• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Metode Pembelajaran Tahfidzul Qur’an dalam Pondok Pesantren

1. Pengertian Metode Pembelajaran

Menurut pendapat David J. R. dalam Majid (2012: 131), metode

adalah cara untuk mencapai sesuatu. Metode secara harfiah berarti

“cara”. Untuk pemakaian yang umum, metode diartikan sebagai suatu cara atau prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu. Kata

“pembelajaran” berarti segala upaya yang dilakukan oleh pendidik agar

terjadi proses belajar pada diri peserta didik. Jadi, metode pembelajaran

adalah cara-cara menyajikan materi pelajaran yang dilakukan oleh

pendidik agar terjadi proses belajar pada diri peserta didik dalam upaya

untuk mencapai tujuan.

Metode berbeda dengan strategi. Strategi menunjukkan pada

sebuah perencanaan untuk mencapai sesuatu, sedangkan metode adalah

cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi (Rusman, 2011:

133).

Istilah lain yang mempunyai hampir sama dengan metode

adalah model pembelajaran. Joyce dan Weil dalam Rusman (2011: 133),

berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola

pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran,

dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Menurut

pendapat Dahlan dalam Sutikno (2014: 57), menjelaskan bahwa model

pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang digunakan dalam

menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, dan memberi petunjuk

kepada pengajar di kelas dalam setting pengajaran ataupun setting

lainnya.

Dari beberapa pengertian yang telah dipaparkan, dapat

disimpulkan perbedaan antara metode, strategi dan model pembelajaran.

Metode cara yang diterapkan dalam sebuah pembelajaran agar tercipta

suasana pembelajaran yang menarik, menyenangkan, kreatif serta

inovatif. Strategi pembelajaran menekankan pada cara menerapkan

rencana pembelajaran yang telah disusun agar pembelajaran maksimal.

Sedangkan model pembelajaran menekankan pada kerangka-kerangka

umum sistem pembelajaran dalam waktu jangka panjang.

2. Pengertian Tahfidzul Qur’an

Istilah Tahfidzul Qur‟an merupakan gabungan dari dua kata,

yaitu tahfidz dan Al-Qur‟an. Kata tahfidz merupakan bentuk isim

mashdar dari fiil madhi

بًظٍِْفْحَتْ –ْ ُعِّفَحٌُْ –ْ َعَّفَح

) yang artinya memelihara, menjaga, dan menghafal (Munjahid, 2007: 73). Pengertian

menghafal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah berusaha

Menurut Al-Lihyani dan mayoritas ulama‟, secara bahasa Al

-Qur‟an merupakan bentuk mashdar dari fiil madhi qara-a (أشق) yang

artinya “membaca”, yang bersinonim dengan kata qira-ah (حأشق). Kata

qara-a sendiri berarti menghimpun dan memadukan sebagian

huruf-huruf dan kata-kata yang satu dengan yang sebagian lainnya.

Kenyataannya, memang huruf-huruf dan lafal-lafal serta

kalimat-kalimat Al-Qur‟an berkumpul dalam satu mushaf. Secara terminologi

kata Al-Qur‟an didefinisikan dalam berbagai redaksi. Salah satunya

menurut Manna‟ Khalil Al-Qaththan dalam tulisan Sugianto (2004:

18-19), Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad SAW yang bernilai ibadah membacanya.

Menurut Taufiqul Hakim dalam kamus At-Taufiq (2004: 506),

Al-Qur‟an merupakan bentuk isim mashdar dari fiil madhi (

ْ أشقٌْ أشق

بًأشقّْْخئاشق

) yang artinya moco, mertela‟ake (membaca, menjelaskan).

Sedangkan menurut Ali Ash-Shobuny dalam Munjahid (2007:

25), Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang melemahkan tantangan musuh

(mu‟jizat) yang diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul yaitu Nabi Muhammad SAW dengan perantaraan malaikat Jibril, dimulai

dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas, yang tertulis

dalam mushaf-mushaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir,

Setelah melihat definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

Tahfidzul Qur‟an adalah usaha untuk menghafal, mengingat, dan

memelihara ayat-ayat suci Al-Qur‟an yang diturunkan kepada

Rasulullah SAW agar dapat meresap ke dalam pikiran seseorang (di

luar kepala), agar tetap terjaga kemurniannya baik secara keseluruhan

maupun sebagian.

