• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran. Kesimpulan dari penjelasan yang telah tercantum pada bab-bab sebelumnnya dan di akhiri dengan saran.

BAB 2

BIOGRAFI SOETAN SJAHRIR

2.1.Kehidupan Keluarga Sutan Sjahrir

Soetan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada tanggal 5 Maret 1909, Soetan Sjahrir berasal dari keluarga Minangkabau yang cukup terpandang dan disegani di Koto Gedang, Sumatera Barat. Sutan Sjahrir lahir dari pasangan Mohammad Rasad Gelar Maha Raja Soetan bin Soetan Leman Gelar Soetan Palindih dan Poetri Siti Rabiyah. Ayahnya menjabat sebagai penasehat sutan Deli

dan Jaksa atau Hoofd di pengadilan negeri Medan. Di dalam tubuh Soetan Sjahrir

sendiri juga mengalir darah bangsawan Mandailing Natal yaitu dari ibunya Poetri Siti Rabiyah yang berasal dari Natal, di daerah Tapanuli Selatan, yang juga berasal dari keluarga raja-raja lokal, jadi sejak kecil Soetan Sjahrir telah menikmati kemapanan ekonomi dan kehidupan keluarga yang modern. Sjahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka.

Selama hidupnya Sutan Sjahrir telah menikah dua kali, yang dimana pernikahan pertamanya dengan seorang wanita asal Belanda-Perancis yang bernama Maria Johanna Duchateu, Maria adalah istri dari teman Sutan Sjahrir yang bernama Salomon Tas, Tas adalah seorang wartawan yang berhaluan Kiri

yang saat itu menjabat ketua Sociaal Democratische Studenten Club (Perkumplan

Mahasiswa Sosialis Demokrat).58

Kedekatan Sjahrir dengan Maria dimulai semenjak Sjahrir tinggal di apartemen Salomon Tas, yang sebelumnya sjahrir tinggal bersama kakaknya Siti Sjahrizad

58

alias Nuning sejak datang pada Juni 1929, dan Nuning harus kembali ke Hindia Belanda pada 1931. Tas kemudian menawarkan apartemennya sebagai tempat tinggal Sjahrir. Sampai akhirnya Sutan Sjahrir dan Maria menjalin hubugan asmara yang lebih serius. Sampai akhirnya Sutan Sjahrir harus kembali ke Indonesia karena permasalahan PNI di Indonesia, ketika hendak pulang ke Hindia Belanda pada 1932, ia meminta Maria ikut. Sjahrir juga ingin menikahi Maria di Hindia Belanda kelak. Sesuai dengan rencana, dia pulang lebih dahulu mengambil ahli pimpinan Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Maria, rencananya akan menyusul berasama anak-anaknya empat bulan kemudian jika percerainnya

dengan Tas sudah beres.59

Akhirnya pada bulan April 1932, Maria menyusul Sjahrir ke Medan. Pernikahan mereka berlangsung pada tanggal 10 April 1932 di sebuah mesjid di Medan. Namun pernikahan ini hanya bertahan sebentar saja karena Maria harus dipulangkan ke Belanda. Pernikahan Sjahrir yang seorang pribumi dengan wanita Belanda bisa dianggap sebagai provokasi. Lima pecan setelah akad, pada 5 Mei

1932, pernikahan Sjahrir dibatalkan oleh pemuka agama setempat.60

Dua tahun setelah penahanan Sjahrir, mereka kemudian menikah kembali, 2 Semptember 1936. Pernikahan jarak jauh itu diwakili oleh pelukis Salim. Sjahrir, yang berada dalam pembuangan Banda Neira, berangkat ke kantor gubernur.

Niat Sjahrir untuk menyusul Maria ke Belanda tidak pernah tercapai karena rentetan permasalahan di Indonesia sampai akhirnya dia ditangkap Belanda dan diasingkan ke Boven Digul sampai akhirnya di pindahkan ke Banda Neira.

