• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Perbandingan visual.

V. PENUTUP 5.1 PEMBAHASAN UMUM

Secara natural, suara jantung dan suara pernafasan memiliki rentang frekuensi yang tumpang tindih. Perekaman suara pernafasan di permukaan dada, untuk kondisi normal (suara vesikular), menunjukkan rentang frekuensi suara hingga 500 Hz, sedangkan untuk kondisi abnormal, seperti suara crackles, frekuensi yang tertangkap mencapai 2000 Hz [Sovijarvi et.al., 2000]. Namun demikian, mayoritas energi suara pernafasan terpusat pada frekuensi 200 Hz. Di sisi lain, suara jantung normal di permukaan dada umumnya tertangkap pada frekuensi hingga 200 Hz. Frekuensi utama komponen-komponen suara jantung ditemukan berada pada rentang 20-150 Hz [Arnott et.al., 1984].

Tumpang tindihnya frekuensi antara suara jantung dan suara paru menyebabkan pemisahan kedua jenis suara itu menjadi sulit, terlebih jika dipertimbangkan pula pengaruh gangguan suara dari lingkungan, efek kompleksitas jaringan torak, dan gangguan suara yang timbul dari alat pengukur [Gnitecki & Moussavi, 2007]. Hal ini diperburuk oleh kenyataan bahwa suara jantung dan suara paru memiliki pola yang tidak stabil. Karakteristik suara pernafasan dipengaruhi oleh pola aliran udara pernafasan akibat fluktuasi tekanan gas dan osilasi jaringan padat [Charbonneau et.al., 1983], sedangkan karakteristik suara jantung dipengaruhi gerak konstan katup dan gerak dinamis otot jantung [Xu et.al., 2001]. Dinamika suara kardiorespirasi tersebut bisa memunculkan variasi hasil rekaman meskipun posisi perekamannya tetap. Kondisi ini menunjukkan bahwa proses perekaman suara kardiorespirasi pada permukaan dada memerlukan akuisisi posisi untuk menjamin kepresisian hasil [Wood & Barry, 1994]. Dengan mengacu pada kondisi di atas dapatlah dipahami bahwa proses pemisahan antara suara jantung dan suara pernafasan merupakan upaya yang menghabiskan banyak waktu dan biaya, khususnya untuk proses komputasi algoritma akuisisinya [Ghaderi et.al., 2011].

Di sisi lain, karakteristik suara jantung juga dipengaruhi oleh kinerja sistem pernafasan. Pada saat inspirasi, tekanan pleural menurun sehingga beda tekanan pada area ekstratorak meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan volume pengisian ventrikel kanan, yang pada gilirannya akan memperbesar langkah pengisian, sesuai mekanisme Frank-Starling [Bromberger-Barnea, 1981]. Peningkatan langkah pengisian dan volume ventrikel kanan akan menurunkan daya regang ventrikel kiri, mengikuti hubungan ketergantungan interventrikular. Dengan demikian volume pengisian ventrikel kiri menurun. Di sisi lain, pada saat yang bersamaan, penurunan tekanan pleural tersebut menurunkan pula beda tekanan dan aliran darah dari vena pulmonar menuju ventrikel kiri, sementara tekanan aortik

distolik transmural justru meningkat. Efek kombinasi ini juga menurunkan langkah pengisian ventrikel kiri [Scharf et.al., 1979]. Pada ekspirasi terjadi proses kebalikannya, dimana volume akhir ventrikel kiri justru meningkat. Pada akhirnya, total volume akhir pada ventrikel kiri yang tersedia di awal langkah sistolik, akan berpengaruh pada intensitas suara S1.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa jika interferensi suara kardiorespirasi dapat dibuktikan berfungsi signifikan secara fisiologis, analisis suara jantung dan pernafasan akan dapat dilakukan secara terpadu. Hal itu akan mempermudah proses diagnosis tanpa mengurangi kepresisian hasilnya. Dalam hal ini, rangkaian penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa interferensi antara suara jantung dan suara pernafasan, dalam arti superposisi gelombang suara, memang eksis. Hasil analisis rekaman suara jantung dalam penelitian tahap I menunjukkan bahwa suara interferensi bervariasi dalam parameter amplitudo dan bentuk node. Kedua karakteristik tersebut dapat dirangkum menjadi satu dalam parameter warna suara (timbre). Dalam analisis spektral, karakteristik warna suara dapat diwakili oleh bentuk amplop spektral, yaitu kontur besaran frekuensi dalam rentang waktu acuan. Penelitian tahap I menunjukkan bahwa dalam kondisi interferensi, suara jantung yang terekam berkisar pada intensitas -38 dB, meningkat 7,9 dB jika dibandingkan dengan kondisi tanpa interferensi. Hasil penelitian tahap II menguatkan hasil penelitian tahap I. Meskipun rata-rata intensitas suara pada penelitian tahap II lebih tinggi 2 dB, secara statistik kedua nilai rata-rata intensitas suara tersebut tidak berbeda secara signifikan. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa nilai intensitas suara interferensi dapat dideteksi pada kisaran - 45,2  7,8 dB. Frekuensi suara jantung BB bisa mencapai 120 Hz sementara suara jantung TN berkisar hingga 100 Hz.

