• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

B. Saran

20

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pola Asuh

1. Pengertian Pola Asuh

Pola berarti model, dan sistem (Poerwadarminta, 1982:763). Sedangkan asuh, mengasuh berarti menjaga, merawat, mendidik anak kecil, memimpin, dan melatih (Poerwadarminta, 1982:63). Kata pengasuh adalah orang yang menjaga, merawat, dan mendidik anak. Maksud dari mengasuh anak adalah mendidik dan memelihara anak itu, mengurus makanan, minuman, pakaian dan kebersihannya, dalam periode umurnya yang pertama (Al-Barry, 1977:51). Pola asuh adalah model atau cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab kepada anak (Thoha, 1996:109). Orang tualah yang berhak dan bertanggung jawab dalam mengasuh dan mendidik anak mereka.

Menurut pendapat Theresia pola asuh merupakan pola interaksi antara orang tua dan anak. Lebih jelasnya, yaitu bagaimana sikap atau perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anak. Termasuk caranya menerapkan aturan, mengajarkan nilai atau norma, memberikan perhatian dan kasih sayang, serta menunjukkan sikap dan perilaku yang baik, sehingga dijadikan contoh atau panutan anaknya (Muallifah, 2009:43). Oleh karena itu, pola pengasuhan anak itu sangat penting. Karena dalam mengasuh anak itu juga di butuhkan cara atau

21

sistem untuk mengasuh anak. Pola asuh juga merupakan sikap dan perilaku orang tua saat berinteraksi dengan anaknya. Sikap dan perilaku orang tua itulah yang dijadikan anak sebagai contoh atau panutan bagi anaknya dalam kehidupan sehari-hari.

Orang tua bertanggung jawab untuk dirinya dan keluarganya melalui pendidikan yang di berikan mereka, selain itu orang tua juga yang bertugas menjadikan anak-anak mereka mempunyai agama yang baik menurut agama Islam. Menurut Al-Abrasyi dalam bukunya yang

berjudul Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam mengatakan bahwa

setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, seperti sabda Nabi Muhammad SAW bersabda :

ِناَدِّوَهُ ي ُهاَوَ بَأَف ِةاَرْطِفْلا ىَلَع ُدَلْوُ ي ٍدْوُلْوَم ُّلُك

ىقهيبلا هاور( ِوِنَسِّجُيُْوَأ ِوِناَرِّصَنُ يْوَأ ِو

)

Artinya : Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Baihaqi).

Berdasarkan hadits di atas bahwasanya anak itu terlahir dalam keadaan fitrah atau suci tidak ada noda sama sekali. Orang tuanyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani dan Majusi. Ketika orang tua berada di rumah, anak akan melihat dan memahami apa yang dilakukan orang tuanya. Oleh karena itu, anak akan menjadikan orang tuanya sebagai panutan atau contoh dalam kehidupan sehari-hari dan yang akan mendatang.

22

Menurut Haurlock (1973), sebagaimana dikutip oleh Mansur mengemukakan ada tiga jenis pola asuh orang tua terhadap anakanya, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis, pola asuh laissez faire

(Mansur, 2005:354). Pola asuh tersebutlah yang biasanya digunakan oleh orang tua maupun pengasuh dalam mengasuh anak, agar lebih mudah dalam mengasuh anak berdasarkan pola asuh di atas.

2. Macam-macam Pola Asuh Anak

Mendidik anak dalam keluarga diharapkan agar anak mampu berkembang kepribadiannya, menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, kepribadiaan kuat dan mandiri, berakjlak mulia, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal. Untuk mewujudkan hal itu ada berbagai cara dalam pola asuh yang dilakukan oleh orang tua menurut Haurlock yang di kutip oleh Chabib Thoha (1973:110) ada 3 macam pola asuh yaitu :

a. Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang ditandai dengan : cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-cerita, bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua malah menganggap bahwa semua sikap yang dilakukan itu dianggap sudah benar sehingga tidak perlu anak diminta pertimbangan atas

23

semua keputusan yang menyangkut permasalahan anak-anaknya. Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga ditandai dengan hukuman-hukumannya yang dilakukan dengan keras, mayoritas hukuman tersebut sifatnya hukuman badan dan anak juga diatur yang membatasi perilakunya (Mansur, 2005:354). Pola asuh ini, lebih mengutamakan perintah-perintah dari orang tua untuk mematuhi apa yang diperintahkan orang tua mereka, tidak mendengar argumen atau pendapat dari anak. Anak dituntut untuk selalu menuruti kemauan orang tua mereka.

