.

d. Pentas seni atau hiburan sebagai kegiatan akhir atau hiburan bagi warga, seperti wayangan, reyog, jatilan, tayub atau hiburan lain yang lazim diselenggarakan dalam acara merti desa.

Acara Merti Dusun biasanya dimulai dengan bersih-bersih lingkungan yang dilaksanakan oleh semua warga, dilanjutkan kerja bakti atau gotong royong untuk membenahi tempat-tempat umum yang ada di dusun, kemudian selametan diiringi dengan tahlilan, kemudian makan bersama, yang terakhir adalah pentas atau pagelaran, seperti wayangan.

Acara yang menjadi puncak kegiatan adalah wayangan. Menurut Woodward (2004: 329) menyatakan bahwa:

Tradisi wayang adalah salah satu komponen kebudayaan Jawa yang paling kompleks dan canggih. Kebanyakan muslim kejawen menganggap wayang bisa mewujudkan hakikat kebenaran filosofis dan etika. Selain itu, wayang bisa lebih jernih mendefinisikan, dibandingkan hal apapun, apa artinya menjadi orang Jawa.

Tradisi wayangan dilaksanakan sebagai bentuk kesenian yang harus dilestarikan oleh generasi muda, agar kesenian-kesenian yang ada di Indonesia tidak hilang begitu saja. Wayangan memberikan makna yang bersifat positif bagi masyarakat, karena nilai yang

36

terkandung dalam pagelaran wayang memiliki nilai-nilai pendidikan yang berupa perilaku dan sikap baik yang dimiliki para tokoh wayang.

9. Media dalam Tradisi Merti Dusun

Media dalam tradisi Merti Dusun yaitu seluruh masyarakat, materi yang berupa nilai-nilai pendidikan Islam, dan kejadian dalam acara Merti Dusun, misalnya tahlilan bersama, wayangan, serta gotong-royong. Media yang digunakan bertujuan agar dapat mencapai suatu tujuan tertentu yaitu menjadi warga yang hidup dalam kerukunan, tanpa adanya suatu konflik antar sesama warga.

10.Lingkungan dalam Tradisi Merti Dusun

Lingkungan masyarakat merupakan sebuah ruang yang dapat mempengaruhi seluruh warga baik itu hal baik maupun buruk. Apabila dalam masyarakat ditanamkan sikap positif, maka seluruh warga akan memiliki sifat dan sikap yang positif pula. Dalam masyarakat akan memberikan penyesuaian terhadap sekitar, memperkenalkan kehidupan bermasyarakat, memberi kebebasan dalam memilih sebuah prinsip, menanamkan hubungan yang baik antar sesama manusia.

B. Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan Islam

Mengenai hal pendidikan Islam, Achmadi (2010: 26-27) menyatakan bahwa di dalam Al Qur’an dan Hadits yang menjadi

37

pengertiannya terkait dengan pendidikan, yaitu rabba, ‘allama, dan

addaba. Rabba yang masdarnya tarbiyyatan memiliki arti mengasuh,

mendidik, dan memelihara. Kemudian ‘allama yang masdarnya ta’liman berarti mengajar yang lebih bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan, dan keterampilan. Sedangkan addaba yang masdarnya ta’diban dapat diartikan mendidik yang secara sempit mendidik budi pekerti dan secara lebih luas meningkatkan peradaban.

Pendidikan Islam pada dasarnya adalah proses pembentukan pribadi manusia sesuai dengan ajaran Islam, yang terwujud dalam amal perbuatan dan tingkah laku. Sebagaimana yang diungkapkan oleh

Muhammad SA. Ibrahimi bahwa “pendidikan Islam adalah suatu

sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam, sehingga dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam” (Mujib,

2006: 25).

Pendidikan Islam berfungsi sebagai cara untuk memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumber daya manusia menuju terbentuknya makhluk Tuhan yang berkualitas sesuai dengan pandangan Islam, agar tercapainya keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia maupun akhirat.