3. Dasar Hukum dan Kaidah Penting Tahfidzul Qur’an

a. Dasar Hukum Tahfidzul Qur‟an

Umat Islam pada dasarnya tetap berkewajiban untuk secara

riil dan konsekuen berusaha memelihara Al-Qur‟an, karena

pemeliharaan terbatas sesuai dengan sunnatullah yang telah

ditetapkan-Nya tidak menutup kemungkinan kemurnian ayat-ayat

Al-Qur‟an akan diusik dan diputarbalikkan oleh musuh-musuh Islam. Salah satu usaha nyata dalam proses pemeliharaan kemurnian

Al-Qur‟an yaitu dengan menghafalkannya (Ahsin, 2000: 21).

Dari sini, secara tegas banyak para ulama‟ mengatakan alasan

yang menjadi dasar untuk menghafal Al-Qur‟an adalah sebagai

berikut:

1) Jaminan kemurnian Al-Qur‟an dari usaha pemalsuan. Para

penghafal Al-Qur‟an adalah orang-orang yang dipilih Allah untuk

menjaga kemurnian Al-Qur‟an dari usaha-usaha pemalsuannya.



ْ



ْ



ْ



ْ



ْ



ْ



ْ



ْ

ْ

Artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran,

dan Sesungguhnya kami benar-benar

memeliharanya”. (QS. Al-Hijr: 9)

Dengan demikian sebagai konsekuensi logis, maka Allah

SWT memberikan kemudahan kepada orang-orang yang

berminat untuk menghafal Al-Qur‟an dan bersungguh-sungguh

dalam menghafalnya. Hingga akhir zaman, Al-Qur‟an akan tetap

eksis serta tidak akan kekurangan para penghafalnya, yang

semuanya itu tidak lepas dari kehendak Allah SWT begitu pula

para penghafal Al-Qur‟an pada hakikatnya merupakan pilihan

Allah SWT yang memegang peranan sebagai penjaga dan

pemelihara terhadap kemurnian Al-Qur‟an (Sugianto, 2004: 44).

2) Al-Qur‟an diturunkan, diterima, dan diajarkan oleh Nabi SAW

secara hafalan. Sehingga mendorong para sahabat untuk

menghafalkannya. Sungguh merupakan suatu hal yang luar biasa

bagi umat Muhammad SAW karena Al-Qur‟an dapat dihafal

dalam dada mereka bukan sekedar dalam tulisan-tulisan kertas,

tetapi Al-Qur‟an selalu dibawa dalam hati para penghafalnya.

Sesuai dengan firman Allah SWT:

ْ

ْبًَ ۡشَّسٌَْۡذَقَل َّ

َْىاَء ۡشُقۡلٱ

ْ

ْ ٖشِمَّذُّهْيِهْ ۡلََِفْ ِشۡمِّزلِل

٧١

ْ

ْ

Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil

pelajaran” (QS. Al-Qamar: 17).

3) Menghafal Al-Qur‟an adalah fardhu kifayah. Ini berarti bahwa

orang yang menghafal Al-Qur‟an tidak boleh kurang dari jumlah

mutawatir sehingga tidak akan ada kemungkinan terjadinya

pemalsuan dan pengubahan terhadap ayat-ayat suci Al-Qur‟an

(Ahsin, 2000: 23-24).

Menurut pendapat Syeikh Muhammad Makki Nashr

dalam Ahsin (2000: 24) mengatakan sebagai berikut:

ِْىآ ْشُقْلاَْعْف ِحَّْىِا

ْ

ٍْخٌَْبَفِمْ ُض ْشَفٍْتْلَقْ ِشَِْظْْيَع

Artinya: “sesunggunya menghafal al-Qur‟an di luar kepala

hukumnya fardhu kifayah”.

Dari ungkapan di atas sudah jelas bahwa menghafal

Al-Qur‟an hukumnya adalah fardhu kifayah. Apabila sebagian melakukan maka gugurlah kewajiban yang lainnya. Sebaliknya

jika kewajiban ini tidak terpenuhi maka semua umat Islam akan

menanggung dosanya.

b. Kaidah Penting Tahfidzul Qur‟an

Para penghafal Al-Qur‟an terikat oleh beberapa kaidah

penting di dalam menghafal (Chairani dan Subandi, 2010: 38-40)

1) Ikhlas, bermakna bahwa seseorang akan meluruskan niat dan

tujuan menghafal Al-Qur‟annya semata-mata untuk beribadah dan

mendekatkan diri kepada Allah SWT.