Menurut penulis dalam menggunakan Pola Asuh Otoriter mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dari Pola Asuh Otoriter : anak akan menurut kepada orang tua, takut untuk melakukan kesalahan atau hal negatif. Kelemahan dari Pola Asuh Otoriter : anak akan menjadi pembangkang karena merasa hidupnya terbatas, penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, dan melakukan hal negatif secara diam-diam karena penasaran.

b. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang ditandai dengan : pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak-anakanya dan kemudian anak diberi kesempatan untuk selalu tergantung kepada orang tua atau pengasuh. Pola asuh seperti ini orang tua memberi sedikit kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang dikehendaki dan apa yang diinginkan yang menurut anak yang terbaik bagi

24

dirinya. Orang tua dalam hal-hal tertentu perlu ikut campur tangan, misalnya dalam keadaan yang membahagiakan hidupnya dan keselamatan anak. Demikian pula terhadap hal-hal yang sangat prinsip mengenai pilihan agama, orang tua dapat memaksakan kehendaknya terhadap anak, karena anak belum memiliki alasan yang cukup tentang hal itu. Tidak semua materi pelajaran agama seluruhnya diajarkan secara demokratis terhadap anak (Mansur, 2005:355-356). Pola asuh ini, anak diberi kebebasan untuk memilih apa yang menjadi kesukaannya, asalkan masih dalam pengawasan orang tua mereka.

Menurut penulis dalam menggunakan pola asuh demokratis mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dari Pola Asuh Demokratis : menghasilkan karakteristik anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman-temanya, mampu menghadapi stres, dan mempunyai minat terhadap hal-hal yang baru. Kelemahan dari Pola Asuh Demokratis : anak akan cenderung merongrong kewibaan otoriter orang, kalau segala sesuatu harus dipertimbangkan antara orang tua.

c. Pola Asuh Laissez Faire

Pola asuh laissez faire adalah pola asuh dengan : cara orang tua mendidik anak secara bebas, anak dianggap kurang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya apa saja yang dikehendaki. Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga

25

tidak memberikan bimbingan pada anak. Semua apa yang dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapat teguran, arahan, atau bimbingan. Hal itu ternyata dapat diterapkan kepada orang dewasa yang sudah matang pemikirannya, sehingga cara mendidik seperti itu tidak sesuai, jika diberikan kepada anak-anak. Apalagi bila diterapkan untuk pendidikan agama banyak hal yang harus disampaikan secara bijaksana. Oleh karena itu, dalam keluarga orang tua harus merealisasikan peranan atau tanggung jawab dalam mendidik anak (Mansur, 2005:356-357). Pola asuh laissez faire ini, anak di didik oleh orang tuanya dengan bebas dan anak dianggap sudah dewasa untuk melakukan apapun yang diinginkan oleh anak mereka.

Menurut penulis dalam pola asuh laissez faire mempunyai kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dari pola asuh laissez faire : menghasilkan anak yang di beri kebebasan oleh orang tuanya, jadi anak bisa melakukan apa yang disukai oleh anak. Kelemahan dari pola asuh Laissez faire : menghasilkan karakteristik anak yg agresif, kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, sering bolos, bermasalah dengan teman karena kontrol orang tua yang lemah.

Pola asuh di atas merupakan pola asuh yang biasa dilakukan orang tua atau pengasuh lainnya misalnya nenek, jadi dari berbagai pola asuh atau cara mendidik, merawat dan mengasuh anak haruslah memperhatikan kondisi anak. Pendidikan harus lebih diutamakan

26

kegunaannya bagi masa yang akan datang, dimana masa sekarang berbeda dengan yang akan datang, meskipun pelajaran tersebut tidak berguna untuk masa sekarang tetapi harus tetap diberikan dalam mempersiapkan masa depan.

