• Tidak ada hasil yang ditemukan

16

pembahasan yang telah dikemukakan dalam skripsi dan saran dari peneliti.

17 BAB II

LANDASAN TEORI A. Karya KH Masruhan Al-Maghfuri

1. Biografi KH. Masruhan Al-Maghfuri

KH. Masruhan memiliki nama lengkap KH. Masruhan Ichsan dengan gelar Hafidz, karena beliau adalah seorang penghafal

Al-Qur‟an. Beliau lebih dikenal dengan nama KH. Masruhan Al -Maghfuri. KH. Masruhan lahir di desa Bandungrejo, kecamatan Mranggen, kabupaten Demak pada tahun 1925 M. dari pasangan Ichsan dan Pariah. Beliau bukan berasal dari keturunan darah biru atau kalangan bangsawan, kedua orang tua beliau adalah dari kalangan masyarakat biasa.

Terlahir dari keluarga biasa membuat perjalanan hidup beliau diwarnai dengan perjuangan yang cukup keras untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita dan harapan beliau. KH. Masruhan menuntut

ilmu dan menghafal Al-Qur‟an di Pondok Pesantren Tremas yang

didirikan oleh KH. Dimyati Abdullah. Setelah mendapatkan banyak

ilmu dan selesai menghafalkan Al-Qur‟an, beliau pulang ke

Mranggen, disana beliau mendirikan sebuah pondok pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren Putra Putri Al-Maghfuri, pondok tersebut merupakan pondok pertama yang telah berdiri di daerah tersebut. Selain sebagai pendiri pondok, KH. Masruhan merupakan

18

pengasuh pondok yang telah beliau dirikan. Pondok pesantren ini selain memberikan pendidikan informal, juga memandang pentingnya pendidikan formal bagi putra-putri dan para santri. Hal tersebut ditunjukkan dengan didirikannya SMP Al-Maghfuri yang didirikan atas prakarsa KH. Masruhan pula.

Pada tahun 1949, beliau menikah dengan Nyai Hj. Masunah Masruhan binti KH. Muchdlor dan dikaruniai delapan putra, yaitu: KH. Agus Sholeh, M. Ag., Hj. Azizah Tahiyah, H. Abdullah Adib, Lc., M.Pdi., Hj. Faridah Nasiyah, Muhlisin, Abdul Hayyi, S.Pd., Malichatul Basyiroh, S.Pd., dan Istijabatul Aisyah, S.T., M.T.

Dalam mendidik putra-putri dan santri-santri, beliau dikenal dengan sosok yang tegas dan protektif. Terutama dalam hal yang kurang bermanfaat bagi pendidikan, seperti menonton televise atau menggunakan teknologi lainnya yang dianggap lebih banyak sisi negatifnya. Selain mengasuh pesantren, beliau juga aktif dalam organisasi masyarakat, terutama dalam organisasi Nahdatul Ulama (NU) dan pada tahun 1970 beliau menjabat sebagai ketua NU se Jawa Tengah.

Di tengah keseriusan mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Pesantren Al-Maghfuri dan organisasi NU, beliau juga

menyusun kitab yang masih dipakai sampai saat ini yaitu kitab

19

memandang akan pentingnya pendidikan akhlak bagi generasi

muslimah dan permasalahan bagi perempuan seperti udhur, haid,

nifas, wiladah, dan lain-lain. Selain itu beliau juga memiliki jiwa seni yang tinggi, terutama dalam bidang seni rupa khususnya seni kaligrafi. Sebagai contoh semua peralatan untuk menguburkan orang mati beliau lukis dengan kaligrafi-kaligrafi yang indah. Mulai dari payung sampai kain penutup keranda, beliau lukis dengan kalam-kalam Illahi. Pada tanggal 24 Juni 1982 M/2 Ramadhan 1402 H, KH. Masruhan Ichsan berpulang ke sisi-Nya, karena penyakit rematik dan hipertensi (darah tinggi) yang sudah diderita selama lima tahun (Mahmudah, 2011: 34).