61 59 Ibid, hal. 150 60 Ibid, hal. 151 61 Ibid, hal 152

Namun pernikahan jarak jauh ini hanya bertahan 12 tahun, dikarenakan kondisi perang dunia ke 2 yang tidak memungkinkan Maria untuk menyusul Sjahrir, serta permasalahan menjelang dan sesudah kemerdekaan di Indonesia. Sebuah pertemuan di New Delhi, India pada tahun 1947 menjadi

penetu akhir hubungan Sjahrir dengan Maria. Keduannya memutuskan bercerai

pada 12 Agustus 1948.62

Istri Sutan Sjahrir yang kedua adalah Siti Wahjunah Saleh atau biasa dipanggil Poppy, Poppy lahir di Sawahlunto, Sumatera Barat, 11 Mei 1920 dari pasangan Dr KRT Mohammad Saleh Mangundiningrat dan RA Isnadikin Tjitrokusumo. Tiga saudara Poppy yang lain adalah orang-orang yang di kemudian hari dikenal luas. Soedjatmoko pernah menjabat Duta Besar Indonesia di AS dan mantan Rektor Universitas PBB di Tokyo. Miriam Budiardjo merupakan salah satu pendiri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politk Universtias Indonesia serta salah satu pendiri Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Nugroho

Wisnumurti adalah mantan duta besar tetap Indonesia di PBB.63

Dua anak lahir dari perkawinan ini: Kriyah Arsjah pada 1957 dan Siti Rabyah Parvati pada tahun 1960. Baru sebentar hidup bersama keluarga kecilnya, pada 1962 sang ayah diseret ke penjara madiun, Jawa Timur. Sjahrir dituduh berniat menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno.

Sebelum untuk memutuskan menikah dengan Sjahrir Poppy sempat menjaga jarak dengan Sjahrir dengan mengambil pendidikan ke Belanda dan kemudian ke Inggris. Setelah masa menjaga jarak itu berakhir. Keduanya memutuskan menikah pada tanggal 26 Mei 1951, di Kairo, Mesir. Penghulunya adalah rector Universitas Al-Azhar, Syekh Abdul Magud Selim, dan wali Poppy adalah Soedjatmoko adiknya sendiri.

64

Tidak lama setelah menjalani hukuman penjara, pada tanggal 21 Juli 1965, Sjahrir dibawa ke Zurich, Swiss karena ia menderita sakit tekanan darah tinggi dan masih berstatus sebagi interniran, penyakit yang diderita Sjahrir menyebabkan ia tidak dapat berbicara juga menulis. Tanggal 9 April 1966, Sjahrir meninggal dunia dengan tenang.

Sjahrir waktu itu berusia 57 tahun.65

62 Ibid, hal 153 63 Ibid, hal 158 64 Ibid, hal 160 65

H. Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir-Demokrat Sejati, Pejuang Kemanusiaan, True Demokrat,Fighter For Humanity1909-1966, Jakarta: Kompas,2010, hal 154

Zurich setelah mengalami koma seama tujuh hari dan masih bersetatus sebagai tahanan politik.

Tanggal 15 April 1966, radio, pers dan televise Indonesia menyiarkan dekrit yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno. Dekrit itubertanggal hari saat Sjahrir meninggal. Berhubung dengan jasa-jasa yang diberikannya kepada Negara dan Bangsa sepanjang hidupnya, antara lain sebagai Perdana Menteri Kabinet Republik di masa revolusi fisik, Dekrit Presiden menyatakan Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional dan mendapat persetujuan untuk pemakaman negara dengan

penghormatan penuh.66

2.2. Masa Pelajar Sutan Sjahrir

Sjahrir muda disekolahkan di Europeesche Lagere Scholl atau disingkat

(ELS), sekolah ini setingakt dengan sekolah dasar, yang menjadi perbedaan pada sekolah ini adalah, sekolah ini berbahasa Belanda. Sjahrir bisa masuk ke sekolah

Belanda ini karena ayahnya ambtenaar Hindia Belanda. Kemudian Sjahrir

melanjutkan sekolahnya ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Sekolah

Menengah Pertama yang berbahasa Belanda, ketika Sjahrir bersekolah di MULO ayahnya menjabat sebagai Jaksa Kepala pengadilan negeri Medan dan Penasihat Sutan Deli.