2) Memperbaiki ucapan dan bacaan, meskipun Al-Qur‟an

menggunakan bahasa Arab akan tetapi melafadzkannya sedikit

berbeda dari penggunaan bahasa Arab populer. Oleh karena itu,

mendengarkan terlebih dahulu dari orang yang bacaannya benar

menjadi suatu keharusan.

3) Menentukan presentasi hafalan setiap hari. Kadar hafalan ini

sangat penting untuk ditentukan agar penghafal menemukan ritme

yang sesuai dengan kemampuannya.

4) Konsisten dengan satu mushaf. Alasan kuat penggunaan satu

mushaf ini adalah bahwa manusia mengingat dengan melihat dan

mendengar sehingga gambaran ayat dan juga posisinya dalam

mushaf dapat melekat kuat dalam pikiran.

5) Pemahaman adalah cara menghafal. Memahami apa yang dibaca

merupakan bantuan yang sangat berharga dalam menguasai suatu

materi. Oleh karena itu, penghafal Al-Qur‟an selain harus

melakukan pengulangan secara rutin, juga diwajibkan untuk

membaca tafsiran ayat yang dihafalkan.

6) Memperdengarkan bacaan secara rutin. Tujuannya adalah untuk

membenarkan hafalan dan juga berfungsi sebagai kontrol terus

7) Mengulangi secara rutin. Penghafalan Al-Qur‟an berbeda dengan

penghafalan yang lain karena cepat hilang dari pikiran. Oleh

karena itu, mengulangi hafalan melalui wirid rutin menjadi suatu

keharusan bagi penghafal Al-Qur‟an.

4. Macam-Macam Metode Pembelajaran Tahfidzul Qur’an

Menurut pendapat Ahsin W. (2000: 63) menjelaskan bahwa ada

lima metode dalam menghafal Al-Qur‟an, antara lain:

a. Wahdah, yaitu menghafal satu persatu terhadap ayat-ayat yang

hendak dihafalnya. Untuk mencapai hafalan awal, setiap ayat bisa

dibaca sebanyak 10 kali, atau 20 kali, atau lebih sehingga proses ini

mampu membentuk pola dalam bayangannya.

b. Kitabah, artinya menulis. Pada model ini penghafal terlebih dahulu

menulis ayat-ayat yang akan dihafalnya pada secarik kertas yang

telah disediakan untuknya. Kemudian ayat-ayat tersebut dibacanya

sehingga lancar dan benar bacaannya, lalu dihafalkannya.

Menghafalnya bisa dengan metode wahdah, atau dengan berkali-kali

menuliskannya sehingga dengan begitu ia dapat sambil

memperhatikan dan sambil menghafalkannya dalam hati. Model ini

cukup praktis dan baik, karena di samping membaca dengan lisan,

aspek visual menulis juga akan sangat membantu dalam

mempercepat terbentuknya pola hafalan dalam bayangannya.

c. Sima‟i, artinya mendengar. Maksud dari sima‟i ini ialah mendengarkan sesuatu bacaan untuk dihafalkannya. Model ini akan

sangat efektif bagi penghafal yang mempunyai daya ingat ekstra,

terutama bagi penghafal tunanetra, atau anak-anak yang masih di

bawah umur yang belum mengenal tulis baca Al-Qur‟an.

d. Gabungan. Model ini merupakan gabungan antara metode wahdah

dan kitabah. Hanya saja kitabah (menulis) di sini lebih memiliki

fungsional sebagai uji coba terhadap ayat-ayat yang telah dihafalnya.

Maka dalam hal ini, setelah penghafal selesai menghafal ayat yang

dihafalnya, kemudian ia mencoba menuliskannya di atas kertas yang

telah disediakan untuknya dengan hafalan pula. Jika penghafal

belum mampu mereproduksi hafalannya ke dalam tulisan secara

baik, maka ia kembali menghafalkannya sehingga ia benar-benar

mencapai nilai hafalan yang valid. Kelebihan model ini adalah

adanya fungsi ganda, yakni untuk menghafal dan sekaligus berfungsi

untuk pemantapan hafalan. Pemantapan hafalan dengan cara ini pun

akan baik sekali, karena dengan menulis akan memberikan kesan

visual yang mantap.