Banyak sekali persiapan untuk membekali anak untuk menyongsong masa depan, yang tidak ada pada kehidupan sekarang. Semakin jauh zaman yang dilalui, maka semakin tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus dimiliki dalam rangka memberi bekal pada anak. Pola asuh yang dilakukan menurut seorang nenek benar pada zamannya, belum tentu benar pada kehidupan sekarang bila diterapkan dalam mengasuh cucunya.

3. Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

Menurut Casmini (2007), sebagaimana dikutip oleh Muallifah (2009: 63) menjelaskan bahwa Faktor yang mendukung terlaksananya pola asuh dengan baik, bukan hanya tergantung dengan jenis pola asuh yang ditetapkan oleh orang tua (nenek), tetapi juga tergantung pada karakteristik keluarga, anak dan jenis pola asuh yang diterapkan. Adapun beberapa karakteristiknya adalah sebagai berikut :

a. Karakteristik Struktur Keluarga

Hal-hal yang berkaitan dengan struktur keluarga adalah etnis keluarga dan pendidikan (lingkungan pergaulan sosial dan etnis). Pola asuh ini tidak hanya dipengaruhi oleh situasi keluarga,

27

tetapi juga lingkungan sekitar, situasi perawatan anak, situasi sekolah, juga konflik yang terjadi di lingkungan sekitar.

b. Karakteristik Struktur Anak

Ketika ingin memperlakukan jenis pola asuh, maka harus memperhatikan karakteristik anak, diantaranya adalah karakter anak, bagaimana perilaku soial, dan keterampilan kognitif anak. c. Karakteristik Budaya Keluarga

Karakteristik kultur keluarga didefinisikan pada

kemampuan berbahasa, sedangkan indikator dalam karakteristik kultur keluarga adalah reading behavior (kebiasaan membaca),

home language (bahasa asli), dutch language (bahasa asing),

mastery and culture participan (menguasai dan partisipasi budaya). d. Karakteristik Situasi Keluarga

Penelitian tentang komposisi keluarga menunjukkan anak dalam keluarga satu orang tua (single parent) akan mengalami problem perilaku dan emosional yang frekuensinya lebih daripada keluarga dan orang tuanya dan berakibat pada prestasi anak di sekolah. Keluarga yang hanya satu orang tua akan mengalami ketegangan, dikarenakan akan mengalami kesulitan keuangan, masalah kesehatan, serta perubahan karena perceraian yang berpengaruh terhadap orang tua dalam pengasuhan anak dan interaksi orang tua. Begitu juga dalam pengasuhan anak atau tanpa orang tua.

28

Adapun faktor yang yang mempengaruhi pola asuh adalah sebagai berikut :

1). Latar Belakang Pendidikan si Pendidik

Pendidikan merupakan alat di masyarakat untuk memperbaharui dirinya dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Al-Gazhali mengemukakan bahwa amal perbuatan, perilaku, akhlak dan kepribadian seorang pendidik adalah penting dari pada ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena kepribadian pendidik akan diteladani dan ditiru oleh anak didiknya, baik secara sengaja maupun tidak sengaja dan secara langsung maupun tidak langsung (Zainuddin, 1991:56). Ketika seorang pengasuh (nenek) dalam mengasuh anak (cucu) mereka, harus mempunyai pendidikan yang baik dan benar dalam mendidik anak (cucu) mereka.

2). Pengetahuan Pendidik

Pengetahuan nenek tentang kesehatan dan gizi memmpunyai hubungan yang erat dengan pendidikan. Anak yang berada dalam pengasuhan nenek dengan latar belakang pendidikan yang tinggi akan memungkinkan mendapat kesempatan untuk hadir dan tumbuh dengan baik, sebaiknya jika pengetahuan nenek akan pengasuhan sangat minim memungkinkan juga mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang kurang. Pengetahuan tidak mutlak diperoleh

29

melalui pendidikan formal, tetapi juga dari informasi di media masa atau hasil dari pengalaman orang lain. Pembentukan kepribadian terjadi dalam masa panjang, mulai dari dalam kandungan sampai umur 21 tahun (Kaelany, 2000:243). Pembentukan kepribadian ini erat hubungannya dengan pembinaan iman dan akhlak anak (cucu) mereka.