38 2. Sejarah Pendidikan Islam

Beberapa kisah Nabi di dalam Al Qur’an yang berkaitan dengan

pendidikan, Mujib (2006: 34) menceritakan tentang kisah Nabi Nuh as. yang berisi bahwa:

Nabi Nuh as. mampu mendidik dan mengentaskan masyarakat dari banjir kemaksiatan melalui perahu keimanan, tidak membela dengan membabi buta kepada keluarga yang salah, dan menjadi pemula dalam mengembangkan teknologi perkapalan.

Dalam Al Qur’an dijelaskan tentang kisah tersebut dalam surat

Al Ankabut ayat 14 yang berbunyi:

ااماَع َينِسَْخَ لاِإ ٍةَنَس َفْلَأ ْمِهيِف َثِبَلَ ف ِهِمْوَ ق َلَِإ ااحوُن اَنْلَسْرَأ ْدَقَلَو

َنوُمِلاَظ ْمُهَو ُناَفوُّطلا ُمُهَذَخَأَف

Artinya:“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada

kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang dlalim”. (Terjemah surat Al Ankabut ayat 14)

Pendidikan Islam yang terkandung dalam kisah Nabi Nuh as. berarti mengajarkan kepada manusia untuk berbuat adil, dan memberi contoh kepada orang lain untuk mengembangkan teknologi perkapalan, serta menunjukkan bahwa orang yang memiliki keimanan terhadap Allah SWT. akan diberi keselamatan baik di dunia maupun akhirat.

39

“Tujuan merupakan standar usaha yang dapat ditentukan, serta

mengarahkan usaha yang akan dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain” (Mujib, 2006: 71). Tujuan merupakan titik akhir dari proses pencapaian yang dilalui dalam suatu hal tertentu.

Tujuan pendidikan Islam ditujukan hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT.. Dalam hal ini Zakiyah Daradjat mengemukakan

bahwa “tujuan pendidikan Islam yaitu kepribadian seseorang yang

membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa, insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal karena takwanya kepada Allah SWT.”

(Uhbiyati, 1997: 41). Ada beberapa pembagian dan tahapan dalam tujuan pendidikan, yaitu tujuan tertinggi atau terakhir, tujuan umum, tujuan khusus. Menurut Achmadi (2010: 97-106) menyatakan bahwa:

a. Tujuan tertinggi atau terakhir

Tujuan tertinggi atau terakhir merupakan tujuan mutlak yang tidak mengalami perubahan pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah agar menjadi hamba Allah yang bertakwa, menjadi khalifatullah fil ardl (wakil Tuhan di bumi) yang mampu memakmurkannya, memperoleh kesejahteraan hidup dan kebahagiaan di dunia maupun akhirat.

40

b. Tujuan umum

Tujuan umum lebih bersifat empirik dan realistik yang berfungsi sebagai arah dalam taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku, dan kepribadian subjek didik, sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh. Tujuan umum yang berasal dari pendekatan

empiris dalam perspektif qur’ani yaitu mengenalkan manusia akan

peranannya diantara makhluk dan tanggungjawab pribadinya dalam hidup, mengenalkan manusia akan hubungannya dengan lingkungan sosialnya dan tanggungjawabnya dalam tata hidup bermasyarakat, mengenalkan manusia dengan alam ini dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptanya serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaatnya, serta mengenalkan manusia dengan pencipta alam (Allah) dan memerintahkan beribadah kepada-Nya.

c. Tujuan khusus

Tujuan khusus merupakan pengkhususan dari tujuan atau terakhir dan tujuan umum. Pengkhususan tersebut dapat didasarkan pada kultur dan cita-cita suatu bangsa dimana pendidikan itu diselenggarakan, minat, bakat, dan kesanggupan, tuntunan situasi, serta kondisi pada kurun waktu lama.