2. Pengertian Kitab Al-Mar‟ah Ash-Shalihah

Kitab Al-Mar‟ah Ash-Shalihah merupakan salah satu kitab

yang menjelaskan tentang akhlak perempuan yang sahalihah. Kitab ini memberikan pemahaman tentang bagaimana mendidik akhlak perempuan yang sesuai dengan hukum agama Islam agar generasi muda terutama perempuan tidak terjerumus ke jalan yang salah (tidak sesuai dengan syariat Islam). Kitab ini diharapkan bisa dijadikan sebagai salah satu pedoman bagi perempuan agar mereka mampu melaksanakan kewajiban setiap perempuan baik di dalam rumah tangga, masyarakat, maupun Negaranya. Selain memberikan pengertian tentang akhlak karimah yang harus dimiliki oleh seorang

20

perempuan, kitab ini juga menjelaskan tentang larangan-larangan/ hal-hal yang harus di jauhi oleh perempuan shalihah.

3. Sistematika Penulisan Kitab Al-Mar‟ah Ash-Sholihah

Kitab Al-Mar‟ah Ash-Sholihah karya KH. Masruhan memiliki

sistematika penulisan sebagai berikut: pertama-tama adalah halaman judul, yang diikuti nama pengarangnya, halaman berikutnya KH. Masruhan menuliskan hadis tentang wanita shalihah, dilanjutkan dengan gambar yang menjelaskan tentang berbagai gambaran akhlak yang dimiliki oleh setiap orang terutama perempuan.

Halaman berikutnya yaitu pembukaan kitab atau yang sering disebut pengantar dari penyusun. Dengan menggunakan gaya bahasa yang halus dan sopan, penulisannya didahului dengan bacaan basmalah dan hamdalah kemudian diikuti dengan penjelasan tentang pentingnya pendidikan akhlak kepada anak perempuan, supaya dapat mengetahui apapun yang menjadi hak dan kewajiban sehingga tidak akan terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak baik, hal

tersebut yang mendorong KH. Masruhan untuk menyusun kitab

Al-Mar‟ah Ash-Sholihah. Pembahasan berikutnya tentang materi yang berhubungan dengan akhlak perempuan shalihah yang di akhiri dengan daftar isi.

21

KH. Masruan menyusun kitab Al-Mar‟ah Ash-Sholihah

dengan membagi menjadi 16 bab sesuai dengan pembahasan masalah yang ada, sehingga memudahkan bagi pembacanya untuk memahami isi kitab tersebut.

Secara ringkas, sistematika penulisan kitab Al-Mar‟ah Ash

-Sholihah dapat dibagi menjadi tiga bagian diantaranya, yaitu:

a. Halaman judul.

b. Pembukaan dan kata pengantar kitab.

c. Isi atau kandungan kitab yang diakhiri dengan daftar isi.

4. Isi kitab Al-Mar‟ah Ash-Sholihah

Kitab Al-Mar‟ah Ash-Sholihah terdiri dari 16 bab atau pokok

bahasan yang membahas tentang ilmu akhlak, bagaimana akhlak perempuan yang baik dan sesuai dengan ajaran agama Islam.

Adapun yang dibahas dalam kitab Al-Mar‟ah Ash-Sholihah adalah

sebagai berikut:

a. Akhlak terhadap suami

Dalam Islam seorang istri mempunyai kewajiban yang harus di penuhi terhadap suaminya, yaitu:

1) Dalam menghadapi suatu permasalah hendaknya dibicarakan

22

2) Ketika istri akan berpergian (keluar rumah), hendaknya

meminta ijin terlebih dahulu kepada suami.

3) Ketika suami berpergian, istri harus menjaga baik harta

maupun jiwanya dari hal-hal yang beresiko.

4) Jika ada tamu laki-laki dan bukan muhrimnya, istri tidak

boleh menemui, kecuali ada wakil (muhrim) untuk menemui tamu tersebut.

5) Ketika berbicara hendaknya menggunakan bahasa yang

sopan dan lemah lembut, sehingga dapat menarik hati sang suami.

6) Ketika bersama dengan suami jangan memberikan wajah

yang cemberut, akan tetapi dengan wajah yang berseri dan penuh senyum.

7) Ketika dipanggil oleh suami hendaknya segera memberikan

jawaban yang lembut.

8) Ketika suami memberikan sesuatu (hadiah), hendaknya

menerima dengan menggunakan kedua tangan dan dengan ekspresi yang menarik (manja).

9) Ketika suami membelikan barang apa saja, jangan sampai

mencela pemberiannya terlebih dengan wajah yang tidak suka dan tidak menghargai pemberiannya.

23

10)Semua rahasia antara suami istri atau dengan orang lain

harus di simpan dengan rapat.

11)Ketika suami hendak berpergian atau pulang dari berpergian,

dibiasakan istri bersalaman sambil mencium tangannya, mengantar suami sampai ke depan pintu, selain itu ketika

suami pulang dari sholat jum‟at hendaknya istri bersalaman.