Pindah dari Medan ke Bandung. Dari tahun 1926 hingga 1929, Sjahrir belajar di Algemene Middelbare School (AMS) Westers Klassieke Afdeling (jurusan Budaya Barat Klasik atau jurusan A, Sekolah Menengah Atas berbahasa Belanda),

yang mengajarkan bahasa Latin, budaya Yunani.67

66

Ibid, hal 145

67

Ibid, hal 34-35

Sjahrir sebagai seorang pelajar telah menunjukan sifat kritisnya dengan lebih mengutamakan pengertian dari pada sekedar menghapal pelajaran. Sjahrir tidak hanya mempelajari bahasa Latin saja di sekolah itu tapi juga mendalami tentang filsafat dan sejarah-sejarah kerajaan Romawi Kuno. Perhatianya kepada masyarakat Indonesia timbul dengan adanya

pemberontakan PKI dan sejarah perkembangan masyarakat negara dalam sejarah kemanusiaan.

Menurut Des Alwi, nasionalisme Sjahrir tumbuh pertama kali tatkala mendengar pidato Dr Tjipto Mangunkusumo. Saat itu Dr Cipto, yang telah

dikenal sebagai tokoh pergerakan, berpidato di satu alun-alun di Bandung.68

Perhimpunan pemuda yang bernama Jong Indonesie kemudian berubah nama menjadi Pemuda Indonesia yang dimana perhimpunan ini akan menjadi penyelengara Kongres Pemuda Indonesia. Kongres ini yang nantinya akan mencetuskan Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Sebagai siswa sekolah menengah Sjahrir sudah dikenal oleh polisi-polisi di Bandung sebagai pemimpin redaksi majalah Himpunan Pemuda Nasionalis. Sjahrir tidak hanya menjadi pemimpin redaksi saja tetapi Sjahrir juga bergerak di hampir semua bidang, ia juga mendirikan Tjahja Volksuniversiteit atau Tjahja Sekoah Rakyat, yang memberikan pendidikan gratis untuk kalangan rakyat jelata. Sjahrir dan kawan- kawan juga mendirikan kelompok studi Patriae Scientiaeque, ajang diskusi politik. Menurut Des Alwi, Sjahrir pernah bercerita, telah menjadi tradisi di kalangan pelajar dan pemuda untuk melakukan debat tentang ide kebangsaan di setiap pertemuan, di situlah ia mengasah kemampuannya bersilat lidah.

Sjahrir yang pada mulanya hidup pada lingkungan yang lebih pro kepada Belanda dikarenakan ayah Sjahrir bekerja sebagai pegawai Belanda, pada awalnya Sutan Sjahrir tidak begitu menyukai pergaulan dengan kaum pemberontak. Dan setelah Sjahrir mendengar pidato dari Dr Tjipto Mangunkusumo Sjahrir terpaku dengan semangat kebangsaan dan ia mulai aktif dalam perkumpulan-perkumpulan pemuda kebangsaan dan juga ikut dalam membentuk perhimpunan Jong Indonesie dan majalah perhimpunan.

69

68

TEMPO, Op.cit, hal. 12

69

Setelah tamat di AMS Bandung, Sjahrir berangkat ke Negeri Belanda, untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Di Amsterdam ada kakak Sjahrir, Sjahrizad, istri Dokter Djoehana Wiradikarta yang sedang belajar

memperdalam ilmu kedokteran, studi pasca sarjana.70

Dalam memperdalam pengetahuan mengenai Sosialisme, Sjahrir mencari teman-teman ekstrim radikal, berkelana ke kiri, di kalangan kaum anarkis yang

mengharmkan segala hal yang berbau kapitalisme. Sjahrir bagaikan bohemian,

seniman bebas merdeka, bertahan hidup secara kolektif, saling berbagi satu sama lain, kecuali sikat gigi. Ia bekerja pada sekertariat Federasi Buruh Trasnportasi

Internasional. Sjahrir cenderung all-out, tak mau setengah-setengah.