3). Aktivitas Pendidik

Kebutuhan wanita terhadap tugas dan tanggungjawab di luar tugas sebagai nenek berbeda-beda, ada nenek yang merasa bahagia dengan peran sebagai pengasuh anak, ada juga yang merasa terbebani dengan tanggungjawab mengasuh anak. Aktivitas nenek juga menjadi alasan utma dalam keberhasilan memelihara, merawat, mendidik, membimbing dan juga mengarahkan anak ke arah yang baik dan benar.

Nenek yang sibuk bekerja atau mengurus diri sendiri karena terbebani oleh tanggung jawab dalam hal ekonomi tentu dalam pengawasan serta kontrol pada anak akan kurang, sehingga anak lepas dari pengawasannya. Sedangkan nenek yang aktivitasnya hanya mengasuh anak saja di rumah, tentu dapat setiap saat mengawasi anak tersebut. Sehingga anak tidak terjerumus kepada pergaulan yang remaja yang bebas tanpa pengawasan orang tua.

30

4. Faktor yang Menyebabkan Pengasuhan dari Orang tua Bergeser pada Nenek

Kenyataan di lapangan dalam suatu keluarga banyak anak yang tidak di asuh oleh orang tuanya, melainkan dengan neneknya, karena adanya beberapa faktor yang menyebabkan pengasuhan anak beralih atau bergeser kepada nenek yaitu : ekonomi, orang tua sibuk bekerja, orang tua janda atau duda karena kematian, orang tua bercerai. Adapun faktor yang menyebabkan pengasuhan orang tua terhadap anak bergeser atau beralih kepada nenek adalah sebagai berikut:

a. Faktor Ekonomi

Faktor Ekonomi dalam pengasuhan dipengaruhi oleh gaya dan pengalaman yang dimiliki serta pengetahuan yang diterimanya. Perbedaan dalam pola asuh seorang nenek juga bisa dilihat dari status sosial ekonomi dalam masyarakat. Status sosial ekonomi mempunyai peranan terhadap perkembangan anak (Ahmadi, 1991:91). Salah satu faktor yang mengakibatkan pengasuhan dari orang tua beralih kepada nenek adalah faktor ekonomi dalam seuatu keluarga, karena sulitnayamencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, maka orang tua harus bekerja dan meninggalkan anak-anaknya kepada pengasuh atau nenek.

b. Orang Tua Sibuk Bekerja

Keluarga dianggap sebagai masyarakat kecil yang terdiri dari subsistem yang berstruktur, yakni anggota keluarga yang

31

terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Setiap bagian memiliki hubungan antara satu dan lainnya yang menyatu dalam keluarga. Teori fungsionalisme struktural menekankan pada keteraturan dan mengabaikan konflik dalam masyarakat (Suhendi, 200:175). Istri yang bekerja di luar rumah, fungsi manifesnya adalah meningkatnya kesejahteraan ekonomi keluarga, tetapi fungsi latennya adalah terjadinya disfungsi ibu rumah tangga dalam menjalankan tugasnya dalam keluarga. Demikian itulah dapat menyebabkan berkurangnya waktu pengasuhan anak oleh ibu rumah tangga yang berperan ganda memungkinkan rendahnya intensitas pengasuhan anak, sehingga terjadi perubahan pola, peran, serta fungsi pada pengasuhan anak, dimana keluarga besar (extended family) sangat dibutuhkan.

c. Orang Tua Janda atau Duda karena Kematian

Kemampuan keluarga untuk menyesuaikan keadaan setelah kematian orang tua yang menyangkut masalah keuangan, sosial, dan emosi selalu menjadi ujian bagi terciptanya relasi antara orang tua dan anak (Suhendi, 2001:74). Apabila relasi ini bedasarkan pada rasa hormat, kesamaan, dorongan, semangat, dan kepercayaan akan mengurangi akibat yang menimpa anak, karena kehilangan salah satu orang tuanya. Tentu saja anak merasa kesepian, frustasi, merasa bersalah, dan perasaan-perasaan yang saling berlawanan dari orang tua yang masih hidup merupakan

32

problem yang memerlukan penenangan dalam keluarga.