Menurut Uhbiyati (1997: 53-54) menyatakan bahwa tujuan khusus diantaranya adalah:

41

Memperkenalkan akidah-akidah Islam, dasar-dasarnya, asal-usul ibadat, dan cara-cara melaksanakannya; menumbuhkan kesadaran yang betul pada pribadi seseorang terhadap agama; menanamkan keimanan kepada Allah SWT., malaikat-malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab, dan hari akhir;

menanamkan rasa cinta dan penghargaan kepada Al Qur’an,

membersihkan hati mereka dari rasa dengki, hasad, iri hati, benci, kekasaran, kedzaliman, egoisme, tipuan, khianat, nifak, ragu, perpecahan, dan perselisihan.

C. Kerukunan Umat Beragama

1. Pengertian Kerukunan Umat Beragama

Dalam memahami pengertian tentang kerukunan umat beragama, Hadziq (2009: 380-381) menyatakan bahwa kerukunan

berarti “tiang, dasar atau sila”. Sedangkan menurut istilah kerukunan

berarti suatu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur yang berlainan, dan setiap unsur tersebut saling menguatkan. Rukun atau damai memiliki penafsiran menurut tujuan, kepentingan dan kebutuhan masing-masing, sehigga dapat disebut kerukunan sementara, kerukunan politik, dan kerukunan hakiki. Kerukunan sementara yaitu kerukunan yang dituntut oleh situasi, seperti menghadapai musuh bersama. Kerukukunan politik yaitu sebagai taktik atau alat untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan kerukunan hakiki yaitu kerukunan hidup umat beragama yang secara konvensional biasanya dipakai untuk kerukunan antar umat beragama, yaitu sebagai cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama dalam proses kemasyarakatan.

42

Kerukunan merupakan segala bentuk usaha untuk mempertemukan hal yang barlainan menuju suatu tujuan tertentu di dalam masyarakat agar terjadi keselarasan antar sesama umat manusia.

Kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri atas puluhan etnis, budaya, suku, dan agama, membutuhkan konsep yang memungkinkan terciptanya masyarakat yang damai dan rukun. Pemerintah Indonesia menggulirkan konsep yang berupa tri kerukunan umat beragama dalam menciptakan kehidupan masyarakat atau antar umat beragama yang rukun. Tri kerukunan ini meliputi; (a) kerukunan intern umat beragama yang disebut juga ukhuwah Islamiyah dalam Islam (salah satu sarana mengurangi ketegangan intern umat Islam agar tidak mengarah pada konflik), (b) kerukunan antar umat beragama (kehidupan beragama yang rukun, tenteram, dan damai antar anggota masyarakat yang berbeda agama atau keyakinan), (c) kerukunan antara umat beragama dan pemerintah (sebuah sarana untuk menciptakan stabilitas, persatuan dan kesatuan bangsa). Tri kerukunan umat beragama bertujuan agar masyarakat Indonesia bisa hidup dalam kebersamaan, sekali pun banyak perbedaan (Ilyas, 2012: 241).

Kerukunan ada apabila ada suatu keharmonisan, yang merupakan sebuah kondisi ideal dalam tatanan masyarakat (Jawa) dimana setiap individu dituntut untuk menjaga kerukunan (rukun) dengan sebisa mungkin menghindari adanya konflik terbuka di antara mereka (Ilyas, 2012: 227). Keharmonisan dalam kehidupan masyarakat

43

sangatlah penting dan berharga dengan menjaga kerukunan agar tidak terjadi konflik antar sesama warga.

Dalam keharmonisan sosial pada masyarakat Jawa ditopang oleh dua prinsip utama, yaitu prinsip hormat dan prinsip rukun. Prinsip hormat, merupakan kesadaran dari tiap individu manusia Jawa mengenai kedudukannya dalam masyarakat yang hierarkis dimana seseoarang harus bisa menghormati orang lain yang lebih tua atau lebih tinggi derajatnya dengan menerapkan unggah-ungguh dan

kawruh basa pada dasarnya adalah sebuah cara untuk menjaga

Dokumen terkait