Sjahrir tinggal berasama kakak dan iparnya di kawasan Amsterdam Selatan di sebuah flat yang disewa oleh kakak dan iparnya. Tapi setelah keluarga kakaknya kembali ke Indonesia, Sjahrir tinggal bersama keluarga Salomon Tas masih di kawasan yang sama. Sjahrir

belajar di Fakultas Hukum Gemeente Universitiet van Amsterdam (universitas

yang dikelola oleh kota praja Amsterdam) dan kemudian ia mendaftar di Universiteit Leiden. Tapi ia jarang mengikuti perkuliahan. Minat dan perhatiannya tersita ke tempat lain, selama berada di Amsterdam Sjahrir serius mempelajari

Sosialisme, karena ia sudah kena dampak zaman atau Zeitgeist di Eropa pasca

perang Dunia Pertama. Yakni Marxisme yang menimbulkan iklim perjuangan untuk memperbaiki nasib kaum buruh yang dieksploitasi oleh kapitalisme. Slogan pada masa itu “Kaum proletar seluruh dunia, bersatulah”. (Marxisme adalah teori yang berasal dari teori Karl Marx, ahli filsafat Jerman, yang hidup dari tahun 1818 sampai 1883, Marx menulis tentang masalah kelas pekeraja, yang ia beri nama kaum proletar).

71

Pada saat Sjahrir mencari teman-teman ekstrim radikal untuk mendalami ajaran Sosialisme ini, Sjahrir bertemu dengan Mahasiswa yang berasal dari Indonesia Moh. Hatta yang nantinya akan menjadi wakil Presiden pertama

70

H. Rosihan Anwar, Op.cit, hal 36

71

Indonesia, Hatta yang menuntut pelajaran di Sekolah Tinggi Ekonomi di kota Roterdam. Putra minang ini ketua organisasi mahasiswa yang didirikan tahun 1908 yakni Perhimpoenan Indonesia (PI). Kedua orang yang sama-sama merantau itu segera cocok satu sama lain. Sjahrir begabung dan terpilih sebagai sekertaris Perhimpoenan Indonesia, Februari 1930. Sjahrir wakru itu berusia 21 tahun.

Perhimpoenan Indonesia dipengaruhi oleh anggota-anggota yang pro dengan komunisme, antara lain adalah Roestam Effendi, anak minang juga, guru HIS (Holland-Inlandsche Scholl) “Adabiah” di Padang sebelum berangkat ke Negeri Belanda. Dia orang Indonesia pertama yang jadi anggota parlemen Belanda, Tweede Kamer, mewakili partai komunis Belanda. Komunis yang lain adalah Raden Mas Abdul Madjid, putra seorang Regent (Bupati) di Jawa yang menjadi ketua baru Perhimpoenan Indonesia. Hatta dan Sjahrir disingkirkan dari pimpinan Perhimpoenan Indonesia oleh kaum komunis itu.

Pada saat itu juga keadaan yang tidak baik sedang terjadi di Indonesia. Kekuatan PNI yang cepat bersatu dan anti-pemerintahan serta anti kapitalis, sangat menghawatirkan pemerintah Belanda. Ini segera menimbulkan tekanan bertalian dengan pemerintahannya yang sudah resah itu dan pada tanggal 24