Perbedaan pada besaran intensitas dan frekuensi yang merupakan perwujudan dari perbedaan kontur grafik spektral menunjukkan bahwa analisis suara interferensi lebih mudah dilakukan jika menggunakan parameter warna suara (timbre). Perbedaan timbre pada suara jantung BB dan TN sejalan dengan hasil penelitian Amit et.al. [2009] tentang perbedaan morfologi suara jantung akibat siklus pernafasan. Identifikasi terhadap karakteristik interseksi spektral timbre suara jantung BB dan TN merupakan indikasi karakteristik spektral suara interferensi. Sayangnya hal ini belum bisa dilakukan terhadap hasil penelitian tahap I dan II, karena keterbatasan kemampuan program analisis gambar yang tersedia. Namun kesesuaian hasil penelitian tahap I dan II menunjukkan bahwa suara interferensi dapat dideteksi dengan mudah, bahkan dengan hanya menggunakan stetoskop standar yang dikoneksikan pada program Windows.

Penganalisisan suara jantung menggunakan pola spektral juga memungkinkan dideteksinya fenomena hilangnya sinyal dan pergeseran fase. Fenomena-fenomena tersebut tidak bisa dideteksi pada grafik data berbasis sumbu waktu dan amplitudo saja. Temuan bahwa hilangnya sinyal spektral pada kondisi TN yang berkorelasi dengan siklus EKG, tampaknya berkaitan dengan kondisi obyek pada saat menahan nafas. Pada penelitian tahap I obyek menahan nafas setelah menghirup udara semaksimal mungkin. Jadi, bisa dikatakan bahwa posisi menahan nafas mirip dengan kondisi inspirasi permanen. Artinya, volume pengisian ventrikel kiri berlangsung konstan sehingga perubahan suara jantung di area kiri hanya terpengaruh variasi kekuatan kontraksi-relaksasi yang dipicu kelistrikan jantung.

Di sisi lain, pergeseran fase yang berkorelasi dengan siklus pernafasan juga bisa dipahami dengan cara yang sama. Kondisi menahan nafas yang identik dengan inspirasi permanen menyebabkan penurunan volume pengisian ventrikel kiri yang permanen juga. Hal ini menyebabkan tertundanya pencapaian batas minimum volume darah yang memicu pembukaan katup. Artinya, pembentukan suara jantung menjadi terlambat. Bagaimanapun, fenomena hilangnya sinyal dan pergeseran fase justru memperkuat fakta bahwa interferensi suara jantung dan suara pernafasan memang bersifat fisiologis dan bisa dijadikan parameter pengukuran kinerja jantung.

Dari grafik 3 dimensi yang dibentuk oleh tekanan pernafasan (PRS), elektrisitas jantung (EKG), dan suara jantung (HS) muncul pola unik dimana data- data HS mengelompok pada garis diagonal bidang PRS-EKG. Bidang PRS-EKG ini mengindikasikan interaksi antara kedua variabel tersebut. Dengan demikian HS diindikasikan juga dipengaruhi oleh interaksi dinamis antara siklus pernafasan dan sistem kelistrikan jantung. Secara fisiologis, hubungan antar 3 variabel tersebut mungkin dapat diwakili oleh nilai VAT (ventricle activation time), amplitudo gelombang R dan SGD (sound generation delay). Obyek yang mengikuti pola diagonal (NM-P1- R0-2) memiliki nilai VAT 124 ms, R-amp 2,1 mV, dan SGD 40 ms, sementara obyek yang tidak mengikuti pola diagonal (NM3-P1-R0-2) memiliki nilai VAT 111 ms, R-amp 1,89 mV, dan SGD 20 ms. Mengingat bahwa amplitudo kelistrikan jantung normal yang terekam oleh EKG berkisar pada 2-6 mV dan total VAT-nya adalah 103  26 [Auricchio et.al., 2004], NM memenuhi kriteria normal sementara NM3 terindikasi patologis, meski VAT-nya memenuhi kriteria. Dalam hal ini nilai SGD adalah parameter baru yang akan diteliti lebih lanjut eksistensi perannya pada sistem kardiovaskular.

5.2 KESIMPULAN UMUM

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. spektral suara interferensi kardiorespirasi muncul dalam bentuk perbedaan intensitas suara, frekuensi, dan warna suara (timbre)

2. spektral suara interferensi kardiorespirasi mengikuti kaidah sinkronisasi 3. spektral suara interferensi kardiorespirasi memiliki peluang untuk digunakan

sebagai metode alternatif penganalisisan kinerja jantung, mengacu pada fenomena hilangnya sinyal, pergeseran fase, perubahan nilai VAT dan amplitudo gelombang R.

4. spektral suara interferensi kardiorespirasi dapat ditangkap dan digrafikkan oleh peralatan auskultasi sederhana yang dikoneksikan pada PC dan dianalisis menggunakan program sound analyzer berbasis Windows.

5.3 SARAN

Sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini maka beberapa saran untuk pengembangan dapat disampaikan sebagai berikut:

1. Untuk memastikan bahwa suara interferensi memang layak menjadi parameter fisiologis kinerja jantung, perlu dilakukan pemetaan pola spektral timbre yang melibatkan variabilitas obyek yang lebih luas. Variabilitas tersebut misalnya dapat dipilih dari parameter ras, jenis kelamin, usia, tinggi badan dan berat badan.

2. Perlu dilakukan pemetaan fisiologis dan patologis. Proses pemetaan tersebut membutuhkan program analisis gambar yang mampu memunculkan interseksi spektral BB dan TN yang khas. Gambar spektral yang khas tersebut diharapkan dapat membantu diagnosis penyakit kardiorespirasi, khususnya yang berkaitan dengan perubahan suara jantung dan paru. 3. Mengingat penelitian ini masih terfokus pada analisis gelombang R EKG

dalam kaitannya dengan spektral suara, perlu dikembangkan analisis untuk karakteristik gelombang P, Q, S, T, sehingga dapat diperoleh pemetaan spektral yang lebih lengkap.

4. Perlu eksplorasi lanjutan untuk fenomena jeda pembentukan suara (SGD/sound generation delay).

Dokumen terkait