Keberadaan keluarga besarlah yang sangat membantu memberikan solusi dan pengarahan agar apa yang terjadi ataupun yang akan dilakukan oleh orang tua tunggal tidak salah jalan.

d. Orang Tua yang Bercerai

Kekacauan dalam keluarga merupakan bahan pergunjingan umum karena semua orang mungkin saja terkena dari salah satu jenisnya dan karena pengalaman itu, biasanya dramatis menyangkut moral dan penyesuaian-penyesuaian pribadi dan dilematis. Kekacauan keluarga dapat ditafsirkan sebagai pecahnaya suatu unit keluarga, terputusnya atau retaknya struktur peran sosial, jika satu atau beberapa anggota keluarga gagal menjalankan peran mereka (Goode, 1997:184). Oleh karena itu, bersatunya orang tua dalam mendidik anak itu sangat penting, agar terjadinya keseimbangan dalam mendidik anak.

33

5. Seni Mendidik dalam Islam

Seorang nenek perlu memperhatikan bagaimana mengasuh, merawat, mendidik dan juga memberi teladan yang baik bagi anak-anak agar menjadi anak-anak yang berakhlakul karimah. Menurut Muallifah (2009: 145), tentang seni mendidik anak dalam Islam. Adapun seni, atau cara mendidik anak dalam Islam adalah sebagai berikut :

a. Membiasakan Anak untuk Shalat Berjama’ah.

Konsep keteladanan dalam sebuah pendidikan sangatlah penting dan bisa berpengaruh terhadap proses pendidikan, khususnya dalam membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak. Karena seorang pendidik baik orang tua, guru bahkan nenek merupakan figur dalam pandangan anak, disadari atau tidak akan ditiru oleh anak. Seorang pengasuh yaitu haruslah memberikan teladan yang baik pada anak asuhnya, mengajak untuk meniru akhlak Rasulullah dan banyak mengingat Allah SWT. Perbanyak mengingat Allah SWT yaitu selalu melaksanakan shalat dan membiasakan shalat berjama’ah

b. Menasehati Anak apabila Berbuat Salah.

Cara mengasuh atau mendidik dengan menasehati, juga merupakan suatu cara untuk mempersiapkan pembentukan akhlak, emosional maupun sosial.

34

c. MenyuruhAnak untuk Belajar Al-Qur,an.

Seorang pengasuh misalnya nenek juga harus

memperhatikan apa yang dipelajari anak mengenai prinsip, pemikiran, dan keyakinan yang sudah diajarkan di sekolah. Konsep keimanan yang dimaksud sebenarnya bukan hanya kepada iman pada Allah ataupun sebatas religi, tetapi bisa diperluas kembali kedalam aspek lainnya. Nenek selaku pengganti orang tua harus mampu menanamkan sifat atau rasa keyakinan dan rasa percaya diri anak setiap perbuatan yang diambilnya. Dalam menanamkan keyakinan dan agar berbuat sesuai ajaran Islam maka bisa dimulai dari belajar Al-Qur,an.

d. Menegur Anak yang Berkata Bohong

Nenek selaku pengganti orang tua kandung hendaknya selalu memantau anak agar berbuat jujur sejak kecil. Kemudian nenek juga bisa menunjukkan kebaikan dan keburukan serta dampak dari masing-masing perbuatan tersebut. Kebiasaan bohong tersebut akan berlanjut sampai nanti ketika ia dewasa. Oleh karena itu, menegur anak yang berkata bohong dengan cara efisien dan metode yang sesuai harus bisa dilakukan nenek, karena itu merupakan salah satu perhatian akhlak nenek kepada cucunya.

35

e. Mengajarkan Kemandirian Kepada Anak.

Hal ini bisa dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan fisik yang menunjang perkembangan mental anak dan intelektual melalui latihan-latihan. Sedang kematangan mental melalui bagaimana menyikapi permasalahannya sendiri, dan ketika dewasa hilang rasa ketergantungan pada keluarga. Hal ini bisa dilakukan misalnya, nenek tidak banyak ikut campur urusan cucunya dalam hal pekerjaan sehari-hari yang bisa dilakukan sendiri oleh cucunya.

f. Memarahi dan Memukul Anak ketika Tidak Shalat.