12)Jika suami ketiduran dan lupa belum mengerjakan sholat,

istri hendaknya membangunkan dengan tutur kata yang halus. Begitu juga ketika suami lupa dengan janji-janjinya atau lupa dalam hal apa saja.

13)Ketika makan diusahakan untuk bersama, agar ketika salah

satu lupa belum membaca do‟a

َِمْيِحَرلاَ ِنَمْحَرلاَِللهاَ ِمْسِب

bisa saling mengingatkan. Ketika mengingatkannya ditengah-tengah menyantap makanan hendaknya ditambahi dengan

َُهَرِخَاَوَُوَلَوَاَِمْيِحَرلاَِنَمْحَرلاَِللهاَِمْسِب

.

14)Ketika suami menyisakan makanannya, alangkah lebih baik

jika istri yang menghabiskannya.

15)Apabila ketika makan ada makanan yang berceceran, lebih

baik di ambil kemudian dimakan siapa tau makanan tersebut yang membawa berkah.

24

16)Pakaian seorang suami sesungguhnya bukanlah kewajiban

seorang istri untuk mencucinya. Tetapi apabila tidak ada atau suami tidak punya waktu untuk mencuci sendiri karena kesibukannya maka lebih baik istrilah yang mencucikan pakaian suaminya.

17)Jangan sampai seorang istri itu membantah pada suami, bila

ada ketidak sanggupan tidak berkenan ataupun kesalahan pada perintah suami ingatkanlah dengan baik-baik musyawarah yang baik dan dengan di sertai tutur kata yang halus dan lembut.

18)Bila suaminya kedatangan tamu dan si suami ada di rumah,

maka istri cepat-cepatlah keluarkan apa-apa yang ada di rumah (jamuan/hidangan) untuk segera di suguhkan.

19)Supaya bersih, rapi dan rajin mengatur dapur, kamar, badan

juga pakaian (istri).

20)Tidak usah untuk meminta dibelikan pakaian pada suami,

tetapi lebih utama untuk menunggu di belikan oleh suami.

21)Pangkat, dunia atau kelebihan dari suaminya jangan di

25

22)Jangan membanding-bandingkan suaminya dengan suami

tetangga ataupun dengan orang lain (mengunggulkan orang lain, melebihkan orang lain di depan suami).

23)Jangan sampai seorang istri memerintah suami, menyuruh

pada suami yang suami tidak berkenan untuk melakukannya atau menyuruh yang tidak pantas untuk dikerjakan oleh laki-laki.

24)Seorang istri tidak baik apabila bersikap terlalu royal (boros)

juga tidak baik terlalu pelit (sedang-sedang saja).

25)Jangan sampai menyembunyikan makanan, atau apapun

yang itu adalah hak seorang suami.

26)Apabila dalam berumah tangga, suami istri sedang cekcok

(bertengkar) jangan sampai pertengkaran mereka di dengar oleh anak-anaknya.

27)Seorang istri jangan terbiasa hutang, kecuali bila dalam

keadaan dhorurot (terpaksa sekali) itupun atas seizin suaminya.

28)Lebih utama seorang istri dalam melaksanakan sholat fardhu

berjama‟ah (menjadi makmum suami) sebab sholat berjama‟ah itu menyimpan begitu banyak berkah dan pahala.

26

29)Seorang istri tidak boleh melakuka sodaqoh sunnah kecuali

atas izin dari suaminya, namun bila zakat wajib itu harus memaks, apalagi bila suaminya lupa tidak menunaikannya istri wajib untuk mengingatkannya.

30)Bila sedang bermusyawarah, ketika suami sedang berbicara

meskipun bicaranya tidak lancar (karena belum terbiasa) seorang istri tidak boleh memotong pembicaraan suaminya.

31)Saat bersikap dengan keluarga, bapak dan ibu dari suami

dalam bersikap harus disamakan dengan ketika dia bersikap pada keluarganya (bapak ibunya sendiri).

32)Seorang istri tidak boleh melaksanakan puasa sunnah kecuali

atas izin dari suaminya, kecuali bila puasa wajib itu boleh memaksa meskipun suami tidak mengizinkan.

33)Tidak boleh berdandan kecuali hanya untuk menyenangkan

(membahagiakan suaminya, khususnya ketika sedang makan bersama).

34)Seorang istri supaya bisa untuk membedakan masakan apa

yang pas untuk di makan ketika sedang musim dingin atau musim panas, dan masakan yang menjadi kesukaan suami.