e. Jama‟, yaitu cara menghafal yang dilakukan secara kolektif (bersama-sama), dipimpin oleh seorang instruktur. Pertama,

instruktur membacakan satu ayat atau beberapa ayat dan siswa

menirukan secara bersama-sama. Kemudian instruktur

membimbingnya dengan mengulang kembali ayat-ayat tersebut dan

siswa mengikutinya. Setelah ayat-ayat itu dapat mereka baca dengan

sedikit demi sedikit dengan mencoba melepaskan mushaf (tanpa

melihat mushaf) dan demikian seterusnya. Sehingga ayat-ayat yang

sedang dihafalnya itu benar-benar sepenuhnya masuk dalam

bayangannya. Cara ini termasuk model yang baik untuk

dikembangkan, karena akan dapat menghilangkan kejenuhan di

samping akan banyak membantu menghidupkan daya ingat terhadap

ayat-ayat yang dihafalkannya.

f. Metode persial, yaitu: cara menghafal dengan membagi-bagi ayat

yang akan dihafal dengan beberapa bagian yang sama ataupun

berbeda. Seorang penghafal akan menghafalnya dengan

sebagian-sebagian hingga sampai berhasil, setelah itu baru pindah ke bagian

berikutnya (Wafa, 2013:73).

5. Pondok Pesantren dan Karakteristiknya 1. Pengertian Pondok Pesantren

Menurut Madjid (1997: 3), pondok pesantren yaitu lembaga

yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar perkembangan

sistem pendidikan nasional. Dari segi historis pesantren tidak hanya

identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna

keaslian Indonesia. Sedangkan menurut Muhammad Arifin, pondok

pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh

serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek)

dimana para santri menerima pendidikan agama melalui sistem

dari leadership seseorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri

khas yang bersifat karismatik serta independen dalam segala hal (Mu‟in

dkk, 2007: 16).

Menurut Nasir (2005: 80-81) pengertian dari pondok pesantren

sendiri juga terdapat banyak variasinya, antara lain:

a. Pondok pesantren adalah gabungan dari kata pondok dan pesantren.

Istilah pondok berasal dari kata funduk, dari bahasa Arab yang

berarti rumah penginapan atau hotel. Akan tetapi di dalam pesantren

Indonesia, khususnya pulau Jawa, lebih mirip dengan pemondokan

dalam lingkungan padepokan, yaitu perumahan sederhana yang

dipetak-petak dalam bentuk kamar-kamar yang merupakan asrama

bagi santri. Sedangkan istilah pesantren secara etimologis asalnya

dari pe-santri-an yang berarti tempat santri. Santri atau murid

mempelajari agama dari seorang Kyai atau Syekh di pondok

pesantren.

b. Pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan

pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan

ilmu agama Islam. Pondok Pesantren merupakan salah satu bentuk

lembaga pendidikan dan keagamaan yang ada di Indonesia. Secara

lahiriyah, pesantren pada umumnya adalah suatu komplek bangunan

yang terdiri dari rumah kyai, masjid, pondok tempat tinggal para

selama beberapa tahun untuk belajar langsung dengan kyai dalam

bidang ilmu agama.

c. Pondok pesantren juga berarti suatu lembaga pendidikan dan

pengajaran agama Islam yang pada umumnya pendidikan dan

pengajaran tersebut diberikan dengan cara non klasikal, tetapi

dengan sistem bandongan dan sorogan. Dimana seorang kyai

mengajar para santri berdasarkan kitab-kitab yang tertulis dalam

bahasa Arab oleh ulama‟-ulama‟ besar sejak abad pertengahan, dan

para santri biasanya tinggal dalam pondok atau asrama dalam

pesantren tersebut.

Zamakhsari Dhofier mengemukakan bahwa ciri khas pesantren

dan sekaligus unsur-unsur pembedanya dengan lembaga pendidikan

lainnya adalah adanya pondok tempat tinggal kyai dan santrinya, hanya

masjid sebagai tempat kegiatan ibadah dan belajar-mengajar

(pengajian), santri bertempat tinggal secara tetap dalam waktu yang

relatif lama (bermukim), kyailah yang menjadi tokoh sentral dalam

pesantren, yang diajarkan adalah kitab-kitab Islam klasik sebagai

kelanjutan dari pengajian Al-Qur‟an (Saerozi, 2013: 28).