Konsep pendidikan dan hukuman dalam Islam bukan menjadikan kekerasan sebagai modal utama, namun bagaimana memberi peringatan terhadap anak agar perbuatan yang keji tidak diulangi lagi. Misalnya, memperingati dengan lemah lembut dan kasih sayang, menjaga tabiat anak yang salah dalam menggunakan hukuman dan menasihati anak secara bertahap.

g. Memberikan Pujian dan Hadiah

Memberikan pujian atau hadiah sangat dianjurkan oleh Islam. Hal ini dimaksud agar anak mendapatkan motivasi atau dorongan yang kuat untuk mencapai cita-citanya. Motivasi atau dorongan nenek sebagai pengasuh anak sangat dibutuhkan sebagai modal yang besar karena mereka merasakan bahwa apa yang diinginkan anak merupakan hal yang didambakan. Pemberian pujian dan hadiah sebenarnya hampir sama, namun sedikit

36

perbedaan. Pemberian pujian diberikan ketika perilaku anak hasilnya positif, namun pemberian hadiah lebih dimaksud untuk memancing timbulnya perilaku positif.

B. Akhlak Anak

1. Pengertian Akhlak

Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, masdar dari kata Khulq,

atas timbangan (wazan) thulasi mazid, af‟ala – yuf‟ilu – if‟alan yang berarti al-sajyah, al-tabi‟ah (kelakuan, watak dasar), al-„adat (kebiasaan), al-maru‟ah (peradaban yang baik), dan al-din (agama) (Damanhuri, 2014:27-28). Orang tua mempunyai kewajiban untuk menanamkan akhlak yang baik kepada anak-anaknya yang dapat membahagiakan di kehidupan dunia dan akhirat.

Menurut Muhammad bin Ali Asy-Syarif Al-Jurjani akhlak adalah istilah bagi sesuatu sifat yang tertanam kuat dalam diri, yang darinya terlahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan ringan, tanpa perlu berpikir dan merenung. Jika dari sifat tersebut terlahir perbuatan-perbuatan yang indah menurut akal dan syariat, maka dengan mudah sifat tersebut dinamakan dengan akhlak yang baik. Sedangkan jika darinya terlahir perbuatan-perbuatan buruk, maka sifat tersebut dinamakan akhlak yang buruk (Abdul, 2004:32). Bahwasanya akhlak itu tertanam kuat dalam diri masing-masing untuk menjalankan perbuatan yang baik maupun buruk.

37

Menurut Ibnu Miskawaih akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dulu. Karakter yang merupakan suatu keadaan jiwa itu menyebabkan jiwa bertindak tanpa berpikir atau dipertimbangkan secara mendalam (Mansur, 2005:221). Keadaan jiwa seseoranglah yang menyebabkan seseorang tidak berpikir untuk melakukan apapun.

Menurut definisi para Ulama’, akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam diri secara kuat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa diawali berfikir panjang, merenung, dan memaksakan diri. Sedangkan sifat-sifat yang tidak tertanam kuat dalam diri, seperti kemarahan seseorang yang asalnya pemaaf, maka itu bukan akhlak (Mahmud, 2004:34). Kesimpulannya bahwa akhlak anak merupakan suatu perbuatan yang tertanam kuat dalam diri seseorang anak untuk melakukan suatu tindakan yang dilakukan seorang anak tanpa perlu berfikir panjang dan dilakukan berulang-ulang yang akan menjadi suatu kebiasaan.

2. Dasar Al-Qur’an dan Al-Hadist

Allah berfirman dalam QS. Al-Qolam : 4

ٍمْيِظَع ٍقُلُخ ىَلَعَل َكَّنِاَو

Artinya : “Sesungguhnya engkau memiliki moral dan akhlak yang

38

Pujian Allah ini bersifat individual dan khusus hanya diberikan kepada Nabi Muhammad karena kemuliaan akhlakNya. Penggunaan

istilah Khuluqun „Adhim menunjukkan keanggungan akhlak Nabi

Muhammad SAW. Rasulullah SAW adalah sosok yang patut ditiru agar seseorang mempunyai akhlak yang baik. Kita sebagai umat Rasulullah SAW harus mencontoh segala sesuatu yang dilakukan oleh

Dokumen terkait