Desember 1929, Soekarno dan tujuh pemimpin lain organisasi itu ditawan.72

Partai Nasional (PNI) yang dipimpin oleh Soekarno dibubarkan oleh aktivisnya sendiri. Mr. Raden Mas Sartono, mantan tokoh Perhimpoenan Indonesia, mendirikan partai baru yakni partindo. Partai ini menginginkan kemerdekaan penuh tanpa kerja sama dengan Belanda, tetapi dengan metode yang lebih jau

moderat dari pada PNI.73

Kader-kader dari “Golongan Merdeka” yang menentang pembubaran PNI berkumpul dalam wadah baru, bernama Pendidikan Nasional Indonesia. Disingkat sebagai PNI-Pendidikan atau PNI-baru. Hatta dan Sjahrir berpendapat, mereka

72

George Mc Trunan, Op.cit hal. 117

73

harus kembali ke tanah air untuk membantu PNI-Pendidikan, karena Hatta belum selesai studinya, ahli-ahli Sjahrir yang meninggalkan kampus dan balik ke

Indonesia. Untuk sementara saja. Sampai Hatta bisa balik.74

2.3.Kegiatan Sutan Sjahrir Setelah Kembali Ke Indonesia

Kembalinya Sjahrir ke Indonesia pada akhir Desember 1931, Sjahrir langsung aktif dalam pengembangan PNI-Pendidikan. Tanggal 26 Juni 1932, dalam kongres perama Pendidikan Nasional Indonesia, Sjahrir terpilih sebagai ketua pimpinan umum Partai Nasional Indonesia, yang bersifat partai kader bukan partai massa, dan juga menunjuk Sukemi sebagai wakil Partai Nasional Indonesia. Jumlah anggotanya pada waktu itu tidak lebih dari 1000 (seribu) orang, Sjahrir yang ketika itu berusia 23 tahun ia menyususn suatu daftar pertanyaan berisi tentang penjelasan tentang pengertian-pengertain mendasar yang harus dikuasi oleh anggota PNI-Pendidikan, maka mutu dan kecerdasaan dan kesadaran politik anggota meninggkat.

Agustus 1932, Hatta baik ke tanah air, lalu mengambil-ahli kepemimpinan PNI-Pemdidikan. Sjahrir mulai mengurangi keterlibatannya dalam PNI- pendidikan. Pada tahun 1933, dia hanya menjadi penasihat umum. Ia berencana kembali ke Negeri Belanda melanjutakan studinya, segala sesuatu telah dipersiapkan. Tiket kapal sudah di atur. Malang, rencana itu tidak pernah

terlaksana.75

Gerakan politik Hatta dan Sjahrir melalui PNI-Pendidikan ini justru lebih radikal dari pada PNI yang dipimpin oleh Soekarno, yang hanya menggandalkan mobilisasi massa, meskipun tanpa aksi dari massa dan agitasi, organiasai ini lebih memfokuskan kepada mendidik kader-kader dalam pergerakan. Menurut Des

74

H. Rosihan Anwar, Op.cit, hal 38

75

Alwi, anak anggkat Sjahrir, Hatta dan Sjahrir memang mengambil ahli PNI baru

ini hanya agar pergerakan nasional terus berlanjut. 76

Di tengah suasana represi politik, Gubernur Jendral De Jonge mengambil putusan menangkap 13 orang aktivis PNI-Pendidikan pada tahun 1934. Hatta dibawa ke penjara Glodok, Sjahrir ke penjara Cipinang di Batavia. Tanggal 23 Januari 1935, mereka diangkut ke Boven Digul, tempat pembuangan bagi orang- orang politik yang menentang pemerintah Hindia Belanda. Hatta dan Sjahrir diasingkan selama satu tahun di tengah hutan ganas, sungai penuh buaya, lingkungan berpenyakit di Nieuw Guniea (sekarang Papua). Bayangkan nasib

Sjahrir. Usianya waktu itu baru 25 tahun.77

76

TEMPO, Op.cit, hal 29

77

H. Rosihan Anwar, Op.cit, hal 42

Boven Digul terkadang dinamakan kamp konsentrasi, seperti terdapat pada Nazi yang berada di Jerman di bawah rezim Adolf Hitler. Apakah penamaan itu tepat bisa dibincangkan. Yang pasti, kehidupan Sjahrir dan Hatta di Boven Digul tidaklah nyaman, untung mereka cepat dipindahkan Banda Neira, Maluku. Mereka tinggal di Banda dari tahun 1936 – 1942 relatif normal, di lingkungan alam serba indah. Serasa kembali ke peradaban. Mereka bertemu dengan keluarga dua pemimpin politik, dr. Tjipto mangoenkoesoemo dan Mr. Iwa Koesoema Soemantri yang terlebih dahulu di buang ke Banda Niera.