2. Jenjang Pendidikan Pondok Pesantren

Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam

lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal (berjenjang

kelas). Biasanya, kenaikan tingkat seorang santri didasarkan kepada isi

kitab yang dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu

kitab atau beberapa kitab dan telah lulus ujian (imtihan) yang diuji oleh

kyainya, maka ia berpindah ke kitab lain yang lebih tinggi tingkatannya.

Jenjang pendidikan pesantren tidak berdasarkan usia, tetapi berdasarkan

penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari paling rendah sampai

paling tinggi.

Sebagai konsekuensi dari sistem klasikal di atas, pendidikan

pesantren biasanya menyediakan beberapa cabang ilmu (fununul „ilmi)

atau bidang-bidang khusus yang merupakan fokus masing-masing

pesantren untuk dapat menarik minat para santri menuntut ilmu di

dalamnya. Biasanya keunikan pendidikan sebuah pesantren telah

diketahui oleh calon santri yang ingin mondok (Depag RI, 2003:

89-90).

3. Macam-Macam Pondok Pesantren

Secara umum pesantren dapat diklasifikasikan menjadi dua,

yakni Pesantren Salaf (tradisional) dan Pesantren Khalaf (modern).

Pesantren Salaf adalah sebuah pesantren yang tetap melestarikan

unsur-unsur utama pesantren dan masih mampu menjaga eksistensi

pesantrennya, melalui kegiatan pendidikannya berdasarkan pada

pola-pola pengajaran klasik atau lama, yakni berupa pengajian kitab kuning

dengan metode pembelajaran tradisional. Sedangkan Pesantren Khalaf

pesantren, tetapi juga memasukkan di dalamnya unsur-unsur modern

yang ditandai dengan klasikal atau sekolah dan adanya materi

ilmu-ilmu umum dalam muatan kurikulumnya (Depag RI, 2003: 7-8).

Elemen-elemen dasar dari sebuah pesantren pada praktiknya

terdapat beberapa variasi bentuk atau model suatu pesantren. Sehingga

terjadilah pengelompokkan bentuk-bentuk pondok pesantren yang

dalam peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1979 tentang bantuan

kepada pondok pesantren yang mengkategorikan pondok pesantren

menjadi empat macam tipe pesantren yaitu:

1) Pesantren Tipe A yaitu pondok yang seluruhnya dilaksanakan secara

tradisional.

2) Pondok Pesantren tipe B yaitu pondok yang menyelenggarakan

pengajaran secara klasikal (madrasah).

3) Pondok Pesantren tipe C yaitu pesantren yang merupakan asrama

sedangkan santrinya belajar di luar.

4) Pondok Pesantren tipe D yaitu pondok yang menyelenggarakan

sistem pendidikan pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau

madrasah (Depag RI, 2003: 15).

Selain tipe pesantren di atas, menurut Nasir (2005: 87)

menyebutkan lima klasifikasi pesantren antara lain:

1) Pondok pesantren klasik (salaf) yaitu pondok pesantren yang di

dalamnya terdapat sistem pendidikan salaf (weton dan sorogan), dan

2) Pondok pesantren semi berkembang yaitu pondok pesantren yang di

dalamnya terdapat sistem pendidikan salaf (weton dan sorogan), dan

sistem klasikal (madrasah) swasta kurikulum 90% agama dan 10%

umum.

3) Pondok pesantren berkembang yaitu hampir sama dengan semi

berkembang hanya berbeda dalam bidang kurikulumnya 70% agama

dan 30% umum, serta telah diselenggarakan madrasah SKB Tiga

Mentri.

4) Pondok pesantren modern (khalaf) yaitu pondok pesantren ini lebih

lengkap dari pondok pesantren berkembang

4. Model Pembelajaran Pondok Pesantren

Model pembelajaran di pesantren ada yang bersifat tradisional

dan ada pula model pembelajaran yang bersifat baru (modern).