35)Jangan menolak ketika suami memanggil apalagi ketika

27 B. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, sosok Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan bangsa Indonesia ini banyak mengajarkan berbagai hal yang sangat terkenal di bidang pendidikan. Konsep pendidikan nasional yang dikemukakan sangat membumi dan

berakar pada budaya nusantara, antara lain tutwuri handayani,

“tripusat” pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat), tringgo (ngerti, ngroso, nglakoni).

Konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara dengan

menerapkan “sistem among”, “tutwuri handayani” dan “tringa”.

Sistem among yaitu cara pendidikan yang dipakai dalam

Tamansiswa, mengemong (anak) berarti memberi kebebasan anak

bergerak menurut kemauannya, tetapi pamong/guru akan bertindak, kalau perlu dengan paksaan apabila keinginan anak membahayakan keselamatannya. Tutwuri handayani berarti pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak yang dipimpinnya, tetapi handayani mempengaruhi dengan daya kekuatan, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan apabila kebebasan yang diberikan itu dipergunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri. Tringa yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni, mengingatkan terhadap segala ajaran, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran, dan kesungguhan dalam pelaksanaannya.

28

Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan, menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkan. Ki Hajar mengartikan pendidikan sebagai daya upaya memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

(Utami, diakses 31 Mei 2017 pukul 04:29

(http://e-ripository.perpus.iainsalatiga.ac.id/id/eprint/1717)

Konsep pendidikan Islam adalah upaya transformasi

nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam dengan meletakkan al-Qur‟an

dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai acuan utama. Secara umum sitem pendidikan mempunyai karakter religius serta kerangka etik dalam tujuan dan sasarannya. Pemikiran pendidikan

Ghazali secara umum bersifat religius-etis. Konsep pendidikan

menurut al-Ghazali, dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, yaitu tentang faktor-faktor pendidikan seperti aspek tujuan pendidikan, pendidik, anak didik, alat pendidikan, dan lingkungan yang mempengaruhi

anak didik. (Putra, diakses pada 24 Agustus 2017

(http://journal.uir.ac.id/index.php/althariqah/article/view/617) Disini penulis dapat menarik kesimpulan bahwa konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara dan

Al-29

Ghazali tidaklah sama. Ki Hajar Dewantara lebih mengarah kepada pembebasan terhadap tindakan yang dilakukan siswa selama tindakan itu tidak membahayakan bagi siswa. Sedangkan menurut Al-Ghazali konsep pendidikan yang ia kemukakan adalah mengenai tujuan pendidikan, pendidik, anak didik, alat pendidikan serta lingkungan yang mempengaruhi perkembangan anak didik.

2. Akhlak

Baik kata akhlak atau khuluq kedua-duanya dijumpai

pemakaiannya dalam al-Qur‟an maupun hadis sebagai berikut:

Dalam surat al-Qalam ayat 4, Allah SWT berfirman:

َِظَعَ ٍقُلُخَىَلَعَلََكَّنِاَو

:ملقلا[ٍَمْي

4

]

Artinya: “dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. Al-Qalam:4) (Departemen Agama RI, 2009:

465)

Kata (

قلخ

) khuluq, jika tidak dibarengi dengan adjektifnya, ia

selalu berarti budi pekerti yang luhur, tingkah laku, dan watak

terpuji.

Kata (

ىلع

) „ala mengandung makna kemantapan. Disisi lain,

ia juga mengesankan bahwa Nabi Muhammad saw. yang menjadi mitra bicara ayat-ayat di atas berada di atas tingkat budi pekerti

30

yang luhur, bukan sekadar berbudi pekerti luhur. Memang, Allah menegur beliau jika bersikap dengan sikap yang hanya baik dan telah biasa dilakukan oleh orang-orang yang dinilai sebagai berakhlak mulia.