Sjahrir suka bergaul dengan anak-anak di Banda Niera, dia berbahagia di tengah mereka. Bersama Hatta, ia membuka sekolah di kediamannya untuk memberi pelajaran kepada anak-anak Banda Niera. Keluarga Baadillah, saudagar keturunan Arab yang kaya, mempunyai hubungan akrab dengan Sjahrir. Keluarga itu mengijinkan Sjahrir memungut cucunya sebagai anak angkat Sjahrir yaitu, Lilly, Mimi dan Ali, yang semuanya bersaudara dengan Des Alwi. Dia kelak akan menjadi pengusaha dan mendapat julukan “Raja Banda”

Malam pertama di Banda Niera, Sjahrir, 27 tahun, dan Hatta 34 tahun, menginap di rumah Iwa Koesoema Soemantri yang tak jauh dari dermaga. Esoknya mereka pindah ke ruamh dokter Tjipto Mangunkusumo. Seminggu kemudian Hatta dan Sjahrir tinggal di rumah sewaan dari De Vries, orang Belanda

kaya pemilik perkebunan, yang tinggal di Batavia.78

Sjahrir begitu terkesan saat bermain bersama anak-anak pulau. Dalam buku Renungan dan Perjuangan, dia menulis: “Tiga jam lamanya kami berlayar cepat sekali karena angin cukup kencang. Kami berlayar di atas taman-taman laut, dan melihat matahari terbit sangat indahnya; kemudian kami kembali lagi ke pantai dan sehari-harian bermain-main dan juga bersantap siang di situ.” Tak hanya bermain dengan bocah, Sjahrir-juga Hatta mengajarkan bahasa Belanda, Inggris, Perancis dan tata buku kepada anak-anak Banda.

Selama berada di Banda Niera Sjahrir dan Hatta memiliki perbedaan sikap. Sjahrir yang suka akan keramaian, dan juga senang mendengarkan musik klasik Beethoven, Mozart, dan Hayden melalui gramafon putar. Sedangkan sikap Hatta yang suka kesunyian selalu merasa terganggu dengan kebiasaan Sjahrir itu, dan pernah meminta Des Alwi untuk memindahkan alat pemutar piringan hitam itu, hingga akhirnya mereka berdua pisah rumah.

79

Selama berda di pengasingan di Banda, Sjahrir banyak kesempatan berhubungan dengan dunia luar. Ia rajin menulis surat kepada istrinya, Maria Duchâteau, di Negri Belanda, berisi renungannya, pengamataanya, pendapatnya tentang perkembangan politik di dunia internasional. Kelak tahun 1945, surat- surat itu dikumpulkan oleh Maria Duchâteau, disunting kembali, diterbitkan

berupa buku dengan judul Indonesische Overpeinzingen. Sjahrir mengikuti

perkembangan majalah sastra budaya Poedjangga Baroe, pimpinan Sutan Takdir

78

TEMPO, Op.cit hal 38

79

Alisjahbana. Dia menyumbangkan tulisan waktu terjadi polemic kebudayaan

dalam halaman majalah tersebut.80

Kepandaiannya bergaul menggugah seorang Cina pemilik took memberinya sebuah radio gelombang pendek untuk mendengarkan berita dari Eropa dan