Pesantren pada mulanya sebenarnya telah mengenal sistem klasikal,

tetapi tidak dengan batas-batas fisik yang lebih tegas seperti pada sistem

klasikal yang diterapkan di sekolah atau madrasah modern (Depag RI,

2003: 73). Adapun model pembelajaran pesantren yang bersifat

tradisional antara lain:

1) Sorogan

Model sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para

santri yang lebih menitikberatkan pada pengembangan kemampuan

kyai. Pengajian sistem sorogan ini biasanya diselenggarakan pada

ruang tertentu di mana di situ tersedia tempat duduk seorang kyai

atau ustadz, kemudian di depannya terdapat bangku pendek untuk

meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Santri-santri lain,

baik yang mengaji kitab yang sama ataupun berbeda duduk agak

jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh kyai atau ustadz

kepada temannya sekaligus mempersiapkan diri menunggu

gilirannya dipanggil (Depag RI, 2003: 74-75).

2) Bandongan

Model bandongan disebut juga dengan metode wetonan.

Metode bandongan dilakukan oleh seorang kyai atau ustadz terhadap

sekelompok peserta didik atau santri, untuk mendengarkan dan

menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Seorang kyai atau

ustadz dalam hal ini membaca, menerjemahkan, menerangkan dan

sering kali mengulang teks-teks kitab berbahasa Arab tanpa harakat

(gundul). Sementara itu santri dengan memegang kitab yang sama,

masing-masing melakukan pen-dhabitan (penetapan) harakat,

pencatatan simbol-simbol kedudukan kata, arti-arti kata langsung di

bawah kata yang dimaksud, dan keterangan-keterangan lain yang

dianggap penting dan dapat membantu memahami teks. Posisi para

santri pada pembelajaran dengan menggunakan metode ini adalah

melingkari dan mengelilingi kyai atau ustadz sehingga membentuk

menggunakan berbagai bahasa yang menjadi bahasa utama para

santrinya (Depag RI, 2003: 86-87).

3) Musyawarah

Musyawarah merupakan model pembelajaran yang lebih mirip

dengan diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah

tertentu membentuk halaqah (lingkaran) yang dipimpin langsung

oleh kyai atau ustadz, dan mungkin juga santri senior, untuk

membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan

sebelumnya. Pada pelaksanaannya, para santri dengan bebas

mengajukan pertanyaan-pertanyaan ataupun pendapatnya. Dengan

demikian, model ini lebih menitikberatkan pada kemampuan

perseorangan di dalam menganalisis atau memecahkan suatu

persoalan dengan argumen logika yang mengacu pada kitab-kitab

tertentu (Depag RI, 2003: 92-93).

4) Pengajian Pasaran

Model pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri

melalui pengkajian materi kitab tertentu pada seorang ustadz yang

dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus

menerus (maraton) selama tenggang waktu tertentu. Tetapi

umumnya pada bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh

hari atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab

metode bandongan. Akan tetapi pada metode ini target utamanya

adalah khatam atau selesai (Depag RI, 2003: 96).

5) Hafalan (Muhafadzah)

Model hafalan ialah kegiatan belajar santri dengan cara

menghafal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan

seorang ustadz atau kyai. Para santri diberi tugas untuk menghafal

bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu. Hafalan yang dimiliki

santri ini kemudian dihafalkan di hadapan ustadz atau kyainya secara

periodik atau insidental tergantung kepada petunjuk gurunya

tersebut. Materi pembelajaran di Pondok Pesantren yang disajikan

dengan metode hafalan pada umumnya berkenaan dengan

Al-Qur‟an, nadzam-nadzam untuk disiplin nahwu, sharaf, tajwid atau

untuk teks-teks nahwu sharaf dan fiqih (Depag RI, 2003: 100).

6) Muzhakarah

Model Muzhakarah atau dalam istilah lain bahtsul masa‟il

merupakan pertemuan ilmiah yang membahas masalah diniyah

seperti ibadah, aqidah dan masalah agama pada umumnya. Model ini

sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan model musyawarah. Hanya

bedanya pada model muzhakarah pesertanya adalah para kyai atau

B. Penerapan Metode Sima’i dalam Pembelajaran Tahfidzul Qur’an

Menurut Ahsin Al Hafidz (2000:63) Sima‟i artinya mendengar.

Yang dimaksud dengan metode ini adalah mendengarkan sesuatu bacaan

untuk dihafalkannya. Metode ini bisa dilakukan dengan mendengarkan

dari guru pembimbing atau dari alat bantu perekam.

Menurut Wahid Alawiyah (2014:98), metode sima‟i mempunyai

tujuan agar ayat al-Qur‟an terhindar dari berkurang dan berubahnya

keaslian lafadz serta mempermudah dalam memelihara hafalan agar tetap

Dokumen terkait