Keluhuran budi pekerti Nabi saw. yang mencapai puncaknya

itu bukan saja dilukiskan oleh ayat di atas dengan kata (

كّنإ

)

innaka/sesungguhnya engkau tetapi juga dengan tanwin (bunyi

dengung) pada kata (

قلخ

) khuluqin dan huruf (

ل

) lam yang

digunakan untuk mengukuhkan kandungan pesan yang menghiasi kata (

ىلع

) „ala di samping kata „ala itu sendiri, sehingga berbunyi (

ىلعل

) la‟ala, dan yang terakhir pada ayat ini adalah penyifatan

khuluq itu oleh Tuhan Yang Mahaagung dengan kata (

ميظع

)

„adzim/agung. Yang kecil bila menyifati sesuatu dengan “agung”

belum tentu agung menurut orang dewasa. Tetapi, jika Allah yang

menyifati sesuatu dengan kata agung maka tidak dapat terbayang

betapa keagungannya. Salah satu bukti dari sekian banyak bukti tentang keagungan akhlak Nabi Muhammad saw.-menurut Sayyid Quthub- adalah kemampuan beliau menerima pujian ini dari sumber Yang Mahaagung itu dalam keadaan mantap tidak luluh di bawah tekanan pujian yang demikian besar itu, tidak pula guncang

31

kepribadian beliau, yakni tidak menjadikan beliau angkuh. Beliau menerima pujian itu dengan penuh ketenangan dan keseimbangan. Keadaan beliau itu, menurut Sayyid Quthub, menjadi bukti melebihi bukti yang lain tentang keagungan beliau.

Sementara ulama memahami kata (

ميظعَقلخ

) khuluqin „adzim

dalam arti agama berdasar firman-Nya innaka „ala shirathin

mustaqim (QS. Az-Zukhfur :43) 43, sedang shirat al-mustaqim

antara lain dinyatakan oleh al-Qur‟an sebagai agama. Sayyidah

„Aisyah ra., ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, beliau

menjawab: Akhlak beliau adalah al-Qur‟an (HR. Ahmad). „Aisyah

ra. ketika ia membaca awal surah al-Mu‟minun untuk

menggambarkan sekelumit dari akhlak beliau itu. Jika demikian,

bukalah lembaran-lembaran al-Qur‟an dan temukan ayat-ayat

perintah atau anjuran, pahami secara benar kandungannya, Anda akan menemukan penerapannya pada diri Rasul saw. Beliau adalah

bentuk nyata dari tuntunan al-Qur‟an. Selanjutnya karena kita tidak

mampu mendalami semua pesan al-Qur‟an, kita pun tidak mampu

melukiskan betapa luhur akhlak Rasulullah saw. karena itu pula setiap upaya yang mengetengahkan sifat-sifat luhur Nabi Muhammad saw., ia tidak lain hanya sekelumit darinya. Kita hanya bagaikan menunjuk-dengan jari telunjuk gunung yang tinggi-karena lengan tak mampu merangkulnya. (Quraish, 2009: 243)

32

Dalam surat As-Syu‟ara ayat 137, Allah SWT berfirman:

َْنِا

َ

:ءارعشلا[ََنْيِلَّوَلااَُقُلُخَّلاِإَاَذَى

837

]

Artinya: “(agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu”. (QS. As-Syu‟ara: 137) (Departemen Agama RI, 2009: 373)

Ada dua bacaan populer bagi ayat di atas. Yang pertama

adalah (

قلخ

) khuluq, yakni dengan dhommah pada huruf (

خ

) kha‟

dan (

ل

) lam atau dengan kata lain huruf (U) setelah (Kh dan L).

Kata ini berarti potensi kejiwaan yang mantap pada diri seseorang

yang mengantarnya melahirkan aneka kelakuan secara mudah dan tanpa dibuat-buat. Potensi ini dikembangkan melalui pendidikan,

latihan, dan keteladanan. Jika positif, ia melahirkan khuluq/akhlak

yang baik, dan sebaliknya pun demikian. Nah, bila ucapan kaum Hud itu dipahami dalam arti di atas, ini dapat mengandung dua kemungkinan makna. Yang pertama adalah pujian kepada generasi terdahulu, para leluhur mereka yang telah meninggalkan buat generasi berikutnya amal-amal terpuji dan, dengan demikian, mereka sebagai generasi pelanjut akan terus mempertahankan dan melanjutkan segala yang dipraktikkan secara terpuji itu oleh

33

generasi tua. Ini juga berarti kecaman dan penolakan terhadap ajaran Nabu Hud as. Yang mereka nilai bertentangan dengan ajaran dan kepercayaan leluhur yang mereka nilai sangat baik.

Makna lain yang dapat dipahami dari kata khuluq (dengan

huruf U) adalah tradisi lama. Ini berarti apa yang disampaikan oleh

Nabi Hud as. Itu adalah tradisi lama yang telah usang. Makna ini sejalan dengan kecaman-kecama kaum musyrikin dalam setiap era kepada setiap nabi dan rasul yang diutus Allah.