Amerika Serikat.81

80

H. Rosihan Anwar, Op.cit, hal 43

81

TEMPO, Op.cit, hal 41

Sjahrir mensinyalir naiknya rezim fasisme di Jerman, Italia dan Jepang. Di Tingkok, Jepang melakukan ekspansi menundukan China. Di Eropa Tengah, Hittler terus mencaplok daerah taklukannya. Perang dunia kedua pecah, September tahun 1939 dengan penyerbuan tentara Jerman ke Polandia. Negri Belanda diduduki Nazi Jerman pada 10 Mei 1940, keadaan di Hindia Belanda goyah, tinggal menanti invasi militer Jepang. Serangan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat, Pearl Harbor di Hawaii, 8 Desember 1941, menyebabkan pecahnya Perang Pasifik. Oleh sebab itu, Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenbourgh Stachouwer mengumumkan perang terhadap Jepang. Secara gerakan kilat, Jepang menduduki Manila di Filipina, mendarat di Semenajung Malaya dan menaklukan Singapura. Bahkan dalam waktu singkat sampai ke Tarakan di Kalimantan dan Ambon, Maluku.

Ketika Ambon diserang oleh pasukan Jepang datang pesawat kecil Air Catalina milik Amerika Serikat yang mendarat di laut depang Gunung Api, pada 1 Feburari pagi, 1942, menjemput Hatta dan Sjahrir untuk diangkut ke Jawa. Sjahrir boleh memboyong ketiga anak angkatnya Lily, Mimi dan Ali dalam pesawat khusus tersebut. Hatta terpaksa meninggalkan buku-bukunya tersebut dan diserahkan kepada Des Alwi untuk membawanya ke Jawa, begitu ada angkutan kapal dari Ambon ke Surabaya. Tanggal 3 Februari 1942, Hata dan Sjahrir tiba di Sukabumi dengan kereta api di Surabaya, ditempatkan di rumah dalam kompleks polisi, setelah mereka berdua tujuh tahun dalam pengasingan dan kembali ke Jawa.

2.4.Masa Pendudukan Jepang

Tanggal 28 februari, Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang, di bawah komando Letnan Jenderal Hitoshi Imamura mendarat di pantai Banten. Tanggal 9 Maret, Letjen Hein ter Poorten, Panglima Tentara Hindia Belanda (KNIL) menyerah kepada Jepang, di suatu upacara sederhana di pangkalan udara Kalijati,

di Utara Bandung.82

Dalam kegiatannya membangun Jaringan di bawah tanah yang anti-fasis, ia menghimpun kekuatan-kekuatan baru di bawah nanungan PNI-Pendidikan dan mereka tetap setia dengan tradisi progresif. Sjahrir berkeyakinan Jepang tidak Dan disnilah Belanda memberikan ahli kuasanya atas Hindia Belanda kepada Jepang.

Pada awal-awal masuknya Jepang ke Indonesia, mereka mendapatkan sambutan yang baik dari para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia yang memutuskan kerja sama dengan pemerintahan Jepang. Soekarno, Hatta, dan Sjahrir bersepakat untuk melakukan pembagian kerja. Soekarno dan Hatta adalah tokoh yang akan bekerjasama dengan pemerintahan pendudukan Jepang dan Sjahrir membangun jaringan bawah tanah yang anti-fasis. Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah, Sjahrir yakin Jepang tidak akan memenangkan perang, oleh karena itu kaum pergerakan mesti menyiapkan diri untuk memperebutkan kemerdekaan di saat ang tepat.

Anggota-anggota jaringan bawah tanah kelompok Sjahrir adalah para kader- kader PNI-Pendidikan yang masih tetap meneruskan pergerakan dan kader-kader muda yakni mahasiswa progresif. Pada saat itu Sjahrir sebagai tokoh nasionalis yang kurang dikenal oleh para tokoh-tokoh pemerintahan Jepang dibandingkan Soekarno dan Hatta, namun memang secara ideologi dan memang sudah menjadi prinsipnya ia menenrang fasisme Jerman.

82

akan dapat memenangkan perang terhadap sekutu. Untuk mengetahui

Dokumen terkait