Bacaan kedua adalah (

قلخ

) khalaq, yakni fathah pada huruf

kha dan sukun pada huruf lam. Ia terambil dari kata khalaqa yang

berarti menciptakan atau menjadikan. Dari makna ini, lahir makna

baru, yaitu kebohongan, karena yang berbohong menciptakan

sesuatu dalam benaknya yang berbeda dengan kenyataan. Nah jika

Anda memahaminya dalam arti kebohongan, ucapan kaum

musyrikin itu berarti: ”Apa yang engkau sampaikan-wahai Hud-kepada kami adalah kebohongan yang dibuat oleh geberasi

terdahulu.” Jika Anda memahami kata itu dalam arti

penciptaan/kejadian, ia berarti kaum musyrikin itu menyatakan:

”Kehidupan kita ini sama halnya dengan penciptaan dan kejadian

orang-orang dahulu kala, mereka itu hidup lalu mati, dan setelah itu tiada lagi yang terjadi. Tidak ada kebangkitan, tidak ada kehidupan

34

ucapan mereka sekali-kali kmai tidak akan disiksa merupakan

penjelasan dan penegasan tentang penolakan adanya kebangkitan setelah kematian. (Quraish, 2009: 301)

Jadi penulis dapat menarik kesimpulan bahwa ayat yang

pertama disebut di atas menggunakan kata khuluq untuk arti budi

pekerti, sedangkan ayat yang kedua menggunakan kata akhlak

untuk arti adat kebiasaan. Dengan demikian kata akhlaq atau khuluq

secara kebahasaan berarti budi pekerti, adat kebiasaan, perangai,

atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabi‟at.

Pengertian akhlak dalam definisi Ibn Miskawih. Dalam pandangan Miskawih, akhlak merupakan kondisi jiwa yang mendorong seseorang melakukan tindakan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Kondisi jiwa yang seperti itu dapat diklasifikasikan menjadi dua sifat. Pertama, adalah kebiasaan yang berasal dari watak dasar, seperti ketika orang yang marah hanya karena sebab yang sederhan, orang yang tertawa terbahak-bahak hanya karena melihat sesuatu yang mengejutkan, dan juga halnya orang yang menyesal hanya karena urusan yang diterimanya. Kedua, kebiasaan yang diperoleh seseorang melalui pelatihan dan pembelajaran hingga menjadi sebuah tradisi yang melekat padanya.

Nurhayati, diakses pada tahun 2014

(http://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/mudarrisuna/article/view/291/ 267)

35

Menurut bahasa akhlak berasal dari kata akhlaqun (bentuk

jamak), sedangkan bentuk tunggalnya adalah khuluq yang berarti

perangai atau kelakuan, budi pekerti atau moral, kebiasaan atau

tabiat. Menurut istilah syar‟I akhlak merupakan ungkapan kondisi jiwa, yang begitu mudah bisa menghasilkan perbuatan tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Jika perbuatan itu baik, maka disebut akhlak yang baik, dan jika buruk disebut akhlak yang buruk.

Kata akhlak dalam bahasa Indonesia, biasanya diterjemahkan dengan budi pekerti atau sopan santun atau kesusilaan. Dalam

bahasa Inggris, kata akhlak disamakan dengan moral atau ethic,

yang sama-sama berasal dari bahasa Yunani, mores dan ethicos

yang berarti adat kebiasaan. Akhlak dapat dikatakan sebagai kehendak yang dibiasakan, sehingga ia mampu menimbulkan perbuatan dengan mudah, tanpa pertimbangan pemikiran terlebih dahulu (Burhanudin, 2001: 39).

Akhlak memiliki tiga unsur pokok, yaitu:

a. Perbuatan sifat/keadaan jiwa seseorang.

Pembicaraan akhlak pada pokoknya berbicara mengenai keadaan atau gejala-gejala jiwa seseorang yang menimbulkan suatu perbuatan. Perbuatan-perbuatan orang yang sehat akalnya akan muncul dari kehendak jiwa atau hatinya.

36

b. Perbuatan yang muncul bukan paksaan, tetapi dengan mudah

dilakukan tanpa pertimbangan akal.

Akan tetapi adakalanya, bahkan tidak jarang perlu pemaksaan pada tahap awal sebagai suatu bentuk pengajaran. Dengan pengajaran itulah akhlak akan berubah.

c. Perbuatan yang dilakukan itu menjadi kebiasaan sehari-hari.

Perbuatan sehari-hari yang dilakukan dengan spontanitas

Dokumen terkait